Minggu, 18 November 2007

[psikologi_transformatif] Islam dan transformasi budaya (4)..

dari salah satu web site islam...
 

Islam dan Tranformasi Budaya di Indonesia (4)

 Dr. Abdul Hadi W. Muthahhari

 

Kilas Balik dan Tantangan Kini

            Sambil melakukan kilas balik dan menyimpulkan pokok-pokok yang telah dikemukakan, marilah kita simak situasi yang dihadapi Islam pada abad ke-20.  Islam mula-mula berkembang di Pasai lantas meluas ke wilayah-wilayah lain di kepulauan Nusantara. Kedatangannya itu, bersama-sama kedatangan orang Eropa pada abad ke-17 M, membuka lembaran baru yang mendorong bagi proses perubahan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan (Sartono Kartodirdjo 1980). Melalui jaringan perdagangan, politik, intelektual, organisasi tariqat, pendidikan, sastra atau literasi,  komunikasi antar etnis di kepulauan Nusantara lantas menjadi lebih terbuka. Mobilitas sosial secara horisontal dan vertikal pun terjadi, suatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
             Yang berperan dalam membuka komunikasi dan memasyarakatkan ajaran Islam itu ialah guru-guru agama, para sufi pengembara dan pemimpin tariqat, para fuqaha, pedagang, cendikiawan, sastrawan, pemimpin politik, dan lain-lain. Mereka menciptakan pranata-pranata sosial yang diperlukan seperti masjid, pesantren, organisasi keagamaan,  persaudaraan sufi atau tariqat, majlis ta`lim dan pengajian, dan lain sebagainya yang ternyata sangat efektif dalam proses integrasi etnik-etnik yang berbeda dan terpencar-pencar itu. Islam lantas menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia. Sejak kehadirannya itu pula Islam memberi pada kebudayaan-kebudayaan daerah dasar-dasar kearifan universal sehingga budaya-budaya daerah berkembang dan dapat saling berinteraksi satu dengan yang lain. Islam juga memberikan sendi-sendi yang membuat budaya itu kokoh, berupa pandangan hidup (way of life), sistem kepercayaan berdasar tauhid, landasan metafisika dan etika, nilai-nilai egaliter, aktivisme, rasionalitas,  kesalehan sosial berdasarkan sikap zuhud, gambaran dunia (Weltanschauung) yang jembar, ethos dagang, serta literasi atau budaya baca tulis yang memungkinkan keterpelajaran dan tradisi intelektual berkembang.
Meskipun budaya-budaya daerah itu relatif berbeda, dan juga tidak sepenuhnya utuh lagi sebab kurang dipelihara, namun dalam kenyataan masih tetap berfungsi. Terutama dalam menepis krisis, mengatasi disharmoni dan kemungkinan chaos dapat terjadi sebagai dampak negatif dari perubahan dan pembangunan serta struktur yang dipaksakan pasar dan kekuasaan terhadapnya. Jika Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia, tidak terhindari Islam juga merupakan landasan mayoritas budaya daerah. Dan apabila "Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah" seperti dikatakan UUD 45, maka semestinya sudah sejak awal berdirinya republik ini Islam akan dijadikan paradigma budaya untuk membentuk kepribadian bangsa atau kebudayaan nasional. Tetapi kenyataan tidak menunjukkan demikian, karena  kebijakan pemerintah, khususnya dalam pendidikan, tidak mencerminkan adanya pengakuan terhadap realitas anthropologis ini. Islam tidak dipandang sebagai bagian integral, apalagi penting, dari kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu tidak perlu diajarkan kepada generasi terpelajar dari waktu ke waktu.
Lembaga-lembaga pendidikan kita adalah lanjutan sistem pendidikan kolonial. Materi pelajaran dan kurikulumnya tidak memberi peluang bagi peserta didik memahami Islam dengan baik, termasuk sejarah, bangunan peradaban dan kebudayaan, tradisi intelektual seperti falsafah dan kesusastraannya. Dari lembaga pendidikan seperti itulah lahir kaum terpelajar yang asing terhadap kebudayaan bangsanya dan Islam, agama yang dianut penduduk tanah airnya termasuk dirinya. Yang diketahui dari Islam adalah fenomena-fenomena permukaan. Islam hanya dikenal sebagai doktrin teologi, bukan sumber kebudayaan dan peradaban. Apa saja yang terkait dengan Islam, kecuali peribadatan, akan tidak diacuhkannya bahkan dicibirnya.
Oleh karena itu sejak awal abad ke-20 hingga kini, "Medan perang sesungguhnya bagi Islam ialah bangku sekolah dan lembaga pendidikan" (Jansen 1983:303)..Ini disadari benar-benar sejak awal oleh gerakan pembaruan (tajdid) atau reformis khususnya Muhammadiyah, yang memainkan peranan menonjol dalam proses tranfsormasi budaya Islam hingga tahun 1960an.  Sejak berdirinya pada tahun 1912 Muhammadiyah aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Berbeda-beda dengan lembaga pendidikan Islam sebelumnya, Muhammadiyah memanfaatkan sistem pendidikan modern dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Melalui lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah yang pesat berkembang banyak generasi terpelajar Islam dapat diselamatkan dari bahaya ketercerabutan dari nilai-nilai agamanya. Karena itu, kata Jansen lagi, "Karena Muhammadiyahlah kita mempunyai jawaban budaya Islam Indonesia sesungguhnya."
Bercermin pada ikhtiar yang dilakukan Muhammadiyah, organisasi-organisasi keagamaan lain berlomba-lomba mendirikan lembaga pendidikan serupa, terutama sejak dekade 1970an. Pada masa ini pula pesantren, lembaga pendidikan tradisional yang biasanya dikaitkan dengan Islam tradisionalis seperti NU, mengalami revitalisasi dan berkembang pesat. Minat masyarakat mengirim anaknya ke pesantren dari waktu ke watu tambah meningkat. Lantas kita menyaksikan bukan hanya kiyai-kiyai NU dan Islam tradisionalis lain yang berlomba-lomba mendirikan pesantren, tetapi organisasi atau yayasan-yayasan lain yang tergolong modernis. Sekali lagi, walaupun pada saat itu secara politik Islam terpinggirkan oleh kebijakan floating mass Orde Baru, Islam menunjukkan dirinya bukan   agama yang mandeg serta tidak tanggap akan perubahan dan tantangan. Hasilnya tentu saja bisa diperdebatkan.
Pada dasawarsa 1980an kita menyaksikan proses islamisasi melanda kampus-kampus universitas negeri. Kaum muda Islam tidak puas dengan mata pelajaran sekular yang diberikan di ruang-ruang kuliah. Mereka mendirikan masjid-masjid kampus, kelompok-kelompok studi keagaman, pentas seni Islam dan lain-lain. Organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI semakin menonjol perannya dalam dnia kemahasiswaan. Dari fenomena ini muncul sejumlah cendekiawan Muslim yang memainkan peranan penting dalam gerakan reformasi.
  Telah disebutkan bahwa kehadiran Islam melalui kegiatan penulisan kitab dan sastra, menjadikan wilayah pemakaian bahasa Melayu  meluas. Pada abad ke-17 M bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa pergaulan utama antar etnik dan bangsa yang berbeda-beda di kepulauan Nusantara dalam bidang perdagangan, politik, intelektual dan keagamaan. Kesusastraannya menjadi model dan teladan bagi perkembangan sastra daerah lain di kepulauan Nusantara. Pergaulan intelektual cendekiawan Muslim Nusantara dibentuk melalui karya-karya penulis Melayu. Iini memperkokoh alasan mengapa bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan, bahasa Indonesia, dalam  Sumpah Pemuda 1928.  Dengan demikian Islam memberikan dasar integratif bagi persatuan bangsa Indonesia dan kesaling-terikatan antara etnik yang satu dengan etnik yang lain di daerah-daerah yang saling berdekatan maupun berjauhan.  Islam juga menjadi pelopor perlawanan terhadap penetrasi dan dominasi kolonisme, dan dengan demikian berperan pula sebagai protonasionalisme.
            Tetapi sayang, dua bentuk nasionalisme yang dikembangkan sesudah kemerdekaan oleh dua rezim yang berkuasa  -- rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru – sama ahistorisnya dan sama tidak ramahnya kepada Islam. Yang pertama nasionalisme politik yang sekular, bukan nasionalisme kultural sebagaimana dikehendaki Sumpah Pemuda dan UUD 45, telah mengadopsi ciri-ciri protonasionalisme Islam, tetapi bersikap Islamphobia. Inilah yang diperlihatkan rezim Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang lebih condong ke kiri sehingga membuatnya ambruk, sebab tidak berakar dalam jiwa kebudayaan masyarakat Indonesia.
            Sejak rezim Orde Baru memegang tampuk kekuasaan, paradigma kultural UUD 45 bahwa "Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah" semakin tenggelam oleh proses penyeragaman. Pancasila yang seharusnya dijadikan paradigma kultural, tidak diberi makna kultural dalam konteks yang sejalan dengan kenyataan anthropologis komunitas bangsa Indonesia yang "bhinneka tunggal ika". Sebagai asas tunggal, Pancasila dijadikan sebagai sarana penyeragaman budaya yang bertentangan dengan kemajemukan yang ada. Hegemoni pemberian makna terhadap sila-silanya, dan tujuan didirikannya negara Indonesia seperti dicantumkan dalam pembukaan UUD 45 yang di dalamnya Pancasila tercantum, menjadikan cita-cita membangun  masyarakat yang  Pancasilais  hanya sebagai utopia.
            Dengan hadirnya Orde Baru lahirlah nasionalisme baru yang pragmatis dan tehnokratik, berorientasi semata-mata pada pembangunan ekonomi.
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Yahoo! Groups

Endurance Zone

b/c every athlete

needs an edge.

Win free airfare

from Yahoo!

Fly home for the

Holidays on us.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar