Kamis, 22 November 2007

[psikologi_transformatif] Politik Machiavellian Indonesia

Bagus sebagai pengetahuan...

POLITIK MACHIAVELLIAN INDONESIA
(Politik Mempertahankan Kekuasaan)
Oleh: Sapomo CM

Menyimak sejarah politik Indonesia sama artinya dengan
menyimak ulang konsep politik Machiavelli. Politik
Indonesia pertama-tama bukan memikirkan bagaimana
penguasa mengatur tata hidup bersama, melainkan
bagaimana penguasa mengatur tata pemerintahan
sedemikian rupa sehingga ia tetap dicintai, dikagumi
dan diandalkan rakyatnya. Politik Indonesia lebih
memikirkan bagaimana kekuasaan dipertahankan selama
mungkin daripada bagaimana Indonesia dibangun sebaik
mungkin. Cara berpikir seperti ini sejalan dengan
konsep politik modern Machiavelli.

Dalam Il Principe bab IX, Machiavelli menyarankan
bagaimana seorang penguasa mempertahankan
kekuasaannya. Caranya adalah dengan menarik hati dan
simpati rakyat. Ia lantas menulis begini: "The Prince
is, moreover, obliged to live always with the same
people." Selanjutnya Machiavelli menambahkan: "One,
however, who becomes prince by favour of the populace,
must maintain its friendship, which he will find easy,
the people asking nothing but not to be oppressed. But
one who against the peoples wishes becomes prince by
favour of the nobles, should above all endeavour to
gain the favour of the people; this will be easy to
him if he protects them. The prince can win their
favour in many ways, which vary according to
circumstances."

Pemimpin dan politisi Indonesia sangat kentara
mengikuti jalan pikiran Machiavelli ini. Lihatlah
bagaimana Soekarno berkuasa selama dua puluh tahun.
Berikutnya menyusul Soeharto. Bahkan lebih lama; tiga
puluh dua tahun. Tidak ketinggalan para pejabat negara
baik di pusat maupun di daerah-daerah. Itu baru di
lembaga eksekutif, pemerintahan. Namun lihat pula
lembaga legislatif, baik di pusat (DPR RI), DPRD I dan
DPRD II. Para politisi menjadi anggota dewan sekian
periode hingga tua. Politisi dadakan bertindak anarkis
atas nama kepentingan rakyat.

Adalah menarik untuk disimak bersama hal-hal berikut
ini. Mereka bertahan menjadi pejabat negara dan wakil
rakyat sekian lama karena legitimasi yang kuat dari
rakyat. Mereka sangat pintar menarik hati rakyat.
Rupanya semangat feodalisme dan patrialisme masyarakat
Indonesia dimanfaatkan dengan sangat baik oleh mereka.
Saran Machiavelli tepat. Penguasa mengambil hati
rakyat dengan banyak cara sesuai dengan keadaan.
Marilah kita lihat bagaimana para penguasa, pemimpin,
pejabat negara dan anggota dewan pintar mengambil hati
rakyat. Mereka menjadi Machiavelli ala Indonesia sejak
awal kemerdekaan hingga periode reformasi saat ini.

Masyarakat Indonesia akrab dengan iklim kekeluargaan
dan persaudaraan. Para pemimpin ibarat bapak dalam
keluarga besar. Para pendiri negara Indonesia mengerti
dengan baik hal itu. Maka tidak heran bila Soepomo
dalam pidatonya di sidang BPUPKI berkata: "maka para
pejabat negara ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan
rakyat dan para pejabat negara senantiasa wajib
memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam
masyarakat". Pendapat ini disetujui mayoritas anggota
sidang untuk membangun Indonesia Merdeka. Lahirlah
pada waktu itu konsep negara kesatuan untuk
mempersatukan aneka suku, agama, ras dan antar
golongan yang ada di Nusantara. Itulah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Soekarno dengan karisma
pemimpinnya secara gemilang berhasil mewujudkan
harapan itu. Rakyat begitu mengagung-agungkan beliau.
Hal yang sama juga terjadi pada tokoh-tokoh
kemerdekaan lain seperti Hatta, Sjahrir dan lain-lain.

Bagaimana Soekarno bisa bertahan sekian lama menjadi
penguasa Indonesia? Soekarno memiliki karisma yang
besar. Lewat kemahirannya berpidato, ia telah membius
rakyat sedemikian rupa. Semangat yang berkobar,
penampilan yang memikat, gaya bicara yang apik dan
jiwa pemimpin yang selalu dekat dengan rakyat
senantiasa ia miliki. Ia sendiri berjanji untuk
menjadi penyambung lidah rakyat. Namun siapa yang
menduga kalau segalanya itu secara efektif dipakai
melanggengkan kekuasaannya. Demokrasi terpimpin
menjadi puncak di mana naluri berkuasa Soekarno tampak
kian jelas.

Adalah Hatta yang melihat tanda-tanda itu. Ketika itu
Hatta menulis: "Demokrasi liberal hendak digantinya
dengan apa yang disebutnya demokrasi terpimpin" Tetapi
dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi
sekarang, dimana semua anggota ditunjuk oleh presiden,
lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan.
Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu DIKTATUR
yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu.
Soekarno mengangkat diri menjadi presiden seumur
hidup. Celakanya hal itu didukung oleh rakyat lewat
parlemen. Maka tidak heran bila Hatta, seorang
negarawan yang tulus, akhirnya mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai wakil presiden. Nafsu atas kuasa
membutakan mata Soekarno, menutup pintu demokrasi.

Menyusul berikutnya; Soeharto. Dengan semangat Orde
baru dan demokrasi Pancasila, ia melakukan program
stabilitas politik nasional. Program ini bertujuan
melakukan pembenahan dan pembaharuan politik demi
mencapai keberhasilan pembangunan sosial dan ekonomi.
Fokusnya terletak pada sektor ekonomi. Pembangunan
fisik dilakukan secara meluas di seluruh negeri. Mulai
dari kota hingga desa-desa. Tidak heran bila kemudian
Soeharto dipuja-puji dan diberi gelar Bapak
Pembangunan. Rakyat akhirnya dininabobokkan oleh
pembangunan. Soeharto menjadi ikon penguasa sukses
yang harus tetap dipertahankan kekuasaannya.

Sementara itu, institusi-institusi politik
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan
formasi politik yang mendukung penguasa. Kekuasaan
politik berpusat di tangan pemerintah/penguasa.
Institusi perwakilan politik rakyat secara efektif
bekerja untuk melegitimasi kebijakan pemerintah.
Fungsinya sebagai wakil rakyat tidak dilaksanakan
secara memadai. Dengan demikian, kekuasaan penguasa
dilanggengkan oleh rekayasa politik lewat mekanisme
pemilu yang ada. Hal yang sama juga terjadi di
daerah-daerah. Para gubernur, bupati dan camat yang
biasanya didominasi kalangan militer berkuasa hingga
beberapa periode

Akhirnya, rakyat terutama kaum intelektual dan
mahasiswa, bosan dengan aneka rekayasa politik. Maka
lahirlah kemudian gelombang reformasi yang menuntut
pembaharuan di segala bidang kehidupan. Soeharto
kemudian lengser. Kekuatan reformasi melahirkan
demokrasi yang lebih maju. Lantas bagaimana situasi
politik di masa ini? Demokrasi di era reformasi terasa
kebablasan. Demokrasi yang mendadak membuat para
politisi tidak siap berpolitik secara sehat. Maka
muncul sekian banyak politisi dadakan di DPR yang
justru menimbulkan anarki. Lihatlah kericuhan yang
terjadi di sidang parpurna DPR ketika membahas
kenaikan harga BBM medio Maret lalu.

Para politisi dadakan itu jelas Machiavellian. Mereka
tampaknya berjuang keras melanjutkan aspirasi rakyat.
Mereka berteriak, melompati meja dan saling dorong
atas nama rakyat. Namun siapakah yang tertawa senang
melihat aksi itu? Rakyat? Saya kira tidak. Rakyat
justru malu melihat para wakilnya seperti para preman
berdasi. Kita mesti bertanya lagi. Apakah itu
sungguhan ataukah hanya kamuflase semata? Apakah
terdorong oleh nurani kemanusiaan ataukah hanya untuk
mempertahankan kedudukannya sebagai anggota dewan.
Memperjuangkan aspirasi rakyat ataukah berdusta dan
menarik simpati rakyat? Kalau benar opsi yang kedua,
maka politik Machiavellian masih diminati para
penguasa pejabat dan politisi Indonesia. Sampai kapan?
Saya tidak tahu. Filsafat politik tidak mengurusi
aneka ramalan dan praduga politik. Ia bertugas untuk
menganalisa dan mengkritisi realitas politik yang ada.
Kita hanya diminta: Belajarlah dari sejarah!

http://www.berpolitik.com/viewnewspost.pl

__________________________________________________________
Be a better pen pal.
Text or chat with friends inside Yahoo! Mail. See how. http://overview.mail.yahoo.com/

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Yahoo! Groups

Parenting Zone

Share experiences

with other parents.

Health & Fitness

on Yahoo! Groups

Useful info for the

health conscious.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar