Minggu, 28 Oktober 2007

[psikologi_transformatif] Re: FWD: samurai dalam hening

Dari: "yoko santoso" <marginalized_masta_mind@yahoo.co.id>

Barangkali dulu saya juga punya kesan yang serupa ketika membaca
novel Musashi(tulisan EijiYoshikawa). Praktek duel samurai punya
paralel dengan praktek meditasi - harus ada konsentrasi penuh/fokus
(jangan menghiraukan penonton) dan badan harus relax(karena kalau
kaku gerakan menjadi tidak sempurna). Mindfulnes sebelum, saat, dan
usai duel(dan dalam Musashi duel-nya tak berkepanjangan seperti
kartun Samurai X, tetapi hanya beberapa gebrakan saja - bahkan konon
pertempuran sudah terjadi sebelum pertarungan dimulai). Tapi dari
kasus ini, saya lalu bertanya2 - kalau mindfulnes sudah cukup,
bagaimana dengan sila? Atau bagaimana bila dikaitkan dengan
moralitas? Apakah memenggal orang dengan mindfulnes itu dibenarkan?

Ada kisah sejenis yang muncul dari seorang officer SS
(Schutztaffel/'kastria' Nazi). Konon ketika ditanya apa yang ia
rasakan ketika mengeksekusi tahanan di kamp, ia menjawab bahwa
ia 'tak merasakan apa-apa', tak ada emosi terlibat - tidak takut
ataupun benci. Ia hanya memungut senapan, mengisi pelornya,
mengokang, membidik, lalu menembak - sesimpel itu; bukankah ini
praktek mindfulness??

Saya punya pendapat pribadi, 'sekedar' mindfulness tidaklah cukup.
Mindfulness hanya mengatasi 'twist' - hanya mengatasi puntiran
akibat nafsu(mengingini) ataupun marah/benci('ngemohi'), tetapi
belum tentu mengatasi kebodohan. Orang yang mindful tetapi ignorant
justru menjadi makhluk yang sangat berbahaya(kalau tak salah jaman
feodal Jepang, laskar biksu adalah laskar yang elit dan
ditakuti).Karenanya, barangkali juga harus ada wisdom.

=========================
HUDOYO:

Yang perlu diluruskan adalah pengertian 'mindfulness' itu sendiri. Apa yang ditampilkan oleh perwira SS itu BUKAN 'mindfulness', dan akan menyesatkan kalau dipakai sebagai titik tolak pertimbangan. Pernyataan perwira SS itu tidak lebih daripada sekadar 'pembenaran' belaka. Itu sama seperti orang yang berkata, "Saya bisa membunuh dengan mindfulness." Di situ ada distorsi terhadap pengertian 'mindfulness' (sati) itu sendiri, karena kalau orang benar-benar dalam keadaan 'mindful' orang tidak akan pernah membunuh, mencuri, korupsi dll, yang adalah melanggar sila. Di dalam pelanggaran moralitas/sila SELALU ada loba, dosa atau moha yang TIDAK DISADARI; itu bukan 'mindfulness' dalam arti sesungguhnya, sekalipun perbuatan itu dilakukan dengan "sadar'". Dengan demikian, maka 'mindfulness' (Jawa: 'eling') adalah "sila yang tertinggi" (adhi-sila); di tingkat yang tertinggi, sila menyatu dengan 'mindfulness' yang sejati.

Bahwa dalam sejarah Jepang 'mindfulness' pernah mengilhami ilmu pedang, lagi-lagi itu adalah distorsi dari pengertian 'mindfulness' yang sebenarnya. 'Mindfulness' dalam ilmu pedang itu adalah 'mindfulness' yang SEMPIT, yang tidak berbeda dengan KONSENTRASI. Dalam berperang dengan pedang si samurai tidak menyadari ego-nya (atta) sama sekali. Sedangkan 'mindfulness' yang sejati, justru menyadari gerak-gerik batin ini sebagai perwujudan dari ego/atta, sehingga hasilnya justru adalah berhenti/diamnya ego/atta, bukan malah menebas dengan pedang.

'Mindfulness' (sati) sering ditampilkan dalam kombinasi dengan 'sampajannya' (pemahaman jernih, clear comprehension), 'sati-sampajannya' (perhatian-penuh & pemahaman-jernih). Ini sinonim dengan 'kearifan' (pannya). Jadi, 'perhatian-penuh' (sati) dan 'kearifan' (wisdom, pannya) tidak bisa dipisahkan. Tidak ada 'kearifan' tanpa 'mindfulness'; tidak ada 'mindfulness' tanpa 'kearifan'.

Salam,
Hudoyo

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Find Green Groups

Share with others

Help the Planet.

Yahoo! Groups

Wellness Spot

A resource for living

the Curves lifestyle.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar