Rabu, 12 September 2007

[psikologi_transformatif] Re: Update: Harian Republika telah menyinggung perasaan umat Hindu

Hanya untuk refleksi kita masing-masing...

To read in the name of God

by Ahmad Syubbanuddin Alwy
14 September 2007

Metang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru
(Malaikat, Saeful Badar)

Translation:
Because they have the power of wings
Angels are difficult and exacting
They pretend to be good creatures
But are also fierce and annoying
They blow revelation and death
To every corner
(Malaikat, Saeful Badar)

Cirebon, West Java — Recently, a controversy arose over a poem by
Saeful Badar entitled "Malaikat" (Angel), published on 4 August in
"Khazanah", a supplement of the West Javan newspaper, Pikiran Rakyat.
A Muslim group, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Indonesian Islamic
Proselytizing Council, or DDII), who considered the poem an "insult to
the Islamic doctrine", sent a letter of protest to the newspaper. In
response, the paper's management announced that the poem "Malaikat"
never really existed. Meanwhile, Saeful Badar received threats and the
editor of the culture page, Rahim Asyik Fajar Awanto, was fired from
his position, although he still works for the company.

In a letter threatening the author, the DDII suggested that the poem
ventured far from literature's accepted aesthetical values, and did
not contain the ethics of religious worship, particularly Islam.
Angels are one of God's many creatures but they have a unique
characteristic: they are invisible spiritual creatures, created from
light (nur). They are always obedient and loyal and spend days and
nights devoted entirely to God. They have no will of their own, cannot
sin and do only what God tells them to do.

These critics also said that humiliating or being disrespectful toward
angels is the same as rejecting part of one's faith since belief in
angels is one of the six articles of Islamic faith, next to belief in
God, His prophets, His holy books, qodlo-qodar (predestination), and
the Day of Judgement. For this group, angels are not to be taken
lightly or mocked, not even in the name of freedom of expression.

Obviously, interpretation depends on the reader. In the poem there is
not a single word that refers specifically to how an angel is
understood in Islam. The poem only presents the word "angel"
generically, and, like other terms, this word can have contradictory
or paradoxical definitions.

In a discussion concerning this particular interpretation, author
Saeful Badar said that the word "angel" is a symbol of unlimited
power, which can have a negative connotation. And so one can consider
the question, do angels have the capacity to abuse power?

In fact, Islamic tradition acknowledges the existence of Zabaniyah
angels, which are defined by mufasir (commentators) and ulama (Islamic
scholars) as angels whose duties are to torture and act as the
guardians of hell. Zabaniyah angels are supposed to be cruel and mean.
According to certain mufasir and ulama, their heads are in the sky and
their legs on earth. They drag unbelievers and insurgents into hell
cruelly.

The debate over the nature of angels will not be resolved here.
However, a poem is universally considered a wide open savannah of
meaning, and nobody, including the poet him or herself, may claim his
or her interpretation to be more valid than any other. In which case,
what right does anyone have to annihilate a poem, to erase it from its
own place in history?

Even if we agree that Saeful Badar has done something which could
either directly or indirectly be considered an abuse and/or offense
against Islam and Muslims, those who disagree should abide by the
Qur'an in their response: "Invite (all) to the Way of thy Lord with
wisdom and beautiful preaching; and argue with them in ways that are
best and most gracious: for thy Lord knows best, who have strayed from
His Path, and who receive guidance" (Qur'an 16:125).

Islam is rahmatan lil 'alamin (mercy for all). It aims to foster peace
and justice. A Muslim should therefore put spiritual growth and
transformation before destruction, and fairness before hate, for in
the Qur'an it is written, "Let not the hatred of others towards you
make you swerve to wrong and depart from justice. Be just: that is
next to piety" (Qur'an 5:8).

The muzzling of Saeful Badar as a reaction to "Malaikat" has
demonstrated the need for Muslims today to rid themselves of fear, and
instead foster the desire to question, investigate, and
enthusiastically debate various views, perspectives and religious
interpretations, graciously and with an analytical spirit.

###

* Ahmad Syubbanuddin Alwy is a poet, essayist, co-founder of Koalisi
Sastrawan Santri, and a researcher for Center for Social Studies and
Culture (CSSC) in Indonesia. This article is distributed by the Common
Ground News Service (CGNews) and can be accessed at
www.commongroundnews.org.

Source: Common Ground News Service (CGNews), 11 September 2007,
www.commongroundnews.org.
Copyright permission has been obtained for publication.

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, radityo djadjoeri
<radityo_dj@...> wrote:
>
> Harian Republika telah menyinggung perasaan umat Hindu
>
>
> Pada Selasa pagi (11/9) saya terima email dari Bli I Gusti Purwaka
yang tak saya kenal sebelumnya. Dari namanya, jelas dia orang Bali,
dan pemeluk agama Hindu. Mungkin ia tahu emailku karena kebetulan saya
memoderasi beberapa milis.
>
> Isinya sebagai berikut:
>
> Bung Moderator,
>
> Semoga anda sudi memuat tulisan keluhan hati minoritas ini.
>
> Shanti,
>
> I.G. Purwaka
> --
>
> igpurwaka@...
>
>
> ----------------------------------------
>
> Lalu lampirannya saya buka. Saya pikir berbentuk sebuah tulisan
opini. Ternyata sebuah puisi karya Saut Situmorang. Berikut isi
lampirannya:
>
> Harian Republika yang Islami itu dalam edisi 26 Agustus 2007 lalu
memuat sajak seperti ini:
>
> para pelacur pun
> masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
> alkohol aku biarkan kata kata
> menjebakku dalam birahi
> rima metafora. kemulusan kulit
> kupu kupumu dan garis payudaramu
> yang remaja membuatku cemburu
> pada para dewa yang, bisikmu,
> menggilirmu di altar pura mereka.
>
> Sajak itu karya seorang penyair yang bernama Saut Situmorang. Kalau
saya baca kalimat -kalimatnya yang klise dan bombastis, penyairnya
kelihatannya masih baru belajar menulis. Akan tetapi untuk penyair
yang baru belajar sekalipun seyogyanya tidak pantas memakai kata-kata
yang meletakkan seksualitas sebagai ukuran sastra.
>
> Sangat saya sayangkan Republika yang Islami itu telah kecolongan
diisi oleh seorang penyair yang jorok pikirannya. Apalagi di dalam
sajak tersebut saya dapatkan kata-kata yang sangat menyinggung
perasaan orang Hindu Bali, misalnya disebut "para dewa" yang
"menggilir" perempuan di altar "pura" mereka.
>
> Harap kita waspada terhadap langkah-langkah seperti ini.
>
> Merdeka,
>
> I.G. Purwaka
>
>
> Catatan:
>
> Apabila Anda ingin berkomentar, silakan kirimkan email kepada Saut
Situmorang: sautsitumorang@...
>
> Dengan c/c kepada: sekretariat@...
>
> _______________________________________
>
> From: Ketut
> E-mail: ketut@...
>
> OM Svastyastu,
>
> http://www.republika.co.id/Koran_detail.asp?id=304553&kat_id=364
>
>
> Saut Situmorang menulis sajak :
>
> lalu laut menyapa
> dengan pasir pantai dan cemburu
> matahari pagi. tak ada suara
> burung laut, para pelacur pun
> masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
> alkohol aku biarkan kata kata
> menjebakku dalam birahi
> rima metafora. kemulusan kulit
> kupu kupumu dan garis payudaramu
> yang remaja membuatku cemburu
> pada para dewa yang, bisikmu,
> menggilirmu di altar pura mereka.
>
> Koran yang Islami itu, memuat syair puisi yang mungkin karena
mutunya terlalu tinggi, sehingga saya tak bisa menangkap makna apapun
selain pelecehan, dari sebuah intelek yang lekat tak jauh dari wilayah
selangkangan. ..
>
> _______________________________________
>
> TANGGAPAN
>
> From: Bujang Kelana
> E-mail: bujangkelanatua@...
>
>
> Untuk seorang penulis pemula, bumbu-bumbu seks memang mujarab untuk
mendongkrak popularitasnya. Mutu mungkin tak teraih darinya, tapi
rumus semacam ini sering diresepkan. Hanya memang disayangkan jika
redaktur koran/majalah juga kurang luas wawasannya maka loloslah
sampah sampah demikian di halamannya.
>
> Salam ......
>
> Bujang Kelana
>
> _______________________________________
>
> From: Ahmad Su'ad, Jakarta
> E-mail: ahmadsuad@...
>
> Sebagai pembaca setia harian Republika saya amat sedih dengan
termuatnya sajak porno yang murahan seperti itu. Apalagi dimuat
menjelang Bulan Ramadhan yang bisa mengganggu ketenangan umat.
Ditambah lagi, sajak tersebut mengganggu perasaan pemeluk agama lain.
Semoga redaksi pengasuh rubrik tersebut cepat insyaf dan meminta maaf
secara terbuka kepada para pembacanya. Ingat, Republika adalah bacaan
umat bukan koran murahan.
>
> Wassalam,
>
> Ahmad Suad
> _______________________________________
>
> From: Satrya Wibawa
> E-mail: ketutsatrya@...
>
> Kira-kira, apakah Republika akan memuat ini kalau kata-kata "pura"
diganti "mesjid"?
> Kemudian "dewa" diganti "malaikat" atau "nabi"?
>
> _______________________________________
>
> From: Halim HD, Solo (Jateng)
> E-mail: halimhade@...
>
>
> Saut, jangan tergoda dengan adu domba gaya spion Melayu yang pake
segala cem-macem cara. Kasihan juga tuh 'minoritas' yang merasa
'dewa'-nya dituding oleh Saut. Tapi, yang paling kasihan adalah
'warga-minoritas' yang bisanya cuma terkaing-kaing
> mengadu. Padahal 'dewa'-nya sendiri masa bodoh. Kenapa pula dia tak
murka dengan penjualan 'patung-patung dewa' di negaranya, di Bali,
yang kayak rombengan dan hanya sekedar untuk devisa.
>
> hhd.
>
> _______________________________________
>
> From: Doel CP Allisah, Banda Aceh
> E-mail: aliansisastrawan_aceh@...
>
>
> Saudara Halim,
>
> Kami sangat prihatin persoalan keyakinan menjadi suatu bahasa
olok-olok, dan sangat tidak pantas kita bicara seperti itu. Kepada
saudara-saudara di Bali khususnya, semoga tidak terpancing dengan
suara-suara "asbun" tersebut!
>
> Salam dari Aceh
>
> Doel CP Allisah
> [kord-ASA]
>
> _______________________________________
>
> From: Halim HD, Solo (Jateng)
> E-mail: halimhade@...
>
>
> Silakan ajukan ke pengadilan jika memang saya menghina. Kenapa pula
berbagai jenis patung dewa Bali dijual-perbelikan di art shop? Apa
Anda buta? Atau Anda hanya ingin memanipulasi lantaran Anda tak mampu
menghadapi saut situmorang yang seorang?
>
> Apa Anda mau bikin forum publik secara langsung? Kapan saja, saya
bersedia, bahkan di
> Denpasar sekalipun.
>
>
> hhd.
> _______________________________________
>
> From: Wayan Sunarta
> E-mail: bukitvenus@...
>
> Puisi Saut adalah parodi
>
> Salam,
>
> Masih saja ada orang-orang picik yang membela tuhannya dengan
mengatasnamakan massa agama. Kalian, wahai orang-orang picik, ngerti
puisi gak sih?
>
> Puisi Saut itu yang kalian permasalahkan merupakan sebuah puisi
plesetan atau parodi dari sebuah puisi berjudul "Aku Pelacur Para
Dewa" karya Pranita Dewi (Ni Wayan Eka Pranita Dewi), seorang penyair
Bali yang beragama Hindu asli dan cucu seorang pemangku di sebuah pura
di desanya. Penyair itu telah menerbitkan buku puisinya berjudul
"Pelacur Para Dewa", silakan borong di toko-toko buku langganan
kalian, kalo kalian memang suka dan mau baca puisi dengan benar!! Dan
silakan simak puisi-puisinya yang lebih gila dan sadis ketimbang sajak
Saut yang kalian tuding menghina agama Hindu-Bali itu!!!
>
> Coba, bagian mananya sajak Saut menghina Hindu?? Apa karena ada kata
"pura"? Atau kata "dewa"?? Kalian sama saja dengan kaum fundamentalis
picik!!!
>
> Memang di dunia ini ada saja oknum-oknum yang terjebak dalam pikiran
picik fundamentalisme-agama.
>
> Saya orang asli Bali dan merasa malu dengan tudingan-tudingan kalian
pada karya sastra (puisi)!!!
>
> Salam,
>
> Wayan Sunarta
>
>
> _______________________________________
>
> Posted by: Hendi 004
> E-mail: hendi0042000@...
>
> Wah....wah....wah.... kok di Indonesia ini masih juga ada orang yang
seperti HALIM HD ya? Kenapa gak mau menyadari dan introspeksi bahwa
apa yang dikatakannya penuh muatan yang sifatnya mendiskreditkan kaum
minoritas.............
>
> Tolong bung, Anda berpikir bahwa di Indonesia ini ada 5 agama dan
juga ada beberapa aliran. Tolong ya hargai mereka, jangan kayak
pikiran picikmu.... yang mengatakan diadu domba itu. OK?
>
> Belajarlah berpikir rasional saja, dan hargai orang lain.
> _______________________________________
>
> Posted by: Adi Djoko
> E-mail: masadidjoko@...
>
> Untuk Bung Halim HD, kehendak menjadi populer boleh saja, asal tidak
saling menyinggung perasaan orang dan kelompok lain
>
> _______________________________________
>
>
> From: I Gede Junidwaja
> E-mail: igjuni@...
>
> OM Svastyastu,
>
> Saya bisa melihatnya dari 2 sisi:
> 1. Bahasa Sanskerta atau Budaya Hindu adalah bahasa terbaik untuk
ekspresi seni. Sampai hari ini sulit dibantah, silakan hitung dengan
word counter jumlah kosa kata terpakai dalam karya sastra.
>
> 2. Sisi negatif: ternyata ada saja pihak luar yang sibuk mencari
cara-cara mendiskreditkan Hindu. Bagi saya pribadi Hindu tidak
memerlukan demo dan pembelaan jalanan, dia lebih memerlukan bukti dan
karya nyata bagi penganutnya sendiri dan juga
> kemanusiaan.
>
> _______________________________________
>
> From: Ketut
> E-mail: ketut@...
>
> OM Svastyastu,
>
> Pak De Juni, saya setuju kita tidak perlu demo atau pembelaan
jalanan, apalagi bakar-bakar segala :).
>
> Bekerja, menyumbangkan potensi terbaik bagi dunia dan kemanusiaan,
adalah hal mulia dan sangat penting. Tetapi diam membisu ketika
tetangga mengatakan dewa yang kita puja bercumbu dengan pelacur di
altar pura, yang notabene tempat suci kita, juga
> rasanya terlau pasif. Lalu kapan kita akan mulai mengatakan
"tidak?". Apakah menunggu telinga kita bengkak, atau menunggu mereka
membawa berkarung-karung batu untuk menghancurkan pura kita?
>
> santih,
> _______________________________________
>
> From: Satrya Wibawa
> E-mail: ketutsatrya@...
>
> Dan kenapa menyuarakan itu menjadi penting? Barangkali itu refleksi
kelelahan untuk berdiam atau berdiri di balik kata toleransi. Boleh
dong sesekali bersuara. Maaf. Cukup panjang. Sekadar keluh kesah.
>
> satrya
> _______________________________________
>
> From: Ging Ginanjar
> E-mail: ging.ginanjar@...
>
> Saya mengerti kalau sejumlah orang Hindu merasa tersinggung.
Lebih-lebih sajak itu ditulis bukan oleh orang Hindu sendiri.
>
> Tidak sedikit memang penyair yang membutuhkan "setrum" puitisnya
dari nada "keras" dan "radikal". Sebagaimana sajak Saut ini berkaitan
kepercayaan Hindu. Atau sajak "Malaikat" karya Syaiful Badri yang
sebetulnya lincah, jenaka dan jahil (Syaiful Bahri sendiri adalah
seorang Muslim sangat salih, jadi ia bukan "orang luar")
>
> Namun saya menjunjung hak kebebasan penyair. Kendati itu
menyakitkan. Yang harus ditolak adalah jika misalnya saja penyair itu
menyerukan hasutan kekerasan. Saya juga menyesalkan kalau misalnya ada
Dewan Dakwah Hindu Dharma --misalnya, lho-- menuntut Republika dan
penyairnya untuk minta maaf.
>
> Biar sajalah. Hindu tak akan hancur oleh sebuah sajak Saut
Situmorang. Para Dewa tak akan tercoreng martabatnya. Sebagaimana
sebetulnya Islam tak akan tercoreng oleh sajak Malaikat dari Syaiful
Bahri (sekali lagi: umatnya sendiri) atau Salman Rushdie
> atau siapapun.
>
> Saya mengerti kejengkelan Anda, Syatria, dan kaum Hindu. Namun
santai sajalah. Santai.
>
> _______________________________________
>
> Posted by: Satrya Wibawa
> E-mail: ketutsatrya@...
>
> Mas Ging,
>
> Ukuran ketersinggungan akan mejadi relatif. Saya pribadi tidak
merasa tersinggung. Beberapa kawan lain juga mungkin berpendapat sama.
>
> Tapi, persoalannya bagi saya, sama seperti isi email saya
sebelumnya, apakah Republika akan memuat puisi yang sama jika
kata-katanya diganti "mesjid", "nabi",
> atau "malaikat"?
>
> Tat twam asi. Aku adalah kamu. Kamu melukai orang lain sama artinya
dengan kamu melukai dirimu sendiri. Hormati dan hargai orang lain jika
ingin dihormati dan
> dihargai orang lain. Sesimpel itu. Tapi mungkin Republika punya
pemikiran dan konsep lain. Yah, mungkin Republika memang pantas
dihargai seperti halnya cara mereka menghargai orang lain.
>
> Kawan-kawan Hindu yang saya tahu memang terbelah dua, tersinggung
dan tidak. Tapi merujuk pada satu pemahaman, ketersinggungan itu
disuarakan. Apalagi yang memuatnya adalah media Islam.
>
> Caranya bagaimana? cukup dengan surat pembaca. Saya kutipkan isi
surat pembaca yang dikirim salah satu kawan ke Republika, entah dimuat
apa tidak: Saya juga akan mengirim surat yang bernada sama.
>
> Mencermati puisi BANTUL MON AMOUR yang dimuat Harian Republika
Minggu, 26 Agustus 2007, khususnya bagian "para pelacur pun masih di
kamarnya bergelut. dalam kabut alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi rima metafora. kemulusan
> kulit kupu kupumu dan garis payudaramu yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu, menggilirmu di altar pura mereka", saya
menyatakan protes dan keberatan atas dimuatnya puisi tersebut.
>
> Sebagai Umat Hindu saya menghargai karya-karya seni yang disampaikan
dalam bahasa kesopanan dan kearifan, dan bahkan mengakui bahwa karya
seni adalah salah
> satu barometer budaya manusia. Namun, membaca puisi tersebut yang
secara jelas tersirat mengatakan "para dewa menggilir pelacur di altar
pura" adalah sebuah penghinaan yang teramat dalam terhadap keyakinan
saya. Apakah puisi ini sesuai dengan
> standar kualitas, moral, etika, dan standar nilai yang dianut oleh
Republika sehingga dapat dimuat dalam salah satu halamannya?
>
> Apakah menurut Republika, puisi-puisi semacam ini berguna dan
berharga sebagai karya seni, sehingga dengan demikian, dapat dijadikan
barometer kemajuan budaya manusia? Dan lebih lagi, apakah puisi ini
berguna dalam memberikan sebuah nilai kepada masyarakat indonesia
dalam kondisi bangsa yang carut marut seperti saat ini ?
>
> Protes dan keberatan ini saya sampaikan sebagai pembaca, Umat Hindu,
yang merasa keyakinannya dilecehkan oleh puisi tersebut. Semoga dapat
dimuat sebagaimana Republika memberikan ruang pada puisi tersebut di
salah satu halamannya.
>
> _______________________________________
>
> From: Nugraha Adijaya
> E-mail: nugradi@...
>
>
> Sudah sepantasnya pihak Pemda Bali mencekal Saut Situmorang yang
berotak kotor agar tidak menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Lewat
tulisannya yang penuh penghinaan kepada umat Hindu, ia jelas-jelas
ingin memancing di air keruh. Apalagi baca komentar Halim HD di
berbagai milis yang semakin mengukuhkan bahwa ia piaraan Saut
Situmorang. Bisanya cuma membebek saja seperti kerbau dicucuk hidungnya.
>
> Hai kalian berdua, kalau ingin namanya jadi populer, tolong jangan
menginjak kaki orang lain dong. Berkaryalah dengan benar dan santun.
>
> Yang juga amat sayangkan, kenapa sajak murahan itu dimuat di koran
Republika yang katanya Islami? Kalau dimuat di koran Pos Kota, saya
masih bisa memaklumi. Adakah agenda tersembunyi dari mereka?
>
> _______________________________________
>
> From: Dharsana Matratanaya
> E-mail: dmatratanaya@...
>
> Om Swastyastu
>
> Saya pikir puisi semacam itu kita anggap sebagai angin lalu saja,
tidak perlu direspons secara besar dan serius. Letakkan di parking
lot. Tutup.
>
> suksma,
>
> dharsana
>
> _______________________________________
>
>
>
>
> e-mail: radityo_dj@...
> blog: http://mediacare.blogspot.com
>
>
>
> ---------------------------------
> Don't let your dream ride pass you by. Make it a reality with
Yahoo! Autos.
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
SPONSORED LINKS
Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Your one stop

for beauty & fashion

tips and advice.

Dog Groups

on Yahoo! Groups

Share pictures &

stories about dogs.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar