Selasa, 28 Agustus 2007

Re: Balasan: [psikologi_transformatif] Menikah?

jadi menikah kalau menikah sama dengan menikmati berkah?
si A menikah = Si A menikmati berkah
si A meikah lagi = Si A menikmati berkah lagi
si A kepingin dapat banyak berkah = si A menikah banyak
ayo menikah banyak............!
ahahahahahah
tomy

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "Dodik B" <dodik@...>
wrote:
>
> Lulu…
>
> MENIKAH = Menikmati Berkah…!
>
> Nah, sapa yg gak seneng berkah?
>
> Jadi ya alasan itulah yg melatarbelakangi kenapa orang ingin
menikah!
>
>
>
> Heheheheeee…
>
>
>
> _____
>
> From: psikologi_transformatif@yahoogroups.com
> [mailto:psikologi_transformatif@yahoogroups.com] On Behalf Of lulu
> Sent: Tuesday, August 28, 2007 3:52 PM
> To: psikologi_transformatif@yahoogroups.com; ppiindia; syahputri_lu2
> syahputri; carierwomenfondation_lu2indo@...
> Subject: Balasan: [psikologi_transformatif] Menikah?
>
>
>
> ``Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang
tidak?``
>
> ====
>
> mungkin untuk jawaban yang ini, kita harus melihat kembali diri
kita, dengan
> kata lain balikin lagi ama yang bersangkutan, dengan tidak melihat
> gendernya, dan dengan seribu alasan yang mendasarinya kenapa
memilih satu
> diantara dua pertanyaan itu ..
>
>
>
> kalo melihat dari kacamata agama, mungkin `tuhan menciptakan
manusia secara
> berpasang2an` kita akan terpicu untuk melihat kalo standard dari
kebahagiaan
> itu adalah pernikahan, tapi benerkah demikian ???
>
> kita jawab dari kacamata kita sendiri sebagai manuasia yang telah
memilih
> satu diantara dua pertanyaan itu...
>
> orang pasar turi sih pernah bilang... percuma uang banyak, akan
selalu
> menjadi yang paling rugi dan nelongso kalo gak menikah, la wong
ayam aja
> masih terus bertelur...!!!
>
>
>
> salam
>
> /Lu2
>
>
>
>
>
> Nana P <fe36smg@...> wrote:
>
> http://serbaserbikehidupan.blogspot.com/2007/08/menikah.html
>
> Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang tidak?
(masih
> merunut ke artikel yang sama `Istri yang Ingin Independen')
> Jawabannya adalah kultur patriarki yang mengagungkan perkawinan
masih lebih
> terkenal dibandingkan kacamata memahami diri sendiri—misal
seseorang pun
> bisa menggapai kebahagiaan yang hakiki dengan hidup sendiri. Ayat
Alquran
> yang mengatakan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup ini secara
berpasangan
> diinterpretasikan secara `apa adanya' tanpa melihat konteks mengapa
ayat
> tersebut turun semakin mengukuhkan pandangan bahwa melalui
perkawinan lah
> seseorang akan mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia ini. Juga
> mengartikannya secara sempit, bahwa berpasangan berarti semua
manusia
> diciptakan memiliki pasangan di dunia ini. (Bukankah banyak orang
yang
> keburu meninggal sebelum menikah?)
> Dalam tulisan ini aku ingin menuliskan tentang dua temanku yang
lain, yang
> bisa dikategorikan `menikah dalam usia yang terlambat', sekitar
pertengahan
> tiga puluh. Sebelum menikah, aku yakin mereka pun
terprovokasi `anggapan'
> bahwa perkawinan akan membawa mereka ke satu kehidupan yang
paripurna.
> Keduanya mengenakan jilbab, yang biasanya berkonotasi bahwa mereka
memahami
> ajaran agama lebih mendalam dibandingkan mereka yang telanjang
kepala. :)
> Aku mulai dari seseorang yang kuberi nick Lia di sini. Dia pernah
memiliki
> seorang pacar, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Semenjak putus itu,
dia
> tidak pernah memiliki pacar lain, karena tetap berharap bahwa mantan
> pacarnya ini akan kembali kepadanya. Dulu dia kukenal sebagai
seseorang yang
> pro poligami. Mungkin dia benar-benar mencintai mantan pacarnya
yang telah
> menikahi perempuan lain itu (cinta sejati ataukah cinta buta?)
sehingga
> berkeyakinan bahwa dia tidak keberatan untuk menjadi istri kedua.
Sayang, si
> laki-laki ini benar-benar menghilang dari kehidupannya.
> Setelah berkawan akrab dengankulah kutengarai dia mulai berpikir
bahwa
> poligami merupakan salah satu kejahatan manusia tingkat tinggi.
FYI, ini
> bukan ideku, melainkan ide seorang kawan lain yang beragama Kristen
namun
> menikahi seorang laki-laki Muslim yang berdarah Arab. Mungkin juga
karena
> akhirnya Lia mulai bosan menunggu sang mantan pacar pujaan untuk
kembali
> kepadanya, untuk menjadikannya sebagai istri kedua.
> Aku mengenal Lia sebagai seorang perempuan yang (nampaknya)
menikmati
> kesendiriannya, sehingga tidak mudah terusik dengan pertanyaan-
pertanyaan
> jail orang sekitar, "Kapan kamu menikah?" ataupun gunjingan
orang, "Kasihan
> deh dia belum laku di usianya yang telah lebih 30 tahun." Namun
mungkin
> anggapanku ini salah tatkala satu hari aku mendengarnya berbicara
kepada
> seorang rekan kerja, "Eh, kenalin aja dia padaku." Tatkala rekan
kerjaku ini
> menawarkan seorang laki-laki yang sedang mencari calon istri.
> Singkat kata tak lama setelah rekan kerja ini memperkenalkan Lia
kepada
> laki-laki tersebut, dia berkata padaku bahwa mereka akan menikah.
GUBRAK.
> Apakah diam-diam ternyata Lia pun mengidap penyakit yang biasa
menghinggapi
> para lajang perempuan di sekitarku—tidak pede dengan
kesendiriannya, dan
> termakan omongan orang bahwa perkawinan akan membawanya ke gerbang
> kebahagiaan? Dia bilang setelah shalat istikharah dia serasa
mendapatkan
> petunjuk dari Allah bahwa laki-laki itu dikirim oleh Allah untuk
menjadi
> pendamping hidupnya.
> (FYI, aku tipe orang yang percaya bahwa `petunjuk' semacam itu
merupakan
> refleksi apa yang sebenarnya kita inginkan dari alam bawah sadar.
Dalam alam
> bawah sadarnya, Lia mungkin ingin segera menikah. Dan keinginan ini
muncul
> dalam mimpinya, ataupun menguasai kesadarannya yang kemudian dia
baca
> sebagai petunjuk dari Allah.)
> Setelah menikah, dan mendapati ternyata suaminya menderita
schizophrenia
> yang akut, pernah masuk ke rumah sakit jiwa selama beberapa waktu,
Lia
> merasa marah kepada keluarga suami yang menutup-nutupi keadaan itu.
Namun
> tatkala dia ingin menceraikan suaminya, keluarga suami
mengatakan, "Tolong
> jangan ceraikan dia saat ini, tunggu sampai dia sembuh." Setelah Lia
> berkonsultasi dengan dokter yang pernah merawat suaminya, dia
mengetahui
> bahwa kemungkinan sembuh itu sangatlah kecil.
> Sekarang Lia tinggal di sebuah kota yang terletak di Jawa Timur,
(dia pindah
> kesana bulan April 2006, setelah mendapatkan pekerjaan yang mapan
disana)
> sedangkan suaminya tetap tinggal di Semarang. Lia telah mengubur
impiannya
> bahwa perkawinan akan membawanya ke satu kehidupan yang penuh
kebahagiaan.
> Temanku yang kedua, sebut saja namanya Uni. Berbeda dengan Lia yang
(dulu)
> nampak pede dengan kelajangannya, Uni selalu nampak ingin segera
menikah.
> `Kacamata" patriarki bahwa perkawinan akan membawa seorang
perempuan ke
> gerbang kebahagiaan membuatnya benar-benar ingin segera dipinang
oleh sang
> pangeran. Itulah sebabnya tatkala ada seorang laki-laki yang
> melamarnya—meskipun berusia 9 tahun lebih muda, dan jenjang
pendidikan yang
> berada di bawahnya—Uni segera menerimanya. Dia telah benar-benar
gerah
> dengan pertanyaan usil orang-orang sekitar, "Kapan kamu menikah?"
Dengan
> menikah, dia berharap bahwa dia akan segera
mengakhiri `penderitaannya',
> tudingan sebagai seseorang yang tidak diinginkan.
> Apa yang dia katakan tak lama setelah dia menikah? "Aku tertipu.
Kata orang
> menikah itu enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak banget.
> Kenyataannya? Yang 90% itu adalah perjuangan dan harapan." Di saat
lain dia
> mengatakan, "Kata siapa pernikahan hanya membawa kebahagiaan?"
beberapa
> waktu lalu dia mengatakan, "Masih mending tidak menikah, paling
kita cuma
> merasa terganggu saja tatkala orang dengan usilnya menanyakan kapan
kita
> menikah. It was not a big deal. Setelah menikah? Uh ... banyak
sekali
> permasalahan yang timbul." Hal ini lebih diperburuk lagi dengan
ucapan
> misoginis adiknya yang laki-laki, "Udahlah mbak, diterima saja.
Udah untung
> ada yang mau menikahimu!" ucapan yang bisa dikategorikan KDRT,
kekerasan
> secara psikis, karena hal ini bisa menyebabkan hilangnya
kepercayaan diri
> seseorang.
> Tatkala Uni setengah menggugat ibunya yang dulu terus menerus
menyuruhnya
> segera menikah, ibunya mengatakan, "Masak dulu Ibu menyuruhmu
begitu?" dia
> tidak mau mengakuinya.
> Hal ini jelas terlihat bahwa Uni menikah karena dia masih
menggunakan
> `kacamata' publik yang patriarki bahwa `menikah itu harus dan
perlu'.
> Tatkala dia mulai mencoba menggunakan `kacamata'nya sendiri untuk
melihat
> dan memahami diri sendiri, dia pun menyesal. Namun tatkala aku
bercerita
> tentang kasus Lia kepadanya, Uni mengatakan, "Aku masih lebih
beruntung."
> Akan bertahan berapa lama lagikah kacamata yang dipakai oleh kultur
> patriarki untuk menilai sebuah perkawinan di Indonesia ini? Masih
sangat
> lama kukira. Di negara-negara Barat dimana kesadaran kaum perempuan
akan
> kesetaraan diri mereka dengan kaum laki-laki yang jauh lebih tinggi
dari
> Indonesia pun, masyarakatnya masih tetap mengidolakan perkawinan.
> PT56 17.20 260807
>
>
>
> Minds are like parachutes, they only function when they are open.
>
> (Sir James Dewar)
> visit my blogs please, at the following sites
> http://afemaleguest.blog.co.uk
> http://afeministblog.blogspot.com
> http://afemaleguest.multiply.com
>
> THANK YOU
> Best regards,
> Nana
>
>
> _____
>
>
> Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect. Join
>
<http://us.rd.yahoo.com/evt=48516/*http:/surveylink.yahoo.com/gmrs/yah
oo_pan
> el_invite.asp?a=7> Yahoo!'s user panel and lay it on us.
>
>
>
>
>
> _____
>
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di
Yahoo!
>
<http://sg.rd.yahoo.com/mail/id/footer/def/*http:/id.answers.yahoo.com
/>
> Answers
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Real Food Group

on Yahoo! Groups

What does real food

mean to you?

Shedding Pounds

on Yahoo! Groups

Read sucess stories

& share your own.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar