Kamis, 04 Oktober 2007

[psikologi_transformatif] $ubject: Re: Lelakon

Mampir bentar Di...(belum bisa nulis serius seperti yang kau minta).

kau nulis seperti ini :
"Di sini kita mesti memahami bahwa formasi ego dalam 'Diri' adalah
alienasi. Sang anak manusia dapat menjadi 'subjek' ketika ia
menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon-lakon
yang mesti ia mainkan di panggung sandiwara kehidupannya. Lakon-
lakon yang merupakan liyan dari dirinya sendiri. Slavoj Žižek, salah
satu lacanian sayap kiri, menjelaskan hal ini secara lebih konkret.
Menurut Žižek, subjek kehilangan keutuhan karena begitu masuk
tatanan kultural ada lubang yang selalu menyertai hidupnya."

Baca tulisanmu ini menarik, jadi ketawa aku ingat dialognya
pangapora yang kayak gini (ini tentang Tokoh Perempuan)

"Untuk itu, kita butuh tokoh mahasiswi yang orisinil,"

"Apa ukurannya?"

"Pertama, tidak terkenal,"

"Bagaimana mungkin?"

"Setidaknya, dia tidak mencoba untuk terkenal,"

"Tapi kan pasti dikenal?"

"Ya. Dikenal di kalangannya saja,"

"Terus?"

"Tidak punya blog,"

"Haha...."

"Kenapa ketawa?"

"Maksudmu mungkin, tidak suka nangis di blognya, gitu?"

"Nggak tahu lah,"

"Ketiga?"

"Ketiga, tidak suka jualan,"

"Hush! Mulai ngawur!"

"Ya, ya, ya. Tidak suka jualan. Jelas itu!"

"Haha.... Iya, iya.... Gimana maksud tidak suka jualan itu?"

"Ya begitu; tidak suka jualan nangis, jualan cerita pribadi, jualan
senyum, jualan kedip, jualan merah, jualan laut, jualan dirinya -
dalam kurung: suka minta dinilai, suka minta disanjung, suka minta
diminta fotonya, dan seterusnya dan seterusnya-..."

"Hahaha.... Ntar dulu. Kita ini mau ngomongin tokoh perempuan apa
mau ngomongin perasaan kamu sih? Yang bener dong...."

"Hahaha...."

"Gantian kamu yang ketawa!"

"Iya, kamu lucu juga. Kadang telmi, tapi kadang cerdas juga. Gimana
kalau kamu yang jadi tokoh perempuannya?"

Obrolan ringan macam begini mirip seperti yang kau tulis tentang
menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon, versi
banyolannya :)

Jeni

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
<audivacx@...> wrote:
>
> Judul : Lelakon
> Penulis: Lan Fang
> Kata Penutup: Audifax
> Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
> Cetakan: I, September 2007
> Harga: Rp. 35.000,-
>
>
> $ubject: Re: Lelakon
>
> Oleh:
> Audifax
> Penulis buku "Mite Harry Potter" (2005) dan "Imagining Lara Croft"
(2006)
>
> Dan aku menangis
> dan aku terluka, bila...kau menghilang
> Yang kau tinggalkan hanyalah luka
> dan semua t'lah menghilang
>
> Garasi
> --Hilang--
>
> Dalam kisah Harry Potter, ada scene, yang tak akan mudah
dilupakan, yaitu saat Harry Potter melihat bayangan dirinya di
Cermin Tarsah (Mirror of Erised). Harry yang belum pernah melihat
keluarganya, dalam cermin itu tampak ia berdiri di tengah-tengah
keluarganya. Sedangkan Ron Weasley, yang merasa minder dengan
prestasi kakak-kakaknya, melihat pantulan dirinya di Cermin Tarsah
sedang berdiri sendiri dengan medali dan piala di tangannya. Sejak
melihat Cermin Tarsah, setiap malam Harry pergi ke tempat cermin itu
disimpan dan menatap bayangan dirinya. Hingga suatu ketika
Dumbledore memberitahu bahwa cermin itu tak memberi apa-apa. Banyak
orang telah tersia-sia hidupnya di depan cermin itu, karena mereka
bahkan tak tahu apakah yang dilihatnya itu mungkin.
>
> Cermin Tarsah (Mirror of Erised) adalah Cermin Hasrat (Mirror of
Desire). Cermin itu memantulkan citraan lakon apapun yang diinginkan
oleh orang yang melihatnya. Dalam pantulan cermin itulah `mengalir'
hasrat, persis di titik ketika `Aku' melihat `Liyan' dan mengira
Liyan di cermin itu adalah `Aku'. Hasrat mengalir ketika `Aku'
lantas ingin menjadi Liyan, menghasrati Liyan itu menjadi milikku,
menyatu denganku. Seperti dialami Harry dan Ron, hasrat akan Liyan,
sejatinya hasrat memenuhi `kekurangan' (lack) yang ada pada Diri
manusia. Pemenuhan yang tak pernah usai selama manusia masih berada
di panggung kehidupan ini. Pemenuhan hasrat inilah yang bisa kita
lihat pada lakon-lakon yang ditampilkan Lan Fang dalam
novel 'Lelakon'
>
> `Cermin' adalah kunci dalam `Lelakon'. Selain ditampilkan dalam
sejumlah scene, terdapat kalimat kunci menjelang akhir kisah:
>
> Cermin lemari menubruk cermin hias di depannya
> Ada di sisi kanan dan kiriku
> Bayangan yang dipantulkan saling menumpuk
> Itu aku. Tidak tahu itu aku sungguhan atau aku yang pura-pura
>
> Singkatnya, seperti Sang Cermin Ajaib dalam kisah Snow White,
yang menimbulkan rasa iri Sang Ratu karena mengatakan bahwa yang
tercantik adalah Snow White, seperti itu pula 'cermin-cermin' dalam
hidup kita. Kita pun kerap tak puas jika cermin itu belum mengatakan
bahwa Diri kitalah yang ideal. Lakon-lakon manusia tak puas inilah
yang ditulis Lan Fang dalam novel 'Lelakon'.
>
> Relasi Cermin/Relasi Lelakon
> Membaca 'Lelakon', mengingatkan saya pada psikoanalisis neo-
freudian dari Jacques Lacan. Pada scene-scene di mana Lan Fang
menampilkan 'cermin', terasa dekat untuk dibahas dalam konsep relasi
cermin psikoanalisis Lacan. 'Cermin' merupakan cara Lacan
menggambarkan bagaimana manusia masuk ke dalam tatanan budaya.
Dijelaskan Lacan, bahwa di usia awal, sebelum anak memasuki fase
cermin (mirror-stage), anak masih belum bisa merasa dirinya sebagai
bagian-bagian utuh. Pada masa itu, Sang Anak masih mengarahkan
hasratnya pada ibu. Sampai suatu ketika sang ibu (m/other), sang
liyan pertama dalam hidup anak, membawa anak pada cermin, lalu
mengatakan"Itulah kamu!".
> Sejak melihat pantulan dirinya di cermin, yang (seakan) utuh
penuh, anak pun lantas menghasrati bayang-bayang di cermin. Setelah
dewasa, pantulan itu bisa berasal dari etnis, agama, pendidikan,
status, dan berbagai hal yang bisa ditunjuk sebagai "Itulah kamu!".
>
> Namun, inilah cara agar anak manusia bisa diterima dalam tatanan
budaya, anak mesti menghasrati untuk menjadi bayang-bayang cermin
yang ada dalam budaya. Menjadi lakon-lakon yang dipantaskan di
budaya. Di situlah kita bisa mendalami bagaimana hasrat 'Ada' dalam
pantulan 'Diri' di cermin. Manusia yang melihat dirinya 'utuh-penuh'
di cermin ingin merengkuh citraan itu menjadi dirinya. Sayang, itu
hanya citraan, justru dirinyalah yang terengkuh masuk dalam citraan.
>
> Hasrat manusia memperoleh keutuhan identitas diri, justru
menyerakkannya dalam potongan-potongan diri yang bukan dirinya.
Potongan-potongan, yang malangnya, mesti ia lakonkan dalam panggung
kehidupannya. Selain cermin, hasrat adalah kunci lain membaca
Lelakon. Hasrat berasal dari tempat tak bernama yang menjadi asal
dari segala menjadi. Tak ada keinginan ataupun lakon kehidupan yang
tak menyimpan genesis hasrat di dalamnya. Manusia pun bukan lagi
mahkluk berakal budi, melainkan mahkluk berhasrat.
> Situasi ini digambarkan Lan Fang melalui tokoh-tokoh
dalam 'Lelakon': Demi hasrat memenuhi uang setoran, Mon memainkan
kartu Ratu yang memantulkan wajah-wajah bukan dirinya. Mon juga suka
mengintip dan mengorek lubang di dinding agar bisa melihat pantulan
liyan di sebelah rumah yang lebih kaya raya darinya. Bulan melihat
pantulan Fantasi di bola kristal dan Fantasi menjadi Bulan ketika
bola kristal pecah. Tongki menghasrati Mon. Marbuat menghasrati
Fantasi. Kisun menghasrati Mintul. Silang sengkarut hasrat saling
memantul. Hasrat terhadap tubuh. Hasrat terhadap kekayaan. Hasrat
terhadap status. Panggung kehidupan menjadi panggung kegilaan ketika
hasrat saling bersilang-bertubrukan.
>
> 'Cermin Hasrat' adalah 'sesuatu' yang meretakkan, membelah
keutuhan diri. Dalam relasi cermin, selalu ada 'Aku' dan 'Aku-yang-
bukan-aku'. Demikian pula dalam panggung kehidupan. Selalu ada
cermin-cermin hasrat yang membuat 'Diri' selalu me-lelakon-kan 'Diri-
yang-bukan-diriku'. Subjek menjadi terbelah dan manusia tak pernah
bisa merekonsiliasi keterbelahan dirinya dan mirror-image. 'Aku'
yang berbicara adalah sekaligus 'Aku-yang-dibicarakan'. 'Aku' yang
memandang (cermin) adalah juga aku yang dipandang. Titik di mana
saya melihat diri di cermin hasrat, adalah titik di mana saya tak
pernah bisa melihat imaji akan saya (I) yang ideal, melainkan
hanya 'saya-saya' yang kultural.
>
> Di sini, kita dapat mencermati bahwa dalam relasi pandangan,
selalu ada jarak atau jeda antara mata yang memandang dan objek yang
dipandang. Jeda yang membelah antara 'Aku' dan 'Liyan'. Pada jeda
pandangan inilah manusia mengisikan hasrat, sehingga objek yang
dipandang bukan sekedar objek tapi memiliki makna. Jeda pandangan
pada relasi cermin terjadi antara lain ketika Mon mengintip tetangga
sebelah (baca; liyan) melalui lubang di tembok yang memisahkan
rumahnya dan rumah tetangganya:
>
> Ketika ia (Mon) memicingkan mata melihat apa yang ada di tembok
sebelah, Mon seperti melihat mimpi karena ia melihat dunia lain yang
berbeda dengan dunia yang setiap hari dilakoninya. Ia berpikir,
mungkin ia tidak tinggal di dunia yang sama dengan orang-orang dari
tembok sebelah itu. Karena yang dilihatnya, matahari di dunia di
balik tembok itu tidak pernah terbenam
>
> Persis seperti Sang Ratu yang merasa dirinya 'kurang' ketika
Cermin Ajaib mengatakan Snow White-lah yang paling cantik, seperti
itulah hasrat mengaliri jeda pandangan sehingga 'Aku' selalu
menghasrati menjadi seperti 'liyan' di cermin. Liyan di cermin
selalu tampak lebih utuh, lebih ideal, bak matahari yang tak pernah
terbenam.
>
> Di sini kita mesti memahami bahwa formasi ego dalam 'Diri'
adalah alienasi. Sang anak manusia dapat menjadi 'subjek' ketika ia
menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon-lakon
yang mesti ia mainkan di panggung sandiwara kehidupannya. Lakon-
lakon yang merupakan liyan dari dirinya sendiri. Slavoj Žižek, salah
satu lacanian sayap kiri, menjelaskan hal ini secara lebih konkret.
Menurut Žižek, subjek kehilangan keutuhan karena begitu masuk
tatanan kultural ada lubang yang selalu menyertai hidupnya. Seperti
Sisifus yang melakukan kesia-siaan mendorong batu yang akhirnya toh
menggelinding lagi ke bawah, seperti itu pula kesia-siaan yang
dilakukan manusia untuk menambal lubang itu sepanjang hidupnya.
>
> Bagaimana manusia melakukan kesia-siaan inilah yang digambarkan
Lan Fang dalam 'Lelakon'. Tak ada akhir yang membuat lubang itu
tertutup penuh. Manusia tak pernah purnama. Sejatinya, melalui lakon-
lakon yang tiap kali dimainkan seorang manusia dalam hidupnya,
dirinya tengah mengompensasi kekurangannya melalui fantasi lakon-
lakon itu. Fantasilah yang kemudian mengambil tempat 'Diri'.
Fantasilah yang menari di atas nganga lubang yang selalu ada dalam
diri anak manusia yang terjerat jejaring kultural. Persis seperti
digambarkan dalam scene ketika Fantasi mengambil-alih posisi Bulan.
Fantasi mengalienasi Bulan dari tempat yang semestinya menjadi
miliknya. Inilah tragedi yang membuat manusia selalu menjalankan
peran di dunia dengan keterbelahan antara 'Diriku' dan 'Bukan-
Diriku' yang mengambil alih posisi 'Diriku'.
>
> Subjek yang terbagi ($)
> Dalam perspektif lacanian, subjek sebagai yang mengalami dunia,
selalu dalam keadaan terbagi. Apabila kita mengatakan "Saya
adalah...", saat itulah kita terbagi menjadi: 1) "Saya" yang
mengatakan kalimat, dengan 2) "Saya" yang ada dalam kalimat. Dan,
pada titik ini "Saya adalah..." merupakan selalu akan jawaban atas
pertanyaan "Kamu siapa?" yang diajukan oleh Liyan. Ketika
menjelaskan "Saya adalah..." selalu ada acuan 'citra cermin'
seperti: profesi, etnis, agama, sosial-ekonomi, dan seterusnya.
Itulah lelakon-lelakon kita. Ketika seseorang mengatakan "Saya
adalah penulis" maka ada citra cermin penulis yang diambil dan
dilakonkannya.
>
> Pada gilirannya, karena setiap kali menjelaskan "Saya adalah..."
manusia mesti mengambil citra cermin tertentu, maka setiap pemeranan
suatu lelakon kehidupan, akan memaksa manusia untuk terbetot keuar,
mengalami keterbelahan antara 'Saya yang mengucapkan' dan 'Saya yang
tengah diucapkan'. Subjek bukanlah S, melainkan $, atau Subjek yang
terbelah. Manusia, dengan demikian, adalah sebuah retakan realitas
yang secara ontologis konsisten. Selalu ada retakan antara 'Saya'
dan 'Liyan'. Selalu ada Liyan yang menghantui dan bisa muncul baik
di dalam maupun di luar diri.
>
> Membaca 'Lelakon' barangkali bisa kita gunakan juga untuk
membaca-ulang filsafat terkenal Rene Descartes. Dalam pemikirannya
yang paling dikenal, Descartes mengatakan "Aku berpikir maka Aku
ada" (Cogito Ergo Sum). Benarkah ketika manusia berpikir, manusia
menjadi Ada? Bukankah dalam novel 'Lelakon' ini justru bisa dilihat
bahwa saat saya berpikir justru saya terbelah menjadi 'saya yang
berpikir' dan saya yang ada dalam pikiran'? Bukankah justru 'saya
yang ada dalam pikiran' yang akan terus 'Ada' sementara 'saya yang
berpikir' seketika akan meniada begitu saya melelakonkan 'saya yang
ada dalam pikiran saya'? Bukankah sang penulis (the author) seketika
akan kehilangan otoritas (authority) atas pikiran yang ditulisnya
begitu tulisan itu dibaca orang lain (baca: liyan)?
>
> Jawaban atas semua pertanyaan itu, bisa anda peroleh melalui
refleksi atas pembacaan anda pada novel 'Lelakon'. Dan saat refleksi
itu terjadi, barangkali andapun akan menjadi subjek yang terbelah
($). Kenapa? Karena yang ada dalam pikiran anda sudah bukan anda
lagi, melainkan pikiran Lan Fang yang hinggap di benak anda. Anda
terbelah menjadi 'Anda yang berpikir' dan 'pikiran Lan Fang yang
hinggap di benak anda'.
>
> Selamat membaca dan berpikir!
>
>
>
> ---------------------------------
> Boardwalk for $500? In 2007? Ha!
> Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at
Yahoo! Games.
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Groups

Endurance Zone

A Yahoo! Group

for better endurance.

Official Samsung

Yahoo! Group for

supporting your

HDTVs and devices.

Yahoo! Groups

Dog Zone

Connect w/others

who love dogs.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar