Rabu, 21 November 2007

[psikologi_transformatif] Ganti Nama Saja

Sering Sakit Indonesia perlu ganti nama

Saat dilahirkan 6 Juni 1901, Presiden RI pertama Ir Soekarno bernama Kusno Sosrodihardjo. Karena sering sakit-sakitan, orang tuanya mengganti nama Kusno menjadi Soekarno. Unik, sejak menyandang nama Soekarno, proklamator itu sukses menjalani masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa tanpa sergapan penyakit.

Penggantian nama Bung karno itu memang sudah menjadi tradisi hampir semua suku yang ada di Indonesia. Mungkin, karena tradisi ini pula yang mengilhami Chandra Adiwana menulis buku berjudul " Selamat Tinggal Indonesia".

Dalam bukunya, Chandra mengusulkan nama negara Indonesia diganti, karena sering 'sakit-sakitan' , tak putus-putusnya dihajar petaka, dan rakyatnya jauh dari sejahtera.

"Ada banyak negara yang membuktikan, mengganti nama bisa sejahtera,' kata Chandra Adiwana, koordinator penulis, dalam peluncuran buku, di Jakarta, Jumat (3/8).

Negara yang dimaksud adalah Malaysia, Brunei Darussalam, serta Singapura. Sebelum berganti nama, Malaysia terkenal dengan sebutan Malaka. Sedangkan Brunei Darussalam sebelumnya hanya bernama Brunei. Sementara Singapura, dulunya bernama Tumasik.

"Negara yang mengganti nama, ternyata, lebih mudah mencapai tujuan pembangunan, " tegas Chandra.

Bersama tim penulis, Chandra mengusulkan beberapa nama baru. Di antaranya, Indonesiaraya (tanpa spasi), Indonesia Raya (dengan spasi), serta Nusantara atau Dwipantara.


Menyatukan dua suku kata (Indonesia dan Raya), kata Chandra, merupakan simbol penyatuan ribuan pulau dalam wilayah Indonesia. Sedangkan usulan nama Indonesia Raya (dengan spasi) terilhami oleh judul Lagu Kebangsaan yang diciptakan WR Supratman. Sementara nama Nusantara atau Dwipantara merupakan nama wilayah yang pernah diungkapkan sebagai nama menyeluruh yang diberikan Maha Patih Kerajaan Majapahit.

Beberapa pembahas buku, di antaranya Ketua Partai Hanura Indro Cahyono dan pengamat politik Daniel Sparingga, mempersoalkan kata nesia dalam kata Indonesia. Mereka mengaitkan kata itu dengan istilah kedokteran amnesia yang mengacu kepada penyakit lupa. "Sekarang kita telah menjadi bangsa yang mudah lupa," ujar Indro.

Indonesia, kata Daniel, sedang dihinggapi beberapa gejala penyakit lupa. Beberapa gejala di antaranya lupa Bhineka Tunggal Ika, lupa hidup sederhana, lupa kesalahan sendiri, dan lupa saudara.

Oleh Chandra dan kawan-kawan, gejala-gejala tersebut dibahas panjang lebar. Gejala lupa bhineka tunggal ika terlihat pada beberapa kerusuhan besar. Pada 1995,misalnya, mencuat kerusuhan Dili, Timtim. Setahun kemudian muncul kerusuhan Situbondo, perseteruan etnis di Dayak, Sampit, Kupang, dan sejumlah daerah lainnya. "Kerusuhan itu menunjukkan Indonesia sudah lupa dengan bhineka tunggal ika," ujar Chandra.

Penyakit lupa yang lain adalah lupa saudara. Pembahas dan penulis buku mengaitkan gejala itu dengan beberapa aksi terorisme yang juga mengorbankan masyarakat lokal. Tragedi bom Bali, misalnya, ternyata juga menelan korban dari warga Bali, selain turis asing.

Masih banyak penyakit lupa yang lain. Salah satu yang paling banyak disorot adalah penyakit lupa hidup sederhana. Penyakit ini, menurut para pembahas, terpicu oleh biasnya makna kesejahteraan di kalangan masyarakat Indonesia. Kesejahteraan, menurut Chandra, telah dijadikan target yang harus diraih dengan cara apapun, termasuk korupsi.

Tradisi

Dalam pandangan Chandra dan para pembahas, korupsi---sebagai bagian dari penyakit lupa hidup sederhana--- terlah menjelma menjadi alat menuju sejahtera. Bukan hanya masyarakat kecil, korupsi juga melibatkan konglomerat dan masyarakat berpenghasilan tinggi.

Buku ini juga mengupas kesamaan nama Indonesia dengan nama negara lain, salah satunya Argentina. Nama Indonesia dan Argentina memiliki jumlah huruf yang sama, yakni sembilan huruf. Kedua, nama Indonesia dan Argentina sama-sama mempunyai huruf tengah 'N'. Ketiga, masing-masing nama memiliki huruf ganda, yakni A dan N untuk Indonesia, serta I dan N pada Argentina.

Ternyata, kata Chandra, masing-masing kesamaan itu juga menyamakan nasib kedua negara. " Kondisi yang tergambar pada negara Indonesia hampir sama terjadi dengan negara Argentina," ujar Chandra.

Indonesia, dulu (di masa kerajaan) termasuk negara kaya raya. Pun demikian Argentina yang pernah menjadi salah satu negara terkaya di dunia.
"Tapi, sama halnya dengan Indonesia, Argentian sekarang justru menjadi negara yang terjebak utang," tegas Chandra.

Oleh karenanya, Indonesia harus berbeda dari Argentina. Cara paling mendesak adalah mengganti nama. Toh, negara-negara lain sudah membuktikan, mengganti nama menjadi bagian integral meraih perubahan. Apalagi, sebagian masyarakat di Indonesia memercayai tradisi mengganti nama sebagai cara merubah nasib. Di Jawa, misalnya, jika seorang anak sering sakit-sakitan, orang tua langsung mengganti nama. Percaya atau tidak, banyak orang tua membuktikan, setelah berganti nama anaknya jarang sakit.


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Yahoo! Groups

Be a Better Planet

Share with others

Help the Planet.

Summer Shape-up

on Yahoo! Groups

Trade weight loss

and swimsuit tips.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar