Rabu, 31 Oktober 2007

[psikologi_transformatif] Re: Dialog I

2 orang habis nonton bioskop, ditanya komentarnya, yang satu bilang
film nya bagus sungguh luar biasa,

yang kedua ditanya, bilang filmnya kabur.

ternyata yang kedua lupa tidak pakai kacamata 3 dimensi.

baca kitab suci, bukan dengan bahasa logika, pemikiran, apalagi
emosi.

salam,
goen

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, Jusuf Sutanto
<jusuf_sw@...> wrote:
>
> Dalam kaligrafi kuno dikatakan :
> " Meski betapapun nilainya debu emas, tapi kalau sampai masuk ke
mata kita,
> maka Jalan Raya pun akan nampak sempit, apalagi kalau pikiran kita
yang kelilipan "
>
>
> ----- Pesan Asli ----
> Dari: Agung Eko Hertanto by way of <hudoyo@...>
> Terkirim: Rabu, 31 Oktober, 2007 6:15:58
> Topik: [psikologi_transformatif] Dialog I
>
> Dari: agung hertanto <agungeka@yahoo. com>
>
> Dialog I
>
> Beberapa hari yang lalu di Kompas ada tulisan Gunawan
> Mohammad tentang dialog (lebih tepat dikatakan debat)
> antara kelompok Atheist dan Agama. Suatu saat akan
> saya bahas hal ini. Yang agak repot dalam dialog itu
> ialah kelompok atheist biasanya terdiri dari ilmuwan,
> sehingga sering diasosiasikan ilmuwan itu adalah
> atheist.
>
> Saya pernah ditanya oleh seorang resi Buddhist apakah
> saya pernah menjumpai seorang pemeluk agama
> fundamentalist di fisika. Tentu saya jawab belum.
> Kenalan saya yang Islam, Kristiani dsb yang betul
> betul menjiwai sains (jadi bukan sekedar cari gelar)
> tidak pernah bisa jadi fundamentalist. Di fisika
> misalnya orang dilatih untuk terus bertanya. Kalaupun
> sudah terjawab, kita bertanya lagi lebih mendalam.
> Seperti halnya dengan sifat materi. Kita bertanya
> mengapa bisa demikian, munculah sistim unsur berkala.
> Dipertanyakan lebih mendalam, munculah teori atom,
> ditanyakan lebih lanjut, munculah teori nuklir, sampai
> akhirnya ke konsep ruang dan waktu, superstring, dan
> arti vakum. Bukan vakum seperti yang kita kenal sehari
> hari, yaitu sebagai ruang kosong hampa udara, tetapi
> vakum dalam artian yang lebih fundamental, yaitu
> ketidak hadiran materi bahkan ketidak hadiran ruang
> ataupun waktu. Kalau orang sudah bertanya begini tentu
> dia tidak akan menjadi fundamentalist, karena apapun
> yang dia pegang termasuk agamanya sendiri paling tidak
> di dalam hati selalu dipertanyakan hakekat
> kebenarannya. Bagi orang luar melihat sikap ilmuwan
> seperti ini tentunya sangat heran dan dengan mudah
> menggolongkan mereka sebagai atheist. Lihat saja
> Stephen Hawking, Steven Weinberg, Einstein dsb. Nada
> nada mereka atheist, meskipun sebetulnya bukan. Tentu
> saja kalau kita tanya ke mereka apakah mereka percaya
> pada supreme being yang bersifat personal (artinya
> sering kita muliakan dengan maha-ini maha itu), mereka
> akan menjawab tidak. Bagi mereka cukup dengan
> mengatakan bersifat kosmik. Bagaimana? Itu bukan
> urusan mereka. Apakah perlu dipuja? Jawabnya bisa
> begini, ’lho kalau sudah kosmik apa masih perlu puja
> puji’. Maka tidak heran mereka lebih suka pergi ke lab
> daripada ke rumah ibadah. Ibadah mereka ya kerja keras
> di labnya masing-masing, kadang sampai tengah malam
> masih kerja.
>
> Tentu kita akan risi melihat mereka seperti itu,
> tetapi ini sebetulnya bukan urusan kita.
> Budaya kita belum sampai atau tidak seperti budaya
> para ilmuwan. Masalahnya ialah benturan yang sering
> terjadi antara kelompok agama dan para ilmuwan, bahkan
> antar agama sendiri. Hal ini pernah diungkapkan oleh
> seorang praktisi Sufi (bukan resi yang di atas) kepada
> saya sewaktu kita berjumpa di Grand Central stasiun
> kereta yang hiruk pikuk dan serba cepat itu. Dia
> mengatakan bahwa dia sering tergoda untuk
> mencocok-cocokkan apa yang ditemui di sains dengan apa
> yang terurai dikitab sucinya. Saya katakan ini bukan
> masalah dia saja, ini adalah masalah hampir semua
> orang.
>
> Mencocok-cocokan mengundang banyak resiko. Pertama
> kita menjadi tidak jujur, kedua kita menjadi arogan,
> ketiga kita kehilangan integritas, dan keempat kita
> mencoreng kening sendiri.
>
> Ambil kasus yang sederhana saja, kisah banjir nabi
> Nuh. Banjir nabi Nuh yang menutup seluruh permukaan
> bumi bisa dibaca (paling tidak oleh praktisi Zen)
> sebagai lambang proses pemurnian. Tetapi kalau itu
> diartikan secara harafiah seperti yang ditulis dikitab
> suci, maka menjadi lucu. Karena kita harus bisa
> menjawab kemana air yang menutup bumi itu semua
> larinya? Es di puncak gunung, arktik, dan Antartika
> kalau semua meleleh hanya bisa menaikkan permukaan
> laut beberapa meter saja (meskipun bisa menenggelamkan
> Semarang yang suka banjir bahkan di musim kemarau
> sekalipun). Tentu kita bisa berkilah, disedot Tuhan.
> Lalu jadi lucu, Tuhan menyedot air. Karena air itu
> materi, tentu perlu tempat. Seberapa tambun Tuhan
> sekarang ini setelah menyedot sekian banyak air. Lalu
> bagaimana dengan binatang yang harus dikumpulkan
> berpasang pasang itu. Oh dikumpulkan nabi Nuh. Nah
> disini terbukti hal lucu lainnya. Yaitu Nabi Nuh
> adalah orang Jawa asli, karena berapa lama dia harus
> pergi ke Jawa untuk mengumpulkan semua jenis binatang
> mulai dari semut, rayap, kecoak, sampai sapi, kambing,
> burung emprit, perkutut, dsb dan jangan lupa dia harus
> mengumpulkan makanannya. Jadi pasti dia orang Jawa,
> bukan orang Jahudi atau Arab. Ini lucu juga.
> Ini yang disebut mencoreng kening sendiri. Kita mau
> serius tapi jadi lucu alias badutan.
>
> Mencocok-cocokan sering menimbulkan kompetisi, dan itu
> lucu juga. Misalnya begini, kitab suci agama A
> menyebutkan bahwa pada awalnya dunia itu air dan tanah
> masih belum dipisahkan, baru kemudian dipisahkan. Jadi
> awalnya becek, seperti jalan di Cilincing sebelum
> diupgrade oleh projek MH Thamrin nya bang Dikin. Kitab
> suci agama B mengatakan pada awalnya seperti asap. Nah
> ilmu pengetahuan mengatakan bahwa dunia terbentuk dari
> debu-debu antar bintang (non hydrogen atau helium)
> yang menggumpal karena gravitasi. A klaim kitab
> sucinya benar, karena air bersifat fluid (encer) dan
> tanah itu solid (padat) maka kitab sucinya mengatakan
> bahwa yang padat dikumpulkan dan menjadi dunia ini,
> yang ringan kemudian menjadi gas yang mengitari dunia.
> 10 untuk A. B klaim kitab sucinya benar karena awalnya
> adalah asap, meskipun asap diasosiasikan dengan hasil
> pembakaran, tetapi disini harus diartikan sebagai debu
> antar bintang. 10 untuk B. Repotnya ialah A dan B
> saling menuduh yang lain keliru, padahal itu semua
> adalah tafsir masing masing. Kalau mang Iding
> mengatakan bahwa dunia itu di’lepeh’ (dimuntahkan)
> oleh naga dan naganya sekarang beristirahat di ujung
> jagad raya (sehingga tidak kelihatan), juga cocok
> dengan teori sains. Disini naganya adalah supernova,
> karena debu debu penyusun dunia adalah hasil
> supernova. Sepuluh untuk mang Iding. Disini kita tidak
> jujur, karena bukannya kita mendalami kitab suci
> dengan rendah hati, tetapi mengabsolutkan tafsir kita
> tanpa mengatakan bahwa itu sebetulnya tafsir kita.
> Lebih repot lagi kalau tafsir itu diajarkan keorang
> lain yang berani mati. Dan ketidak jujuran ini
> otomatis membuat kita arogan, karena kita merasa
> tafsir kita paling benar. Bahkan dalam satu agama
> (intra agama) pun terjadi baku-bunuh karena masalah
> tafsir. Ini yang menyedihkan.
>
> Tafsir yang kita terima (dalam konteks
> mencocok-cocokan dengan temuan sains) membuat kita
> kehilangan integritas (kalau tidak mau disebut
> Multiple Personality Disorder). Kebiasaan mencocokkan
> antara temuan sains (dari luar) dan kitab suci (dari
> luar), sehingga tidak ada yang nyanthol di dalam.
> Akibatnya di tempat X dia bisa berbuat A, ditempat Y
> dia berbuat B, dst. Mengapa tidak mencocokkan kitab
> suci dengan batin kita masing masing? Sulit memang
> membaca kitab suci, apalagi kalau hati kita masih suka
> ngiler dan deg-deg plas.
>
> Belum lagi kalau kita hakul yakin bahwa kitab suci
> kita paling cocok dengan teori sains P. Ternyata
> dikemudian hari P keliru. Nah kita tidak mau terima
> kalau kitab suci kita keliru … lha wong namanya kitab
> suci. Maka kita perlu menyusun puluhan argumentasi
> pembelaan yang lebih canggih dari pengacara Wallstreet
> sekalipun. Kita lalu mengatakan perlu tafsir ulang.
> Tapi ini lucu, lha kok awalnya mau mati-matian membela
> bahwa tafsir kita paling benar? Membedakan tafsir dari
> realita (entah itu kitab suci atau hasil experiment)
> sangat sulit, kalau kita tidak jernih cara
> berpikirnya. Apalagi kalau kita diuntungkan dengan
> tafsir itu dalam bentuk oplag buku misalnya.
>
> Hidup akan jadi lebih enak kalau kita melihatnya
> sebagai perjalanan sekoci dilautan di tengah malam.
> Hidup seharihari bagaikan upaya kita navigasi supaya
> sekoci kita tidak oleng atau terbentur karang. Di
> setiap jaman dan setiap tempat, akan selalu ada mercu
> suar, entah itu namanya kitab suci A, B, C atau temuan
> sains. Mereka berfungsi sendiri sendiri dan kalau
> dirangkai akan membantu banyak perjalanan sekoci tadi.
> Kalau mercu-suar mercu-suar itu dibenturkan, atau
> dirobohkan semua dan disisakan satu, malam rasanya
> akan tambah kelam, apalagi kalau kita berlayar dimalam
> hari memakai kacamata hitam .
>
> Itu saja renungan kami berdua dibawah hirukpikuknya
> Grand Central dan hangatnya kopi.
>
>
>
>
>
> ________________________________________________________
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang
Anda! Kunjungi Yahoo! Answers saat ini juga di
http://id.answers.yahoo.com/
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Groups

Endurance Zone

b/c every athlete

needs an edge.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

HDTV Support

The official Samsung

Y! Group for HDTVs

and devices.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar