Senin, 20 Agustus 2007

[psikologi_transformatif] Berbagi Tulisan: Revathi, Kisahnya Menggugah Kesadaran Kita

Kawans,
 
sekedar berbagi tulisan, siapa tahu Anda sempat membacanya...
 
salam,
Suhadi
 

REVATHI, KISAHNYA MENGGUGAH

KESADARAN KITA

 

Opini

MAARIF Vol. 2, No. 5, Juli 2007

 

Suhadi Cholil

Pengajar Program Studi Agama dan Lintas

Budaya UGM dan aktivis Interfidei Yogyakarta

 

Kisah Revathi sayup-sayup sampai juga di

negeri kita, melalui perantaraan media massa

maupun kabar seorang kawan. Apa yang

dialami Revathi tak saja mendekatkan kembali

perasaan kita pada Malaysia. Tak saja

mengingatkan kita pada 'romantisme' kepulauan

Melayu yang pernah dibangun selama tujuh abad

(7-14 M) oleh Sriwijaya. Serbuan bangsa Eropa abad

16 membuat 'patahan' sejarah baru, setelah

sebelumnya Islam pada abad 10 datang, di

kepulauan Melayu. Ketika Portugis menginjakkan

kaki pertama tahun 1511 di Malaka.

 

Tak lama kemudian konflik antar koloni

memperparah 'patahan' sejarah tersebut. Traktat

Anglo-Dutch 1824 membagi kepulauan Melayu

menjadi dua: British Malaya (Malaysia) dan

Netherlands East Indies (Indonesia). Gerakan

kemerdekaan dan nasionalisme semakin

mempertegas jarak teritori keduanya, Indonesia

1945 dan Malaysia 1957. Meskipun patahan sejarah

tersebut mampu menandai perbedaan keduanya,

tapi 'sejarah ingatan' akan masa lalu sejak proses

Indianisasi, Islamisasi, sampai Kolonialisme tak

benar-benar memecah keduanya secara sempurna.

Revathi, jangan-jangan bukan hanya cermin

akumulasi masalah di Malaysia, tapi juga di

Indonesia.

 

Bernama Revathi Massosai, 29

tahun, lahir di Malaysia dari

pasangan ayah-ibu beretnis India.

Sebelum Revathi lahir, ibu

kandungnya masuk Islam, menjadi

seorang muallaf. Namun dari kecil

Revathi lebih terbiasa dengan

tradisi Hindu, menjalankan ibadah

Hindu, dan mengaku beragama

Hindu. Sebab, Revathi lebih sering

diasuh oleh neneknya yang Hindu.

Hukum yang berlaku di negeri ini,

kalau orang tuanya beragama

Muslim secara otomatis anak-anak

yang dilahirkan juga Muslim. Kalau

orang tuanya pindah agama ke

Islam, anak dalam kuasanya pun

juga menjadi Islam. Demikianlah

apa yang terjadi pada Revathi, dalam

hukum pemerintah dia dipandang

sebagai Muslim. Ketika menginjak

dewasa, Revathi pun memegang KTP

Islam. Padahal di lubuk hatinya

yang terdalam, Revathi tak merasa

Muslim, tak memakai Jilbab, dan

tidak sholat. Maret 2004, Revathi

menikah dengan seorang Hindu,

bernama Suresh, menggunakan

tata cara pernikahan Hindu.

 

Di dalam konstitusi disebut

penduduk Melayu secara otomatis

juga Islam. Pada September 2001,

mantan Perdana Menteri, Mahathir

Mohamad, mendeklarasikan

Malaysia adalah Negara Islam.

Pernyataan Mahathir mendapatkan

kritik keras dari oposan politiknya,

Lim Kit Sing yang mengemukakan

sebenarnya dalam konstitusi,

Malaysia adalah negara sekuler

dimana Islam menjadi agama resmi

Negara. Saat itu Mahathir

menguasai lebih dari dua per tiga

koalisi kursi di Parlemen.

Gagasannya tentang Malaysia

sebagai negara Islam berjalan

mulus, masuk dalam amandemen

konstitusi. Selama ini Malaysia

menganut dualisme sistem

peradilan, yakni peradilan sekuler

yang hukumnya dihasilkan oleh

Parlemen; dan sistem peradilan

Syariah yang dikelola oleh otoritas

kerajaan-kerajaan.

 

Masalah yang menimpa Revathi

berawal ketika ia mengajukan diri

untuk bisa dicatat secara sipil

sebagai seorang Hindu, artinya di

atas kertas ia pindah agama. Pada

Januari 2006 dia pergi ke Jabatan

Agama Malaka, otoritas hukum

Syariah terdekat. Lalu dia

disarankan pergi ke Mahkamah

Syariah. Lembaga Syariah ini

dengan berpedoman pada hukum

jinayah Syariah mengeluarkan

keputusan Revathi dimasukkan ke

dalam Pusat Pemulihan Akhlaq di

Ulu Yam, Selangor, selama 100 hari.

Meskipun demikian Revathi tetap

bersikukuh, dia bukan Muslim.

Penguasa setempat memperpanjang

'karantina'-nya 80 hari. Revathi

mengaku juga dipaksa memakai

jilbab dan disediakan makan

dengan lauk sapi, sesuatu yang

dihindari dalam tradisi Hindu.

Pemerintah setempat membantah

paksaan tersebut. Kini, Mahkamah

Syariah juga menetapkan anak

Revathi, 19 bulan, dalam hak asuh

ibu Revathi yang beragama Islam,

bukan ibu Suresh yang Hindu.

Revathi sangat pilu dan tertekan

dengan keputusan itu, dipisahkan

dari anaknya.

 

Revathi bukan satu-satunya

kasus perpindahan agama yang

mencuat di Malaysia. Mahkamah

Agung (MA) pada Mei 2007 lalu

menolak kasus Lina Joy yang sejak

1997 ingin mengganti namanya,

bernama asli Azalina Jailani, dan

status agamanya dari Islam ke

Kristen. Menurut MA, yang

berwenang untuk hal itu adalah

Mahkamah Syariah. Keputusan

yang menimpa Lina Joy

mengundang demostrasi berbagai

pihak yang simpati, tapi tak lama

kemudian juga terdapat demonstrasi

tandingan dari kelompok Muslim

tertentu. Selain Revathi dan Lina

Joy, masih banyak kasus lain

perpindahan agama. Kebanyakan

mereka hanya berdiam diri,

menyembunyikan keyakinan

barunya. Karena kalau tidak, akan

dimasukkan pada Pusat Pemulihan

Akhlak seperti Revathi atau hijrah

ke Australia seperti Lina Joy.

 

Kita bisa berbangga, Indonesia

tak akan mengalami kisah-kisah

seperti itu. Benar memang, tapi

apakah benar kita tidak punya

kasus-kasus yang serupa meskipun

dengan tingkatan masalah yang

berbeda? Pemikiran dua sarjana

kolonial, Lodewijk C. Van den Berg

dan A.W.T Juynboll dipakai oleh

pemerintah kolonial Belanda untuk

menjustifikasi transformasi

Pengadilan Surambi yang dibangun

lama sejak Sultan Agung (1613-

1645) menjadi Priesterraden op Java

en Madura (Pengadilan Agama di

Jawa dan Madura). Setelah

kemerdekaan, dengan segera kita

menjiplak kebijakan kolonial

tentang dualisme peradilan, Islam

dan sekuler persis seperti di

Malaysia. Kita telah punya apa yang

disebut Mahkamah Islam Tinggi

sejak tahun 1946. Wajah segregasi

hukum di masa kolonial yang

tercermin dari kebijakan bias

rasisme Eropa-Kristen, kita warisi

mentah-mentah hanya dengan memake-

up-nya saja: tidak lagi Eropa

Kristen, tapi Muslim-non-Muslim.

Titik kulminasi segragasi kebijakan

sipil itu terjadi pada 1989 ketika

lahir UU Peradilan Agama.

 

Kalau saja di Malaysia kini ada

kasus-kasus yang dialami oleh

Revathi dan Lina Joy, pada tahun

1986 kita punya kasus Vony-

Andrian dan Jamal-Lidya, Muslim

yang menikah berbeda agama. Saat

itu pengadilan di Indonesia memang

bersikap lebih afirmatif. Tapi

imbasnya adalah konsolidasi

institusi keislaman dan hukum kita,

untuk membentengi dari politik

ketakutan konversi agama. Sejak

saat itu terjadi tafsir tunggal atas UU

Perkawinan 1974, larangan nikah

Muslim-non-Muslim. Kalau saja

mau mendengar apa yang terjadi di

masyarakat, kita sebenarnya dalam

kondisi yang tidak jauh dari

Malaysia. Sejak 1986,

kecenderungan orang Muslim yang

mau menikah beda agama harus

sembunyi-sembunyi, memanipulasi

data diri, berpindah agama sebentar

atau pergi ke luar negeri. Akhirnya

kita sekarang meski sadar, bahwa

kita tak hanya terpaut dengan

Malaysia melalui Siti Nurhaliza, tapi

juga melalui Revathi. []


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
SPONSORED LINKS
Yahoo! Avatars

Make a Virtual You

Show your style &

mood in Messenger.

Yahoo! Mail

Next gen email?

Try the all-new

Yahoo! Mail Beta.

Yahoo! Groups

Your one stop

for beauty & fashion

tips and advice.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar