Jumat, 26 Oktober 2007

[psikologi_transformatif] Re-narasi Pengalaman Muslim-Barat oleh Audifax

Kantor Berita Common Ground
Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK)
Bagi Hubungan Muslim-Barat yang Saling Asah, Asih, Asuh
 
26 Oktober - 01 Nopember 2007
 

Kantor Berita Common Ground - Mitra Kemanusiaan (CGNews - MK) bertujuan mendorong perspektif dan dialog konstruktif yang berkaitan dengan hubungan Muslim-Barat. Layanan ini juga tersedia dalam bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Untuk berlangganan, klik di sini.

Untuk arsip artikel CGNews dan informasi lainnya, silahkan kunjungi website kami: www.commongroundnews.org.

Kecuali jika ditentukan khusus, ijin hak cipta telah diperoleh dan semua artikel bisa dipublikasikan kembali oleh media massa atau surat kabar. Silahkan memberitahukan kepada sumber artikel asli dan Kantor Berita Common Ground (CGNews).
 
Dalam edisi ini
 
1) Hak untuk Berpindah Agama oleh Shaykh Abdallah Adhami
Pada artikel terakhir serial Apostasy and Proselytism ini, Shaykh Abdallah Adhami adalah imam Arab-Amerika dan ilmuwan Islam terkemuka, mencatat bahwa secara historis, "kebanyakan system-sistem hokum mayor menyatakan bahwa "kemurtadan harus dihukum". Namun ditilik dari sudut pandang agama, terutama hokum agama Islam atau syari'ah, ia mempertanyakan, apakah penilaian manusia atas "kemurtadan" seseorang itu mungkin?
(Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007)
    
2) Terobosan dalam Solidaritas Muslim-Kristen oleh Claude Salhani
Claude Salhani, editor Middle East Times, membahas mengapa sebuah surat terbuka yang dikirimkan minggu lalu oleh 138 pemimpin Muslim senior kepada umat Kristen dunia menyerukan perdamaian dan kerukunan antara agama Kristen dan Islam merupakan sebuah peristiwa penuh terobosan dalam solidaritas internasional.
(Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007)
    
3) Re-narasi Pengalaman Muslim-Barat oleh Audifax
Audifax, seorang psikolog dan penulis Indonesia, membahas bagaimana renarasi, sebuah teknik psikoanalisis menangulangi masa lalu, dapat digunakan oleh dunia Muslim maupun Barat untuk mengatasi trauma yang disebabkan oleh "leluka" mereka, seperti Perang Salib, yang menghambat hubungan Muslim-Barat.
(Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007)
    
4) Indonesia: Apakah Sekularisme Sebuah Pilihan? oleh Ali Noer Zaman
Ali Noer Zaman, seorang penulis Indonesia yang mengkhususkan pada permasalahan sosio-keagamaan, menggambarkan perdebatan antara negara sekuler melawan Islam di dunia Muslim. Ia melihat Indonesia sejak awal 1900-an sebagai contoh hal tersebut.
(Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007)
    
5) ~Pandangan Kaum Muda~ Komik Menjembatani Kesenjangan Kebudayaan oleh Michael Chou dan Yousef Morshedy
Michael Chou, mahasiswa kedokteran dan seni University of Melbourne, dan Yousef Morshedy, jurusan komunikasi massa pada American University di Kairo, mengkaji peran komik dan animasi sebagai alat diplomasi publik. Dengan melihat popularitas dari animasi dan komik Jepang di seluruh dunia sebagai sarana penyebaran budaya Jepang melalui hiburan, mereka mempertimbangkan potensi dampak dari medium ini bagi hubungan Muslim-Barat.
(Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007)
    
 
1) Hak untuk Berpindah Agama
Shaykh Abdallah Adhami
 
New York, New York – Dari Hukum Hammurabi sampai Hukum Maimonides, kebanyakan sistem hukum utama telah menegaskan bahwa kemurtadan harus dihukum.

Dalam kitab hukum Roma kekaisaran Justinian (483-565 CE) yang terkenal, corpus juris civilis – dasar dari semua hukum gereja Roma dan hukum sipil modern – kemurtadan "harus dihukum dengan kematian" dan "tidak ada toleransi untuk perbedaan pendapat."

Hukum Injil menetapkan: "Orang yang meragukan atau mengejek satu kata saja dari Taurat—atau dari Rabi penulis—adalah `pelaku bid'ah' dalam makna sesungguhnya, seorang kafir… dan tidak ada harapan baginya." Hukum yang berkaitan dengan orang kafir amatlah ketat: "Dia boleh langsung dibunuh," atau seperti yang disarankan oleh Maimonides, seorang rabi dan filsuf Andalusia abad ke-13, sehubungan dengan nasehatnya akan hukum kemurtadan yang ditunda di jamannya, "Kematiannya bisa dilakukan secara tidak langsung."

Hukum Islam (syariah) juga menetapkan pembunuhan dalam kasus kemurtadan yang terang-terangan. Meskipun hanya sedikit literatur mengenai kemunculan dan penerapan hukum kemurtadan dalam periode awal sejarah Islam, penerapan yang sesungguhnya biasanya tergantung pada apakah deklarasinya dilakukan secara umum atau pribadi. Dalam negara Islam, apa yang dilakukan minoritas—baik religius maupun bukan—dalam kehidupan pribadinya diserahkan pada diri mereka masing-masing, bahkan meski hal itu secara teknis bisa dianggap "menyimpang" atau bertentangan dengan ajaran Islam.

Syariah, seperti semua hukum keagamaan, mengatur cara-cara peribadatan dan aturan perilaku individu dan komunal, serta etika. Berlawanan dengan dugaan stereotipe tentang agama, bidang duniawi dalam syariah sebenarnya secara pragmatis bisa dipahami sebagai sekuler.

Dari sudut pandang agama, sifat fundamental manusia adalah merindukan untuk menyembah Tuhan tanpa beban. Wilayah pribadi dari kemurtadan, karenanya selalu mencerminkan dimensi yang lebih kompleks, yang membuat penilaian manusia menjadi mustahil. Misteri hati dan benak berada di luar teologi, juga amat sukar diukur oleh ilmu syaraf.

Perjumpaan kreatif kita dengan kehidupan duniawi dan sekulerlah yang mengungkapkan kita berguna atau tidak bagi orang lain, dan itu merupakan instrumen utama yang dapat mengangkat tingkat spiritualitas kita. Penyembahan yang otentik dan jujur akan menjadi barometer harian dari kondisi spiritualitas kita.

Perdebatan yang bebas dan rasional selalu terakomodasi dalam konteks religius syariah. Ini adalah fenomena unik Islam, yang juga berlaku di Kordoba, Eropa dan Baghdad, Arab. Baik abstraksi teologi Mu'taziyah, kelompok filsuf abad ke-9, maupun pemberian dialek asing yang tidak tangung-tanggung oleh kelompok rahasia abad ke-10, Ikhwan al-Safa (Persaudaraan Kemurnian) misalnya, tidak pernah dihukum untuk menghilangkannya dari kelompok Islam.

Bukti paling menyolok untuk tidak menghukum kemurtadan "pribadi" dalam Islam adalah eksistensi perenial dari kaum munafik di tengah masyarakat Madinah, meskipun ayat-ayat Qur'an menentang mereka. Lebih lanjut, pemikiran "bersifat bid'ah" pribadi tidak pernah dikecam ataupun disensor: selama tidak disebarkan secara umum, hal itu tidak dikutuk, tidak pula ada pembicaraan mengenai perlunya menekan hal itu.

Kestabilan luar atau yang tampak dalam wilayah duniawilah yang memungkinkan institusi masyarakat sipil tetap ada.

Resistensi tanpa kekerasan Nabi Muhammad di Mekah, dan diplomasinya saat Perjanjian Hudaybiyah mengajarkan hal yang sama pada para pengikutnya. Di bawah Perjanjian ini, Nabi mengijinkan orang untuk beremigrasi tanpa pembalasan dendam, meskipun mereka mengabaikan Islam dalam prosesnya (sebagian mengadopsi agama baru hanya untuk alasan kepentingan pribadi).

Tidak ada nabi yang pernah diberikan ijin untuk menilai keimanan manusia – seperti yang berulang kali disebutkan dalam Qur'an, penilaian itu hanyalah hak Allah semata. Karena itu, pelayanan konstruktif dari tradisi sakral kita terletak dalam relevansinya sebagai alat kreativitas yang tak terhingga, bukan dengan menurunkannya menjadi keasyikan dengan penilaian budaya kontemporer.

Kita perlu mengakui dan menegaskan bahwa keragaman dan perbedaan adalah bagian dari tujuan Ilahiah dalam penciptaan – bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku sehingga kita bisa "saling belajar dan saling memperkaya" (Qur'an, 49:13). Primodialisme dan relativisme akan selalu menantang keragaman-–terutama ketika yang terakhir ditutup-tutupi sebagai toleransi; dan bukan karena orang-orang pada dasarnya tidak mampu hidup bersama-sama.

Kita perlu memperbarui pengabdian kita pada kebenaran, dan untuk mencarinya secara bebas melalui institusi ilmiah non-sektarian yang ada. Thomas Jefferson menyatakan: "Kebenaran adalah… antagonis yang benar dan memadai untuk kesalahan." Hanya melalui argumen dan perdebatan yang bebas serta penuh hormat sajalah ideologi bisa dinilai dan ditantang untuk kebaikannya sendiri.

Reformasi yang amat dibutuhkan—di seluruh dunia—adalah penilaian kembali secara jujur sumber-sumber asli mitos budaya yang menindas dan cara berpikir tirani.

Sebagai Muslim, kita perlu menetapkan barometer yang lebih tinggi terhadap kompetensi pelayanan disiplin ilmiah syariah. Ini akan memperlengkapi kita dengan kejelasan dan kepercayaan diri yang lebih tinggi, serta mencegah kita berdemonstrasi tanpa pikir panjang dalam protes yang penuh emosi, setiap kali angin bertiup menantang keyakinan kita.

Sebagai pemimpin keagamaan dari semua keyakinan, kita perlu memahami tanggungjawab kita atas alienasi dan kerenggangan di antara orang-orang beriman seluruh dunia. Langkah ini akan membangun kembali kredibilitas institusi kita, yang pada akhirnya akan menyalakan kembali imajinasi religius massa.

Akhir kalam, kita perlu memperbarui komitmen untuk fokus pada etos pelayanan yang sejuk dan tidak mementingkan diri sendiri sebagai panutan publik; hal ini tentu saja meneladani Rasulullah junjungan kita.

###

* Shaykh Abdallah Adhami adalah imam Arab-Amerika dan ilmuwan Islam terkemuka. Saat ini beliau bekerja pada eksplorasi implikasi linguistik dari ayat-ayat yang problematis dalam Qur'an. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.
 
 
2) Terobosan dalam Solidaritas Muslim-Kristen
Claude Salhani
 
Washington, DC – "Masa depan dunia bergantung pada perdamaian antara umat Muslim dan Kristen." Sebuah surat terbuka yang membawa pesan ini dikirimkan 138 pemimpin dunia Muslim paling senior kepada semua kepala gereja-gereja Kristen — termasuk Paus Benedict XVI, ditujukan kepada umat Kristen seluruh dunia menjelang Idul Fitri, hari raya umat Muslim yang menandai berakhirnya Ramadhan.

Surat ini, sebuah sambutan tangkai zaitun berprofil tinggi yang ditujukan kepada semua umat Kristen, digambarkan sebagai sebuah peristiwa yang sungguh bersejarah, bahkan di antara para penanda tangan dokumen tersebut, kita dapat menemukan nama beberapa pemimpin terkemuka dari Ikhwanul Muslimin.

"Semua orang menganggap ini merupakan peristiwa bersejarah," kata John L. Esposito, seorang profesor di Georgetown University dan direktur Center for Muslim-Christian Understanding: "…jika anda melihat sejarah Islam dan dunia Muslim, ini benar-benar merupakan kali pertama kita memiliki sebuah prakarsa yang memungkinkan umat Muslim secara bersama-sama berkumpul dan menyepakati apa yang mengikat mereka dengan umat Kristen," kata Esposito.

Memang, prakarsa para pemimpin Muslim dari seluruh dunia untuk menjangkau semua umat Kristen tersebut merupakan yang pertama, dan hal tersebut boleh dibilang terjadi tepat pada saat hubungan antara kedua masyarakat khususnya sedang mengalami ketegangan.

Ketegangan-ketegangan tersebut mulai mendidih dengan serangan-serangan teroris pada 11 September, 2001 atas New York dan Washington, DC, yang telah menyebabkan hampir 3.000 orang terbunuh. Serangan-serangan teroris yang mengaku-aku Muslim ini diikuti oleh serangkaian serangan berdarah serupa terhadap sasaran-sasaran Barat seperti London, Madrid, dan kota-kota lain. Kontroversi terhadap karikatur yang menyerang Nabi Muhammad di harian Denmark, yang menyebabkan kerusuhan-kerusuhan anti-Barat dari London hingga Islamabad, seperti disiram minyak oleh pernyataan-pernyataan yang merusak dari Paus tentang Islam dan kekerasan tidak lama setelahnya.

Perpecahan antara Barat dan Muslim kelihatannya semakin melebar.

Pendudukan atas Irak dan Afghanistan — dua negara Muslim — dipimpin oleh Amerika Serikat, dan kebanyakan kekuatan koalisi Barat tidak berbuat apa-apa untuk mengurangi ketegangan itu. Situasi semakin diperburuk ketika Presiden George W. Bush berbicara tentang "perang suci" di ambang perang Irak, yang menjadi anggapan banyak umat Muslim terhadap serangan dan pendudukan Irak.

Muncul dari kekacauan dan ketegangan antara Barat dan Islam, dokumen ini benar-benar merupakan "pertunjukan yang dramatis dan merupakan terobosan dari solidaritas internasional," mengingat surat tersebut digambarkan dalam sebuah pesan yang disampaikan atas nama para pemimpin umat Muslim.

Esposito, seorang ahli tentang Islam, menekankan bahwa umat Muslim dan Kristen sama-sama berbagi prinsip-prinsip cinta kepada satu Tuhan dan cinta kepada tetangga. Cendikiawan Georgetown tersebut menunjukkan sejumlah kesamaan-kesamaan antara Al Qur'an dan Injil.

Walaupun ada perbedaan bahasa antara Perjanjian Lama berbahasa Yahudi, perkataan-perkataan Yesus Kristus dalam bahasa Aramaik, dan perubahan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Yunani yang benar-benar terjadi. Perjanjian Baru, ketiga versi tersebut memiliki perintah yang sama: mencintai Tuhan sepenuh hati dan jiwa dan untuk sepenuhnya berbakti kepada-Nya. Kitab suci umat Muslim, Al Qur'an, pun membawa pesan yang sama.

"Setiap orang tertarik dengan perdebatan politik dan ekonomi, berbagai kesulitan, perjuangan, peperangan," kata Seyyed Hosein Nasr, profesor kajian Islam George Washington University, pada jumpa pers di Washington yang menandai peristiwa tersebut.

Perbedaan antara umat Kristen dan Muslim, kata para ahli teologi, lebih merupakan perbedaan teologi daripada politik.

"Tanpa penyelesaian teologis, tanpa sebentuk rasa penerimaan terhadap yang lain … segala penyelesaian cepat atau lambat akan menghilang," kata Nasr.

"Sejak pasca 11/9, pertanyaan umum yang diajukan adalah di manakah suara umat Muslim moderat? " kata Esposito. "Dokumen bersejarah ini merupakan pesan perdamaian dan toleransi yang jelas dan bening dari 138 pemimpin Muslim dari penjuru dunia Islam," kata Esposito.

Para penulis surat tersebut percaya bahwa dengan lebih dari setengah penduduk dunia yang terdiri atas umat Muslim dan Kristen, perdamaian dunia yang berarti hanya dapat terwujud dari perdamaian dan keadilan antara kedua agama tersebut.

Para penanda tangan dokumen tersebut, yang termasuk di antaranya para pemimpin Islam paling berpengaruh dunia, yang menyerukan toleransi, pengertian dan moderasi. Keunikan pendekatan ini terletak tidak hanya pada kenyataan bahwa umat Muslim telah mengulurkan dan membuka tangan mereka bagi umat Kristen, tetapi ini juga menandai "sebuah keberhasilan bersejarah dalam hal persatuan Islam," ujar Esposito.

Apa yang penting dalam hal ini adalah bahwa prakarsa itu mengumpulkan berbagai umat Muslim melintasi berbagai spektrum, menyatukan umat Sunni dan Syiah, serta berbagai orang yang meyakini mazhab-mazhab yang berbeda dalam kedua cabang Islam tersebut.

Kekuatan pendorong di balik surat ini, dan yang sebelumnya kepada Paus, adalah Royal Academy dari Yordania, sebuah LSM Islam Internasional yang bermarkas di Amman.

Walaupun 138 penanda tangan dokumen bersejarah ini merupakan mereka yang diakui sebagai para pemimpin Muslim, namun agar prakarsa ini berhasil mewujudkan kebutuhan-kebutuhannya ia memerlukan dukungan masal. Surat ini tidak diragukan lagi merupakan sebuah langkah yang membesarkan hati, tetapi seperti yang dikatakan oleh seorang komentator yang sinis, walaupun mereka orang-orang terkemuka, ini tetap merupakan nama 138 orang dari 1,6 miliar.

Memang, tugas berat menghadang para pemimpin Muslim arus utama — untuk menarik kembali perhatian Muslim dan Barat menjauh dari minoritas yang dimiliki tempatnya — sebagai sesuatu yang monumental seperti perbedaan antara 138 dan 1,6 miliar. Tetapi seperti kata pepatah, keimanan dapat memindahkan pegunungan.

###

* Claude Salhani adalah editor Middle East Times. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.
 
 
3) Re-narasi Pengalaman Muslim-Barat
Audifax
 
Surabaya, Jawa Timur—Hubungan Muslim-Barat masih menyimpan api dalam sekam, meski berbagai upaya menjembatani kedua peradaban tersebut telah dilakukan. Sejak peristiwa 9/11, mata kedua belah pihak semakin nyalang menatap satu sama lain. Lihat saja berbagai demonstrasi dan kekerasan yang merespon pidato Paus, atau pelarangan jilbab di Perancis. Tampaknya ada semacam sensitivitas yang akan terus berlangsung selama akarnya tidak ditemukan dan diselesaikan, dan potensi disharmoni akan terus membayang, seberapa keras pun jembatan itu dibangun.

Akar `polemik' hubungan Muslim-Barat terletak pada alam bawah sadar kolektif. Sesuatu di alam bawah sadar bersifat laten, namun memiliki kekuatan untuk menguasai kesadaran. Carl Jung, psikoanalitis terkemuka, menjelaskan mengenai shadow, yaitu lapisan terdalam dari kepribadian yang berisi sejumlah unsur psikis personal dan kolektif. Unsur-unsur itu relatif otonom dan bisa mempengaruhi tingkah laku aktual.

Shadow inilah yang membayangi hubungan Muslim-Barat. Elemen-elemen shadow berasal dari peristiwa masa lalu yang membekaskan luka di kedua belah pihak. Perang Salib di Abad Pertengahan misalnya, telah menorehkan luka dalam alam bawah sadar kolektif Muslim maupun Barat. Peristiwa 9/11 juga memiliki potensi yang sama. Luka-luka itu "membekas" dalam institusi-institusi sosio-kultural Muslim maupun Barat, mendekam dalam ingatan kolektif.

Bekas-bekas itu memperkuat stereotipe-stereotipe tertentu, mendorong sebagian orang Barat berkata, "Muslim adalah musuh bagi demokrasi, perempuan, homoseksual, dan agama lainnya," sementara sebagian Muslim mengatakan, "Barat hanya ingin mendominasi kita dan membusukan Islam."

Persepsi-persepsi seperti itu menciptakan tembok-tembok di antara individu maupun kelompok, serta menghalangi persentuhan dengan liyan.

Itulah mengapa, meski persetujuan perdamaian ditandatangani dan pernyataan publik akan kehendak baik dan kolaborasi telah dibuat, kontak yang jenuin antara Muslim dan mereka yang di Barat tetap dibutuhkan. Bagaimanapun, luka-luka abadi itu menciptakan fiksi bahwa si orang asing itu mengancam dan menakutkan, akibatnya sebagian orang tertipu oleh shadow yang bersemayam di alam bawah sadar kolektif, yang membisikan pada mereka bahwa orang-orang Barat itu kafir atau bahwa kaum Muslim menyebarkan doktrin dengan pedang. Stereotipe-stereotipe ini melahirkan rasa takut dan mengikis kesempatan menciptakan hubungan harmonis.

Re-narasi, sebuah teknik psikoanalisis untuk menanggulangi masa silam, berusaha mengatasi trauma luka-luka historis, mendekonstruksi narasi-narasi yang menggaungkan kecurigaan dan prasangka.

Re-narasi mentransformasikan cara orang melihat peristiwa-peristiwa traumatik, dari sesuatu yang mengancam dan pribadi sifatnya ke sesuatu yang netral dan objektif. Ketika peristiwa-peristiwa traumatik itu dipandang dari kacamata ini, kesedihan, luka, goresan, dan air mata menjadi superficial, mereka ternetralkan.

Kingdom of Heaven(2005), film epik karya Ridley Scott , adalah contoh re-narasi luka tak tersembuhkan dalam hubungan Muslim-Barat. Disadur secara bebas dari kehidupan Balian dari Ibelin, seorang bangsawan penting di kerajaan salib Jerusalem, pada Abad 12, film itu menyuguhkan bagaimana umat Muslim, Kristen, dan Yahudi dapat hidup bersama — sepanjang fanatisme dilemparkan ke laut. Film ini mendorong penonton untuk melangkaui soal "siapa benar dan siapa salah".

Hal ini ditunjukan oleh perkataan Balian: "The wall? The Mosque? The Sepulchre? Who has claim? No one has claim. All have claim! We defend this city not to protect these stones, but the people living within these walls." Dialog tersebut memotret perang tidak sebagai bagian identitas religius, namun sebagai perlindungan terhadap kaum lemah, menjaga perdamaian, dan kemanusiaan. Kingdom of Heaven merubah luka itu, menyapu shadow dari alam bawah sadar, meruntuhkan dinding-dinding yang menghalangi kekariban tulus dengan liyan.

The Hijabi Monologues adalah contoh lain dari re-narasi. Pementasan dua mahasiswa S-1 University of Chicago ini membangun sebuah ruang tempat perempuan Muslim Amerika dapat menebarkan kisah-kisah pribadi mereka dengan kata-kataa mereka sendiri. Melalui kekuatan re-narasi, seluruh klaim ditentang dan generalisasi dilawan. Para pendengarnya dibukakan pintu untuk berbagi pengalaman-pengalaman manusia dan memperkaya pemahamannya akan kehidupan parempuan-perempuan itu, melepaskan penilaian-penilaian dangkal berdasarkan penampilan mereka.

Melalui re-narasi, pengamalaman traumatik lebih bisa direlakan, sehingga manusia bukan seperti pejalan yang selalu terhenti di tugu peringatan. Menerima masa lalu tak harus berarti melupakan peristiwa-peristiwa traumatik, tetapi rela dan ikhlas atas apa yang telah terjadi. Dalam kerelaan ini terdapat pemaafan tak bersyarat bagi liyan, sebab ia bukanlah barter finansial atau fisik.

Re-narasi dapat dilakukan melalui medium apa saja: fotografi, seni rupa, teater, tari, sastra, komedi situasi, bahkan berita. Hanya dengan dongeng yang jujur, mau mendengarkan dan memahami, shadow yang terkunci dalam ruang bawah tanah kesadaran Muslim maupun Barat—termasuk orang-orang Barat yang Muslim—terbebaskan. Hanya dengan begitulah upaya penjembatanan dan perdamaian dapat kita harapkan keberhasilannya.

###

* Psikolog, penulis buku Penulis buku "Mite Harry Potter" (2005) dan "Imagining Lara Croft" (2006). Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.
 
 
4) Indonesia: Apakah Sekularisme Sebuah Pilihan?
Ali Noer Zaman
 
Jakarta – Selama sebulan kunjungannya ke Indonesia antara bulan Juli hingga Agustus 2007, Profesor Abdullahi Ahmed An-Na'im, seorang intelektual Muslim Sudan yang sekarang mengajar di Emory School of Law di Amerika Serikat, berkampanye ke negara-negara Muslim untuk menerapkan sistem sekuler dalam tata pemerintahan. Dalam sistem ini, negara tidak didasarkan pada sebuah ajaran agama tertentu, yang penafsirannya dimonopoli oleh pihak berkuasa. Negara juga tidak seharusnya mencampuri keyakinan-keyakinan dan pelaksanaan-pelaksanaan agama warga, kecuali memberi bantuan kepada lembaga-lembaga keagamaan.

An-Na'im tidak setuju dengan upaya organisasi-organisasi politik dan sosial yang mendukung penerapan syariah, sistem politik yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Ia percaya bahwa syariah didasarkan pada tafsiran agama yang terikat waktu dari para cendikiawan era sebelumnya. Tafsiran-tafsiran kuno ini memiliki banyak kekurangan, seperti perendahan harkat perempuan dan non-Muslim sebagai warga negara kelas dua dalam masyarakat.

Memang, perdebatan seputar negara sekuler versus Islam dalam dunia Muslim bukan hal baru, dan telah berkobar sejak berakhirnya khalifah Ottoman pada tahun 1924. Di Mesir, cendikiawan Islam Ali Abdul al-Raziq memicu kontroversi dengan bukunya Islam wa Ushul al Hukm (Islam dan Landasan Pemerintahan), yang di dalamnya ia menyatakan bahwa pesan utama Nabi Muhammad hanya berhubungan dengan urusan-urusan keagamaan, sementara urusan-urusan umum diserahkan kepada umat. Ia menolak penggabungan urusan-urusan keagamaan dan pemerintahan di bawah kendali seorang khalifah yang bertindak sebagai penerus Rasul.

Bukan suatu kebetulan jika An-Naim memilih untuk berpidato di Indonesia, sebuah negara dengan sejarah panjang nasionalisme sekuler yang masih berjuang dengan seruan-seruan pelaksanaan negara yang diatur oleh hukum-hukum agama.

Sukarno (1901-1970), presiden pertama Republik Indonesia dan seorang nasionalis sekuler, merupakan pemimpin Muslim Indonesia pertama yang memicu wacana pemisahan agama dari politik, dengan menolak Islam sebagai ideologi politik, dan memilih demokrasi sekuler sebagai landasan bagi pemerintah negara tersebut. Baginya, Islam dalam sebuah negara sekuler tidak akan dipinggirkan, tetapi sebaliknya akan berfungsi sebagai kekuatan moral masyarakat Muslim.

Sebagai tanggapan, Muhammad Natsir (1908-1993), seorang cendikiawan Indonesia yang terkenal karena orientasi Islamnya, yakin bahwa Islam dan negara saling terkait erat; yang pertama sebagai ideologi dari yang kedua. Dalam praktiknya, negara harus dikendalikan oleh otorita Muslim sebagai medium bagi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam, seperti mengatur zakat, pernikahan agama, dan pelarangan minuman beralkohol dan zinah.

Ketika pemerintah Orde Baru Suharto (1967-1998) menggalakkan kembali modernisasi, masyarakat Muslim secara umum mencurigainya memiliki agenda tersembunyi untuk mengurangi peran Islam dalam kehidupan sosio-politik. Untuk keluar dari jalan buntu, seorang pemikir muda Nurcholish Madjid (1939-2005) membuat terobosan dengan mengajukan sebuah gagasan bahwa nilai-nilai Islam dapat diwujudkan melalui pembangunan spiritual dan kebudayaan. Menggolongkan Islam sebagai ideologi politik tidak hanya akan memerangkap agama dalam konflik-konflik kepentingan agama. Dalam perkataannya: Islam, yes; partai politik Islam, no.

Indonesia pasca zaman Suharto tetap mempertahankan Pancasila, sebuah ideologi politik yang terdiri atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun, tuntutan-tuntutan bagi pelaksanaan syariah tetap terdengar seiring banyaknya organisasi-organisasi sosial Muslim yang mencoba untuk menyatukan wajah-wajah syariah dengan menyembunyikan mereka dalam sebuah perubahan pasal 29 dari UUD 1945, yang berbunyi: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Pada sebuah survei nasional tahun 2002 yang dilaksanakan oleh Pusan Penelitian Islam dan Masyarakat Universitas Negeri Syarif Hidayatullah, masyarakat Muslim Indonesia menunjukkan peningkatan ketertarikan terhadap sebuah negara Islam. Dalam kajian ini, misalnya, 71% responden mendukung pelaksanaan syariah di Indonesia. Namun, penting untuk dicatat bahwa hanya 33% yang setuju dengan pemotongan tangan pencuri sebagai hukuman bagi pencurian, yang menurut sebagian Muslim merupakan contoh paling mendasar dari pelaksanaan syariah. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa walaupun mayoritas responden berbeda-beda pemahamannya tentang seperti apa bentuk syariah nantinya.

Sebagai tambahan, hasil dari pemilihan umum demokratis pada 1999 dan 2004 menunjukkan bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih setia kepada partai-partai sekuler nasionalis seperti Partai Golkar, yang juga dikenal sebagai Partai Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, bukannya partai-partai berbasis Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Keadilan Sejahtera.

Jajak pendapat nasional yang diadakan oleh Institut Survei Indonesia pada awal bulan Oktober, juga menunjukkan penurunan dukungan terhadap organisasi-organisasi Islam radikal seperti Jamaat Islamiah, Fron Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Mujahidin Indonesia karena berbagai alasan, termasuk kurangnya sumber-sumber daya keuangan dan ketidakmampuan menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam gerakan-gerakan sosio-politis.

Jika hasil-hasil jajak pendapat ini dijadikan pegangan, Indonesia kelihatannya tidak akan menjadi sebuah negara Islam dalam waktu dekat.

###

*Ali Noer Zaman adalah seorang penulis masalah-masalah sosial keagamaan. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.
 
 
5) ~Pandangan Kaum Muda~ Komik Menjembatani Kesenjangan Kebudayaan
Michael Chou dan Yousef Morshedy
 
Washington, DC/Maadi, Mesir – Salah satu cara melihat ketegangan-ketegangan antara dunia Muslim dan Barat adalah sebagai "perang gagasan", dengan masing-masing pihak mencoba untuk mempengaruhi "hati dan pikiran" yang lain. Paradigma ini menunjukkan bahwa pada jantung ketegangan ini terletak kesalahpahaman dan stereotip ketika menyangkut budaya, nilai, dan ideologi orang lain. Boleh dibilang, karena itu, prakarsa-prakarsa terobosan diplomasi publik yang mengatasi akar-akar permasalahan ini mungkin merupakan sarana yang efektif dalam perbaikan hubungan Muslim-Barat.

Karena tujuan ini, pemerintah dan organisasi-organisasi lain memberikan perhatian lebih kepada aspek-aspek kebudayaan dari upaya-upaya diplomasi mereka melalui prakarsa-prakarsa seperti festival-festival film internasional dan pameran-pameran buku yang memperkenalkan penduduk asing terhadap perbedaan budaya dan nilai.

Tentu saja, hubungan yang baik mana pun harus merupakan hubungan dua arah. Menjembatani ketegangan antar budaya membutuhkan penerimaan kedua belah pihak untuk mempelajari satu sama lain. Yang lebih penting, kedua pihak harus mengambil sebuah prakarsa dalam mengkomunikasikan nilai-nilai mereka untuk memperluas pemahaman antar kebudayaan.

Yang mengejutkan, komunikasi efektif dan pertukaran gagasan, nilai dan perspektif Muslim dan Barat dapat terjadi melalui dunia perkomikan dan animasi.

Lebih dari satu dekade, industri penerbitan komik dan animasi telah berkembang menjadi pasar miliaran dolar, yang kelihatannya didominasi oleh perusahaan-perusahaan Jepang. Kebangkitan industri perkomikan dan animasi Jepang merupakan fenomena baru. Dalam 20 tahun terakhir, berbagai serial komik dan animasi Jepang telah memperoleh popularitas besar di penjuru dunia. Dengan sembunyi-sembunyi bertindak sebagai produk-produk kebudayaan Jepang, kelihatannya masuk akal untuk berandai-andai bahwa ketika generasi anak-anak Jepang tumbuh dewasa, sentimen-sentimen anti-Jepang yang bertahan dari Perang Dunia II di negara-negara seperti Cina mungkin diredam oleh interaksi-ineteraksi baru dengan budaya Jepang ini.

Dari perspektif ini, komik dan animasi kelihatannya merupakan kendaraan yang aman tempat lewatnya nilai-nilai kemasyarakatan dapat disampaikan kepada anak-anak. Memang, anak-anak kelihatannya lebih terbuka terhadap bauran gambar dan suara yang kreatif dalam animasi, yang boleh dibilang meningkatkan kualitas komunikasi. Dengan membidik anak-anak — pemimpin masa depan planet, benih-benih pemahaman antar kebudayaan disemai.

Juga bagi orang dewasa, kelihatannya elemen-elemen kebudayaan dan balasan kebudayaan dalam komik dan animasi telah menghasilkan sebuah mobilisasi masyarakat global melalui daya tarik mereka bagi sasaran yang melintasi bangsa-bangsa. Pada tahun 2006, dunia menyaksikan mobilisasi masyarakat Muslim menyusul penerbitan panel kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad oleh sebuah harian Denmark. Pada tahun yang sama, Asia-Europe Foundation mengumpulkan para artis komik Asia dan Eropa di Singapura untuk mengembangkan sebuah terbitan bersama. Reaksi-reaksi bersama ini merupakan contoh dari kekuatan luar biasa komik dan animasi.

Dari sudut pandang ini, merupakan sebuah kebodohan jika pemerintah dan organisasi-organisasi swasta yang tertarik dalam bidang seni rupa dan kebijakan kebudayaan tidak memanfaatkan potensi penerbitan komik dan animasi sebagai wadah bagi perantaraan kebudayaan.

Buku-buku komik Muslim seperti 99 terbitan Teshkeel Comics telah memberikan awal yang menjanjikan. Terjadi di saat kejatuhan Baghdad pada tahun 1258, dan kejatuhan Granada pada tahun 1492, 99 berputar sekitar 99 pahlawan dari 99 negara, yang masing-masing memiliki "Batu Cahaya" yang memberikan kekuatan-kekuatan khusus bagi 99 karakter berbeda tersebut.

Menurut Dr. Naif Al-Mutawa, pendiri dan CEO Teshkeel Media Group, "99 menggabungkan sejarah dengan fiksi dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan global yang secara tidak langsung merupakan 99 sifat Allah — nilai-nilai seperti kebaikan, kekuatan, kebijaksanaan, pandangan jauh ke depan dan belasan lainnya yang sayangnya tidak digunakan untuk menggambarkan Islam di media, dewasa ini. Jadi tidak hanya 99 nilai yang sedang disampaikan, tetapi 99 cara penyelesaian konflik untuk diterapkan."

Kenyataannya, kunci keberhasilan 99, dan pada akhirnya keefektifannya sebagai sebuah medium pertukaran lintas kebudayaan, kelihatannya menjadi bauran dari nilai-nilai Islam ini dengan sebagian besar gambaran dan paparan komik Barat. Pembaca Muslim dihadapkan kepada estetika Barat sementara pembaca Barat diberikan panduan informal tetapi menarik terhadap nilai-nilai Islam tertentu.

Komik dan animasi mungkin juga digunakan dalam prakarsa-prakarsa diplomasi publik kreatif pada tingkat antar pemeritnahan yang lebih formal. Prakarsa-prakarsa diplomasi publik mungkin bertujuan pada mempermudah kerjasama di antara para perwakilan yang berkepentingan dari pemerintah Islam dan Barat, untuk bersama-sama memproduksi serial komik dan animasi yang terstruktur melalui mana nilai-nilai kebudayaan dapat disampaikan.

Perdamaian dan stabilitas global membutuhkan, pertama dan terutama, sebuah pemahaman dan penghormatan terhadap budaya-budaya dan perspektif-perspektif yang berbeda. Komik dan animasi, sebagai medium bagi pertukaran berbagai gagasan dan norma kebudayaan yang mendorong pengertian, kelihatannya merupakan format yang sesuai bagi prakarsa-prakarsa diplomasi publik inovatif untuk tujuan ini.

###

* Baik Michael Chou maupun Yousef Morshedy menghargai dan menikmati komik dan animasi. Michael sedang menyelesaikan gelar gabungannya dalam kedokteran dan seni pada University of Melbourne. Yousef sedang kuliah jurnalisme, komunikasi massa dan adminisrasi bisnis pada American University di Kairo. Mereka bersama-sama menulis artikel ini sebagai bagian dari program dialog antarkebudayaan Soliya. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2007, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.
 
 
Pandangan Kaum Muda

CGNews-MK juga secara berkala mempublikasikan tulisan-tulisan para mahasiswa jurnalis yang memperkuat pemahaman antar budaya dan mendorong perspektif dan dialog konstruktif di lingkungan mereka sendiri. Mahasiswa jurnalis dan para penulis di bawah usia 27 tahun dianjurkan untuk menulis kepada Chris Binkley (cbinkley@sfcg.org) untuk informasi lebih lanjut tentang pengiriman tulisan.
 
Tentang CGNews-MK

Kantor Berita Common Ground - Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK) mempublikasikan berita, opini, feature dan analisis oleh para ahli baik lokal maupun internasional mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan hubungan Muslim-Barat. CGNews-MK mengumpulkan artikel-artikel yang berimbang dan berorientasi-solusi dari media massa di seluruh dunia. Dengan dukungan dari pemerintah Inggris, Norwegia dan Amerika Serikat, United States Institute of Peace, serta para donatur pribadi, layanan ini merupakan inisiatif nir-laba dari Search for Common Ground, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang bergerak di bidang transformasi konflik.

Layanan ini merupakan salah satu hasil dari serangkaian pertemuan kerja yang diadakan dengan kemitraan bersama Pangeran HRH El Hassan bin Talal di Jordania, pada bulan Juni 2003.

Kantor Berita Common Ground juga membuat dan menyebarluaskan artikel-artikel berorientasi-penyelesaian masalah yang ditulis oleh para ahli baik lokal maupun internasional demi memajukan perspektif yang membangun dan mendorong dialog mengenai masalah-masalah Timur Tengah dewasa ini. Layanan ini, Kantor Berita Common Ground - Timur Tengah (CGNews-TT), juga tersedia dalam bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Hebrew. Untuk berlangganan, klik di sini.

Pandangan yang disampaikan dalam artikel-artikel ini merupakan pandangan para pengarangnya, dan bukan pandangan CGNews-MK atau afiliasinya.

Kantor Berita Common Ground
1601 Connecticut Avenue, NW Suite #200
Washington, DC 20009 USA
Ph: +1(202) 265-4300
Fax: +1(202) 232-6718

Rue Belliard 205 Bte 13 B-1040
Brussels, Belgia
Ph: +32(02) 736-7262
Fax: +32(02) 732-3033

Email : cgnewspih@sfcg.org
Website : www.commongroundnews.org

Editor
Leena El-Ali (Washington)
Juliette Schmidt (Canada)
Rami Assali (Jerusalem)
Chris Binkley (Dakar)
Emmanuelle Hazan (Geneva)
Nuruddin Asyhadie (Jakarta)
Andrew Kessinger (Washington)

Penerjemah
Françoise Globa (Geneva)
Rio Rinaldo (Jakarta)
Sireen Hashweh (Jerusalem)


CGNews adalah kantor berita nir-laba.

 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

Yahoo! Groups HD

The official Samsung

Y! Group for HDTVs

and devices.

Dog Groups

on Yahoo! Groups

Share pictures &

stories about dogs.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar