Minggu, 25 November 2007

[psikologi_transformatif] ASAL-USUL "Jahat" -- Ariel Heryanto

ASAL USUL


Jahat

Ariel Heryanto

Pengertian "jahat", "kejahatan", dan "penjahat" dipertaruhkan secara tajam di Indonesia dalam beberapa hari belakangan. Hal ini dipicu oleh serangkaian peristiwa yang secara kasatmata tidak berkaitan satu sama lain. Misalnya tertangkapnya Roy Marten dalam kasus obat terlarang. Usulan undang-undang wajib militer. Keputusan pemerintah untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional. Juga hasil KTT ASEAN.

Segera setelah Roy Marten tertangkap, banyak pihak menyesalkan sikap pemerintah dan masyarakat terhadap pencandu narkoba. Bukannya ditolong dan dikasihani sebagai korban kejahatan pedagang narkoba. Mereka disamakan dengan para penjahat pedagang barang terlarang. Bukan tidak mungkin seseorang merangkap dua peran itu sekaligus. Tapi perbedaan di antara keduanya perlu ditarik tegas. Tidak semua pencandu sekaligus pedagang narkoba pada masa bersamaan.

Membunuh biasanya tergolong tindak kejahatan. Tapi cuma "biasanya". Ada beberapa perkecualian. Pertama, biasanya orang yang membunuh diri tidak dianggap penjahat. Alih-alih dibenci dan diadili, mereka biasanya dihujani belas kasihan. Penggunaan narkoba bisa dianggap semacam bunuh diri tidak langsung. Anehnya, di negeri kita pencandu narkoba tidak mendapatkan simpati khalayak dan negara sebagaimana pelaku bunuh diri.

Dalam perkecualian yang kedua, membunuh bukan cuma mengundang belas kasihan, tetapi penghormatan dan hadiah resmi. Yakni, membunuh pihak yang dianggap "musuh negara". Masalahnya, musuh negara tidak selalu sama dengan musuh bangsa. Malahan kadang-kadang bertolak belakang.

Di sebagian besar Asia, Afrika, dan Amerika Latin, musuh utama negara adalah bangsanya sendiri. Aparat militer di negeri-negeri itu memata-matai, menangkap, menyiksa, memerkosa, menculik, atau menembaki warga negara sendiri. Menurut catatan para pengamat, di banyak kasus demikian para jenderal tidak pernah dan tidak berminat berperang dengan negara lain. Beberapa di antara mereka terlibat perang kecil-kecilan di wilayah perbatasan dan nyaris selalu kalah. Kesibukan mereka yang utama adalah menghimpun harta negara dan mempertahankan hak istimewa mereka, kerabat, dan keluarganya.

Semua ini mengajak kita merenung dalam-dalam ketika dihadapkan pada tiga peristiwa lain yang seakan-akan tidak saling terkait. Dalam sebuah tajuk rencana, redaksi The Jakarta Post menilai RUU wajib militer minggu lalu berwatak militeristik. Tetapi arwah militerisme yang dikira banyak orang sudah berakhir tahun 1998 masih bergentayangan dalam berbagai peristiwa lain. Termasuk kontroversi pemberian gelar Pahlawan Nasional dan hasil KTT ASEAN.

Sebagian penentang RUU wajib militer menghendaki agar negara lebih bersungguh-sungguh menjalankan reformasi lembaga mereka dan meningkatkan profesionalisme kerja. Para perwira diharapkan tidak lagi sibuk berpolitik atau berdagang. Selama ini agenda reformasi ini belum tercapai secara meyakinkan, orang berhak bertanya pelajaran apa yang bisa diberikan kepada warga sipil yang diwajibkan mengikuti sebuah pendidikan militer?

Dalam sebagian besar negara militeristik bisa dijumpai propaganda besar-besaran tentang jasa para pejuang militer dalam sejarah mereka. Almarhum YB Mangunwijaya pernah membantah propaganda semacam itu untuk Indonesia. Katanya, ketika terjadi perang melawan Belanda, rakyat kecil biasanya melindungi dan merawat tentara gerilya. Bila ada kabar Belanda akan datang menyerbu desa mereka, para gerilyawan ini menyelamatkan diri menjauh, sedangkan rakyat kecil menjadi sasaran serbuan tentara penjajah (yang merekrut bangsa awak sendiri).

Dalam perdebatan tentang Pahlawan Nasional minggu lalu, ada usulan agar ada tokoh dari komunitas etnis Tionghoa yang diberi gelar Pahlawan Nasional. Yang dicalonkan dalam urutan paling atas adalah seorang bekas pejuang militer! Arwah militerisme tampaknya bergentayangan bukan saja di kalangan militer, tetapi juga mereka yang menolak militerisme.

Dalam banyak hal, situasi di Indonesia tidak sama dengan apa yang terjadi di negara tetangganya, termasuk Burma. Tetapi, dalam soal arwah militerisme yang gentayangan, seluruh wilayah Asia Tenggara tampaknya sama-sama angker. Apa yang aneh, ketika para penguasa (disebut "pemimpin" dalam sejumlah laporan jurnalistik) di kawasan ini menutup KTT ASEAN dengan keputusan yang lebih berpihak kepada junta militer di Burma? Kenapa para penguasa ASEAN tidak mendeklarasikan para TKI sebagai pahlawan regional?

Jangan-jangan orang yang paling awal paham semua ini adalah Raam Pujabi. Dari studionya tercipta film dan sinetron yang menghibur jutaan pembantu rumah tangga dan buruh migran kita. Karya-karya hiburan itu dicemooh banyak orang sekolahan tinggi yang merasa cerdas dan yakin bahwa negeri mereka tidak sebodoh dan seangker dunia yang ditampilkan di layar bioskop dan televisi.

Sumber: KCM, Minggu, 25 November 2007









Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Endurance Zone

b/c every athlete

needs an edge.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar