Senin, 27 Agustus 2007

[psikologi_transformatif] Re: Media dan Budaya

Media massa (terutama televisi ataupun media cetak/koran), menurut
pendekatan politik adalah "tangan kekuasaan" ke empatnya dari tiga
pembagian kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif.

Setelah era reformasi, ada kebebasan yang luar biasa dimana dapat
dengan mudah dikeluarkannya SIUP, sehingga muncul banjir media tv
maupun cetak. Ada berapa "channel" studio lokal di kota anda, 13-18
channel (tidak dihitung channel dari luar).

Sisi baik yang muncul adalah munculnya musisi-2 muda yang ruar biasa
prestasinya, sisi lain adalah "booming" atau panennya "production
house" di indonesia yang memproduksi "opera sabun" maupun "cerita
asbun", yang penting kejar tanyang. Artis sinetron banyak yang kaya
raya. Studio siaran haus berita, segala sisi digali dan diburu sampai
ke ujung kuku(selebrities).

Urusan-2 penting yang bersifat kenegaraan maupun kebijakan
Pemerintahan kalah pamor dengan iklan plus berita selebs ataupun acara
sport maupun olahraga.

Sisi "buruk" nya adalah, terbukanya cermin keadaan atau kondisi bangsa
indonesia yang pada "era suharta" banyak yang dulu tak sempat muncul
kepermukaan jadi berita (karena keterbatasan media, hanya TVRI?).

Ditambah oleh banyaknya penggangguran plus sponsorship dari kalangan
politik tertentu, sebentar-2 demo, sebentar-2 tereak-2 di mana-2.
Berisik.
Yang menyedihkan lagi, tigapuluh lima tahun bangsa indonesia ini
dikebiri hak-2 politiknya oleh rejim suharta, tiba-tiba bablas
reformasi, orang yang tidak punya dasar pendidikan ilmu politik ikut
rame-2 ngurus dan ngatur negara, asal punya massa (apakah massa
preman, maupun massa pengangguran) ikut ASBUN seolah-olah menjadi
politikus sejati (padahal karbitan). Lalu munculah istilah-2 politik
yang tidak karu-karuan seperti istilah "otonomi". Sampai ke tingkat RW
mau otonomi. Kepala Sekolah, Dinas, Kabupaten, Kotamadya, Otonomi
khusus(cikal bakal negara baru) dsb.
Budaya berpolitik belum punya tapi keadaan memaksa menjadikan rebutan
kekuasaan yang malahan memakan biaya yang sangat besar, misalnya
pelaksanaan pilkada.

Semua kejadian diliput besar-besaran dan diekspoitasi oleh media yang
haus atau rebutan berita.

Salam parasit
:)

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, Nana P <fe36smg@...>
wrote:
>
> http://serbaserbikehidupan.blogspot.com/2007/08/media-dan-budaya.html
>
> Media merupakan salah satu alat promosi yang paling jitu. Banyak
perusahaan menggunakan media—baik cetak maupun elektronik—untuk
mengiklankan produk maupun jasa yang mereka tawarkan kepada publik.
Media juga merupakan alat penyebaran ideologi yang sangat berpengaruh
di era globalisasi ini, termasuk salah satunya adalah budaya. Oleh
karena itu, media pun dituding sebagai salah satu pihak yang paling
berpengaruh dalam pembentukan/pengubahan pola pikir, perilaku, maupun
cara berbusana.
> Kolonialisme—dimana banyak negara Barat, yang notabene berkulit
putih, menjajah negara Timur, yang notabene berkulit berwarna—telah
menciptakan gap antara kulit putih dan kulit berwarna. Gap ini
menciptakan inferioritas di kalangan kulit berwarna sebagai pihak yang
dijajah terhadap kalangan kulit putih sebagai pihak yang menjajah.
Sangatlah dipahami jika sampai saat ini inferioritas ini masih
mendominasi sehingga apapun yang berasal dari Barat akan selalu
dianggap lebih indah, lebih menarik, lebih modern dibandingkan yang
berasal dari Timur.
> Kehadiran internet dan televisi yang menjembatani negara-negara di
seluruh belahan bumi pun membuat penyebaran budaya semakin cepat,
perembesan satu budaya yang berasal dari negara-negara yang dianggap
superior masuk ke negara-negara yang inferior tanpa disadari. Dalam
televisi, orang-orang yang berada di balik layar, seperti para pekerja
rumah produksi, produser, sutradara, hingga ke pemilik stasiun
televisi biasanya orang-orang yang hanya mengejar keuntungan finansial
untuk kocek mereka sendiri, sehingga mereka pun menayangkan
program-program yang sering berkiblat ke negara-negara yang dianggap
superior, untuk menarik lebih banyak pemirsa, yang berarti akan
menaikkan rating, dus bermakna semakin banyak iklan yang masuk, tanpa
mempedulikan bahwa hal ini berarti mereka telah melakukan suatu
tindakan nyata untuk menghancurkan budaya bangsa sendiri secara
perlahan-lahan.
> Haruskah kita salahkan generasi muda kita yang mungkin akan lebih
bangga jika mereka disebut sebagai generasi MTV? Haruskah kita
salahkan mereka yang tidak lagi mengenal bahasa daerah masing-masing,
wayang, tarian tradisional, dll? Haruskah kita salahkan mereka yang
lebih suka menghabiskan waktu luangnya window shopping di mall-mall,
sembari makan-makan di fast food restaurant yang merupakan franchise
produk luar negeri? Bukankah mereka sebenarnya merupakan korban
keegoisan para pemilik modal, dan generasi yang lebih tua dari mereka
yang menjejalkan budaya asing lewat media?
> Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya mengatakan bahwa
untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan
partisipasi keikutsertaan para intelektual organik—kaum inteletual
yang harus menyadarkan masyarakat,terutama generasi muda, bukan kaum
inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya
asing tersebut. Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan
telapak tangan, jika kaum intelektual organik tersebut lemah modal.
Bagaimana mereka akan mampu membuat produk saingan untuk menggeser
tayangan-tayangan impor dari luar, agar lebih menarik para generasi
muda jika mereka tidak memiliki modal yang cukup kuat? Menurut
pengamatanku selama ini, kaum intelektual organik ini jumlahnya lebih
sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi penerus
dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak
bijaksana.
> Sebagai seorang ibu dari seorang anak perempuan yang telah menginjak
masa remaja, satu hal yang bisa kusarankan: hubungan harmonis dan
terbuka antara orang tua dan anak. Komunikasi yang terjalin dengan
baik akan memudahkan kita sebagai orang tua untuk `mengarahkan' anak
untuk tidak ikut terseret arus budaya yang tidak jelas juntrungannya,
tanpa membuat anak-anak itu merasa digurui. Beda satu generasi antara
kita dengan anak-anak kita sering membuat anak-anak itu berpikir bahwa
kita telah masuk ke generasi katro, sehingga tidak mampu mengimbangi
kemajuan cara berpikir anak-anak itu. Jangan sampai hal ini terjadi.
Kita harus selalu mengikuti dan mendampingi anak-anak dalam
menerima/mengalami hal-hal baru, kemudian kita perbincangkan dan
mencari solusi bersama. Tidak semua sistem nilai dan ideologi yang
diusung oleh program-program yang diimpor dari luar negeri—terutama
Amerika dan Eropa—negatif. Kita sebagai orang tua yang harus aktif
memilah dan memilih untuk anak-anak kita.
> Let us start from home.
> PT56 11.19 270807
>
>
> Minds are like parachutes, they only function when they are open.
> (Sir James Dewar)
> visit my blogs please, at the following sites
> http://afemaleguest.blog.co.uk
> http://afeministblog.blogspot.com
> http://afemaleguest.multiply.com
>
> THANK YOU
> Best regards,
> Nana
>
>
>
> ---------------------------------
> Need a vacation? Get great deals to amazing places on Yahoo! Travel.
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

Fitness Edge

A Yahoo! Group

about sharing fitness

and endurance goals.

Popular Y! Groups

Is your group one?

Check it out and

see.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar