Minggu, 18 November 2007

[psikologi_transformatif] islam dan transformasi budaya (2)..

dari salah satu web site islam..
 

ISLAM DAN TRANSFORMASI BUDAYA INDONESIA (2)

Dr. Abdul Hadi W. Muthahhari


Tahapan Awal Perkembangan Islam

Agama Islam berkembang setahap demi setahap di kepulauan Nusantara, melalui jalan yang berliku-liku, baik disebabkan pertemuannya dengan budaya-budaya lokal yang belum dipengaruhi Hinduisme dan Buddhisme, maupun yang sudah dirembesi oleh dua agama universal yang telah hadir terlebih dahulu. Masa-masa penyebarannya itu juga tidak berjalan serentak di wilayah yang satu dengan yang lain. Ketika di suatu kawasan baru dalam tahap pengenalan dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran agama yang bersifat elementer, di daerah lain telah memasuki fase pengenalan implikasi-implikasi rasional dan intelektual dari ajaran Islam mengenai Tauhid. Alasannya karena pemahaman tentang keesaan Tuhan masih kabur disebabkan pengaruh sistem kepercayaan sebelumnya yang non-monotheis.

 
Namun secara umum tahapan-tahapan perkembangan Islam dan transformasi budayanya hingga akhir abad ke-19 M, menjelang munculnya gerakan pembaharuan (tajdid), tersebut dapat dibagi menjadi lima. Tahapan pertama, yang berlangsung sekitar awal abad ke-13 M hingga pertengahan abad ke 15 M, adalah tahapan yang disebut al-Attas (1972) pemelukan Islam secara formal. Tahapan kedua, bermula sekitar peruh ketiga abad ke-15 M hingga akhir abad ke-16 M, adalah tahapan derasnya proses islamisasi di kepulauan Melayu dan semakin meluasnya penyebaran Islam ke berbagai pelosok Nusantara. Agama Islam tidak lagi hanya dipeluk secara formal, tetapi mulai dijiwai dengan kesadaran dan pemahaman secara mendalam. Tahapan Ketiga, pada abad ke-17 M, adalah tahapan penyempurnaan pemahaman ajaran Islam dan tradisi intelektualnya. Kebudayaan Melayu mulai terintegrasikan dengan Islam. Pada masa ini kita menyaksikan suburnya kesusastraan Melayu, mantapnya perkembangan bahasanya dan munculnya banyak kitab keagamaan dalam bahasa Melayu. Tahapan keempat, pada abad ke-18 – 19, berlangsungnya proses ortodoksi. Penekanan terhadap syariah semakin menguat. Dampaknya tariqat-tariqat sufi mengalami pembaruan dan muncul sebagai gerakan-gerakan yang sangat efektif menentang kolonialisme. Berkembangnya Wahabisme pada awal abad ke-19 M semakin memperkuat kecenderungan pada syariah. Tahapan kelima, munculnya gerakan pembaharuan yang semakin dominan pengaruhnya pada masa kemerdekaan.
Pada tahapan pertama, daya tarik Islam yang menyebabkan penduduk Nusantara memeluk agama ini ialah watak dan semangat egaliternya,  serta para pemeluknya – terutama saudagar – yang makmur, kaya dan terpelajar. Dengan memeluk agama ini penduduk pribumi berpeluang meningkatkan taraf hidup dan status sosialnya. Misalnya dapat berpartisipasi dalam perdagangan regional dan antar pulau, serta dapat memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dibuka bagi segenap lapisan dan golongan masyarakat, tidak hanya untuk kalangan elite aristokratik dan menengah seperti pada zaman sebelumnya. Melalui cara itu pula mereka menjadi bagian dari masyarakat kosmoploitan dan naik martabatnya. Sudah menjadi kebiasaan di mana saja terdapat komunitas Islam dalam jumlah besar, di situ hadir pula para pendakwah dan guru agama. Masjid-masjid didirikan, begitu pula madrasah. Pengajian-pengajian diselenggarakan secara intensif.
Penggunaan kesenian sebagai media dakwah merupakan daya tarik yang lain. Seorang sejarawan Persia abad ke-15 M yang tinggal lama di Malabar, Zainuddin al-Ma`bari, menulis dalam bukunya Tuhfat al-MujahidinKasidah Burdah, Syaraful Anam, Syair Rampai Maulid, dan yang sejenis itu yang hingga sekarang masih kita saksikan di kalangan masyarakat Muslim tradisional di seluruh dunia Islam. Media kesenian ini pulalah yang digunakan para wali di Jawa dan tariqat-tariqat sufi, seperti misalnya pembacaan Rawatib Syekh Samman, Rawatib Syekh Abdul Jadir Jailani, dan lain-lain. Bahwa banyak penduduk India Selatan dan Nusantara tertarik memeluk agama Islam setelah menyaksikan dan mendengar pembacaan riwayat hidup dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. yang disampaikan dalam bentuk syair dan dinyanyikan. Terutama dalam peringatan Maulid Nabi. Yang dimaksud Zainuddin al-Ma`bari ialah pembacaan
Makin banyaknya penduduk pribumi yang terlibat dalam kegiatan perdagangan, menyebabkan kegiatan perdagangan mereka tidak terkungkung di pasar tradisional. Kehidupan ekonomi mereka juga berubah. Mobilitas sosialnya juga berkembang tidak hanya secara horisontal, melainkan secara vertikal. Kebiasaan merantau ke negeri jauh dan melakukan pelayaran untuk berniaga, pada gilirannya menumbuhkan etos atau budaya dagang. Ini bisa kita lihat pada etnik-etnik Pesisir yang telah lama memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai bagian dirinya seperti Minangkabau, Bugis, Makassar, Banjar, Madura, Jawa Pesisir, Palembang, dan lain-lain. Mereka adalah di antara sukubangsa-sukubangsa Nusantara yang memiliki budaya dagang yang kuat. Khusus etnik Bugis, Makassar, dan Madura, memiliki tradisi pelayaran jarak jauh yang tangguh hinggga kini. Semua itu merupakan dampak dari kedatangan dan perkembangan Islam.
Pemakaian bahasa lokal sebagai pengantar di lembaga pendidikan Islam, terutama  bahasa Melayu, memudahkan pula penduduk Nusantara  lebih mudah mepelajari agama dan ilmu-ilmu keagamaan yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Apalagi bahasa ini telah lama merupakan lingua franca di Nusantara di bidang perdagangan. Intensifnya penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan Islam menyebabkan mengalami proses islamisasi sedemikian derasnya. Pada abad ke-17 M ketika agama Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara, keperluan akan buku-buku bahasa Melayu semakin meningkat. Bahasa ini lantas berkembang menjadi bahasa pergaulan utama etnik-etnik dan bangsa yang berbeda-beda di Indonesia di bidang politik, intelektual dan keagamaan. Apalagi sebagian besar kitab-kitab keagamaan dan sastra, yang merupakan sumber rujukan utama dalam memahami ajaran Islam dan tradisi intelektualnya, ditulis dalam bahasa Melayu.
Demikianlah kita lihat, segera setelah agama ini berkembang segera pula ia memperlihatkan wataknya yang berbeda dari dua agama yang telah hadir lebih dahulu. Perbedaannya ialah: Pertama, dalam Islam hanya ada teks suci tunggal yang utuh dan mantap, karena itu tidak membingungkan penganutnya. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat banyak teks suci. Kedua, ajaran ketuhahan dan sistem peribadatan Islam lebih sederhana dan jelas, serta mudah dipahami. Ketiga, Islam adalah agama yang egaliter sebagaimana telah dijelaskan. Tiadanya sistem kasta mendorong penduduk kepulauan Nusantara cepat tertarik pada agama yang pada mulanya diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan itu. 
Kecuali itu terdapat faktor lain, beberapa di antaranya ialah: Pertama, para pendakwah Islam yang awal dalam menyampaikan khotbah-khotbahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, namun jelas pesan yang ingin disampaikannya tanpa perlu melakukan pendangkalan; Kedua, ajaran Islam mengharuskan terciptanya hubungan mesra pemeluknya dengan Sang Khaliq; Ketiga, dalam Islam tidak ada lembaga kependetaan. Teks-teks Melayu dan Nusantara Islam yang berasal dari masa awal penyebaran agama ini, baik kitab fiqih dan tasawuf, maupun hikayat dan babad, memberikan kesaksian mengenai hal tersebut. 
Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam juga mencerminkan betapa luasnya cakrawala pengetahuan yang diperoleh mereka yang belajar di situ. Ilmu-ilmu yang diajarkan meliputi asas-asas agama Islam, fiqih dan syariah, bahasa Arab dan sejarah Islam pada tingkatan dasar, sedangkan pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi diajarkan ilmu kalam, usuluddin, tafsir al-Qur'an dan hadis, tasawuf, retorika, logika (ilmu mantiq), dan lain-lain. (Ismail Hamid 1983:2). Naskah-naskah Islam awal yang dijumpai juga menunjukkan pengutamaan fiqih sebagai dasar pengetahuan untuk memahami ajaran Islam. Misalnya naskah lontar abad ke-15 dari Jawa Timur, yang memuat teks uraian tentang fiqih yang diajarkan oleh Maulana Malik Ibrahim, wali pertama di pulau Jawa. Dalam teks itu juga diuraikan tasawuf akhlaq, ringkasan dari  Bidayat al-Hidayah karangan Imam al-Ghazali (w. 1111 M).
Karena yang penting memberikan dasar-dasar keimanan yang kuat, dan memperkenalkan kosmopoltanisme Islam sebagai pegangan hidup, pada tahap awal ini tidak dirasakan perlu menyertakan implikasi-implikasi rasional dan intelektual yang terlalu jauh sehubungan dengan konsep Tauhid yang merupakan ajaran sentral Islam. Pengjaran dan ceramah tentang berbagai perkara berkenaan dengan keimanan dan ketaqwaan, atau yang bersangkut paut dengan rukun Islam dan rukun iman, dirsakan cukup memadai. Tentunya dengan menggunakan uraian yang mudah dicerna. Begitu pula ceramah yang berhubungan ide-ide kemasyarakatan dalam Islam, disampaikan sesederhana mungkin.
Tidak kalah penting dalam penyebaran Islam ialah pengenalan hikayat nabi-nabi, khususnya riwayat hidup dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. Disusul kemudian dengan pengenalan kisah kepahlawan kaum Muslimin di masa lalu dalam memerangi ketidakadilan dan kekafiran, seperti Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, dua epos yang dikenal luas di lingkungan masyarakat Muslim tradisional. Uraian masalah-masalah keagamaan, sejarah Islam dan nabi-nabi, cerita kepahlawanan dan lain-lain yang disampaikan dalam bentuk syair juga merupakan sarana dakwah yang efektif. Adanya majlis-majlis sastra ini tidak hanya menyuburkan perkembangan sastra Melayu atau sastra daerah lain sebagai dampak pesatnya perkembangan Islam, tetapi juga mendorong lahirnya berbagai bentuk seni baru seperti musik, seni suara dan seni bercerita dalam usaha memberi daya tarik yang lebih kuat.
Tidak diperlukannya uraian yang bercorak intelektual sebagian disebabkan karena pemahaman tentang Tauhid atau kepercayaan akan keesaan Tuhan dalam pikiran penduduk Nusantara masih kabur. Konsep-konsep ketuhanan yang diajarkan Hinduisme dan Syamanisme masih berpengaruh. Jika implikasi rasional dan inetelektual dari Tauhid disertaka, maka kemungkinan akan terjadi kekaburan yang membingungkan  Yang dapat dilakukan untuk mengikis pengaruh kepercayaan lama itu ialah dengan memperkenalkan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam. Dasar-dasar kosmoplitanisme Islam itu antara lain ialah pandangan  bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara, sedang kampung halaman manusia sebenarnya ialah akhirat.
Islam juga mengajarkan bahwa Tuhan sajalah Yang Maha Hidup. Dia sajalah yang dapat memberi kehidupan kepada segala sesuatu yang ada di alam semesta. Bukti bahwa pada tahapan awal ini yang diperkenalkan terlebih dulu ialah semangat kosmoplitan Islam, tampak pada tulisan di makam-makam Islam lama dari abad ke-13 – 15 M yang dijumpai di Pasai dan Aceh, Semenanjung Malaya dan Gresik di Jawa Timur, dan tempat lain. Sebagian besar tulisan yang dipahatkan pada batu nisan makam-makam lama itu ialah ayat-ayat al-Qur'an dan syair-syair Arab yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar dari kepercayaan terhadap keesaan Tuhan dan pandangan dasar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara..
Dari Pasai dan Aceh, Islam kemudian tersebar ke wilayah-wilayah lain di kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam pun bermunculan di pulau-pulau lain sejak abad ke-16 M. Di Jawa muncul kerajaan Demak, Banten, Pajang, Mataram, Cirebon dan Madura pada abad ke-16 – 17 M; di Maluku kerajaan Ternate dan Tidore pada abad ke-16 juga; di Sulawesi Buton, Selayar dan Gowa, di Nusatenggara Bima dan Lombok, di Kalimantan Banjarmasin dan Pontiana, dan seterusnya pada abad ke-17 dan 18 M. Di kepulauan Melayu sendiri pusat-pusat kekuasan dan peradaban Islam yang lain  juga muncul menyusul kemunduran Aceh Darussalam sejak awal abad ke-18 M. Misalnya Palembang, Johor, Riau, Banjarmasin, Minangkabau, dan lain-lain.
            Tidak banyak ekspedisi militer diperlukan dalam proses islamisasi itu Yang paling aktif bergerak ialah para wali dan sufi, atau para pemimpin tariqat dengan gilda-gilda mereka Sumber-sumber sejarah lokal banyak memberikan keterangan ini.  Misalnya Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis pada akhir abad ke-14 M) yang menceriterakan bahwa raja Samudra Pasai dan penduduk negeri itu diislamkan oleh Syekh Ismail, seorang faqir yang berlayar bersama 70 pengikutnya dari Yaman. Seorang musafir Arab dari Maroko, Ibn Batutah yang mengunjungi negeri itu pada tahun 1345-6 M, memberitakan dalam laporannya bahwa raja negeri itu sangat egaliter dan suka berbincang dengan ulama-ulama madzab Syafii, serta para cendekiawan Persia dari Bukhara dan Samarqand. Dia berjalan kaki ke masjid setiap hari Jumat. Usai salat Jumat sang raja biasa bertatap muka dan berbincang dengan orang kebanyakan sebelum kembali ke istana (Gibb 1957:273-6).
            Raja Gowa di Sulawesi dan penduduknya diislamkan pada tahun 1607 oleh seorang ulama sufi dari Minangkabau bernama Abdul Ma`mur Chatib Tunggal. Dia dating bersama rombongan pengikutnya dan tiba di Sulwesi Selatan setelah berlayar lama. Dia kemudian dikenal dengan nama Dato Ri Bandang. Sedangkan temannya Chatib Sulaiman dan Chatib Bungsu masing-masing mengislamkan daerah Luwu dan Tiro, dengan mengajarkan fiqih dan tasawuf (Nourdyn 1972:19).  Di Jawa proses islamisasi dilakukan oleh para wali. Selain menggunakan saluran perkawinan dan jaringan perdagangan, mereka juga menggunakan saluran kesenian dan budaya lokal, termasuk sastra.
Faktor penting lain yang menyebabkan Islam berkembang pesat  ialah penempatan pusat-pusat lingkaran peradaban di tiga titik yang tepat, yaitu Istana, Pesantren dan Pasar. Istana sebagai pusat kekuasaan berperan di bidang politik dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan. Di sini pula kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa Muslim. Pesantren berperan di bidang pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota atau pun di pedesaan, begitu pula tema-tema pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk disebarkan.
Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, semakin menonjol pada abad ke-18 M di seluruh pelosok Nusantara. Ia sekaligus berperan sebagai pusat kegiatan tariqat sufi. Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah pesantrean atau dayah itu mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antar-daerah (lihat juga Azyumardi Azra (1995:35-6)..
 Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar  merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum terpelajar dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang berhadapan langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai etnik dan ras berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, dan di sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami dinamika yang menentukan bagi luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula madrasah-madrasah didirikan, dan  buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri Arab dan , dikirim ke pesantren disalin, disadur atau diterjemahkan agar dapat  disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama. Tentu saja tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang lain, dan saling berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan imperium dan emporium Islam.
Kota-kota Islam di Nusantara   dibangun mengikuti model kota di negeri Arab dan . Ia berbeda dengan kota-kota pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa dibangun dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari kehidupan kota.  Dengan begitu istana tidak terasing dan dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat pemukiman para saudagar, perajin dan cendekiawan  yang disebut Pasar atau Bazzar (lihat juga Fylstinsky 1971, melalui Braginsky 1998:9).
Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga titik lingkaran pusat peradaban, semakin efektif berfungsi ketika proses islamisai memasuki  tahapan kedua. Yaitu ketika implikasi rasional dan filosofis dari konsep Tauhid mulai disertakan dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan terutama sekali pada tahapan ketiga nanti. Islam tidak cukup diterima secara formal atau berdasarkan aspek legallistik formal. Jika itu yang ditekankan, maka Islam tidak akan berakar sedemikian mendalam  di dalam jiwa, pikiran dan pandangan hidup penduduk Nusantara.
Pendalaman terhadap ajaran Islam pada tahapan kedua ini dilakukan dengan pengenalan konsep-konsep metafisika, epistemologi, etika dan estetika sufi.  Pada masa ini ulama-ulama pribumi mulai mengambil alih peranan ulama dari luar, termasuk dalam struktur birokrasi pemerintahan. Mereka juga tampil sebagai cendekiawan yang mahir menyampaikan persoalan-persoalan keagamaan melalui karangan-karangan ilmiah dan sastra dalam bahasa lokal, khususnya bahasa Melayu dan Jawa, di samping dalam bahasa Arab. Tidak mengherankan apabila pada tahapan ini penulisan kitab keagamaan berkembang subur, khususnya di Aceh yang merupakan imperium Islam terbesar di Nusantara pada abad ke-16 dan 17 M. Pada peralihan abad ke-16 dan 17 M, ketika tahapan kedua perkembangan Islam mencapai puncaknya, muncul sastrawan besar seperti Hamzah Fansuri dan murid-muridnya, antara lain Syamsudin al-Sumatrani, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan lain-lain. Karangan-karangan mereka pada umumnya sarat dengan uraian berkenaan doktrin Wahdat al-Wujud ('kesatuan transenden wujud')yang bercorak filosofis dan intelektual. 
Sedangkan di Jawa uraian tentang tasawuf filosofis disampaikan melalui karangan sastra yang disebut 'tembang suluk' atau puisi-puisi tasawuf yang bercorak naratif. Pelopor sastra suluk ialah wali-wali terkemuka  seperti Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan lain-lain. Uraian masalah keagamaan atau tasawuf yang diungkapkan dalam bentuk puisi atau tembang sangat, karena puisi lebih mudah dihafal dan dapat dinyanyikan. Sampai kini syair-syair yang ditulis para sufi Melayu masih dibaca di lingkungan tariqat tertentu di Sumatra. Syair-syair Hamzah Fansuri dibaca di lingkungan tariqat Qadiriyah, ajaran Abdul Rauf Singkel digubah menjadi syair dan disampaikan dalam bentuk salawat dulang di lingkungan tariqat Sattariyah.
 Salah satu kecenderungan kuat pada tahapan ini ialah cara menafsirkan hukum agama dan sistem kekuasaan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat yang tatanan sosialnya bercorak agraris feodal dan kesukuan, dan menyukai hal-hal yang bersifat magis dan supernatural. Teks-teks Jawa yang menggambarkan proses pengislaman penduduk oleh para wali pada abad ke-16 M, dengan jelas memperlihatkan hal ini. Tetapi  peringkat ini kemudian  dilanjutkan  dengan penafsiran metafisika dan psikologi sufi yang bercorak filosofis, dan penafsiran teologi dari para mutakallimun yang bercorak rasional. Setelah itu penulisan historiografi dan penafsiran estetika sufi dilakukan melalui penciptaan karya sastra dan seni Islam yang lain. Maka  dasar-dasar tradisi intelektual Islam pun telah  diletakkan secara kokoh. Begitu pula dasar-dasar adab dan estetikanya.
Pada saat tahapan ini berlangsung adalah tasawuf dan karangan-karangan para sufi serta ahli kalam yang memainkan peranan menonjol. Terutama kitab-kitab karangan Mansur al-Hallaj, Bayazid al-Bhistami, Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Fariduddin `Attar, Jalaludin Rumi, Abdul Karim al-Jili, Jami, dan lain-lain.  Sedangkan yang berkenaan dengan ilmu kalam atau teologi, sebagian besarnya adalah yang bersumber dari paham Asy'ariyah dan Maturidiyah.  Memasuki abad ke-17 M, fiqih dan usuluddin dari madzab Sunnah wa al-Jamaah, khususnya paham Syafi'i, mulai diiuraikan secara lebih komprehensif dalam kitab-kitab Melayu. Melalui pemahaman terhadap kitab-kitab ini maka agama Islam tidak hanya diterima secara formal, tetapi diresapi secara mendalam, serta dijadikan landasan dalam membangun kehidupan sosial, politik dan kebudayaan. Konsep-konsep dasar Islam seperti Tauhid, yang  pada tahapan pertama masih kabur dan tumpang tindih dengan kepercayaan lama, kini diperjelas melalui uraian yang bercorak filosofis dan intelektual oleh wali-wali dan ahli tasawuf. Begitu juga pengertian tentang persamaan derajat manusia, serta pandangan bahwa  manusia menjadi mulia disebabkan tingkat keimanan dan ketaqwaannya, serta disebabkankeluhuran akhlaq dan keluasan ilmu yang dikuasainya.
Tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung tepat ketika imperium besar di Nusantara, kesultanan Aceh Darussalam, mulai menyongsong puncak kejayaannya sebagai pusat peradaban dan kegiatan perdagangan.. Negeri ini telah memiliki perguruan tinggi Islam terkemuka, Jami` al-Bayt   al-Rahman, sejak awal abad ke-16 M. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat menjelang akhir abad yang sama. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan Muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatra, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh Nusantara. Islam dan bahasa Melayu lantas  muncul sebagai kekuatan integratif dari etnik-etnik yang berbeda-beda di kepulauan Nusantara.


Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

HDTV Support

on Yahoo! Groups

Help with Samsung

HDTVs and devices

Shedding Pounds

on Yahoo! Groups

Read sucess stories

& share your own.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar