Kamis, 22 November 2007

[psikologi_transformatif] FW: Trs: Trs: Dewi Lestari; Soal Lingkungan dan Sifat Konsumtif



----- Original Message -----
Subject: Trs: Trs: Dewi Lestari; Soal Lingkungan dan Sifat Konsumtif
Date: Sat, 17 Nov 2007 12:31:17
From: nagita manis <siemanis_nagita@yahoo.co.id>
To: hendro <skys_son@yahoo.com>

Ini ada artikel
menarik karya DEWI LESTARI Soal Lingkungan dan Sifat Konsumtif. Nice artikel guys.. we never notice about it before.. we become a monster to our environment.. Oke selamat membaca!! Harta Karun Untuk Semua oleh Dewi Lestari Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang. Ada satu buku yang langsung saya sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff ,The Secret Lives of Everyday Things". Buku itu tipis, hanya 8 halaman, tapi informasi di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir. Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan waktu ratusan tahun untuk musnah, saya sering
merenung: orang gila mana yang  mencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi
masa penggunaannya hanya dalam skala jam-bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh detik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancur setelah si pemakan permen menjadi
fosil. Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat,
tanpa deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dan sebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir
rantai pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita
konsumsi telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta. Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa wajar-wajar saja,  pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam
kita bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh
kita sendiri? Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk
mencuci secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis daging burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar 2,400 liter air. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kita menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja di dalamnya? Limbah yang dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat daripada berat chip itu sendiri.. Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai
reaksi. Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup
yang tak bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang jelas,  sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan membedah jantung katak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam ini telah disosialisasikan sejak kecil. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai,
Pasar Baru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan PKL: tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan penduduk satu kota? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada habisnya diproduksi? Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat ratusan macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun: haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu? Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya  jauh melebihi apa yang kita butuhkan? Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas.. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup memenuhi keinginan
satu manusia.   Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kaca mata. Seorang ekonom mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi. Seorang sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan
pemerataan. Tapi jika kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan
negara, negara adalah kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan individu, permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta kemauan kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan sebuah perubahan sejati. Belum pernah dalam  sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi sangat menentukan. Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protocol Kyoto, tidak perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap
langkah kita-memilih merk, kuantitas, tempat, gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan seisi Bumi. Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya bekerja, tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidak perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya bisa memilih membaca berita lewat internet
atau membaca koran di tempat publik ketimbang berlangganan langsung.   Bagaimana dengan fashion? Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka publik, saya pun belum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli busana lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmen dengan lemari pakaian, yakni baju yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar.   Dan setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada
baju yang tidak saya pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan sampo yang utuh tak disentuh. Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yang berisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena jika dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta karun ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran. Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan
bazaar. Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-baru baru. Karena bukan demi cari untung,  barang-barang itu saya lepas
dengan harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga dari kampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa saya mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga punya barang bekas untuk disalurkan. Sama dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang entah harus diapakan. Stand saya menjadi salah satu stand paling laris selama bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilan yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap sampah. Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara
kreatif lain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan. Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen pembatasan diri.. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya...dengan diri sendiri. Siapkah kita menentukan batasan dan  berjalan dalam koridor itu? Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersua aneka pilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan rantai sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri
untuk info dan pengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang
baik. Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh sihir, dan hamburger yang kita makan tidak dipetik dari pohon.. Rantai yang menyertai  barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu. Banyak orang yang berkomentar pada saya, "Aduh, Wi. Kamu bikin hidup tambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu
kita justru harus belajar menghargai setiap jengkalnya.. Memilih hidup yang lebih sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan kesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali,  tapi juga membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kaki oleh industri demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri. Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah. Selama ini kita adalah pembeli yang berlari. Dalam kecepatan tinggi
kita bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang
sesungguhnya kita cari. Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan. "Nature does not proceed by leaps and bounds." ~Carolus Linnaeus~ "All gardening is landscape painting." ~William Kent~ "In all things of nature there is something of the marvelous..." ~Aristotle~ Wassalam, __________________________________________________ Ridwan Gaib Channel E   |  Exhibition Event Organizer T +6221 83 555 20  |   F +6221 83 555 16  
|  E channel.e@cbn.net.id   M +6221 3023 2000  |  E(P) ridwangaib@yahoo.com
Be a better sports nut! Let your teams follow you
with Yahoo Mobile. Try it now.
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

__________________________________________________________
Be a better sports nut! Let your teams follow you
with Yahoo Mobile. Try it now. http://mobile.yahoo.com/sports;_ylt=At9_qDKvtAbMuh1G1SQtBI7ntAcJ

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

Files to share?

Send up to 1GB of

files in an IM.

HDTV Support

The official Samsung

Y! Group for HDTVs

and devices.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar