Selasa, 23 Oktober 2007

[psikologi_transformatif] Lagi: Ajahn Maha Boowa.-- Apakah ajaran beliau sesuai dengan Buddha Dhamma?

Teman-teman sekalian,

Di bawah ini saya tampilkan bagian Appendix dari buku "Arahattamagga-Arahattaphala" oleh Ajahn Maha Boowa, yang berjudul "Citta--The Mind's Essential Knowing Nature" ("Citta -- Hakikat Esensial yang Bersifat Tahu dari Batin") -- bagian ini saya terjemahkan ulang.

Bagian ini menimbulkan keraguan dalam diri saya dalam memahami ajaran Ajahn Maha Boowa, khususnya tentang 'citta'. Barangkali di antara teman-teman ada yang bisa memberikan pencerahan?

***

Citta -- Hakikat Esensial yang Bersifat Tahu dari Batin

[Uraian-uraian berikut tentang hakikat 'citta' dipetik dari beberapa khotbah yang diberikan oleh Acariya Maha Boowa.]

Yang paling penting adalah 'citta', hakikat esensial yang bersifat tahu dari batin. Itu terdiri dari keadaan-sadar (awareness) yang murni dan sederhana: 'citta' itu sekadar tahu. Kesadaran akan apa yang baik dan apa yang buruk, dan penilaian kritis sebagai hasilnya, hanyalah sekadar kegiatan 'citta'. Kadang-kadang kegiatan ini terwujud sebagai perhatian penuh (mindfulness); kadang-kadang sebagai kearifan. Tetapi 'citta' yang sejati tidak menunjukkan kegiatan apa pun atau mewujudkan kondisi apa pun. Ia sekadar tahu. Kegiatan-kegiatan yang muncul di dalam 'citta', seperti kesadaran tentang apa yang baik dan apa yang buruk, atau kebahagiaan dan penderitaan, atau sanjungan dan sikap menyalahkan, semuanya adalah kondisi kesadaran yang mengalir keluar dari 'citta'. Oleh karena itu mewakili kegiatan & kondisi 'citta' yang ada [pada saat itu], yang sifatnya terus-menerus timbul dan lenyap, maka kesadaran seperti ini selalu tidak mantap dan tak dapat diandalkan.

Kesadaran yang mengenali fenomena pada saat timbul dan lenyapnya disebut: 'vinnyana'. Misalnya, 'vinnyana' mengenali dan mencatat kesan-kesan indra yang dihasilkan ketika penglihatan, suara, bau, citarasa, dan sensasi rabaan masing-masing berkontak dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh. Setiap kontak antara lingkup lahiriah dengan landasan batiniah masing-masing yang sesuai akan menghasilkan kesadaran spesifik yang mencatat saat ketika setiap interaksi terjadi, lalu langsung lenyap bersamaan dengan berlalunya kontak. Dengan demikian, 'vinnyana' adalah suatu kesadaran yang merupakan sebuah kondisi dari 'citta'. 'Sankhara', atau pikiran dan imajinasi, juga merupakan sebuah kondisi dari 'citta'. Begitu 'citta' mewujudkan kondisi-kondisi ini, mereka cenderung berkembang berlipat ganda tanpa batas. Sebaliknya, bila tidak ada sama sekali kondisi yang muncul, hanya sifat tahu yang inheren dalam 'citta' yang tampak.

Bagaimana pun juga, tahu bagi batin seorang biasa sangat berbeda dengan tahu bagi seorang Arahat. Tahu bagi seorang biasa tercemar dari dalam. Para Arahat, karena sudah 'khinasava' [menghancurkan arus kotoran batin], bebas dari semua cemaran. Tahu mereka adalah keadaan-sadar (awareness) yang murni dan sederhana, tanpa cemaran. Keadaan-sadar murni, tak mengandung cemaran apa pun, adalah keadaan-sadar tertinggi: suatu kualitas tahu yang sungguh menakjubkan, yang memberikan kebahagiaan sempurna, yang sesuai dengan keadaan murni mutlak dari seorang Arahat. Kebahagiaan Tertinggi ini selalu menetap. Itu tidak pernah berubah atau bervariasi seperti fenomena duniawi yang terkondisi, yang selamanya terbebani dengan 'anicca', 'dukkha' dan 'anatta'. Sifat-sifat duniawi seperti itu tidak mungkin masuk ke dalam 'citta' dari orang yang yang telah membersihkannya sampai murni secara mutlak.

'Citta' membentuk landasan bagi 'samsara'; itu adalah intisari keberadaan/makhluk (being) yang berkelana dari satu kelahiran ke kelahiran lain. Itu adalah penyebab dari lingkaran eksistensi ini, dan penggerak awal di dalam roda kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. 'Samsara' dinamakan lingkaran oleh karena kematian dan kelahiran-kembali terjadi secara teratur sesuai dengan hukum karma yang tak berubah. 'Citta' diatur oleh karma, dengan demikian ia harus berputar terus-menerus di dalam lingkaran ini mengikuti perintah karma. Selama 'citta' berada dalam wilayah kekuasaan karma, keadaannya akan selalu begitu. Satu-satunya pengecualian adalah 'citta' seorang Arahat, oleh karena 'citta'-nya telah mengatasi kekuasaan karma sepenuhnya. Oleh karena ia juga telah mengatasi semua hubungan yang biasa, tidak ada satu pun aspek realitas yang relatif dan konvensional dapat terlibat dalam 'citta' seorang Arahat. Pada tingkat Arahat itu, 'citta' sama sekali tidak terlibat dalam apa pun juga.

Bila 'citta' itu telah murni secara total, ia sekadar tahu sesuai dengan hakikatnya yang tertanam dalam dirinya. Di sinilah 'citta' mencapai puncaknya; ia mencapai kesempurnaan pada tingkat kemurnian mutlak. Di sini, pengembaraan terus-menerus dari satu kelahiran kepada kelahiran berikutnya akhirnya berhenti. Di sini perjalanan abadi dari alam kehidupan yang tinggi menuju alam kehidupan yang rendah dan kembali lagi, melalui lingkaran yang berulang dari kelahiran, usia tua, kesakitan, dan kematian, berhenti secara total. Mengapa itu berakhir di sini? Oleh karena unsur-unsur pencemar yang tersembunyi, yang biasanya meresapi 'citta' dan menyebabkannya berputar telah dilenyapkan sama sekali. Yang tinggal hanyalah 'citta' yang murni, yang tidak akan pernah lagi mengalami kelahiran dan kematian.

Namun, kelahiran kembali tidak terhindarkan bagi 'citta' yang masih belum mencapai tingkat kemurnian itu. Orang bisa terbujuk untuk mengingkari bahwa kelahiran-kembali mengikuti kematian, sebagaimana orang bisa berpegang dengan kuat pada pandangan nihilistik yang menolak semua kemungkinan kehidupan sesudah mati, tetapi keyakinan seperti itu tidak bisa mengubah kebenaran. Hakikat esensial yang bersifat tahu dari batin tidak dikuasai oleh spekulasi; tidak pula dipengaruhi oleh pandangan dan opini manusia. Keberadaannya yang menonjol dalam diri kita, beserta otoritas tertinggi dari karma, mengatasi semua pertimbangan spekulatif sepenuhnya.

Sebagai konsekuensinya, semua makhluk hidup terdorong untuk bergerak dari satu kehidupan kepada kehidupan berikutnya, mengalami entah kelahiran yang kasar, seperti binatang di tanah, laut dan udara, dan kelahiran yang lebih halus sebagai roh halus, dewata dan Dewa Brahma. Sekalipun kehidupan yang tersebut belakangan begitu halus sehingga tidak terlihat oleh mata manusia, 'citta' tidak mengalami kesulitan untuk lahir di alam mereka. Yang dibutuhkan hanyalah karma yang sesuai. Karma adalah faktor yang menentukan; itu adalah kekuatan yang mendorong 'citta' dalam perjalanannya tanpa henti di dalam 'samsara'.

'Citta' itu sangat halus sehingga sukar dipahami apa sesungguhnya yang membentuk 'citta'. Hanyalah apabila 'citta' mencapai keadaan keheningan meditasi, hakikatnya yang sejati tampak. Bahkan pemeditasi yang berpengalaman, yang bertekad memahami 'citta', tidak dapat mengetahui hakikatnya yang sejati sampai mereka mencapai keheningan meditasi yang disebut 'samadhi'.

Sekalipun 'citta' berdiam di dalam tubuh, kita tidak bisa mendeteksinya. Begitu halusnya. Oleh karena ia meresapi seluruh tubuh fisik ini, kita tidak bisa mengatakan bagian mana atau aspek mana dari tubuh yang mengandung 'citta' yang sejati. Ia begitu halus sehingga hanyalah latihan meditasi yang dapat mendeteksi kehadirannya dan membedakannya dari semua aspek lain yang berkaitan dengan tubuh. Melalui latihan meditasi kita bisa memisahkannya, dan melihat bahwa tubuh berbeda dengan 'citta'. Ini adalah satu tingkat pemisahan, tingkat 'citta' yang dialami dalam 'samadhi', tetapi lamanya dibatasi oleh waktu yang dihabiskan untuk berlatih 'samadhi'.

Pada tingkat berikutnya, 'citta' bisa memisahkan diri secara total dari tubuh fisik, tetapi ia masih belum dapat melepaskan diri dari komponen-komponen batiniah dari pribadi: 'vedana', 'sannya', 'sankhara', dan 'vinnyana'. Apabila 'citta' mencapai tingkat ini, kita bisa menggunakan kearifan untuk memisahkan tubuh, dan akhirnya akan terlepas selamanya dari kepercayaan bahwa tubuh kita adalah diri kita, tetapi kita masih belum dapat memisahkan faktor-faktor batiniah--yakni perasaan, ingatan, pikiran, dan kesadaran--dari 'citta'. Dengan menggunakan kearifan untuk menyelidik lebih jauh, faktor-faktor batiniah ini juga bisa dilepaskan dari 'citta'. Lalu kita melihat jelas sendiri--sanditthiko--bahwa kelima 'khandha' ini adalah realitas yang terpisah dari 'citta'. Ini adalah tingkat ketiga dari pemisahan.

Pada tingkat terakhir, perhatian kita berpaling pada penyebab asli dari seluruh delusi, yakni ketidaktahuan yang meresapi secara amat halus, yang kita namakan 'avijja'. Kita tahu istilah 'avijja', tetapi kita tidak dapat menyadari bahwa itu tersembunyi di dalam 'citta'. Sesungguhnya, itu meresapi 'citta' seperti bisa yang menjalar tanpa disadari. Kita belum dapat melihatnya, tapi itu ada di situ. Pada tahap ini, kita harus mengandalkan kekuatan yang lebih besar dari perhatian-penuh (mindfulness), kearifan dan ketekunan kita untuk mengeluarkan bisa itu. Akhirnya, dengan menggunakan kekuatan penuh dari perhatian-penuh dan kearifan, bahkan 'avijja' pun dapat dipisahkan dari 'citta'.

Apabila pada akhirnya segala sesuatu yang meresapi 'citta' telah dihilangkan, kita telah mencapai tingkat tertinggi. Pemisahan pada tingkat ini adalah pelepasan yang permanen dan total yang tidak membutuhkan usaha lebih jauh untuk mempertahankannya. Inilah kebebasan sejati bagi 'citta'. Apabila tubuh menderita sakit, kita tahu dengan jelas bahwa hanyalah unsur fisik yang menderita, jadi kita kita tidak khawatir atau terganggu oleh gejala-gejala. Biasanya, ketidaknyamanan jasmani menyebabkan stres mental. Tetapi bila 'citta' telah sungguh-sungguh bebas, kita tetap berbahagia secara mutlak, bahkan di tengah-tengah penderitaan fisik yang berat. Tubuh dan kesakitan diketahui sebagai fenomena yang terpisah dari 'citta', dengan demikian 'citta' tidak ikut serta dalam penderitaan itu. Setelah melepaskan tanpa setengah-setengah, tubuh dan perasaan tidak lagi dapat bercampur dengan 'citta'. Inilah kebebasan mutlak dari 'citta'.

***

'Citta', yang secara intrinsik cemerlang dan jernih, selalu siap berkontak dengan segala sesuatu yang bersifat apa pun. Sekalipun semua fenomena yang terkondisi tanpa kecuali dikuasai oleh ketiga hukum universal, 'anicca', 'dukkha', dan 'anatta', hakikat sejati dari 'citta' tidak dikuasai oleh hukum-hukum ini. 'Citta' hanya terkondisi oleh 'anicca', 'dukkha' dan 'anatta' oleh karena hal-hal yang dikuasai oleh hukum-hukum ini berputar masuk dan terlibat dengan 'citta' dan dengan demikian membuat 'citta' ikut berputar bersama mereka. Namun, sekalipun ia berputar serentak bersama fenomena terkondisi, 'citta' tidak pernah rusak atau runtuh. Ia berputar mengikuti pengaruh kekuatan-kekuatan yang dapat memutarnya, tetapi kekuatan sejati dari hakikat 'citta' ialah bahwa ia tahu dan tidak pernah mati. Tanpa-kematian ini adalah suatu sifat yang mengatasi kerusakan. Oleh karena mengatasi kerusakan, ia juga terletak di atas lingkup 'anicca', 'dukkha', dan 'anatta', serta hukum-hukum alam universal. Tetapi kita tetap tidak sadar akan kebenaran ini oleh karena realitas-realitas sehari-hari yang melibatkan diri dengan 'citta', telah mengelilinginya sepenuhnya, membuat hakikat 'citta' menyesuaikan diri dengan hakikat mereka.

Kelahiran dan kematian selamanya adalah kondisi dari 'citta' yang tertular 'kilesa'. tetapi, oleh karena 'kilesa' itu sendiri adalah penyebab dari ketidaktahuan kita, maka kita tidak menyadari kebenaran ini. Kelahiran dan kematian adalah masalah-masalah yang timbul dari 'kilesa'. Masalah kita yang sesungguhnya, satu-satunya masalah kita yang mendasar--yang juga merupakan masalah 'citta' yang mendasar--ialah bahwa kita tidak mempunyai kekuatan yang diperlukan untuk menjadi diri kita yang sejati. Alih-alih, kita selalu mengambil hal-hal palsu sebagai esensi dari apa diri kita sesungguhnya, sehingga tingkah laku 'citta' tidak pernah selaras dengan hakikatnya yang sejati. Alih-alih, ia mengungkapkan diri melalui tipuan-tipuan licin dari 'kilesa', yang membuatnya merasa gelisah dan takut terhadap hampir segala sesuatu. Ia takut hidup, dan ia takut mati. Apa pun yang terjadi--nyeri sedikit, nyeri hebat--membuatnya takut. Ia terganggu oleh gangguan yang paling kecil. Sebagai akibatnya, 'citta' selamanya penuh dengan kekhawatiran dan ketakutan. Dan sekalipun ketakutan dan kekhawatiran bukanlah intrinsik bagi 'citta', mereka bisa menghasilkan kecemasan di situ.

Apabila 'citta' telah dibersihkan sehingga ia menjadi murni secara mutlak dan bebas dari semua keterlibatan, hanya di situlah kita akan melihat 'citta' yang tidak memiliki ketakutan apa pun. Maka tidak ada ketakutan maupun keberanian muncul; yang ada hanyalah hakikat sejati dari 'citta', yang berada sendirian secara alamiah, bebas selamanya dari waktu dan ruang. Hanya itulah yang muncul--tidak ada yang lain. Inilah 'citta' yang asli. Istilah 'citta asli' mengacu semata-mata kepada kemurnian mutlak, atau 'sa-upadisesa-nibbana', dari para Arahat. Tidak ada yang lain bisa disebut dengan sepenuh hati dan tanpa syarat sebagai 'citta asli'. Saya sendiri akan malu menggunakan istilah itu dengan cara lain.

Istilah 'citta orisinal' berarti hakikat orisinal dari 'citta' yang berputar tanpa henti melalui lingkaran kelahiran kembali. Ini yang dimaksud Sang Buddha ketika berkata: "Para bhikkhu, 'citta orisinal' secara intrinsik cemerlang dan jernih, tetapi ia kemudian dicemari oleh percampuran dengan kilesa yang melintas."

Dalam arti ini, 'citta orisinal' mengacu pada asal mula realitas konvensional (sammuti), bukan asal mula Kemurnian Mutlak (parisuddhi). Ketika mengacu pada 'citta orisinal', Sang Buddha berkata, "Pabhassaramidam cittam bhikkhave." 'Pabhassara' berarti cemerlang; itu bukan berarti murni. Pemikiran itu benar sekali; tidak mungkin membantahnya. Seandainya Sang Buddha menyamakan 'citta orisinal' dengan 'citta murni', orang dapat menyanggah dengan segera: "Jika 'citta' ini murni pada mulanya, mengapa itu dilahirkan?"

Seorang Arahat, yang telah memurnikan 'citta'-nya, adalah orang yang tidak pernah lahir kembali. Jika 'citta'-nya pada mulanya murni, mengapa ia perlu memurnikannya lagi? Ini menjadi sanggahan yang jelas: Apa alasannya untuk memurnikannya? Sebaliknya, 'citta' yang cemerlang bisa dimurnikan oleh karena kecemerlangannya tiada lain hakikat sejati dan esensial dari 'avijja'. Para pemeditasi akan menyadari kebenaran ini sendiri pada saat 'citta' mengatasi kecemerlangan ini untuk mencapai Kebebasan Mutlak (vimutti). Maka kecemerlangan tidak akan lagi muncul dalam 'citta'. Pada titik ini, kita menyadari kebenaran tertinggi tentang 'citta'.

***

Apabila 'citta' telah dibersihkan dengan baik sehingga ia selalu terang dan jernih, maka apabila kita berada di sebuah tempat yang sunyi, dikelilingi oleh keheningan penuh--seperti dalam keheningan malam--sekalipun 'citta' belum "memusat" dalam 'samadhi', titik pusat dari keadaan-sadar (awareness) begitu halus dan murni sehingga tidak dapat diuraikan. Kesadaran yang halus ini terwujud sebagai kecemerlangan yang memancar kesegala arah di sekeliling kita. Kita tidak sadar akan penglihatan, suara, bau, citarasa, dan sensasi rabaan, sekalipun 'citta' belum memasuki 'samadhi'. Alih-alih, sesungguhnya ia tengah mengalami landasannya sendiri yang kokoh, landasan bagi 'citta' itu sendiri yang telah dibersihkan dengan baik sehingga muncullah sifatnya yang memukau dan megah sebagai sifatnya yang paling menonjol.

Seolah-olah berada bebas tak bergantung pada tubuh fisik, kesadaran yang amat murni ini tampil secara eksklusif di dalam 'citta'. Karena hakikatnya yang halus dan menonjol dari 'citta' pada tahap ini, yang paling menonjol adalah hakikatnya yang bersifat tahu. Tidak ada gambar atau visiun yang muncul sama sekali. Itu adalah kesadaran yang tampil sendirian secara eksklusif. Ini adalah satu aspek dari 'citta'.

Aspek yang lain terlihat ketika 'citta' yang telah dibersihkan dengan baik ini masuk ke dalam keheningan meditasi, tanpa berpikir atau membayangkan apa pun. Dengan menghentikan semua kegiatan, semua gerak, ia sekadar beristirahat untuk sementara. Semua pikiran dan pembayangan di dalam 'citta' berhenti sempurna. Ini dinamakan " 'citta' yang memasuki keheningan total." Kecuali keadaan-sadar yang amat halus ini--keadaan-sadar yang tampak meliputi seluruh alam semesta--tidak ada apa pun yang muncul. Oleh karena--berbeda dengan seberkas cahaya, yang bentangannya terbatas, mencapai dekat atau jauh tergantung pada kekuatan cahayanya--aliran 'citta' tidak terbatas, tidak "dekat", atau "jauh". Misalnya, terangnya sebuah lampu listrik bergantung pada watt-nya. Jika watt-nya besar, ia bersinar hingga jauh; jika kecil, hanya dekat saja. Tetapi aliran 'citta' sangat berbeda. Jarak bukan suatu faktor. Tepatnya, 'citta' mengatasi kondisi waktu dan ruang, yang memungkinkannya untuk meliputi segala sesuatu. Jauh seperti dekat, karena konsep ruang tidak berlaku. Apa yang muncul adalah keadaan-sadar yang amat halus yang meresapi segala sesuatu di seluruh alam semesta. Seluruh dunia tampak dipenuhi kualitas tahu yang halus ini, seolah-olah tidak ada apa-apa lagi yang ada, sekalipun benda-benda tetap ada di dunia seperti sediakala. Aliran 'citta' yang meliputi segala-galanya ini, yang telah dibersihkan dari hal-hal yang mengeruhkan dan mengaburkannya, adalah kekuatan 'citta' yang sejati.

'Citta' yang murni secara mutlak lebih sukar lagi dideskripsikan. Oleh karena itu tidak dapat didefinisikan, saya tidak tahu bagaimana saya bisa mencirikannya. Itu tidak dapat diungkapkan dengan cara yang sama seperti hal-hal konvensional yang umum, oleh karena itu bukanlah fenomena yang umum. Itu hanya dialami oleh mereka yang telah mengatasi semua aspek realitas konvensional, dan dengan demikian menyadari dalam diri mereka hakikat yang tidak konvensional itu. Oleh karena itu, kata-kata tidak dapat mendeskripsikannya.

Mengapa kita bicara tentang 'citta yang konvensional' dan 'citta yang murni mutlak'? Apakah mereka dua 'citta' yang berbeda? Sama sekali tidak. Itu 'citta' yang sama. Ketika ia dikendalikan oleh realitas-realitas yang konvensional, seperti 'kilesa' dan 'asava', itu adalah salah satu kondisi 'citta'. Tetapi ketika daya kearifan telah menggosoknya sampai bersih sehingga kondisi ini runtuh sama sekali, maka 'citta' yang sejati, Dhamma yang sejati, yang bisa tahan uji, tidak akan runtuh dan lenyap bersamanya. Hanya kondisi 'anicca', 'dukkha', dan 'anatta', yang meresapi 'citta', yang sesungguhnya lenyap.

Tidak peduli betapa pun halus 'kilesa', mereka masih terkondisi oleh 'anicca', 'dukkha', dan 'anatta', dan oleh karena itu merupakan fenomena konvensional. Begitu hal-hal ini runtuh sama sekali, maka 'citta' yang sejati, yang telah mengatasi realitas konvensional, menjadi tampak sepenuhnya. Ini dinamakan Kebebasan Mutlak dari 'citta', atau Kemurnian Mutlak dari 'citta'. Semua hubungan yang berlangsung dari kondisi 'citta' sebelumnya telah putus untuk selamanya. Sekarang murni sepenuhnya, hakikat esensial yang bersifat tahu dari 'citta' tetap berada sendirian.

Kita tidak bisa mengatakan di bagian tubuh mana hakikat esensial yang bersifat tahu ini terpusat. Sebelumnya, dalam hal 'citta' konvensional, ia membentuk titik yang nyata yang bisa kita lihat dan ketahui. Misalnya, dalam 'samadhi' kita tahu bahwa itu terpusat di tengah dada, oleh karena sifat tahu dari keadaan-sadar kita menonjol di situ. Keheningan, kecemerlangan, dan pancaran sinar tampak memancar dengan nyata dari titik itu. Kita bisa melihat itu sendiri. Semua pemeditasi yang tingkat keheningannya telah sampai pada landasan 'samadhi' akan menyadari bahwa pusat dari "apa yang tahu" terlihat menonjol di daerah jantung. Mereka tidak akan mengatakan bahwa itu terpusat di otak, seperti yang selalu diklaim oleh mereka yang tidak memiliki pengalaman praktek 'samadhi'.

Tetapi ketika 'citta' yang sama telah dibersihkan sampai menjadi murni, pusat itu pun lenyap. Kita tidak lagi bisa mengatakan bahwa 'citta' berada di atas atau di bawah, atau bahwa ia terletak di suatu titik tertentu dari tubuh. Itu sekarang menjadi keadaan-sadar (awareness) yang murni, suatu sifat tahu yang begitu halus dan murni sehingga mengatasi semua pendeskripsian konvensional. Namun, dengan mengatakan bahwa ia "sangat murni", kita terpaksa menggunakan suatu ungkapan konvensional yang tidak mungkin mengungkapkan kebenaran; oleh karena tentu saja pengertian tentang kemurnian yang sangat itu sendiri adalah konvensi. Oleh karena keadaan-sadar itu sendiri yang halus tidak memiliki titik pusat, maka tidak mungkin untuk secara spesifik menetapkan posisinya. Yang ada hanyalah tahu secara hakiki, tanpa apa pun mencemarinya. Sekalipun ia masih ada di tengah-tengah 'khandha' yang sama yang dengan mereka ia biasanya bercampur, ia tidak lagi memiliki sifat-sifat bersama dengan mereka. Ia merupakan alam yang terpisah. Hanya di situ kita tahu dengan jelas bahwa tubuh, 'khandha', dan 'citta' semuanya berbeda dan merupakan realitas-realitas yang terpisah.*

***************************

Nah, rekan-rekan pembaca yang Buddhis, membaca uraian Ajahn Maha Boowa tentang 'citta' di atas, timbul pertanyaan: apakah ajaran beliau tentang 'citta' tidak menyimpang dari Buddha Dhamma? Silakan berbagi pandangan.

Saay rasa masalah ini amat penting, karena akan menentukan di masa depan apakah ajaran Sang Guru Agung akan menyimpang lagi atau tidak.

Salam,
Hudoyo

(PS: Menilik gaya bahasa risalah di atas, tampaknya rangkuman khotbah Ajahn Maha Boowa itu telah diedit kembali oleh bhikkhu Barat, siswa beliau, yang menerjemahkannya.)

***

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

Official Samsung

Yahoo! Group for

supporting your

HDTVs and devices.

Cat Fanatics

on Yahoo! Groups

Find people who are

crazy about cats.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar