Senin, 03 September 2007

[psikologi_transformatif] Fwd: [WalhiNews] selamat tinggal, bandeng presto, selamat datang, bayi-bayi radio-aktif

Mohon maaf untuk yang satu ini.

salam
andreas

--- anto sangadji <antosangadji@yahoo.com> wrote:

Dialog & Mubahatsah 'Alim Ulama se-Jawa Tengah
mengenai PLTN Muria menurut perspektif Fiqih,
diselenggarakan PCNU Jepara-Kudus dalam rangka Harlah
NU Ke-81 di Jepara, hari Sabtu, 1 September 2007.

SELAMAT TINGGAL, BANDENG PRESTO,
SELAMAT DATANG, BAYI-BAYI RADIO-AKTIF!
Dampak rutin dan akumulatif akibat pengoperasian PLTN
di Semenanjung Muria yang nyaris terlupakan

George Junus Aditjondro[1]

SYUKUR ALHAMDULLILAH, saya ucapkan atas undangan PC NU
Jepara, untuk ikut meramaikan acara Dialog dan
Mubahatsah Alim Ulama se Jawa Tengah di Jepara. Dengan
demikian, saya bisa bersilaturahmi dengan para
Nahdliyin se Jawa Tengah, khususnya dari kawasan
Jepara, Kudus, Pati dan Rembang, lengkapnya dari
seluruh Semenanjung Muria, yang mendapat kehormatan
dari para penguasa di Jakarta untuk menjadi tapak PLTN
pertama yang mau dibangun oleh orang-orang pintar dari
Jakarta.

Saya bersyukur, karena dengan demikian dapat kembali
memperkuat gerakan anti-PLTN yang dicetuskan oleh
WALHI di tahun 1980, 27 tahun lalu. Saya bersyukur,
karena dengan menghadiri acara di pantai barat
Semenanjung Muria ini, saya dapat menggenapi pelebaran
sayap gerakan ini di Muria, yang saya mulai bersama
kawan saya, M. Nasihin Hasan, sekarang Ketua Lakpesdam
NU Nasional, yang waktu itu selain menjadi Direktur
LP3M, juga menjadi Ketua Presidium WALHI, di mana saya
menjadi Wakilnya. Kami berdua memulai gerakan
penyadaran masyarakat di kampung orangtua Mas Nasihin
Hasan di Rembang, di pantai timur Semenanjung Muria.

Mari kita kembali ke orang-orang pintar dari Jakarta,
yang mau membangun PLTN ini. Mereka memang pintar,
karena tahu seluk beluk membangkitkan tenaga listrik
dari turbin yang digerakkan oleh uap dari air yang
direbus oleh panas yang timbul akibat terurainya
proton dan elektron dari atom-atom uranium di isotop
sekecil isi potlot di reaktor nuklir. Sayangnya,
orang-orang pintar ini tidak memikirkan akibat
perbuatan mereka, khususnya dampak rutin dan dampak
akumulatif yang harus ditanggung oleh penduduk di
sekitar Semenanjung Muria (lihat Aditjondro 2003).
Karena dalam forum ini akan ada sepuluh orang
pembicara yang pintar-pintar, termasuk Menteri Negara
Riset dan Teknologi, yang menjadi pembicara kunci,
maka sebagai pembicara yang nyaris juru kunci, saya
akan fokuskan pada salah satu dampak rutin dan salah
satu dampak akumulatif pembangunan dan pengoperasian
PLTN ini.

Saya memberanikan diri untuk bicara di forum alim
ulama yang terhormat ini, bukan karena saya orang
pintar di bidang nuklir, tapi juga bukan orang yang
kemintar. Saya cuma mau bicara di sini, sebagai orang
yang pernah meninjau dampak pembangunan PLTN di
Semenanjung Bataan, Filipina, dan di Teluk Veracruz di
Mexico. Kita perlu belajar dari pengalaman tragis
bangsa Filipina, yang harus membayar hutang pembelian
reaktor nuklir sebanyak 2,3 milyar dollar kepada
maskapai Westinghouse di AS, walaupun tidak sampai
menghasilkan satu Watt listrik buat rakyat Filipina,
setelah pemerintah Corazon Aquino, menghentikan
pembangunan reaktor nuklir itu, yang dibeli oleh
Ferdinand Marcos, untuk keuntungan kroninya, Hermano
Disini (Eurodad 2007).

DAMPAK RUTIN: POLUSI AIR PANAS.
TENTU saja, yang pertama kali dan seterusnya paling
menderita dampak pembangunan sebuah reaktor nuklir,
adalah para nelayan di sekeliling Semenanjung Muria.
Sebab pada saat tapak nuklir seluas belasan, mungkin
puluhan hektar, diratakan untuk pembangunan reaktor
nuklir, menara pendinginnya, dan semua bangunan
pelengkapnya, termasuk gardu listriknya, ke mana
larinya tanah hasil perataan perbukitan di Desa
Balong? Tentu saja ke laut, sebab laut, bagi banyak
orang, memang keranjang sampah terbesar ciptaan Tuhan
buat orang-orang malas yang tidak menghargai
kebersihan. Nah, lumpur ribuan ton itu akan
menghancurkan karang-karang di tepi pantai, tempat
bersembunyi ikan-ikan yang juga harus bobo di malam
hari.

Ikan-ikan yang selamat dari perataan tanah buat
kompleks PLTN itu, menghadapi ancaman berikutnya:
polusi air panas. Setiap pembangkit listrik yang
menggunakan tenaga uap untuk menggerakkan turbin yang
satu sumbu dengan generator listrik, selalu memerlukan
menara pendingin uap panas itu. Kalau tidak,
pembangkit tenaga listrik itu bisa meledak saking
panasnya. Untuk itu, selain melalui menara pendingin,
yang prinsip kerjanya sama seperti reaktor dalam
mobil, uap yang telah berubah bentuk menjadi air panas
perlu dikembalikan ke alam. Makanya, PLTU dan PLTN,
selalu dibangun dekat sungai atau di tepi laut, supaya
berjuta-juta liter air panas itu bisa dibuang ke
sungai atau laut. Dari situlah timbul apa yang disebut
polusi air panas (Aditjondro 2003: 221-223).

Nah, air panas yang merupakan produk sampingan PLTU
dan PLTN, yang terlalu banyak untuk mendirikan
pemandian air panas di Balong, terlalu banyak juga
buat nener-nener di perairan sekeliling Semenanjung
Muria, yang dicari oleh petani tambak di sekeliling
Muria untuk menghasilkan ikan bandengnya. Bandeng yang
selanjutnya dilego ke Juana untuk dijadikan bandeng
presto.

Makanya, yang secara rutin akan menderita kerugian
ekonomis dari pengoperasian PLTN Muria adalah para
nelayan pengumpul nener bandeng, para petani tambak,
para produsen bandeng presto, dan akhirnya, toko-toko
bandeng presto di sepanjang Jalan Pandanaran, di kota
Semarang. Itulah sebabnya, mengapa saya katakan:
Selamat Tinggal, Bandeng Presto! di judul makalah
saya.

DAMPAK AKUMULATIF: BAYI-BAYI RADIO-AKTIF.
WAKTU reaktor nuklir di Chernobyl, waktu itu masih
termasuk Uni Soviet, meledak, karena macetnya sistem
pendinginan reaktor itu, bukan cuma orang di Uni
Soviet yang terkena dampak radio-aktifnya, tapi juga
orang-orang di Jerman (saya lupa, Timur atau Barat).
Soalnya, debu radio-aktif yang dibawa angin di udara,
akhirnya jatuh ke rumput-rumput hijau di Jerman.
Rumput hijau dimakan oleh sapi perah, dan susu sapi
itu diminum oleh manusia. Bagaimana akibatnya kalau
manusia terlalu banyak minum susu yang radio-aktif,
tanya saja pada pak Iwan Kurniawan dan pak Budi
Widianarko, ahli fisika nuklir dan biologi lingkungan
yang satu panel dengan saya.

Semenanjung Muria, sependek pengetahuan saya, tidak
terkenal sebagai daerah sapi perah. Itu harus ke
Boyolali, dekat Salatiga, di mana saya sering minum
susu sapi segar sebelum saya terpaksa hijrah ke
Australia. Tapi radio-aktifitas dari PLTN Muria, bisa
juga mempengaruhi kesehatan penduduk di sini, walaupun
tidak melalui susu sapi. Sebab bayi-bayi di sini,
masih banyak yang minum air susu ibu (ASI), kan?
Walaupun kadang-kadang harus berebutan dengan
bapaknya.

Nah, kalau tanaman dan hewan di sekeliling PLTN Muria
tercemar radio-aktivitas, maka secara akumulatif,
lewat susu ibu, bayi-bayi di Semenanjung Muria akan
mendapatkan dosis radio-aktivitas yang melewati ambang
batas. Boleh jadi, bayi dan balita di Semenanjung
Muria akan menjadi semakin hiper-aktif, sebab coklat
saja sudah dapat membuat bayi dan balita hiper-aktif,
apalagi radio-aktivitas bocoran dari reaktor nuklir.
Mudah-mudahan saja, BATAN akan menciptakan lapangan
kerja khusus bagi bayi-bayi radio-aktif dari Muria,
sebagai perwujudan dari tanggungjawab sosial mereka.

TITIKRAMA ORDE BARU
MENYADARI hal-hal di atas ini, serta berbagai
pertimbangan lain yang sudah diungkapkan oleh
pembicara-pembicara lain sebelum dan sesudah saya,
dapatlah kita fahami penolakan masyarakat Semenanjung
Muria, khususnya lagi di Desa Balong, Kecamatan
Kembang, Kabupaten Jepara, terhadap pembangunan PLTN
ini. Makanya, mengherankan sikap Polres Jepara, yang
memanggil Setyawan Sumedi, Koordinator Persatuan
Masyarakat Balong (PMB), pasca demo besar-besaran
menolak rencana PLTN Muria di desa itu (Suara Merdeka,
7 Agustus 2007).

Semestinya BATAN lah, atau Menteri Ristek sekalian,
yang dipanggil ke Mabes Polri, untuk menjelaskan
mengapa pemerintah tetap mau ngotot membangun PLTN
itu, gagasan peninggalan Menteri Ristek BJ Habibie
yang kini dihidup-hidupkan kembali. Ataukah ini
menunjukkan, bahwa rezim Orde Baru tidak pernah mati,
tapi hanya bermetamorfosa, bertitikrama, menjadi rezim
baru yang tetap mau mewujudkan impian-impian lama?

Titikrama Orde Baru ini dapat dilihat dari siapa yang
sudah menyatakan minat untuk membangun PLTN Muria ini,
kapan pernyataan itu dibuat, dan pada kesempatan apa.
Maskapai penghasil migas swasta terbesar di Indonesia,
Medco, telah menyatakan minatnya untuk membangun PLTN
Muria. Saat kunjungan tiga hari Presiden SBY ke Seoul,
Korea Selatan, akhir Juli lalu, Medco Energi
Internasional dan Korea Hydro and Nuclear Power Co Ltd
menandatangani perjanjian awal untuk pembangunan
reaktor tenaga nuklir, dengan kontrak senilai 8,5
milyar dollar AS (sekitar Rp 78,5 trilyun). Kontrak
itu ditandatangani di hadapan Menteri ESDM, Purnomo
Yusgiantoro di Seoul, hari Rabu, 25 Juli lalu.
Seolah-olah sudah diangkat menjadi jurubicara Medco,
Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa batas waktu
pembangunannya sudah ditetapkan pada tahun 2016, dan
reaktornya dijadualkan akan mulai beroperasi pada
tahun 2017 (Suara Merdeka, 26 Juli 2007).

Model-model menandatangani kontrak dengan perusahaan
asing, di saat-saat mendampingi Kepala Negara dalam
muhibahnya ke luar negeri, memang merupakan salah satu
modus operandi bisnis yang dekat dengan kalangan
Istana. Memang, Medco dibangun oleh Arifin Panigoro di
masa-masa jaya Soeharto, antara lain dengan merangkul
besan Soeharto, Eddi Kowara Atmawinata, mertua Siti
Hardiyanti Rukmana alias Tutut (Aditjondro 2006: 26,
288, 364-5, 405, 411-2, 443-4, 451).

Pasca Soeharto, Arifin mula-mula mendekat ke Amien
Rais, lalu setelah kelihatan bahwa kans Amien Rais
untuk menjadi Presiden pengganti Habibie sangat kecil,
ia mendekat ke Megawati Soekarnoputri dengan masuk ke
PDI-P, dan perhitungannya kali ini tepat. Setelah
popularitas Megawati merosot, ia keluar dari PDI-P,
dan bersama Laksamana Sukardi, mendirikan partai baru.
Boleh jadi, ia sekarang sedang mendekat ke SBY, sambil
melihat-lihat, apakah SBY akan berhasil merebut masa
jabatan kepresidenan yang kedua, atau tidak.

Medco Energi Internasional yang sudah teken kontrak
dengan maskapai Korea di atas untuk membangun PLTN di
Muria, memang sedang melakukan diversifikasi dari
pertambangan migas, ke proyek-proyek energi yang lain.
Di Batam, Medco memiliki dua perusahaan pembangkit
tenaga listrik, yakni PT Mitra Energi Batam yang
mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)
Panaran I Batam yang sejak 2004 membangkitkan 2 x
27,75 MW, dengan nilai investasi US$ 30 juta; dan PT
Dalle Energy Batam yang membangun PLTG Panaran II
Batam dengan kapasitas 2 x 27,75 MW pula (Warta
Ekonomi, 20 Agustus 2007: 31).

Itu belum semua. Medco juga pemilik 5% saham PT Energy
Sengkang yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga
gas dan uap (PLTGU) Sengkang di Sulawesi Selatan yang
berkapasitas 135 MW. Baru-baru ini, Medco telah
ditunjuk untuk mengoperasikan dan memelihara PLTU
Tanjung Jati B dengan kapasitas 2 x 660 MW. Kemudian,
bersama Ormat International Inc. dari AS dan Itochu
Corp. dari Jepang, Medco juga telah menyatakan
minatnya untuk membangun Pembangkit Tenaga Listrik
Panasbumi di Sarulla, Sumatera Utara, dengan kapasitas
330 MW (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007, hal. 31-32).

Makanya, dari sudut logika bisnis, PT Medco Energi
Internasional Tbk yang telah menjual 19,97 % sahamnya
kepada Mitsubishi Corporation dari Jepang (Kompas, 27
Agustus 2007), masuk akallah bahwa perusahaan yang
dipimpin oleh Hilmi Panigoro, adik kandung Arifin
Panigoro, kini berusaha masuk ke pembangkitan listrik
tenaga nuklir. Iming-imingnya kepada calon
konsumennya, adalah bahwa harga listriknya bisa US$ 3
sen per kWh, lebih rendah dari pada harga listrik yang
dihasilkan oleh PLTU atau PLTGU. Namun diakui oleh
Hilmi Panigoro, bahwa "mendapat dukungan dari
masyarakat adalah tantangan utama yang harus kita
hadapi" (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007: 32).

TOLAK PLTN!!!
DARI uraian di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa
rencana pembangunan PLTN, bukanlah karena krisis
tenaga listrik yang sering didengung-dengungka n,
sebab dengan berbagai pembangkit yang ada – terutama
PLTA, PLTU, dan PLTGU – kebutuhan listrik untuk
industri dan rumah tangga di Jawa sudah dapat
terpenuhi. PLTU dan PLTGU, juga tidak akan menambah
ketergantungan kita pada bahan baku dari luar negeri,
sebab batubara dan gas kita berlimpah. Sedangkan untuk
keperluan PLTN, kita harus mengimpor uranium dari
Australia, untuk dijadikan isotop yang 'dibakar' di
dalam reaktor PLTN, yang menimbulkan permasalahan baru
lagi, yakni pengamanan limbah nuklirnya.

Jadi sebenarnya, pembangunan PLTN lebih merupakan
ambisi kaum pengusaha yang dekat ke Istana, atau
mendekat ke Istana, dengan menawarkan iming-iming
dukungan buat Pemilu dan Pilpres 2009. Sementara
dampaknya, begitu banyak, dan sangat sulit
dikendalikan. Karena itu, mengutip kata penyair Wijih
Tukul, menghadapi rencana pembangunan PLTN di
Semenanjung Muria ini: Lawan!

Yogyakarta, 31 September 2007.

Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (2003). Korban-korban
pembangunan: Tilikan terhadap beberapa kasus perusakan
lingkungan di tanah air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bagian II: Dilema Seputar Pembangunan PLTN, hal. 105
s/d 272.
------------ --- (2006). Korupsi kepresidenan:
Reproduksi oligarki berkaki tiga: Istana, tangsi, dan
partai penguasa. Yogyakarta: LkiS.
Eurodad (2007). Skeletons in the cupboard:
Illegitimate debt claims of the G7. Brusssels:
Eurodad.

__________________________________________________________
Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today! http://surveylink.yahoo.com/gmrs/yahoo_panel_invite.asp?a=7

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Endurance Zone

on Yahoo! Groups

Groups about

better endurance.

Fashion Groups

on Yahoo! Groups

A great place to

connect and share.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar