Selasa, 18 September 2007

[psikologi_transformatif] Suara

Suara

Memang lidah tak betulang
Tak terbatas kata-kata
Tinggi gunung sribu janji
Lain dbibir lain dihati

Suara atau bunyi adalah sesuatu yang muncul atau terjadi karena adanya
getaran, gesekan atau benturan, sehingga menyebabkan terjadinya
gelombang(longitudinal) yang sampai ke telinga, disebabkan gendang
telinga beresonansi(ikut bergetar) bersama dengan sumber getaran
tersebut. Bunyi tersebut dikirim ke saraf sensoris ke otak dan otak
mengartikan dan atau menterjemahkan makna dari bunyi itu. Batas atas
dan batas bawah frekuensi bunyi yang dapat ditangkap oleh telinga
manusia barada pada kisaran 20 Hz s/d 20.000 Hz, diluar itu bablas
angine eh bunyinya.

Suara yang muncul dari mulut kita merupakan proses gesekan untuk
menimbulkan getaran yang terjadi didalam larink berkombinasi dengan
bibir dan lidah yang tak bertulang. Entah bagaimana mekanismenya
sehingga mampu sedemikian rupa menghasilkan vokal a,i,u,e,o dan
konsonan b,c,d,f,g sampai dengan z dirangkaikan jadi suatu kata atau
kalimat atau lagu yang merdu ataupun jadi suatu nada amarah yang
"membara".

Ternyata orang yang tuna rungu sejak bayi(awal) otomatis menjadi tuna
wicara (nggak bisa bicara alias gagu), ini berarti manusia belajar
dari "dengar dulu" baru lalu mampu bicara.Yang repot kan orang
sekarang banyak yang "bicara" atau "nulis" tapi tak mau banyak
"dengar" atau "membaca", lupa asal muasal atau ontologis "dengar-bicara".

Kemampuan menirukan bunyi-bunyian dan mensimbolisasikan bunyi atau
suara tersebut dalam tulisan adalah kemampuan yang membedakan manusia
dengan hewan. Lebih dalam lagi, apabila ada orang yang terus-terusan
"berbunyi"(maksudnya ngomong, nulis atau bicara) tapi dia tidak pernah
mau mendengar atau membaca (iqro), artinya ia termasuk jenis hewan
mengembik ataupun sejenis jangkrik, manusia yang turun derajatnya.

Pengertian suara dalam arti luas tidak hanya menyangkut soal bunyi,
tapi juga dapat merupakan "amanat" atau "mandat", yaitu pemberian
sinyal bahwa sekumpulan orang sepakat memilih seseorang untuk duduk
disuatu jabatan atau kedudukan secara legitimate atau sah berdasarkan
suara terbanyak, untuk memerintah atau menjadi pimpinan tertinggi di
wilayahnya. Itulah yang dikenal dengan suara demokrasi, yaitu kumpulan
dari "suara-suara" yang tersurat dalam kartu pemilihan umum.

Dahulu yang mengklaim wakil dari suara Tuhan adalah Raja, sehingga
titah raja adalah sabda Tuhan, dan lahirlah negara-negara berbentuk
kerajaan. Sedangkan di negara demokrasi dikenal dengan suara
mayoritas(terbanyak) adalah suara Penguasa/Pemerintah(single
majority), yaitu kuantitas terbesar surat suara yang masuk yang
menunjuk kepada gambar atau figur seseorang calon terpilih..

Ada peristiwa yang menarik sehingga membuat berkesan terus dalam
memory saya, yaitu ketika masih jaman dulu Perdana Mentri Lee Kuan Yew
mengharapkan kepada warganya untuk "buka suara", atau dalam bahasa
inggrisnya "speak up man!". Mengapa penduduknya disuruh "ngomong"?
Karena masyarakatnya cuek-cuek saja terhadap hiruk pikuk upaya
pencapaian kekuasaan(partisipasi politik). Sampai sekarang sejatinya
negeri Singapura itu negeri yang "otoriter", maksudnya rakyat nggak
sibuk "tereak" ini itu, harus begini harus begitu, nggak ikut
berpolitik. Mayoritas penduduk Singapura kebanyakan babah, amoy atau
orang mandarin yang otaknya hanya berisi bergadang eh berdagang.(life
just purposes for few bussines only)

Selepas Singapura keluar daripada Malaysia tahun 1965, Singapura mula
muncul sebagai kuasa perdagangan dunia. Banyak kemudahan dan kemajuan
dicapai semasa pemerintahan Lee Kuan Yew. Pada tahun 1990, Lee Kuan
Yew menyerahkan kekuasaan politik dan memberi kuasa pemerintahan
kepada Goh Chok Tong. Pada tahun 2004 pula, Goh Chok Tong meletak
jabatan sebagai Perdana Menteri dan memberi kekuasaan kepada anak Lee
Kuan Yew iaitu Lee Hsien Loong untuk memerintah.

Maksudnya, "tanpa" gembar-gembor demokrasi yang diartikan sebagai
kebebasan bersuara dalam berpolitik, yaitu dalam rangka mencapai
kekuasaan tertinggi (pemerintahan) yang ternyata di Singapura itu
tidak ada(begitu pula di RRC), atau negara tidak membutuhkan /
memuncukan demokrasi ke permukaan. Yang berkuasa tetep-tetep saja
keturunan Lee, dengan demikian sejatinya Singapura adalah negara
kerajaan atau negara Perkoncoan dalam era milenium III.

Indonesia bagaimana? Saya dulu pernah mengharap Soeharto mau mengikuti
atau meniru gaya Lee Kuan Yew, artinya pada saat titik puncak beliau
diberi gelar "Bapak Pembangunan" maka disaat itulah seharusnya beliau
menyerahkan kekuasaan pada konco-konconya, entah saudara dekat atau
saudara jauh. Dengan demikian sejarah akan mencatat keharuman semu
atau maya atau asli tidak penting atau perlu dalam urusan dunia
perpolitikan. Yang penting negara ini dapat maju tinggal landas bukan
tinggal kandas...ndasmu. Sepertinya kalau ini terjadi korban atau
tumbal Orde Baru bisa "diampuni" atau "dianulir" karena "jasa ke
negara" lebih besar daripada "siksaan/hukuman atas nama negara", lebih
tepatnya aparat pemerintah sering mengatasnamakan(menunggangi)
kepentingan negara untuk menutupi kepentingan penguasa saat berkuasa.

Negara Indonesia menganut sistem pendistribusian
kekuasaan(distribution of power), bukan pemisahan kekuasaan(saparation
of power) dimana didalamnya ada "chek and balances"(trias politica) .
Karena tidak menganut sistem "chek and balances", maka yang muncul
adalah "chek and chekcok" melulu, siapa yang mendapat distribusi
kekuasan tertinggi, itulah yang paling "aman".

Yang lebih rumit lagi di Indonesia sekarang ini adalah, PILKADAL.
Dengan berlakunya pemilihan langsung kepala daerah di masing-masing
daerahnya (otonomi) maka timbul "kericuhan" dimana-mana, artinya
disitu ada PILKADAL maka PASTI ada kericuhan, entah protes ke KPUD,
entah usulan akan adanya Calon Independen, entah adanya warga yang
nggak kebagian nyolok wah macam-macam pula. Mengapa ribut, karena
banyak yang nggak punya kerjaan alias pengangguran, jadi team-team
sukses sering menjaring penganggur buat ngerecokin PILKADAL. Jadi
PILKADAL merupakan salah satu sarana pengisi kesibukan para
pengangguran…he..he..he..

Dulu gelar pemimpin di suatu daerah/wilayah adalah "Gubernur Kepala
Daerah …" atau Bupati Kepala Daerah … ini menandakan bahwa ia sebagai
"Leader" mempunyai peran ganda (kaya bencong getoh), yaitu disuatu
sisi ia sebagai wakil pemerintahan(pusat) di wilayah atau sebagai
institusi vertikal dari pemerintahan pusat (cq MENDAGRI), disisi
disisi lain ia merupakan Kepala Daerah yang mewakili kepentingan di
daerahnya masing-masing. Yang mana pada prakteknya jaman Ordebaru
yang lebih dominan adalah sentralisasi ke Pemerintahaan Pusat atau ke
Gubernurannya atau Kebupatiannya, sedangkan kedaerahannya malah
justru terabaikan. Itu berjalan "sukses" dengan dukungan penuh dari
aparat atau alat negara yang semuanya adalah WAJIB GOLKAR (tidak boleh
berpolitik), indikator terakhir pemilu (di jaman ORBA) maka GOLKAR
mencapai perolehan suara lebih dari 70%.

Kekuatan Pusat demikian besar, sehingga mencapai ke tingkat desa, yang
diganti menjadi kelurahan, yang sebetulnya dari sejarahnya desa dari
dahulu juga merupakan daerah otonom (memilih kepala daerahnya
sendiri). Rakyat termobilisasi dengan Trilogi Pembangunan dan Abri
Manunggal dengan Rakyat plus dukungan Golkar .
(aparat atau birokrasi negara, dengan BUMN dan BUMDnya), mobilisasi.

Pengertian "Wilayah" dengan "Daerah" itu tak sama, gambaran Wilayah
adalah secara vertikal struktural, meliputi wilayah negara dibawah
MENDAGRI, provinsi/Gubernur, Karesidenan/Residen, Kabupaten/Bupati,
Kotamadya/Walikota, Kelurahan/lurah, RW terus RT. Jadi tiap wilayah
melingkupi wilayah dibawahnya, Ibukota wilayah Jawabarat misalnya
Kota Bandung, demikian pula otomatis Kabupaten Bandung dulu itu
ibukotanya juga Bandung. Yang terjadi sekarang dengan otonomi daerah,
maka ibukota Kabupaten Bandung harus ngungsi ke Soreang, lalu
Kabupaten Bandung dipecah lagi menjadi Kab. Bandung Barat dan Kab.
Bandung Timur, ntah nanti mungkin juga Kab. Bandung Selatan dan
Utaranya sekalian. Jadi masing-masing saja, hierarki menjadi tidak
berlaku efektif, masing-masing daerah ingin menonjolkan kedaerahannya.

Jadi ternyata suara dengan bunyi(kampanye) maupun tanpa bunyi(surat
suara) banyak sekali mempengaruhi nasib hidup hayat orang banyak yang
hidup di dalam lingkup suatu negara demokrasi., Negara sepertinya
sudah seperti perusahaani TBK (terbuka), dimana ada pemilik saham
mayoritas dan bukan pemilik saham. Tidak lagi mengurus pada kebutuhan
dasar, melindungi dan melayani masyarakat atau rakyat, sing penting
bagaimana caranya dapat suara rakyat, dengan jalan kampanye ataupun
tipu muslihat. Suara memang kadang tak butuh lagi lidah yang tak
bertulang .

Atau perlukan (pemerintah/warga masyarakat) negara bersibuk-sibuk
mengikuti dikte demokratisasi ala barat yang mengakibatkan penduduk
terus ricuhnya ditambah pengangguran makin membengkak yang seperti
tiada akhir, atau membungkam mulut penduduk tersebut dengan jalan
memberikan lapangan kerja serta kesejahtaraan yang memadai seperti
yang terjadi di Singapura. Anda memilih yang mana ?.

Salam baca tulis

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Stay in Shape

on Yahoo! Groups

Find a fitness Group

& get motivated.

Yahoo! Groups

Be a Better Planet

Share with others

Help the Planet.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar