Kamis, 29 November 2007

[psikologi_transformatif] Kafe -- Jumat, 6 Juli 2001

Jumat, 6 Juli 2001


Kafe


SLAMET, Richard, Camarayu, Yutaka, dan teman-teman lainnya sudah lama pulang. Hanya Danarto, Tomi, Hudan, Dorothea, dan Calz masih betah dalam kelarutan malam di kafe. Seperti malam yang diam, hampir tak ada yang bicara. Mereka asyik dengan pikiran, juga dengan kantuk yang mengendap pelan-pelan. Tapi meja itu bersih sekarang, botol-botol kosong sudah diangkat pelayan. Calz menyedot teh tawar hitam, sarat perasaan seakan orang sedang mencicipi anggur yang mahal. Sejak tadi sudah lima gelas teh masuk menjenguk kerongkongannya. Ia memang tak suka minuman keras. "Aku sudah sejak dulu mabuk dengan kehidupan, buat apa minum", katanya ketika tadi Hudan menyodorkan bir padanya.

angin menahan nafas
di luar kafe pepohonan tegang
dekat pelupuk setengah bulan
sisa awan tak bergoyang

di genggam malam di telapak siang
di sidik jari di gurat badan
kucari kau kucari
kucari kau di kelengangan dalam

Hudan menatap keluar seakan mencari angin di halaman, tapi di ranting-ranting dan bongkah dedaunan angin tak tampak. Dia letakkan kembali mukanya tengkurap di atas meja berbantalkan kedua belah tangan. Dorothea separuh senyum separuh ngantuk mengamati Hudan. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin sebaris sajak, mungkin keluarga atau kantor di Magelang. Mungkin juga kenangan. Dengan sepatu boot dan topi Nike coklat kehijauan, rahang agak menonjol, dan bibir tanpa lipstik dan buah dada yang tak mencari perhatian ia kelihatan lebih jantan dibanding perempuan. Tetapi cantiknya tetap saja indah kelihatan. Topi itu baru tiga hari bertengger di kepala Hudan. Dorothea senang pada topi itu, dan Hudan senang memberikan pada Dorothea. Hudan senang melihat Dorothea senang.

Danarto asyik menghirup bubur ayam. "Enak lho," katanya pada Tomi. Tapi Tomi seperti tak ada perhatian. Danarto mengunyah terus. Menyantap tart ulang tahunnya, melalap sirloin steik, lantas seporsi siomay, lalu nasi goreng saus tiram dan kini bubur ayam. Danarto sangat senang makan dan ia senang mentraktir teman-teman makan. Ia juga senang tidur. Hampir tiap diskusi-diskusi atau sedang lagi mengobrol ia bisa tidur di kursi. Ia juga sering menceritakan bagaimana ia terlelap sambil menyetir mobil. Teman-teman cemas. Calz bilang enak juga kau bisa tidur sambil nyetir. Kalau ada kecelakaan pasti kau tidak gugup dan tak merasa sakit.

Danarto suka membuat ilustrasi cerpen dan melukis perempuan cantik dengan buah dada sebesar kelapa, pinggang seramping pohon pinang dan pantat seluas tampah. Ia dianggap paling saleh di antara teman-teman. Mungkin karena ia rajin shalat, selalu santun dan sopan terhadap setiap orang. Teman-teman menyebutnya sufi. Kalau ia suka tidur dan suka makan tentulah itu ibadah. Mana ada orang bisa berbuat dosa waktu tidur, dan kalau sedang menelan makanan sulit sekali bisa memaki atau mengumpat. Mila anak Calz yang baru kelas satu SD, setelah diceritai ayahnya hobi makan Danarto bilang: "Kalau ada reinkarnasi mungkin Oom Danarto jadi kelinci."

Seekor tikus berjalan zig-zag di atas pentas yang lenggang. Ia mundur maju sebentar ke kiri sebentar ke kanan, seperti menari seperti sempoyongan. "Aku yang minum dia yang mabuk," bilang Tomi. Dorothea dan Danarto tertawa. Hudan mengangkat kepala. Seperti mengigau ia mengucap agak keras: "Bang, aku ini raksasa yang sedang tidur. Percayalah Bang nanti aku kalahkan Gabriel Marques dan Jose Saramago. Lihatlah Bang." Calz yang dipanggil Bang diam saja sambil menahan ketawa melihat tikus bertingkah. Ia tidak mau tikus lari gara-gara ketawanya. Hudan mengulang bilang: "Bang aku ini raksasa tidur. Aku yakin Bang."

Ya, aku yakin juga. Tapi kau harus banyak membaca, bilang Calz.

Ah, tak pentinglah. Yang penting aku sudah baca Dostoyewski dan Albert Camus.

Kalau gitu jangan terlalu lama kau tidur. Kami sudah 60 kata Calz sambil memandang Danarto. Jangan lama tidurnya nanti kami tak menyaksikan raksasa bangun.

Malam itu Danarto meraih usia 61 tahun dan dua hari yang lalu Calz. Camarayu merayakan ulang tahun mereka. Camar ingin membikin kejutan. Diam-diam diundangnya kawan-kawan tanpa memberi tahu Danarto dan Calz. Karena Danarto ingin merayakan ulang tahunnya pada tanggal yang sama dan dengan teman-teman yang sama dengan yang diundang Camar, terpaksa sehari sebelum pesta Camar membuka rahasia pada Danarto dan Calz. Danarto senang dengan kejutan Camar. Calz yang memang sering lebih suka membikin kejutan daripada dikejutkan malah membikin kejutan balik. Ia bilang ia tidak akan datang pada pesta itu. Tentu saja sambil menahan hati Camar yang sudah hampir sebulan berjerih payah merencanakan pesta, serasa naik pitam.

Tetapi Calz datang juga setelah merasa sukses membikin Camar cemas, itu pun setelah Richard menyetir Jaguarnya ditemani Danarto bersusah payah mengarungi kemacetan lalu lintas Jakarta-Bekasi, mencari rumah Calz. "Aku sudah 17 tahun tinggal di Kompleks Jatibening ini, baru malam ini ada Jaguar mencecehkan rodanya ke sini," kata Calz tersenyum-senyum. "Engkau membuat sejarah Richard," katanya lagi.

Teman-teman duduk mengitari tiga meja yang dirapatkan, kadang bicara serius kadang bercanda. Meja penuh makanan dan beberapa botol bir tapi hanya Hudan dan Tomi yang menenggak bir, Budi, Slamet, Abdul, Richard, Sitok, Arsuka, Yutaka, Danarto, Wien, dan Calz, memilih kopi teh atau jus. Camar sekali-sekali menghirup alpokat. Juga para perempuan lainnya Dorothea, Nelden, Rani, Connie memilih jus sebagai minuman mereka. Budi, Camar, dan Arsuka sedang bicara serius, meski santun tak luput dengan ketawa. Di depan mereka Nelden dan Richard bicara dalam bahasa Inggris, sambil sekali-sekali dan pelan Richard melantunkan Honesty. Nelden menulis puisi dalam bahasa Inggris dan Richard importir buku-buku asing.

Tadi sejak menyetir mobilnya, Richard menyanyikan Honesty sambil mengulang-ulang satu bait yang sama. Ia tampak girang atau menampakkan dirinya girang karena tentu ia ingin pesta ini menarik girang dan indah. Danarto minta Richard tampil ke pentas menyanyikan Honesty, tapi Richard lebih suka duduk di kursinya menyanyikan pelan-pelan masih mengulang-ulang bait yang sama. Wien, Rani dan Connie sedang menikmati kelakar, renyah ketawa. Sitok mengguratkan bolpoin di secabik kertas. Ia sedang melukis. Dorothea memperlihatkan buku cerpen Sapardi pada Calz. "Wah, pengarang asing. Ini terjemahan dari bahasa Jawa, ya?" canda Calz, membolak-balik halaman.

Di puncak pesta dalam hingar bingar musik, Hudan dan Tomi melampiaskan kerongkongan dengan banyak lagu bergantian dengan penyanyi kafe. Inilah saat yang tepat bagi Camar melabrak Calz. Calz tahu itu. Ia sedang menantikan saat itu sejak ia dijemput Richard. Camar menghampiri Calz dan duduk di kursi Hudan yang sedang sibuk menyanyi. Merapat dan menatap Calz ia langsung mendamprat Calz dengan lantang meski volume suaranya agak ditahan. Seandainya ia bicara lebih keras juga tidak terlalu kedengaran teman-teman karena musik keras memenuhi ruangan. Dorothea yang disamping Calz pun tidak akan dapat mendengar. Semua tahu mereka saling bertengkar tapi mereka tidak dapat sejelas mendengar pertengkaran. Calz hanya sekali kali menjawab, karena Calz tahu Camar tulus merayakan ulang tahunnya. Ia lebih senang diam saja tapi agar tidak kelihatan sebagai monolog sekali-sekali dengan pikiran dan pandangan di lain tempat ia membantah Camar. Biarlah Camar puas dengan kemarahannya dan boleh dia sangka martabatku jadi berkurang, pikir Calz. Beberapa hari ini pikirannya lebih dirisaukan bagaimana menegakkan martabat puisi Indonesia. Ia tidak merisaukan benar pendapat orang tentang dirinya. "Tatap aku!" bilang Camar kesal.

Calz melihat ada danau di mata Camar. Danau yang airnya berasal sungai biru kelugu-luguan. Danau itu jernih biru, terang dan dalam. Dari situlah Camar mengucapkan dampratan lantang lugu dan terang pada Calz. Tapi Camar tidak tahu Calz senang dengan dampratan itu karena berasal dari danau dalam biru lugu jernih dan terang. Meski sudah bersahabat, Camar tidak pernah paham benar tentang Calz. Siang tadi dalam percakapan telepon dengan Danarto, Camar diceritai bagaimana Calz setelah marah-marah langsung nyanyi dan bicara puisi. Pastilah dia gila, kata Camar yang memang sudah naik pitam terhadap Calz. Calz hanya ketawa ketika Danarto menceritakan pendapat Camar itu.

Semakin menatap Calz tahu danau itu serasa semakin tenang airnya, lembut tak mengalir seperti agar-agar biru kelugu-luguan. Meski sedang marah besar tetap ada kelembutan pada agar-agar biru itu. Meski sedang membenci Calz, lelaki itu tahu masih tersisa lentun kesahabatan di dalamnya. Danau itu indah. Mata itu jelita. Lihatlah gemulai tari angin mengibas bulu-bulu matanya bagi perdu biru di pinggir danau dibelai-usap sepoi pagi. Tapi mata itu, tidak tepat benar disebut hening bening keagar-agaran. Meski ia mencoba galak menatap, ia tak berbakat musuh, bukan pula makanan. Ia bukan sejenis mata indah yang disergap burung, seperti dalam cerita yang pernah dibaca Calz. Tak layak rasanya menyamakan dengan mata semacam itu. Bukan hanya tak layak, tapi jika demikian terasa kekurangpahaman. Mata jelita ini bukan untuk burung tapi untuk orang yang paham. Orang yang telah sampai pada tingkat peka terhadap pencerahan. Calz merasa dirinya mudah paham. Ia paham membuat sebutir pasir keseharian menjadi suatu pantai pencerahan yang terang dan mengasyikkan.

Menghadapi dampratan Camar adalah ongkos yang terlalu murah untuk memahami danau ini, pikir Calz. Ia biarkan Camar melemparkan tudingan dan ia tak berminat membela diri. Ia ingin melayarkan botol berisikan pesan ke danau. Tapi danau ini tak mengalir, takkan sampai ke mana. Paling-paling pesan akan kembali pada dirinya sendiri, kepada Calz. Lagi pula tidak ada tangan yang kan meraih pesan. Danau tak bisa mengambil sendiri apa yang di lemparkan padanya. Ia memerlukan tangan tapi tangan itu belum datang. Ia tahu satu saat kelak bakal datang tangan, atau suatu saat nanti bakal datang waktu danau ini bisa menumbuhkan tangan. Seandainya kelak ia mendapatkan tangan, tangan yang mengambil dan membuka dan menuliskan pesan, ia bakal bisa membaca dan menuliskan pencerahan. Aku ingin benar raksasa yang satu ini bangun, membaca dan menuliskan pesan pencerahan, pada dirinya sendiri dan untuk orang yang paham.

Camar pergi ke samping Budi. "Kalau jadi senior, ini kayak Pak Budi. Orang hormat padanya," kata Camar. Telah lama benar Calz tidak merisaukan hormat orang terhadap dirinya. Apalagi setelah berumur seperti sekarang. Kehormatanmu, engkau sendirilah yang menancapkan dan menegakkannya, bukan orang lain, pikir Calz. Sejak usia tiga puluhan Calz yakin telah menegakkan martabat dirinya. Dan sudah lama pula ia sejak itu tidak terlalu mengacuhkan hal itu, dan selanjutnya ia serahkan pada takdir. Kalau aku terlalu sibuk mengurus ihwal semacam itu, gila hormat namanya, pikirnya.

Bagi Calz sekarang lebih asyik mencermati rasa hormat orang terhadap puisi. Calz sering ikut dalam acara-acara apresiasi puisi diberbagai kota dan sekolah. Ia merasa prihatin. Upaya memahami, merasa bersyukur dan menghargai atau menghormati puisi yang semunya itu bisa tercakup dalam istilah apresiasi, sering terfokus pada penalaran bagaimana menikmati keindahan puisi. Tentu saja orang akan menghormati puisi kalau ia tahu keindahannya. Kalau hanya sebatas itu pemahaman puisi, terbatas pula rasa hormat terhadap puisi. Puisi hanya terbatas pada orang yang berminat dan berurusan dengan estetika saja. Ia jadi ingat TS Eliot. Puisi yang baik harus memenuhi kriteria estetika puisi. Puisi yang besar memberikan pengaruh atau dampak yang besar terhadap dunia di luar puisi. Puisi yang memberikan inspirasi (inspiring) bukan hanya di lingkup perpuisian, tetapi juga dilingkup berbagai bidang kehidupan yang luas. Tentu mengasyikkan melihat danau yang indah sebagai danau yang indah. Tetapi lebih terasa agung dan asyik jika danau yang indah itu memberimu inspirasi bagi pencerahan kehidupan dan meningkatkan makna martabat kemanusiaan.

Itulah sebabnya kenapa Calz mengklaim teks Sumpah Pemuda sebagai puisi. Agar masyarakat bisa lebih hormat terhadap perpuisian. Calz menyayangkan sikap para kritikus sastra yang mungkin secara tidak sadar telah merendahkan martabat puisi. Dalam dunia kritik sastra kita Calz melihat tidak jarang sikap yang meletakkan puisi sebagai pengekor peristiwa sosial politik. Ada gejolak sosial politik tahun 1945 maka muncullah Angkatan 45 dalam sastra. Ada gejolak sosial politik tahun 1966 maka muncullah Angkatan 66 dalam sastra (puisi). Tentu saja masalah sosial politik sering memberikan inspirasi bagi puisi. Tetapi tidak adanya upaya dari para kritikus atau pengamat puisi untuk memperlihatkan bagaimana puisi kita bisa memberikan inspirasi terhadap realitas sosial dan politik, itulah yang merisaukan Calz. Pada pengamatan Calz pandangan yang meletakkan puisi atau sastra selalu sebagai pengekor peristiwa realitas sosial politik adalah semacam paham berlabel "(sosial-) politik sebagai panglima" juga.

Meningkatkan rasa hormat terhadap puisi itulah yang merasuki pikirannya akhir-akhir ini. Obsesi ini membuntutinya dimana saja, juga di kafe ini. Maka ketika Camar menghampirinya lagi, ia tersenyum sendiri. Ia tak peduli Camar menuding dan mendampratnya untuk kesekian kali. Ia tidak akan mempertaruhkan martabatnya di depan Camar. Di ujung usianya ia ingin mempersibuk diri dengan martabat puisi.

Camar duduk di sampingnya dan mulai lagi melampiaskan kekesalan. Calz diam, Camar terus menembakkan serangan kesalnya. Calz merasa tidak kena tembakan karena pikirannya berada di lain tempat. Tiba-tiba Camar menarik tangan kanan Calz dan meletakkan tangan itu ke bahunya. Ia minta agar Calz tidak melepaskan rangkulan sambil ia terus mengomeli Calz. Camar lebih dari separuh di bawah usia Calz. Kadang Calz berlaku sebagai ayah yang sabar dan karena Calz suka meledek Camar kadang ia menjadi keranjang tempat Camar melemparkan kemarahan.

angin menahan nafas
di luar kafe pepohonan tegang
dekat pelupuk setengah bulan
sisa awan tak bergoyang

Beberapa sajak Soni Farid Maulana (Bandung), Putu Vivi Lestari (Denpasar), dan Syilfi Purnama Sari mengisi ruang Bentara nomor ini. Syilfi siswi SMU Trinitas Bandung ini, sajak-sajaknya dimuat di berbagai mass media antara lain Harian Pikiran Rakyat dan majalah sastra Horison.

Sutardji Calzoum Bachri


sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/06/dikbud/kafe40.htm


Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Popular Y! Groups

Is your group one?

Check it out and

see.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar