Kamis, 04 Oktober 2007

[psikologi_transformatif] $ubject: Re: Lelakon

Nggak, cuman sesekali memang harus mudik ke "alam" saya ha..ha..
Salam buat pekalongannya mas Edy!

Oh ya, yang bagus kalau nulis tentang tan malaka itu zen, anak
sejarah, si penulis kematian itu.

Jeni

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "Edy Susanto"
<aldo_richard@...> wrote:
>
> mbak jeni sudarwati
> lama gak kelihatan. kemana saja mbak ?
>
> sedang nulis buku tentang
> " tan malaka "
>
> salam,
> edy
> pekalongan
>
>
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "Jeni Sudarwati"
> <sudarwati_jeni@> wrote:
> >
> > Mampir bentar Di...(belum bisa nulis serius seperti yang kau
> minta).
> >
> > kau nulis seperti ini :
> > "Di sini kita mesti memahami bahwa formasi ego dalam 'Diri'
adalah
> > alienasi. Sang anak manusia dapat menjadi 'subjek' ketika ia
> > menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon-
lakon
> > yang mesti ia mainkan di panggung sandiwara kehidupannya. Lakon-
> > lakon yang merupakan liyan dari dirinya sendiri. Slavoj Žižek,
> salah
> > satu lacanian sayap kiri, menjelaskan hal ini secara lebih
> konkret.
> > Menurut Žižek, subjek kehilangan keutuhan karena begitu masuk
> > tatanan kultural ada lubang yang selalu menyertai hidupnya."
> >
> >
> > Baca tulisanmu ini menarik, jadi ketawa aku ingat dialognya
> > pangapora yang kayak gini (ini tentang Tokoh Perempuan)
> >
> > "Untuk itu, kita butuh tokoh mahasiswi yang orisinil,"
> >
> > "Apa ukurannya?"
> >
> > "Pertama, tidak terkenal,"
> >
> > "Bagaimana mungkin?"
> >
> > "Setidaknya, dia tidak mencoba untuk terkenal,"
> >
> > "Tapi kan pasti dikenal?"
> >
> > "Ya. Dikenal di kalangannya saja,"
> >
> > "Terus?"
> >
> > "Tidak punya blog,"
> >
> > "Haha...."
> >
> > "Kenapa ketawa?"
> >
> > "Maksudmu mungkin, tidak suka nangis di blognya, gitu?"
> >
> > "Nggak tahu lah,"
> >
> > "Ketiga?"
> >
> > "Ketiga, tidak suka jualan,"
> >
> > "Hush! Mulai ngawur!"
> >
> > "Ya, ya, ya. Tidak suka jualan. Jelas itu!"
> >
> > "Haha.... Iya, iya.... Gimana maksud tidak suka jualan itu?"
> >
> > "Ya begitu; tidak suka jualan nangis, jualan cerita pribadi,
> jualan
> > senyum, jualan kedip, jualan merah, jualan laut, jualan dirinya -
> > dalam kurung: suka minta dinilai, suka minta disanjung, suka
minta
> > diminta fotonya, dan seterusnya dan seterusnya-..."
> >
> > "Hahaha.... Ntar dulu. Kita ini mau ngomongin tokoh perempuan
apa
> > mau ngomongin perasaan kamu sih? Yang bener dong...."
> >
> > "Hahaha...."
> >
> > "Gantian kamu yang ketawa!"
> >
> > "Iya, kamu lucu juga. Kadang telmi, tapi kadang cerdas juga.
> Gimana
> > kalau kamu yang jadi tokoh perempuannya?"
> >
> >
> > Obrolan ringan macam begini mirip seperti yang kau tulis tentang
> > menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon,
versi
> > banyolannya :)
> >
> > Jeni
> >
> >
> > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
> > <audivacx@> wrote:
> > >
> > > Judul : Lelakon
> > > Penulis: Lan Fang
> > > Kata Penutup: Audifax
> > > Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
> > > Cetakan: I, September 2007
> > > Harga: Rp. 35.000,-
> > >
> > >
> > > $ubject: Re: Lelakon
> > >
> > > Oleh:
> > > Audifax
> > > Penulis buku "Mite Harry Potter" (2005) dan "Imagining Lara
> Croft"
> > (2006)
> > >
> > > Dan aku menangis
> > > dan aku terluka, bila...kau menghilang
> > > Yang kau tinggalkan hanyalah luka
> > > dan semua t'lah menghilang
> > >
> > > Garasi
> > > --Hilang--
> > >
> > > Dalam kisah Harry Potter, ada scene, yang tak akan mudah
> > dilupakan, yaitu saat Harry Potter melihat bayangan dirinya di
> > Cermin Tarsah (Mirror of Erised). Harry yang belum pernah
melihat
> > keluarganya, dalam cermin itu tampak ia berdiri di tengah-tengah
> > keluarganya. Sedangkan Ron Weasley, yang merasa minder dengan
> > prestasi kakak-kakaknya, melihat pantulan dirinya di Cermin
Tarsah
> > sedang berdiri sendiri dengan medali dan piala di tangannya.
Sejak
> > melihat Cermin Tarsah, setiap malam Harry pergi ke tempat cermin
> itu
> > disimpan dan menatap bayangan dirinya. Hingga suatu ketika
> > Dumbledore memberitahu bahwa cermin itu tak memberi apa-apa.
> Banyak
> > orang telah tersia-sia hidupnya di depan cermin itu, karena
mereka
> > bahkan tak tahu apakah yang dilihatnya itu mungkin.
> > >
> > > Cermin Tarsah (Mirror of Erised) adalah Cermin Hasrat
(Mirror
> of
> > Desire). Cermin itu memantulkan citraan lakon apapun yang
> diinginkan
> > oleh orang yang melihatnya. Dalam pantulan cermin itulah
> `mengalir'
> > hasrat, persis di titik ketika `Aku' melihat `Liyan' dan mengira
> > Liyan di cermin itu adalah `Aku'. Hasrat mengalir ketika `Aku'
> > lantas ingin menjadi Liyan, menghasrati Liyan itu menjadi
milikku,
> > menyatu denganku. Seperti dialami Harry dan Ron, hasrat akan
> Liyan,
> > sejatinya hasrat memenuhi `kekurangan' (lack) yang ada pada Diri
> > manusia. Pemenuhan yang tak pernah usai selama manusia masih
> berada
> > di panggung kehidupan ini. Pemenuhan hasrat inilah yang bisa
kita
> > lihat pada lakon-lakon yang ditampilkan Lan Fang dalam
> > novel 'Lelakon'
> > >
> > > `Cermin' adalah kunci dalam `Lelakon'. Selain ditampilkan
> dalam
> > sejumlah scene, terdapat kalimat kunci menjelang akhir kisah:
> > >
> > > Cermin lemari menubruk cermin hias di depannya
> > > Ada di sisi kanan dan kiriku
> > > Bayangan yang dipantulkan saling menumpuk
> > > Itu aku. Tidak tahu itu aku sungguhan atau aku yang pura-pura
> > >
> > > Singkatnya, seperti Sang Cermin Ajaib dalam kisah Snow
White,
> > yang menimbulkan rasa iri Sang Ratu karena mengatakan bahwa yang
> > tercantik adalah Snow White, seperti itu pula 'cermin-cermin'
> dalam
> > hidup kita. Kita pun kerap tak puas jika cermin itu belum
> mengatakan
> > bahwa Diri kitalah yang ideal. Lakon-lakon manusia tak puas
inilah
> > yang ditulis Lan Fang dalam novel 'Lelakon'.
> > >
> > > Relasi Cermin/Relasi Lelakon
> > > Membaca 'Lelakon', mengingatkan saya pada psikoanalisis neo-
> > freudian dari Jacques Lacan. Pada scene-scene di mana Lan Fang
> > menampilkan 'cermin', terasa dekat untuk dibahas dalam konsep
> relasi
> > cermin psikoanalisis Lacan. 'Cermin' merupakan cara Lacan
> > menggambarkan bagaimana manusia masuk ke dalam tatanan budaya.
> > Dijelaskan Lacan, bahwa di usia awal, sebelum anak memasuki fase
> > cermin (mirror-stage), anak masih belum bisa merasa dirinya
> sebagai
> > bagian-bagian utuh. Pada masa itu, Sang Anak masih mengarahkan
> > hasratnya pada ibu. Sampai suatu ketika sang ibu (m/other), sang
> > liyan pertama dalam hidup anak, membawa anak pada cermin, lalu
> > mengatakan"Itulah kamu!".
> > > Sejak melihat pantulan dirinya di cermin, yang (seakan) utuh
> > penuh, anak pun lantas menghasrati bayang-bayang di cermin.
> Setelah
> > dewasa, pantulan itu bisa berasal dari etnis, agama, pendidikan,
> > status, dan berbagai hal yang bisa ditunjuk sebagai "Itulah
> kamu!".
> > >
> > > Namun, inilah cara agar anak manusia bisa diterima dalam
> tatanan
> > budaya, anak mesti menghasrati untuk menjadi bayang-bayang
cermin
> > yang ada dalam budaya. Menjadi lakon-lakon yang dipantaskan di
> > budaya. Di situlah kita bisa mendalami bagaimana hasrat 'Ada'
> dalam
> > pantulan 'Diri' di cermin. Manusia yang melihat dirinya 'utuh-
> penuh'
> > di cermin ingin merengkuh citraan itu menjadi dirinya. Sayang,
itu
> > hanya citraan, justru dirinyalah yang terengkuh masuk dalam
> citraan.
> > >
> > > Hasrat manusia memperoleh keutuhan identitas diri, justru
> > menyerakkannya dalam potongan-potongan diri yang bukan dirinya.
> > Potongan-potongan, yang malangnya, mesti ia lakonkan dalam
> panggung
> > kehidupannya. Selain cermin, hasrat adalah kunci lain membaca
> > Lelakon. Hasrat berasal dari tempat tak bernama yang menjadi
asal
> > dari segala menjadi. Tak ada keinginan ataupun lakon kehidupan
> yang
> > tak menyimpan genesis hasrat di dalamnya. Manusia pun bukan lagi
> > mahkluk berakal budi, melainkan mahkluk berhasrat.
> > > Situasi ini digambarkan Lan Fang melalui tokoh-tokoh
> > dalam 'Lelakon': Demi hasrat memenuhi uang setoran, Mon
memainkan
> > kartu Ratu yang memantulkan wajah-wajah bukan dirinya. Mon juga
> suka
> > mengintip dan mengorek lubang di dinding agar bisa melihat
> pantulan
> > liyan di sebelah rumah yang lebih kaya raya darinya. Bulan
melihat
> > pantulan Fantasi di bola kristal dan Fantasi menjadi Bulan
ketika
> > bola kristal pecah. Tongki menghasrati Mon. Marbuat menghasrati
> > Fantasi. Kisun menghasrati Mintul. Silang sengkarut hasrat
saling
> > memantul. Hasrat terhadap tubuh. Hasrat terhadap kekayaan.
Hasrat
> > terhadap status. Panggung kehidupan menjadi panggung kegilaan
> ketika
> > hasrat saling bersilang-bertubrukan.
> > >
> > > 'Cermin Hasrat' adalah 'sesuatu' yang meretakkan, membelah
> > keutuhan diri. Dalam relasi cermin, selalu ada 'Aku' dan 'Aku-
yang-
> > bukan-aku'. Demikian pula dalam panggung kehidupan. Selalu ada
> > cermin-cermin hasrat yang membuat 'Diri' selalu me-lelakon-
> kan 'Diri-
> > yang-bukan-diriku'. Subjek menjadi terbelah dan manusia tak
pernah
> > bisa merekonsiliasi keterbelahan dirinya dan mirror-image. 'Aku'
> > yang berbicara adalah sekaligus 'Aku-yang-dibicarakan'. 'Aku'
yang
> > memandang (cermin) adalah juga aku yang dipandang. Titik di mana
> > saya melihat diri di cermin hasrat, adalah titik di mana saya
tak
> > pernah bisa melihat imaji akan saya (I) yang ideal, melainkan
> > hanya 'saya-saya' yang kultural.
> > >
> > > Di sini, kita dapat mencermati bahwa dalam relasi pandangan,
> > selalu ada jarak atau jeda antara mata yang memandang dan objek
> yang
> > dipandang. Jeda yang membelah antara 'Aku' dan 'Liyan'. Pada
jeda
> > pandangan inilah manusia mengisikan hasrat, sehingga objek yang
> > dipandang bukan sekedar objek tapi memiliki makna. Jeda
pandangan
> > pada relasi cermin terjadi antara lain ketika Mon mengintip
> tetangga
> > sebelah (baca; liyan) melalui lubang di tembok yang memisahkan
> > rumahnya dan rumah tetangganya:
> > >
> > > Ketika ia (Mon) memicingkan mata melihat apa yang ada di
> tembok
> > sebelah, Mon seperti melihat mimpi karena ia melihat dunia lain
> yang
> > berbeda dengan dunia yang setiap hari dilakoninya. Ia berpikir,
> > mungkin ia tidak tinggal di dunia yang sama dengan orang-orang
> dari
> > tembok sebelah itu. Karena yang dilihatnya, matahari di dunia di
> > balik tembok itu tidak pernah terbenam
> > >
> > > Persis seperti Sang Ratu yang merasa dirinya 'kurang' ketika
> > Cermin Ajaib mengatakan Snow White-lah yang paling cantik,
seperti
> > itulah hasrat mengaliri jeda pandangan sehingga 'Aku' selalu
> > menghasrati menjadi seperti 'liyan' di cermin. Liyan di cermin
> > selalu tampak lebih utuh, lebih ideal, bak matahari yang tak
> pernah
> > terbenam.
> > >
> > > Di sini kita mesti memahami bahwa formasi ego dalam 'Diri'
> > adalah alienasi. Sang anak manusia dapat menjadi 'subjek' ketika
> ia
> > menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon-
lakon
> > yang mesti ia mainkan di panggung sandiwara kehidupannya. Lakon-
> > lakon yang merupakan liyan dari dirinya sendiri. Slavoj Žižek,
> salah
> > satu lacanian sayap kiri, menjelaskan hal ini secara lebih
> konkret.
> > Menurut Žižek, subjek kehilangan keutuhan karena begitu masuk
> > tatanan kultural ada lubang yang selalu menyertai hidupnya.
> Seperti
> > Sisifus yang melakukan kesia-siaan mendorong batu yang akhirnya
> toh
> > menggelinding lagi ke bawah, seperti itu pula kesia-siaan yang
> > dilakukan manusia untuk menambal lubang itu sepanjang hidupnya.
> > >
> > > Bagaimana manusia melakukan kesia-siaan inilah yang
> digambarkan
> > Lan Fang dalam 'Lelakon'. Tak ada akhir yang membuat lubang itu
> > tertutup penuh. Manusia tak pernah purnama. Sejatinya, melalui
> lakon-
> > lakon yang tiap kali dimainkan seorang manusia dalam hidupnya,
> > dirinya tengah mengompensasi kekurangannya melalui fantasi lakon-
> > lakon itu. Fantasilah yang kemudian mengambil tempat 'Diri'.
> > Fantasilah yang menari di atas nganga lubang yang selalu ada
dalam
> > diri anak manusia yang terjerat jejaring kultural. Persis
seperti
> > digambarkan dalam scene ketika Fantasi mengambil-alih posisi
> Bulan.
> > Fantasi mengalienasi Bulan dari tempat yang semestinya menjadi
> > miliknya. Inilah tragedi yang membuat manusia selalu menjalankan
> > peran di dunia dengan keterbelahan antara 'Diriku' dan 'Bukan-
> > Diriku' yang mengambil alih posisi 'Diriku'.
> > >
> > > Subjek yang terbagi ($)
> > > Dalam perspektif lacanian, subjek sebagai yang mengalami
dunia,
> > selalu dalam keadaan terbagi. Apabila kita mengatakan "Saya
> > adalah...", saat itulah kita terbagi menjadi: 1) "Saya" yang
> > mengatakan kalimat, dengan 2) "Saya" yang ada dalam kalimat.
Dan,
> > pada titik ini "Saya adalah..." merupakan selalu akan jawaban
atas
> > pertanyaan "Kamu siapa?" yang diajukan oleh Liyan. Ketika
> > menjelaskan "Saya adalah..." selalu ada acuan 'citra cermin'
> > seperti: profesi, etnis, agama, sosial-ekonomi, dan seterusnya.
> > Itulah lelakon-lelakon kita. Ketika seseorang mengatakan "Saya
> > adalah penulis" maka ada citra cermin penulis yang diambil dan
> > dilakonkannya.
> > >
> > > Pada gilirannya, karena setiap kali menjelaskan "Saya
> adalah..."
> > manusia mesti mengambil citra cermin tertentu, maka setiap
> pemeranan
> > suatu lelakon kehidupan, akan memaksa manusia untuk terbetot
> keuar,
> > mengalami keterbelahan antara 'Saya yang mengucapkan' dan 'Saya
> yang
> > tengah diucapkan'. Subjek bukanlah S, melainkan $, atau Subjek
> yang
> > terbelah. Manusia, dengan demikian, adalah sebuah retakan
realitas
> > yang secara ontologis konsisten. Selalu ada retakan
antara 'Saya'
> > dan 'Liyan'. Selalu ada Liyan yang menghantui dan bisa muncul
baik
> > di dalam maupun di luar diri.
> > >
> > > Membaca 'Lelakon' barangkali bisa kita gunakan juga untuk
> > membaca-ulang filsafat terkenal Rene Descartes. Dalam
pemikirannya
> > yang paling dikenal, Descartes mengatakan "Aku berpikir maka Aku
> > ada" (Cogito Ergo Sum). Benarkah ketika manusia berpikir,
manusia
> > menjadi Ada? Bukankah dalam novel 'Lelakon' ini justru bisa
> dilihat
> > bahwa saat saya berpikir justru saya terbelah menjadi 'saya yang
> > berpikir' dan saya yang ada dalam pikiran'? Bukankah
justru 'saya
> > yang ada dalam pikiran' yang akan terus 'Ada' sementara 'saya
yang
> > berpikir' seketika akan meniada begitu saya melelakonkan 'saya
> yang
> > ada dalam pikiran saya'? Bukankah sang penulis (the author)
> seketika
> > akan kehilangan otoritas (authority) atas pikiran yang
ditulisnya
> > begitu tulisan itu dibaca orang lain (baca: liyan)?
> > >
> > > Jawaban atas semua pertanyaan itu, bisa anda peroleh melalui
> > refleksi atas pembacaan anda pada novel 'Lelakon'. Dan saat
> refleksi
> > itu terjadi, barangkali andapun akan menjadi subjek yang
terbelah
> > ($). Kenapa? Karena yang ada dalam pikiran anda sudah bukan anda
> > lagi, melainkan pikiran Lan Fang yang hinggap di benak anda.
Anda
> > terbelah menjadi 'Anda yang berpikir' dan 'pikiran Lan Fang yang
> > hinggap di benak anda'.
> > >
> > > Selamat membaca dan berpikir!
> > >
> > >
> > >
> > > ---------------------------------
> > > Boardwalk for $500? In 2007? Ha!
> > > Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy)
at
> > Yahoo! Games.
> > >
> >
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Food Lovers

Real Food Group

on Yahoo! Groups

find out more.

Shedding Pounds

on Yahoo! Groups

Read sucess stories

& share your own.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar