Senin, 26 November 2007

[psikologi_transformatif] dari moshaddeq sampai mount carmel..(1)

Dari Moshaddeq Sampai Mount Carmel Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Jumat, 23 November 2007
Sanksi penistaan agama bukan monopoli Indonesia. Itu juga terjadi di Eropa. Amerika jauh lebih kejam dan lebih sectarian.  Bagian pertama dari dua tulisan
Oleh: Amran Nasution
 
ImageHidayatullah.com--Hiruk-pikuk urusan nabi palsu Ahmad Mushaddeg dan kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah, begitu cepat mencapai antiklimaks. Jumat, 9 November 2007, Moshaddeg bertobat, menyadari kekhilafannya mengaku nabi, sekalian minta maaf kepada ummat Islam yang perasaannya ia cederai.
Di hadapan sejumlah pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Polda Metro Jaya, tempat ia ditahan, nabi palsu itu membacakan pernyataan tertulis, antara lain, meminta semua pengikutnya bertobat pula. Dengan demikian, hiruk-pikuk segera mengempes.
Lagi pula kasus nabi palsu, malaikat palsu, bahkan Tuhan palsu, sesungguhnya bukan gejala baru. Juga bukan cuma terjadi di sini. Itu sudah dikenal hampir sepanjang sejarah agama-agama, dan terjadi di mana saja, menyangkut agama apa saja.
Polisi menangani kasus hukumnya sesuai peraturan atau undang-undang yang berlaku. Klaim Moshaddeg sebagai nabi, lalu mengubah syahadat seenaknya – sesuatu yang paling prinsipil di dalam Islam – tentu harus berhadapan dengan pasal-pasal hukum. Apalagi itu sempat menimbulkan kemarahan di mana-mana.
Di beberapa tempat, ummat sempat merusak bangunan milik anggota kelompok Al-Qiyadah. Itu memang harus disesalkan. Tapi, menyusul taubatnya Mosaddeg, suasana terlihat begitu cepat mencair. Mungkin betul apa yang dikatakan sementara pengamat bahwa orang Indonesia itu mudah marah, mudah pula memaafkan.
Yang tersisa sekarang, adalah perdebatan sejumlah orang yang meletakkan kebebasan di atas segalanya, melawan kelompok Islam yang meyakini Allah di atas segalanya. Untuk kelompok kedua, jelas bahwa keyakinan kepada Allah tak bisa ditawar. Kalau bisa dikurangi, bukan keyakinan lagi namanya.
Tapi kebebasan? Perdana Menteri Malaysia dulu, Mahatir Mohammad, memberi contoh yang tepat, betapa kebebasan itu memang harus terbatas. ''Kalau dengan dalih kebebasan, orang bertelanjang bulat di tempat umum, polisi akan menangkapnya,'' katanya dalam beberapa kesempatan. Artinya, dalam tafsir Mahatir, kebebasan seseorang tak boleh kebablasan mengganggu orang lain, tak boleh pula melanggar hukum yang ada. Klop.
Nyatanya bagi kaum Liberal, kebebasan sudah setingkat agama. Maka penulis dari Oxford, Inggris, Richard Webster, dalam buku A Brief History of Blasphemy (The Orwel Press, 1990), menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di pengujung 1980-an, menyusul terbitnya novel Salman Rushdie, the Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), bukanlah antara otoritarianisme dengan kebebasan – seperti dikampanyekan kaum Liberal di seluruh dunia waktu itu. Tapi antara dua bentuk kekakuan sikap (rigidity). Dua bentuk dari fundamentalisme. Mau lebih jelas maksudnya: agama Islam versus agama Liberal.
Intelektual Liberal, menurut Webster, sering kali gagal memahami sejarah puritanisme dan munculnya sikap refresif dari doktrin kebebasan mereka. Dengan ini, Richard Webster hendak mengatakan bahwa the Satanic Verses – dengan sangat kasar dan brutal menyerang Islam – adalah bentuk serangan yang disengaja dari kelompok Liberal terhadap Islam, demi doktrin kebebasan.
Di Belanda, Ayaan Hirsi Ali, perempuan asal Somalia, dipuja-puji karena menyerang Islam seenaknya. Ia memperoleh berbagai fasilitas, bahkan entah bagaimana caranya, perempuan itu sempat menjadi anggota Parlemen Belanda.
Belakangan, ia merepotkan Pemerintah setempat. Ternyata, ketika masuk ke negeri itu, 1992, ia menggunakan data palsu. Perempuan itu terbukti menipu maka paspornya dicabut. Berkat perjuangan gigih pendukungnya, paspor diberikan kembali. Tapi ia harus mundur dari Parlemen pada 2006 (The New York Times, 4 Oktober 2007).
Mulai kurang laku di Belanda, ia pindah ke Amerika. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh the American Enterprise Institute, lembaga tink-tank milik kelompok neo-conservative (neo-con) di Washington. Institut yang tergabung dalam lobi Israel ini dulu paling getol berkampanye menyerang Iraq, kini menyerang Iran, Suriah, atau Pakistan.
Meski terbukti penipu, lembaga itu rupanya butuh Hirsi, tentu karena bisa dipakai menyerang Islam. Maka terbitlah buku Infidel (Kafir), kisah hidupnya yang ia tulis sendiri (Free Press, 2007). Entah berapa persen isi buku yang bisa dipercaya. Yang pasti, dollar pun mengalir deras ke koceknya.
Sekarang dia terlibat konflik dengan Pemerintah Belanda, soal uang pembayaran body-guard, pengawal pribadi. Ia merasa terancam sejak temannya, Van Gogh, mati ditusuk seorang pemuda Islam di Belanda. Warga Belanda ini bersama Hirsi sedang membuat film untuk memaki-maki Islam. Sejak itu ia selalu dikawal aparat keamanan.
Di Amerika, ia memilih pengawal pribadi sendiri dan mengklaim pembayarannya yang mahal kepada Pemerintah Belanda. Ketika klaim ditolak, Hirsi pun ribut ke mana-mana.
Dalam kasus ''Nabi'' Moshaddeg, yang diserang adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena kumpulan para ulama itu mengeluarkan fatwa bahwa aliran Moshaddeg sesat. Selanjutnya aparat pemerintah dituduh membatasi kebebasan individu warga negara, dengan menangkap Moshaddeg.
Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, misalnya, menyesalkan MUI terlalu peka urusan akidah, yang menurutnya adalah urusan privat. Doktor lulusan Turki ini, lebih suka kalau MUI mengurusi rel kereta api (Majalah TEMPO, 11 November 2007). Aneh kan?
Bahkan Rocky Gerung, pengajar filsafat UI, ikut-ikutan menyerang fatwa MUI, walau hampir dipastikan dia tak sedang melakukan studi tentang organisasi para ulama itu. ''Di masyarakat bawah fatwa itu dapat diterjemahkan, ada yang lain tak berhak ada,'' katanya (KOMPAS, 11 November 2007).
Ulil Abshar Abdalla, Ketua Jaringan Islam Liberal, idem. Di edisi TEMPO yang sama, dia mengecam reaksi MUI atau ormas Islam Muhammadiyah dan NU. Katanya, seseorang tak bisa dipaksa memeluk suatu keyakinan dan agama yang tak sesuai dengan kata hati.
Tentu pernyataan normatif itu betul. Tapi di luar konteks. Sebab persoalan dari kasus Moshaddeg adalah mengubah syahadat, Rasul baru, sholat tak wajib, dan sebagainya, yang tentu menyalahi prinsip Islam yang disepakati para ulama. Tak ada urusan paksa-memaksa di sini.
Kalau Moshaddeg membuat agama baru yang tak dia kaitkan dengan Islam, apakah namanya Progresif, Liberal, atau Neocon, lalu dia susun ajarannya sesuka hati, pasti tak ada yang keberatan, apalagi membuat fatwa. Paling dia dianggap gila, atau orang salah jalan yang harus didakwahi.
Sebenarnya, keberatan, protes, atau marah, ketika agama yang dia muliakan dihina, bukan monopoli ummat Islam, apalagi ummat Islam Indonesia. Karena itulah di banyak negara Eropa atau negara bagian di Amerika Serikat, sejak lama dibuat undang-undang tentang tindak kriminalitas terhadap blasphemy atau penistaan agama, yang mengancam hukuman pidana untuk perbuatan menghina Tuhan dan agama.
A Brief History of Blasphemy menulis bahwa undang-undang itu sesungguhnya punya akar yang dalam di Eropa, karena sejarahnya yang panjang, sejak awal abad pertengahan. Tujuannya, menjaga kemurnian gereja dari ajaran atau aliran sesat.
Gerakan membasmi aliran yang menyimpang meningkat setelah Paus mengeluarkan Dominican Order pada tahun 1232, yang membentuk  kelompok Dominicanes untuk mengusut -- populer sebagai inquisition -- dan memburu kaum sempalan atau pemalsu ajaran Kristen.
Bertambah lama, kelompok Dominicanes bertambah besar dan menjadi sebuah institusi penting dalam sejarah Eropa. Ketika itu hukuman terhadap para pemalsu adalah mati, dan korbannya cukup banyak. Martin Luther, sang reformis, termasuk tokoh yang aktif dalam sejarah blasphemy di abad ke-16.
Jadi fatwa hukuman mati untuk Salman Rushdie, Februari 1989, oleh Ayatullah Khomeini, pemimpin tertinggi Iran, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru atau aneh bagi sejarah Kristen dan Eropa. Jadi kalau fatwa itu dikecam di Barat – bahkan Rushdie dijadikan pahlawan, dapat gelar dari Ratu Inggris segala -- itu soal lain lagi.
Memang kemudian proses yang panjang menyebabkan terjadi perubahan di sana-sini. Sekarang, kejahatan atas blasphemy hanya pidana biasa. Lebih kurang samalah dengan undang-undang penistaan agama di Indonesia.
Hanya perlu dicatat, di sini undang-undang itu tak cuma berlaku untuk menista Islam, agama mayoritas. Tapi juga Kristen, Katolik, Hindu, Budha, bahkan Khong Hucu. Di Eropa mau pun Amerika, ia sektarian. Undang-undang itu hanya berlaku untuk penghinaan terhadap Kristen. Agama lain tak dipedulikan, silahkan dinista.
Itulah yang terjadi, ketika Islam diinjak-injak Salman Rushdie dengan Ayat-ayat Setan-nya. Sejumlah organisasi Islam di Inggris menuntut ke pengadilan. Tuntutan ditolak hakim dengan dalih undang-undang itu hanya melindungi Gereja Inggris (the Church of England). [berlanjut ke tulisan kedua]
* Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini,  bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta


Be a better pen pal. Text or chat with friends inside Yahoo! Mail. See how.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Real Food Group

Share recipes

and favorite meals

w/ Real Food lovers.

Move More

on Yahoo! Groups

This is your life

not a phys-ed class.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar