Kamis, 29 November 2007

[psikologi_transformatif] PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN (bag 1-2) oleh: Audifax

PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN [1]:
Pengategorian Status Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
Oleh:
Audifax[i]
 
Di Indonesia, ranah psikologi tampaknya dibedakan bagi dua jenis mahluk, yaitu Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Pembagian ini, seolah menyiratkan kasta kemampuan. Lantas menjadi tidak relevan ketika kasta itu dikaitkan dengan praktikalitas yang diistilahkan sebagai praktik psikologi, karena ketika dirunut pada aturannya, pembagian itu sama sekali tak mengarakterisasi, apalagi mencerminkan perbedaan kualitas kemampuan. Ada sesuatu yang luput dari cermatan di sini, bahwa di tengah percepatan perkembangan dunia beserta kultur di masyarakat, segala bentuk hirarki, sentralisasi, kategori justru akan mematikan. Diakui atau tidak, saat ini masyarakat justru secara radikal melepaskan diri dari keterpusatan dan menyebar, mengindividu, mendiferensiasi. Jika dulu konsumsi cenderung mass consumption dan oleh karenanya menjadi masuk akal mass production (yang memungkin adanya  hirarki, sentralisasi, kategori) saat ini pemasaran justru masuk ke ceruk-ceruk pasar (niche). Inilah yang agaknya tak tertangkap oleh siapapun yang mengategorikan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
Agar lebih jelas, pada awal analisis akan saya paparkan terlebih dahulu kutipan dari buku kode etik psikologi Indonesia berkaitan dengan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Setidaknya ada tiga pasal penting berkaitan dengan pembedaan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah para lulusan perguruan tinggi dan universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan DAPAT MEMBERIKAN JASA PSIKOLOGI TETAPI TIDAK BERHAK DAN TIDAK BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK PSIKOLOGI DI INDONESIA[ii].
 
PSIKOLOG adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikolog); atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan BERHAK DAN BERWENANG untuk melakukan PRAKTIK PSIKOLOGI di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sarjana Psikologi menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai PSIKOLOG. Untuk melakukan praktik psikologi maka Sarjana Psikologi yang tergolong kriteria ini DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai ketentuan yang berlaku[iii].
 
PRAKTIK PSIKOLOGI adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan DIAGNOSIS, PROGNOSIS, KONSELING, dan PSIKOTERAPI[iv].
 
Ada beberapa pertanyaan yang menurut saya mendasar pada pasal-pasal di atas, terutama berkaitan dengan pembagian "jatah" antara Ilmuwan Psikologi dan Psikolog (menarik juga ketika ilmu itu dikastakan, saya kok tidak melihat pembagian itu pada bidang kedokteran,  menjadi ilmuwan kedokteran dan dokter misalnya). Menjadi pertanyaan pula lantas apa gunanya kuliah psikologi empat tahun kalau masih dibatasi wewenangnya? Lalu apakah memang ada peningkatan kemampuan secara signifikan setelah mengikuti pelatihan diagnostik atau program profesi? Makin kacau lagi ketika program profesi psikologi digabung dengan S-2; bagaimana masalah profesi dan mastery bisa dicampuradukkan?
Dalam analisis saya, pembagian tersebut lebih merupakan upaya memapankan kelompok tertentu karena sebenarnya tidak terlihat alur logika bahwa psikolog lebih tinggi kemampuannya dibanding ilmuwan psikologi sehingga patut diberi wewenang lebih. Bagaimana misalnya peraturan itu bisa menjelaskan kompetensi 'ilmuwan psikologi' seperti Andrias Harefa yang dalam training-training dan tulisan-tulisannya, sangat dekat dengan psikologi pendidikan dan industri/organisasi; Frans Mardi Hartanto, yang tidak bisa masuk Himpsi (karena S-1 nya Teknik) tapi justru diakui di asosiasi psikologi luar negeri seperti APA (American Psychological Association); atau Goenawan Muhammad dengan tulisan dan analisisnya yang tajam; bagaimana pula dengan tayangan-tayangan interaktif seperti Dunia Lain, Pemburu Hantu dan sejenisnya? Bahkan seorang Deddy Corbuzier atau Romy Rafael pun menunjukkan tingkat kepiawaian yang luar biasa dalam bidang psikologi. Bukankah apa yang mereka lakukan juga mengandung unsur diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi[v]? Apakah peraturan dalam Kode Etik Psikologi itu lantas bisa melegitimasi dan menempatkan para psikolog pada posisi yang lebih dari nama-nama di atas? Apakah peraturan itu lantas bisa menafikkan begitu saja kenyataan bahwa para "klien" benar-benar merasakan manfaat dari nama-nama itu? (bahkan maaf, mungkin para klien inipun lebih percaya pada nama-nama itu dibanding psikolog bersertifikat yang baru saja lulus program profesi dan belum pernah menangani kasus riil satupun).
Apa yang bisa kita tangkap di sini? Masyarakat sudah tak percaya lagi pada narasi-narasi besar dan masuk pada narasi-narasi kecil yang berdasarkan pengalaman. Inilah titik krusial yang terkesan menjadi kelemahan dari pengategorian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog beserta segala wewenangnya. Masalah wewenang itu sendiri, kemudian justru menjadi sangat lemah karena bagaimanapun, untuk masalah penggunaan 'jasa psikologi'; fakta di lapangan yang membuktikan, bukan legitimasi dari otoritas. Psikologi, saya coba ingatkan lagi akar katanya; yaitu ilmu (logos) tentang jiwa (psike). Saya rasa ilmuwan-ilmuwan psikologi yang saya sebutkan tadi telah menunjukkan suatu langkah berani dalam bermain-main dengan psike; namun jangan lupa, mereka juga menunjukkan kepiawaian yang tinggi dalam pemahaman, penguasaan psike. Ya, inilah yang justru menjadi kelemahan Psikolog yang memahami psike hanya sebatas apa yang dijelaskan dalam manual-manual interpretasi alat tes. Sementara mereka sendiri mungkin tak pernah menyadari seberapa akurat alat tes tersebut mengungkap psike.
Ini persis seperti yang dijelaskan oleh Jean Francois-Lyotard mengenai keruntuhan narasi-narasi besar dan munculnya narasi-narasi kecil. Imbas dari spirit di jaman posmodernisme. Pada jaman ini, kode etik adalah sebuah narasi besar yang memiliki potensi untuk berbenturan dan diruntuhkan oleh narasi-narasi kecil yang berbasis pengalaman riil.
Kode etik yang membedakan wewenang Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini akan makin terasa kontradiksinya (sekaligus kelemahannya) dengan mencermati bunyi pasal 9:
Asas kesediaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses pemberian jasa/praktik psikologi[vi].
 
Bagaimana jika klien menolak seorang psikolog dan minta dilayani oleh Ilmuwan Psikologi, termasuk dalam hal prognosis, diagnosis, konseling, dan psikoterapi? Pasal yang membagi Ilmuwan psikologi/Psikolog dan pasal mengenai asas kesediaan yang terkesan kontradiktif ini terlihat menafikkan kemungkinan bahwa klien bisa jadi akan memilih Ilmuwan Psikologi ketimbang Psikolog. Seolah, klien sudah pasti merasa puas kalau yang melayani Psikolog dan memiliki kemungkinan tidak puas kalau yang menangani Ilmuwan Psikologi. Sebuah legitimasi yang terkesan hegemonik. Ini akan makin jelas terasa ketika kita memperhatikan penjelasan pasal 9 pada Bab Pedoman Pelaksanaan. Jika kita tak cermat dalam melihat pasal-pasal itu berikut implikasinya; maka kita akan masuk begitu saja dalam sebuah lingkaran kekuasaan.
Saya mencoba menghadirkan pembahasan mengenai kuasa dalam pembagian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini. Salah satu tokoh yang lantang berbicara mengenai kekuasaan adalah Michel Foucault, yang mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Bagi Foucault kuasa tidak bermakna "kepemilikan", atau keadaan di mana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa, dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam[vii]. Dalam hal ini, HIMPSI adalah bagian dari sebuah institusi kekuasaan yang bertugas untuk memapankan kelompok orang-orang tertentu, terutama dari kemungkinan terlindas oleh persaingan dari orang-orang di luar kelompok tersebut.
Menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil dari persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bias; juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada di mana-mana; tetapi bukan berarti mencakup semua; melainkan kekuasaan datang dari mana-mana[viii]. Begitu merasuknya kekuasaan dalam kehidupan, sehingga banyak manusia tak bisa lagi merasakannya. Manusia mati dalam rantai kekuasaan yang beroperasi dalam tanda. Orang atau institusi yang menguasai dan mampu memanipulasi tanda akan mampu menguasai orang lain. Kita dapat secara lebih cermat melihat pada fenomena pembagian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini.
Selain Foucault, saya akan coba menghadirkan pemikiran Pierre Bourdieu, yang menjelaskan kekuasaan dari sisi-sisi tertentu yang belum terjelaskan oleh pemikiran Foucault. Menurut Bourdieu, konsep kekuasaan selalu berada dan beroperasi pada suatu arena (field). Dalam arena tersebut, terdapat pelaku-pelaku yang memiliki modal, baik itu ekonomik, simbolik, maupun kultural. Predikat sebagai Ilmuwan Psikologi maupun Psikolog adalah modal simbolik. Modal inilah yang menentukan siapa pada posisi ordinat dan siapa berada di posisi sub-ordinat. Dalam pola kepemilikan modal di arena psikologi ini, jelas Ilmuwan Psikologi berada di posisi sub-ordinat dan psikolog berada pada posisi ordinat. Padahal penguasaan modal itu sendiri, sama sekali tak ada hubungannya dengan tinggi-rendahnya kualitas penguasaan psikologi. Namun, bisa jadi tak banyak orang yang secara cermat menyadari ini.
Modal simbolik adalah suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan, sehingga menghasilkan efek yang tepat sepanjang dan hanya sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk modal 'material' yang adalah, pada hakikatnya, sumber-sumber efeknya juga[ix]. Sistem-sistem simbolik merupakan instrumen pengetahuan dan dominasi, yang memungkinkan terjadinya sebuah konsensus di dalam suatu komunitas yang terkait dengan signifikansi dunia sosial; sistem ini juga memberikan kontribusi terhadap kelangsungan reproduksi tatanan sosial[x]. Inilah kunci yang pertama kali harus dipahami oleh orang-orang yang ingin menggugat kekuasaan. Konsensus yang menempatkan pihak dalam suatu komunitas dalam posisi menguasai-terkuasai, kerap beroperasi secara halus sehingga tak disadari sama sekali oleh anggota komunitas. Bahkan bisa jadi konsensus ini telah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun.
Kita dapat melihat bahwa mahasiswa yang menekuni keilmuan psikologi, berada dalam rantai kekuasaan ini. Kekuasaan yang dibangun melalui berbagai nilai yang ditradisi oleh institusi, serta dimainkan melalui retorika pengetahuan. Kekuasaan ini tak hanya terjadi pada suatu masa, tetapi juga antar masa. Kekuasaan bahkan mungkin hidup turun temurun. Seorang mahasiswa belajar psikologi agar kelak dapat digunakan untuk menguasai orang lain, namun dirinya juga terkuasai oleh para dosen atau institusi fakultas melalui berbagai eksploitasi yang dilakukannya. Secara lebih luas, operasi kekuasaan seperti ini juga tampak pada mereka yang percaya begitu saja pada pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas terhadap kebenaran suatu pengetahuan, seperti agama, orang tua, aparat penegak kebenaran, dan lain-lain. Orang sudah kehilangan kebebasannya sebagai manusia ketika berhadapan dengan pemegang-pemegang kebenaran itu. Intinya bukan pada adanya pihak yang mendominasi dan terdominasi, karena hanya ada satu pihak yaitu yang terdominasi. Kekuasaan terjadi ketika tidak adanya kesadaran diri telah terkuasai dan ketidakjelian melihat pihak yang diuntungkan dalam situasi itu.
Bourdieu melihat bahwa kekuasaan tak lepas dari habitus yang memiliki keterhubungan erat dengan 'modal'. Sebagian habitus itu berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal. Dan pada kenyataannya, ia menciptakan sebentuk modal (simbolik) di dalam dan dari mereka sendiri[xi]. Habitus adalah konsep kunci yang digunakan Bourdieu untuk tidak terjebak dalam oposisi antara struktur dan agen. Istilah habitus sendiri, sulit didefinisikan secara tepat dan memiliki intensi keragaman makna. Namun, justru di situlah kekuatan habitus dalam menjelaskan dunia keseharian (ordinary world). Bourdieu melihat relasi antara individu dan dunia sosial orang di luar individu sebagai suatu mutual possesion ("the body is in the social world but the social world is in the body" - Bourdieu, 1982). Di sini habitus secara mendasar merujuk pada menyatunya sensibilitas yang membuat masuk akal suatu perilaku terstruktur sekaligus mengalami improvisasi. Sebagai analogi, gambaran ini mirip dengan musisi yang melakukan "jam session" [xii].
Pandangan yang menurut saya dapat melengkapi hadir pada pemikiran Foucault ketika ia mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan[xiii]. Hubungan dan perbedaan dalam hubungan menjadi salah satu faktor penting munculnya kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan dirinya berbeda dengan orang lain sehingga memungkinkan munculnya dominasi atau kekuasaan. Kita dapat merujuk pada munculnya kekuasaan dalam institusi agama yang melarang pernikahan antar agama. Ini bisa terjadi hanya ketika kita menempatkan adanya perbedaan dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama. Hal yang sama juga terjadi ketika terjadi suatu pembedaan antara ilmuwan psikologi dan psikolog yang dilegitimasi melalui peraturan dan bukan kenyataan kompetensi di lapangan. Ketika terjadi suatu situasi di mana seorang pengguna sebenarnya lebih cocok dengan Ilmuwan Psikologi, namun di sisi lain ia bimbang atau kesulitan menggunakan jasa Ilmuwan Psikologi karena alasan legitimasi, maka pada posisi ini jelas Psikolog diuntungkan oleh legitimasi. Win by rule, not competition; legitimate by symbol not competency!
Ini menunjukkan bahwa sebuah kelas menjadi dominan dan mampu meyakinkan dominasinya pada suatu masyarakat, karena dominasi tersebut mampu mereproduksi dirinya sendiri. Dominasi, dengan demikian bukan merupakan efek dari sejumlah taktik prarencana aktual yang beroperasi dengan strategi-strategi untuk meyakinkan dominasinya; karena dominasi tersebut mampu mereproduksi dirinya sendiri. Namun, di antara strategi-strategi yang membaur, mereproduksi, menggandakan, dan menonjolkan relasi-relasi kekuatan yang ada, dan kelas yang kemudian menyadari bahwa dirinya dalam posisi memerintah, terdapat suatu relasi produksi yang timbal balik[xiv]. Dalam konteks psikologi, kekuasaan sebenarnya beroperasi pada titik-titik seperti: Himpsi, Institusi Pendidikan, klien hingga mereka yang memperoleh "modal simbolik" dari pengategorian Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Ketika para pelaku psikologi atau pengguna menerima dan memercayai segala sesuatu "begitu saja", maka seketika itulah rantai kekuasaan beroperasi.
Menurut Bourdieu, ini bisa terjadi karena setiap masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi, menyembunyikan, atau menciptakan sistem yang menyediakan topeng-topengnya sendiri agar struktur dan praktik penindasan tidak dapat dikenali (méconnaissance). Di sini dapat ditunjuk salah satu fungsi ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi praktik-praktik sosial yang melawan atau mempertahankan suatu penindasan atau dominasi. Seorang yang memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan dipatuhi oleh kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya maka diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan bersama[xv]. Psikologi Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari pelaku dan pengguna. Pihak-pihak tertentu yang memiliki penguasaan modal (baik ekonomik, simbolik, maupun kultural) tampaknya berusaha mengonstruksi suatu struktur tertentu untuk menutupi realitas.
Pada titik ini, bisa dicermati adanya kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi dan menyembunyikan diri melalui budaya. Kelompok terdominasi adalah kumpulan individu-individu yang menerima begitu saja (taken-for-granted) terhadap konstruksi-konstruksi yang ditawarkan oleh kelompok pendominasi. Agar kelompok yang didominasi menerima begitu saja, maka kelompok terdominasi harus memiliki modal yang mampu melegitimasi dominasinya melalui penaklukan moral dan intelektual kelompok terdominasi. Modal adalah hal-hal yang dalam kebudayaan merupakan suatu yang diyakini penting.
Kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan: psikologi, sosiologi, ekonomi, kriminologi, dan jurnalisme. Semua ranah pemahaman tersebut memproduksi hasil tertentu dan menghasilkan kriteria keilmiahan yang kemudian menjadi ukuran kebenaran, sehingga pada gilirannya membentuk dan menguasai individu. Dengan psikologinya, seorang psikolog bisa mendefinisikan seseorang sebagai sosok matang, kekanak-kanakkan, menyimpang, abnormal, dll. Padahal, tidak semua hal bisa dijelaskan oleh psikologi. Lebih ironis lagi jika kita temukan kenyataan bahwa tidak semua psikolog mengerti psikologi. Keadaan menjadi bertambah runyam ketika orang-orang yang tidak mengerti psikologi ini malang melintang menilai, menginterpretasi dan mengategorikan orang. Silang sengkarut ini tampak dari perubahan pengategorian manusia dalam psikologi. Dalam studi Foucault misalnya, ditemukan bahwa orang gila mengalami pergeseran kategori dari "orang tak bermoral" menjadi "orang yang mengalami gangguan jiwa". Kita juga dapat mencermati bahwa sekian tahun lalu gay digolongkan sebagai abnormal, sementara sekarang gay digolongkan sama normalnya dengan mereka yang heteroseksual. Lantas, dari sini kita bisa menarik sesuatu. Seberapa benar sebuah pengategorian? Bagaimana implikasinya bagi kemanusiawian? Apa tanggung jawab yang bisa diberikan pada mereka yang dulu terlanjur dikategorikan tak normal? Apakah pernah memperhitungkan perlakuan masyarakat terhadap seseorang yang dikategorikan tak normal? Lalu apa kenormalan itu? Bagaimana orang-orang yang mengategorikan normal-tak normal itu berbicara mengenai kenormalan dirinya di hdapan figur-figur seperti: Beethoven, Einstein, Leonardo Da Vinci, Michelangelo atau Nietszche? Kekacauan pengategorian sebenarnya terjadi ketika orang percaya begitu saja pada sesuatu atau menempatkannya sebagai dogma. Sejarah membuktikan itu ketika gereja pernah menganggap bahwa bumi ini flat dan menghukum mereka yang berpendapat bahwa bumi ini bulat.
Bagaimana beroperasinya kekuasaan, sehingga sesuatu bisa diterima "begitu saja" atau ditempatkan sebagai dogma? Bagi Foucault, kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu[xvi]. Gereja yang mengatak bahwa bumi flat,memiliki kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri ditempatkan sebagai sesuatu yang bernilai keagungan sehingga memiliki kuasa. Hal yang sama sebenarnya terjadi dalam pengategorian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
Kekuasaan manifest dalam Habitus yang merepresentasikan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan suatu 'prisma kemungkinan  persepsi', yang menempatkan bermacam-macam disposisi sosial yang, menurut logika utamanya, memperhitungkan klasifikasi budaya dari dunia sosial[xvii]. Habitus sebagai suatu bangunan disposisi bersama, kategori-kategori klasifikasi dan skema-skema generatif, jika tak ada lagi yang lain, merupakan sejarah kolektif yang dialami sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-granted), kebutuhan aksiomatik terhadap realitas objektif[xviii]. Inilah sebabnya tak banyak orang bisa melihat kekuasaan, bahkan orang kerap tak menyadari bahwa dirinya sudah jatuh dalam jejaring kekuasaan.
Kekuasaan baru bisa dilihat ketika ada kesadaran akan akibat dari posisi yang didominasi. Foucault memberi ilustrasi psikiatri yang mendefinisikan konsepsi modern tantang alienasi mental, kemudian konsep ini mengubah praktik penanganan orang gila. Konsepsi itu lalu diterjemahkan melalui praktik-praktik baru seperti didirikannya rumah sakit yang tertutup atau adanya pengasingan untuk penderita penyakit tersebut. "Orang gila" merupakan hasil pendefinisian pengetahuan-kekuasaan, atau akibat posisi yang didominasi. Mereka yang dianggap menderita alienasi mental tidak bisa lagi tinggal di keluarga. Dalam kasus seperti ini, sulit untuk menunjuk siapakah yang mengakibatkan posisi pengasingan itu. Siapa yang terlibat di dalamnya? Tidak hanya psikiater, namun juga ilmu kedokteran, penguasa politik, pandangan masyarakat, kenyamanan hidup keluarga, hubungan politik dan ilmu.
Kekuasaan pada banyak hal sebenarnya bertujuan untuk menghindari ketakstabilan posisi atau ancaman yang datang untuk menggoyang suatu posisi. Jika anda adalah seorang Psikolog dan memiliki lisensi beserta konsekuensi hak yang terberikan sesuai kode etik psikologi bikinan Himpsi itu, maka posisi anda dalam "rimba psikologi Indionesia" akan termapankan dan tak perlu takut oleh ancaman dari "pendekar-pendekar" yang tak memiliki lisensi. Sementara, para "pendekar-pendekar" itu, tak selalu sepaham dengan Himpsi, terutama berkaitan dengan tata cara dan penggunaan alat yang menurut Himpsi sudah dibakukan. Sementara di sisi lain, Masyarakat, yang dalam hal ini banyak bertindak sebagai pengguna atau klien bisa jadi hanya akan melihat dan memercayai begitu saja mereka yang memegang lisensi. Tak peduli seberapa kemampuan mereka dan bagaimana sejarah perolehan lisensi itu. Di sinilah bahaya implikasi kekuasan itu. Pernahkah terpikir untuk memberi kompensasi pada para gay yang dulu pernah dikategorikan tidak normal? Pernahkah terpikir bagaimana perlakuan masyarakat ketika mereka dikategorikan tak normal? Ini tak hanya terjadi pada kasus gay, namun juga siswa-siswi yang setiap awal tahun ajaran diharuskan mengikuti psikotes. Sementara, jika dicermati banyak sekali kelemahan dari sebuah psikotes karena validasinya yang tak pernah diungkapkan secara jelas. Pun ke-"aus"-an akurasi karena ketidakmampuan tes itu mengantisipasi percepatan perkembangan jaman, luput dari cermatan.
Di sinilah saya bisa melihat bahwa dalam banyak hal, berbagai peraturan, atau kode etik itu sebenarnya hanya bertujuan untuk "menormalisir" agar situasi tetap terjaga. Mereka yang memainkan aturan-aturan ini, tak lebih dari orang-orang yang mempertahankan status quo. Foucault mengatakan bahwa "kekuasaan yang menormalisir" tidak hanya dijalankan dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan, dan kesejahteraan. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada fenomena Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, yang ujung-ujungnya adalah pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai bentuk restriksi. Dengan demikian, manusia menjadi layak untuk ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi melalui wacana dan mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya.
Ada tiga hal penting dalam komponen kekuasaan/pengetahuan, yaitu Disiplin Ilmu, Institusi, dan Tokoh. Ketiganya berdialektika dalam sebuah sistem regulasi yang mengatur dan menormalisir. Mekanisme kekuasaan berjalan melaui sistem regulasi ini. Agar dapat berjalan dengan baik, maka pengawasan (surveillance) harus dilakukan. Dalam suatu sistem sosial, pengawasan dilakukan oleh aparat. Foucault sebenarnya memberi penekanan (salah satunya) pada pengawasan sebagai upaya menstabilkan atau memapankan suatu konstruksi kebenaran. Konsep panoptikon adalah salah satu cermatan yang dia kemukakan. Ketiganya adalah pihak-pihak yang menguasai modal simbolik, kultural, maupun ekonomi. Modal inilah yang berguna untuk memapankan diri, meletakkan pihak-pihak tertentu di atas pihak lain. Menentukan mana yang ordinat dan sub-ordinat, menentukan mana yang mendominasi dan terdominasi.
Menurut Bourdieu, pada satu sisi masyarakat distrukturkan oleh pembedaan distribusi dan penguasaan modal. Pada sisi lain, individu-individu juga berjuang untuk memperbesar modal yang dimiliki. Hasil yang dicapai dalam pembesaran dan diversifikasi modal ini menentukan posisi dan status di dalam masyarakat (social trajectory dan class distinction). Modal oleh Bourdieu juga dilihat sebagai basis dominasi (meskipun tidak selalu disadari atau disembunyikan oleh pelaku-pelaku)[xix]. Dalam pertarungan di arena ini, apa yang luput terjelaskan oleh Bourdieu, ada dalam paparan Foucault yaitu  keberadaan aparat. Pertarungan dalam arena menjadi semakin berat ketika penguasa modal menempatkan "aparat" untuk mengatur pertarungan itu.
Makna aparat secara esensial adalah strategi, artinya hal ini mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu[xx].
Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat ini, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-tama melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen. Kegiatan-kegiatan yang diatasnamakan kelimiahan membentuk kriteria yang menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran itu membentuk individu.
Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya[xxi].
Penelitian historis Foucault terhadap kegilaan misalnya, adalah serangan Foucault terhadap pemutlakan kegilaan sebagai penyakit mental. Kegilaan bagi Foucault bukan merupakan sesuatu yang secara kodrati adalah penyakit. Penelitiannya membuktikan bahwa pada suatu masa kegilaan bukan dikonsepsikan sebagai penyakit, melainkan kesalahan moral yang mereduksi manusia ke tingkat kebinatangan. Degradasi yang membuat manusia harus dikurung dan diiisolasi, bukan disembuhkan. Kategorisasi kegilaan ini bukan kesalahan yang kemudian dibenahi oleh psikologi modern. Kegilaan, baik sebagai cacat moral maupun penyakit mental, tak lebih dari sekedar konstruksi sosial. Konstruksi berdasarkan prinsip penataan hal-ihwal yang membuat beberapa hal mungkin lainnya tidak. Prinsip penataan yang oleh Foucault diberi julukan teknis: episteme[xxii].
Episteme tidak bisa dijamah. Kerjanya sangat halus menguasai pola pikir orang pada satu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh. Kegilaan misalnya, saat ini didominasi oleh disiplin psikologi. Disiplin yang didapatkan melalui institusi yang namanya universitas. Dan di universitas jualah mahasiswa berkenalan dengan tokoh-tokoh psikologi seperti Freud, Jung, Adler, dan lain sebagainya. Orang menggunakan kombinasi ketiganya guna menghasilkan satu mesin kebenaran untuk berbicara mengenai kegilaan. Di luar itu, semua adalah omong kosong yang menyesatkan. Hakim di pengadilan tidak akan memanggil dukun untuk dimintai keterangannya tentang kesehatan menta seorang terdakwa. Hakim pasti akan memanggil ahli psikologi jebolan universitas yang sudah banyak mengunyah jajanan intelektual dari beraneka ragam tokoh psikologi[xxiii].
Saya akan hadirkan satu contoh yang dialami teman saya. Teman saya itu, sebut saja Wawan (nama samaran) pernah diminta oleh seorang dosen, sebut saja Doraemon (nama samaran) untuk memberi testimoni di depan kelas Psikologi Dalam. Dosen Doraemon ini beralasan karena Wawan dulu pernah didiagnosis Schizophrenia. Secara umum sebenarnya tidak ada yang salah dalam diri Wawan, bahkan pemikiran-pemikirannya tampak cermat. Permasalahannya justru terletak pada orang-orang di sekelilingnya yang tidak semua mampu menangkap apa yang dipikirkan Wawan. Perilaku si dosen Doraemon yang meminta Wawan untuk memberi testimoni (atas nama pengetahuan pikirnya) adalah cerminan bagaimana pengetahuan memiliki kekuasaan untuk menempatkan seseorang dalam posisi tertindas. Si dosen ini, yang menurut saya tidak memiliki kompetensi untuk mengajar 'psikologi dalam' (karena sejauh pengenalan saya ia hanya pernah menggunakan teori Lacan dalam tesisnya, itupun parsial karena sifat penerapannya yang direduksi sebatas confirmatory pada sebuah penelitian eksperimen kuantitatif dan bukan pewacanaan) tapi oleh pihak Fakultas ia didapuk mengajar mata kuliah Psikologi Dalam. Di sinilah ia memperoleh modal simbolik yang melegitimasi. Pengetahuan yang kurang, bisa ditutup dengan penguasaan modal simbolik.
Pada titik ini, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan. Berbekal pengetahuan psikologi, seseorang mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Bukan hanya itu. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan bisa mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Pendapat ahli bahwa kegilaan adalah penyakit mental menjebloskan para orang gila ke dalam asilum. Pendapat ahli bahwa homoseksual adalah sebuah kelainan seksual melahirkan kebijakan yang melarang pernikahan sesama jenis. Pendapat ahli yang mengatakan bahwa masturbasi pada anak dapat menimbulkan kebodohan berujung pada pengawasan super ketat yang digelar mulai dari rumah sampai sekolah. Semuanya itu adalah permainan kuasa-pengetahuan yang bertujuan menghasilkan tubuh-tubuh yang taat. Sebuah permainan yang mematri perilaku badani yang sehat, normal, dan baik[xxiv].
Berdasar pengertian ini, memungkinkan untuk memahami baik itu struktur sosial dalam suatu ranah maupun berbagai posisi serta perbedaan besar modal yang digenggam oleh pihak-pihak yang berada pada posisi tersebut. Beranjak dari pemikiran ini, Hirarki kelas sosial lebih jauh bisa dipahami sebagai ruang multidimensi, dibanding linearitas sebab akibat yang sederhana[xxv]. Pengetahuan adalah modal. Namun, ketika pengetahuan ini berada di tangan aparat, maka nilai dari pengetahuan ini sebagai modal dapat dipermainkan. Orang yang memiliki pengetahuan rendah bisa mendapat legitimasi, sementara mereka yang memiliki kemampuan tinggi bisa dihalangi untuk memperoleh legitimasi.
Ini karena modal bersifat convertible atau dapat dipertukarkan satu sama lain. Konversi paling penuh kuasa adalah konversi dari berbagai modal ke modal simbolis, karena di dalam bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui sebagai absah (legitimate). Dalam konsteks ini, legitimasi adalah salah satu unsur penting dari modal simbolis. Dipandang sebagai seseorang dari kelas, status dan prestise tertentu, adalah pasti diterima sebagai absah. Posisi semacam itu memberikan kuasa pada seseorang atau suatu kelompok untuk memberi label, kuasa untuk merepresentasi akal sehat (common sense) dan di atas segalanya adalah kuasa untuk menciptakan 'versi resmi dunia sosial'[xxvi].
Foucault melihat bahwa objektivitas adalah ranah investigasi. Dalam investigasi, orang selalu mencari dan tak pernah puas pada finalitas definisi. Di sini Foucault mencoba membuat model yang membuat orang mengerti dominasi atau teknologi kekuasaan yang luput dari perhatian Marxisme klasik. Teknologi kekuasaan, seperti Panopticon atau sistem disiplin, dikomposisi oleh konglomerasi diskursus dan praktek, menit demi menit ditata untuk mengendalikan tubuh dan pikiran. Level pengertian bisa didekati oleh rujukan pada subjek atau bentuk kesadaran, tetapi lebih pada melalui analisis yang cermat akan ranah objektivitas. Melalui Bourdieu, kita bisa belajar banyak untuk memetakan arena. Mengidentifikasi siapa pemilik modal dan bagaimana mereka mengoperasikan modalnya. Apa yang ditawarkan oleh Foucault dan Bourdieu, dapat menjadi bekal bagi kita untuk lebih cermat melihat realitas dan tidak bersikap taken-for-granted.
Refleksi
Pada pembahasan mengenai kategorisasi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini, ada setidaknya dua hal yang bisa kita refleksikan untuk sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan:
§         Pertama, sudah saatnya kita dapat melihat secara kritis dan tidak menempatkan segala sesuatu secara taken-for-granted. Termasuk dalam melihat badan-badan pemegang otorita seperti Himpsi. Retorika mengenai keabsahan, standarisasi, kualifikasi yang dilekatkan pada otoritas semacam Himpsi hendaknya kita telaah lagi substansinya; jika kita tak mau membiarkan diri makin terhanyut dalam dramatisasi kekuasaan yang berorientasi pada kemapanan pihak tertentu. Jika mau berbicara profesi dan profesionalisme maka kualifikasi, standarisasi dan keabsahan lebih ditentukan oleh diri sendiri ketimbang segala badan yang mengklaim dirinya punya kuasa.
§         Kedua, pembatasan-pembatasan itu sebenarnya tak pernah dekat dengan upaya menjaga kualitas atau layanan, namun justru memasung potensi-potensi yang ada karena tak memiliki sertifikasi. Pembatasan itu juga membuat mereka yang tak berpotensi bisa berlindung di balik sertifikat untuk mendongkrak harga dirinya. Suatu kemampuan absurd dan simbolis, dapat dilekatkan pada yang tak berkemampuan dengan adanya sertifikasi tersebut. Pada perkembangan globalisasi yang cenderung meniadakan sekat-sekat kelas, jelas ini berpotensi membuat tenaga-tenaga potensial dari negeri sendiri terpinggirkan, sementara yang bersertifikat tapi tak memiliki kemampuan juga akan tetap kalah dalam kompetisi dengan tenaga asing.
Dengan menerima begitu saja segala finalitas pendefinisian, maka pertumbuhan kita akan mati. Kita akan tak pernah berpusat pada pengembangan potensi melainkan menenggelamkan diri dalam arus birokrasi. Implikasi dari semua ini, psikologi dan semua insan di dalamnya, akan mati dalam birokrasi.
Semoga menjadi cermatan!
 
© Audifax – 10 Juni 2005
 
 


Catatan-catatan:
[i] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya
[ii] Kode Etik Psikologi Indonesia – Pedoman pelaksanaan Kode etik psikologi Indonesia; (2003); HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia); Pasal 1 butir a; hal. 8.
[iii] Ibid; Pasal 1 butir b; hal. 8-9
[iv] Ibid; Pasal 1 butir d; hal. 10
[v] Frans mungkin telah banyak melakukan prognosis, diagnosis, bahkan konseling dalam berbagai perusahaan. Yang setahu saya dia telah memiliki teorinya sendiri tentang sumber daya manusia yang (kalau tidak salah) sering disebutnya "manusia berdaya"; Harefa saya rasa sebenarnya juga telah melakukan modifikasi perilaku ketika dia melakukan pelatihan-pelatihan motivasi atau perubahan kinerja;. Atau bagaimana dengan Deddy Corbuzier dan Romy Rafael yang bermain-main dengan alam bawah sadar manusia? Atau bagaimana para pakar dunia mistis bermain-main dengan psike melalui para relawan yang bersedia tubuhnya menjadi mediasi?
[vi] Kode Etik Psikologi Indonesia op cit; Pasal 9  hal.15
[vii] Eriyanto (2001) Analisis Wacana – pengantar analisis teks media; Yogyakarta : LKIS; hal. 65-66
[viii] Haryatmoko; (2003); Etika Politik dan Kekuasaan; Jakarta: Penerbit Kompas; hal. 217
[ix] Cheleen Mahar, Richard Harker, Chris Wilkes; (1995); (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik; diedit oleh Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes; saduran Pipit Maizier; Yogyakarta: Jalasutra; hal. 6
[x] Ibid
[xi] Ibid; hal. 15
[xii] Richard Light; The Body in Social World and the Social World in the body: Applying Bourdieu's Work to Analyses of Physical Activity in Schools; online documents:http://www.aare.edu.au/01pap/lig01450.htm
[xiii] Haryatmoko; (2003); op cit; hal. 218
[xiv] Michel Foucault; (2002); Power/Knowledge-wacana Kuasa/pengetahuan; saduran Yudi Santosa; Yogyakarta: Bentang Budaya; hal. 251
[xv] Muridan S. Widjojo; (2003); Strukturalisme Konstruktivis, Pierre Bourdieu dan kajian sosial budaya; dalam Perancis dan Kita – Strkturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa; penyunting Irzanti Sutanto, Ari Anggari Harapan; Jakarta : Wedatama Widya Sastra; hal. 49
[xvi] Eriyanto (2001); Ibid
[xvii] David Chaney; (2004); Lifestyles-Sebuah Pengantar Komprehensif; saduran Nuraeni; Yogyakarta: Jalasutra;
[xviii] Ibid. 114
[xix] Widjojo; (2003); op cit; hal. 44
[xx] Michel Foucault; (2002); op.cit; hal. 251
[xxi] Eriyanto (2001); op cit; hal. 76-77
[xxii] Donny Gahral Adian; (2002) Berfilsafat tanpa sabuk pengaman dalam pengantar buku Michel Foucault-Pengetahuan dan Metode-karya-karya penting Foucault; saduran Arief; Yogyakarta: Jalasutra, hal. 22
[xxiii] Adian; (2002) op.cit, hal. 23
[xxiv] Ibid, hal. 23-24
[xxv] Value and Capital in Bourdieu and Marx; online documents: http://www.art.man.a.uk/SPANISH/staff/Writings/capital.html
[xxvi] Widjojo; (2003); op.cit; hal. 45




PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN [2]:
POSISI PSIKOLOGI DI ANTARA SISTEM PEMIKIRAN ANIMISME, AGAMA, DAN ILMIAH.
Oleh:
Audifax[i]
 
Psikologi kalau ditelusuri merupakan perpaduan antara psike dan logos. Psike artinya jiwa, logos adalah upaya pemahaman atau ilmu. Namun, sejauh mana psikologi dewasa ini memahami apa itu jiwa? Saya kok ragu, mengingat psikologi sekarang, mulai dari S-1, magister, hingga doktoral tampaknya cenderung menjadi ilmu yang mengikuti selera pasar sehingga upaya memahami jiwa itu sendiri dikaburkan oleh kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan pemegang modal. Seperti ditengarai oleh Jangkung Karyantoro dalam Simposium Psikologi Transformatif pada bulan November 2002:
Mereka [psikologi] tidak berbunyi sama sekali ketika berada dalam sebegitu besar masalah psike manusia yang ada di balik berbagai macam kehidupan dengan berbagai macam frekuensi dan intensitasnya. Bukannya tidak berbunyi saja, bahkan perhatian pun tidak. Ternyata, dari rahim Fakultas Psikologi, yang terlahir adalah kaum penonton berbagai persoalan psike manusia di berbagai konteks, dan merasa cukup aman di sebuah kamar untuk akhirnya hanya sibuk melakukan pertukangan psikotes belaka[ii].
Lebih jauh, Karyantoro menengarai sejumlah hal yang menjadi penyebab, antara lain karena proses belajar mengajar hanyalah suatu pekerjaan belaka, bahkan hanya berupa transfer of knowledge tanpa tambahan literatur yang berarti serta lemahnya fokus terhadap kepedulian akan perlunya tinjauan mutu apalagi jaminan mutu secara organisasional[iii].
Jangkung Karyantoro memang telah menghadirkan ontologi permasalahan dari psikologi Indonesia dewasa ini. Tapi, belum terjelaskan epistemologi dari permasalahan itu. Bagi saya, permasalahan psikologi tak lepas dari sinkronisitas dengan sistem pemikiran yang eksis di jaman ini dan diakronisitas perkembangan psikologi bersama perkembangan sistem pemikiran yang lebih luas.
Oleh karena itu, pada kesempatan kajian kali ini, saya akan mencoba menelaah terlebih dahulu pada sistem-sistem pemikiran yang pernah ada pada kehidupan manusia untuk menjelaskan jiwa. Baru setelah itu saya masuk ke psikologi dalam keterkaitannya dengan sistem pemikiran tersebut. Untuk itu saya akan mulai dari sistem pemikiran tertua, yaitu animisme.
 
Tiga sistem pemikiran besar
Sigmund Freud menjelaskan bahwa Animisme –dalam pengertian sempit--  adalah suatu upaya pemikiran untuk menjelaskan konsep-konsep psikis, dan, dalam pengertian luas, adalah teori tentang entitas spiritual secara umum. Animisme (yang akar katanya animate, animasi bisa diartikan sebagai 'gerakan') sebenarnya berasal dari wawasan bangsa-bangsa primitif yang luar biasa tentang alam semesta dan dunia. Bangsa-bangsa primitif menempati dunia bersama-sama dengan begitu banyak roh. Bangsa primitif ini mampu menjelaskan keterkaitan proses gerakan alam dengan gerakan roh-roh ini. Mereka juga memercayai bahwa manusia juga mengalami "animasi". Manusia memiliki jiwa yang bisa meninggalkan tempatnya dan memasuki makhluk lain; jiwa ini adalah pelaku aktivitas spiritual dan sampai taraf tertentu bersifat independen terhadap tubuh[iv]. Pada titik inilah sebenarnya manusia bisa menjelaskan mengenai mimpi, meditasi atau alam bawah sadar. Atau bahkan fenomena Out of Body Experience.
Animisme adalah suatu sistem pemikiran, ia tidak hanya memberikan penjelasan atas suatu fenomena saja, tetapi memungkinkan manusia memahami keseluruhan dunia dari satu titik, sebagai kontinuitas. Freud berpendapat bahwa dalam perjalanan waktu, kemudian muncul tiga sistem pemikiran besar di dunia: sistem animisme (mite), sistem agama, dan sistem ilmiah. Di antara ketiganya, sistem animisme –yang pertama—mungkin menjadi sistem yang paling konsisten, paling komprehensif, dan teori yang menjelaskan sifat-sifat dunia dalam keseluruhannya[v]. Sampai dengan era akhir abad 20, menjelang dimulainya era milenium, manusia masih berada pada tahap sistem pemikiran ilmiah seperti diungkapkan Freud. Apakah saat anda membaca tulisan ini kita masih berada pada sistem pemikiran ilmiah, saya akan coba paparkan dalam telaah demi telaah berikut ini.
 
Pergeseran Sistem Pemikiran
Freud sendiri mengatakan bahwa psikologi sebenarnya lebih dekat pada sistem pemikiran animisme, karena psikologi mempelajari "animasi (gerakan) jiwa". Tapi sejauh saya memandang, psikologi di Indonesia justru lebih terjebak dalam gaya ilmiah atau agama. Mereka cenderung melegitimasi banyak aturan, norma, dan batasan-batasan sehingga gerakan jiwa ini jadi teredusir sebatas apa yang diatur, ditempatkan sebagai kebenaran atau dinormakan.
Mengapa itu bisa terjadi? Saya melihat ada suatu yang analog dengan penjelasan Erich Fromm mengenai pergeseran sistem pemikiran Patriarki yang mengambil posisi dominan dan meminggirkan sistem pemikiran matriarki. Pergeseran yang telah berlangsung sejak sekitar 6000 tahun lalu ini tampaknya analog dengan kemunculan sistem ilmiah yang saat ini juga mendominasi. Termasuk mendominasi dalam dunia psikologi. Jika kita mau melihat ke masa lalu, maka akan kita temui bahwa agama-agama murni umumnya melihat alam ini sebagai keseimbangan atau pasangan layaknya laki dan perempuan: Yin dan Yang; Yang Abadi (Gusti) dan Yang Mewaktu (Kawulo); Pemeliharaan (Brahma) dan Pemusnahan (Syiwa); Humanitas serta Cinta (Antigone) dan pemujaan serta kepatuhan (Creon). Ini menunjukkan bahwa pada jaman dulu, sosok perempuan (ibu/matriarki/feminin) mengambil peran sangat penting. Ada keseimbangan antara feminitas dan maskulinitas. Ciri feminitas adalah misteri, cinta, tanggungjawab, pertumbuhan, universalitas, kesetaraan. Sedangkan ciri maskulin adalah tatanan, hirarki, kelas, hukum, aturan, kebenaran[vi]. Keduanya bertemu untuk menghasilkan keseimbangan.
Seorang ibu mencintai anak-anaknya karena mereka adalah anak-anaknya, bukan karena mereka memiliki suatu kualifikasi khusus ataupun pengharapan tertentu. Ibu mencintai anak-anaknya tanpa pilih kasih, maka anak-anaknya belajar melakukan hal serupa pada ibunya. Ide tentang keibuan sebenarnya mengajarkan nilai persaudaraan di kalangan laki-laki, namun kemudian nilai ini cenderung mati karena perkembangan paternitas. Seorang ayah memiliki anak laki-laki kesayangannya, yang pantas jadi pewarisnya, pengganti kedudukan duniawinya[vii]. Maskulinitas dan feminitas ini, manifes dalam dewa-dewi yang bekerja untuk menjaga keseimbangan; ketika keseimbangan tercapai maka muncul keutuhan yang harmoni; ketika ketidakseimbangan terjadi muncul kekacauan. Saat ini ketidakseimbangan itulah yang terjadi, maskulinitas atau patriarki lebih mendominasi.
Pada titik ini, saya ingin memberi paparan bahwa agama yang pertama berdasarkan pada tatanan suci Alam. Pada tatanan itu, feminitas atau matriarki memegang peran kunci yang sama pentingnya dengan Patriarki. Manifestasi feminitas dan matriarki pada jaman dulu kerap ada pada sosok dewi. Misalnya Dewi Venus. Dewi Venus dan planet Venus adalah satu dan sama. Dewi itu memiliki tempat di langit waktu malam, dan dikenal dengan banyak nama: Venus, Bintang Timur, Ishtar, Astarte – semuanya merupakan konsep perempuan yang kuat dengan ikatan pada Alam dan Ibu Bumi[viii]. Planet Venus berjalan mengikuti pentakel yang sempurna menyeberangi langit eklip setiap delapan tahun. Para leluhur dulu begitu terpesona menyelidiki fenomena ini, bahwa Venus dan pentakelnya menjadi simbol dari kesempurnaan, kecantikan, dan kualitas peredaran dari cinta seksual. Sebagai penghormatan pada kesaktian Venus, orang-orang Yunani menggunakan siklus delapan tahunnya itu untuk mengorganisasi olimpiade mereka. Sedikit saja orang sekarang yang tahu bahwa siklus empat tahun olimpiade modern, masih mengikuti setengah siklus Venus. Bahkan, lebih sedikit orang yang tahu bahwa bintang segi lima hampir menjadi segel resmi olimpiade namun sudah dimodifikasi, pada akhirnya – lima titiknya ditukar dengan lima lingkaran yang saling memotong untuk merefleksikan dengan lebih baik jiwa permainan, yaitu keterbukaan dan harmoni[ix].
Bagaimana matriarki ini kemudian dipinggirkan dan patriakri menempati posisi dominan? Sistem pemikiran agama memegang peran penting di sini. Orang yang berkuasa pada masa awal gereja Kristen memengaruhi dunia dengan menyebarkan kebohongan yang merendahkan perempuan dan meninggikan lelaki. Ini terjadi di era ketika Roma dipimpin oleh Kaisar Constantine dan penerus lelakinya yang memutar balik dunia dari paganisme matriarkal menjadi Kristen patriarkal dengan cara menyebarkan propaganda yang mensetankan perempuan suci, dengan menghapus dewi dari agama modern untuk selamanya[x]. Mengapa mereka melakukan ini? Jawabannya adalah "kekuasaan". Gereja yang kemudian juga tampak pada sistem pemikiran agama, kerap mengklaim satu jalan kebenaran. Gereja misalnya, mengklaim bahwa satu-satunya jalan "menuju surga" adalah melalui gereja. Tak beda pula beberapa agama lainpun menunjukkan pola pemikiran yang serupa.
Ada satu sisi di mana kita tak menyangkal betapa banyak kebaikan yang dilakukan gereja modern pada dunia yang kacau ini. Namun ada sisi lain di mana Gereja memiliki sejarah yang penuh kebohongan dan kekejaman. Perang suci yang brutal untuk "mengajar kembali" kaum pagan dan penganut agama pemuja dewi memakan waktu tiga abad, dengan menggunakan cara-cara inspiratif sekaligus mengerikan. Pada titik inilah mulai ditemukan inkonsistensi-inkonsistensi.
Berbagai propaganda dilakukan untuk menghilangkan perempuan dari posisi pentingnya dalam kehidupan religius. Inkuisisi Katolik pernah menerbitkan buku yang boleh jadi bisa disebut sebagai penerbitan yang paling meminta darah dalam sejarah manusia. Malleus Maleficarum, 'Godam Para Penyihir', mengindoktrinasi dunia akan "bahaya kebebasan berpikir perempuan" dan mengajari para biarawan bagaimana menemukan, menyiksa, dan menghancurkan mereka. Anggapan "penyihir" oleh Gereja meliputi semua sarjana perempuan, gipsi, ahli mistik, pencinta alam, pengumpul dedaunan, dan segala perempuan yang "secara mencurigakan akrab dengan alam". Para bidan juga dibunuh karena tindakan mereka yang menggunakan pengetahuan obat-obatan untuk menghilangkan rasa sakit saat melahirkan – sebuah penderitaan yang, menurut Gereja, merupakan hukuman Tuhan bagi Hawa karena mengambil buah Apel Pengetahuan, sehingga [peristiwa] melahirkan terkait dengan gagasan Dosa Asal. Selama tiga ratus tahun perburuan tukang sihir, gereja telah membakar sekitar lima juta perempuan[xi].
Kaum perempuan, yang pernah dikenal sebagai separuh yang penting dari pencerahan spiritual, telah dimusnahkan dari semua kuil di dunia ini. Tidak ada rabi Ortodoks, pendeta katolik maupun ulama Islam yang perempuan. Satu tindakan penyucian dari Hieros Gamos – penyatuan seksual alamiah antara lelaki dan perempuan sehingga masing-masing menjadi utuh secara spiritual—telah dianggap sebagai tindakan yang memalukan. Para lelaki suci yang pernah diminta melakukan penyatuan seksual dengan rekan-rekan perempuan mereka untuk mendekatkan diri pada Tuhan, sekarang khawatir desakan seksual alamiah mereka itu dianggap sebagai tindakan setan, setan yang bekerja sama dengan kaki tangan kesayangannya..perempuan[xii].
Zaman dewi telah berlalu. Bandul pendulum telah berayun. Ibu Bumi telah menjadi dunia lelaki, dan dewa perusak dan dewa perang sekarang berperan. Ego kaum lelaki melaju selama dua milenium tanpa tercegah oleh rekan perempuannya. Kemusnahan perempuan suci dalam kehidupan modernlah yang mengakibatkan apa yang disebut oleh suku Indian Hopi sebagai koyanisquatsi, 'hidup tanpa keseimbangan', suatu keadaan tak stabil yang ditandai oleh perang berbahan bakar testosteron, sebuah keberlebihan dari masyarakat misoginis, dan sebuah rasa tak hormat yang terus tumbuh pada Ibu Bumi[xiii].
Pergeseran jaman ini dalam cermatan saya; tampaknya mengikuti spirit pergeseran bintang. Jaman di mana patriarki memperoleh dominasinya melalui agama, sebenarnya terjadi di jaman Pisces. Sedang saat ini jaman memasuki era Aquarius. Era Aquarius sendiri dimulai sejak tahun 2000, tapi spiritnya bisa jadi telah terasa sejak akhir abad 20.
Jaman mengikuti perputaran spirit bintang, mulai dari era LEO  (10,000 BC - 8,000 BC). Era Leo dikarakterisasi oleh energi dan kreativitas manusia. Era setelah LEO adalah era CANCER (8,000 BC - 6,000 BC) yang ditandai dengan pergeseran dari kehidupan gua yang nomaden ke arah kehidupan dengan tempat tinggal yang menetap. Manusia belajar memakai memintal, membuat pakaian, membuat tembikar. Pada era ini mulai ada aturan-aturan tertentu. Manusia bercocok tanam dan beternak. Lalu beralihlah era CANCER ke era GEMINI  ( 6,000 BC - 4,000 BC). Ini adalah era di mana mulai ada pencatatan dan penyimpanan informasi. Mulai ada kendaraan dalam taraf primitif untuk mengangkut dari satu tempat ke tempat lain. Era selanjutnya adalah era TAURUS  (4,000 BC - 2,000 BC), di mana mulai ada masyarakat sipil dan pengolahan tanah dan bangunan. Era TAURUS kemudian berganti era ARIES  (2,000 BC - 1 AD). Ini adalah era besi. Spirit dari era ini adalah militansi dan agreisvitas. Di era inilah patriarki mulai terlihat mendominasi. Lalu masuklah manusia ke era PISCES  (1 AD to 2,000 AD). Ini adalah era agama, era kristianitas, pertarungan, pengorbanan. Tahun 2000, mulailah masuk spirit dari era AQUARIUS  ( 2000 AD -  4000 AD). Sebuah era yang mengedepankan humanitarianisme. Era di mana pengetahuan saintifik dan pencarian pengetahuan baru. Pencarian kebenaran baru[xiv]. Berarti saat ini, manusia tengah menyongsong era AQUARIUS.
Saya mencermati, bahwa era Pisces ditandai dengan norma, keterkungkungan feminitas. Itu tampak salah satunya pada mite-mite yang muncul dalam dongeng di era itu. Snow White, Cinderella, Putri Tidur, Little Mermaid adalah beberapa di antaranya, itu semua adalah simbolisasi perempuan suci yang terkurung. Tapi, di era Aquarius justru mite-mite perempuan berdaya mulai bermunculan, seperti tampak beberapa dalam Lara Croft, Elektra, Catwoman. Ini juga era di mana seksualitas, banalitas, dan segala hal tak bernilai muncul dan menguasai. Manusia larut dalam hasrat, tapi justru dalam derasnya arus hasrat itu muncul refleksi-refleksi. Refleksi yang hanya mungkin muncul ketika segala tatatan telah tercerabut.
Era ini dalam cermatan saya analog dengan munculnya posmodernisme yang mengobrak-abrik semua tatanan dan kebenaran absolut. Friedrich Nietzche telah memulai itu di penghujung era PISCES dengan memporak-porandakan kebenaran. Lalu diikuti oleh sejumlah tokoh: Edmund Husserl. Martin Heidegger, Marleau-Ponty, Jean Paul Sartre, hingga Jean Francois-Lyotard, Jacques Lacan, Michel Foucault, Richard Rorty, dan Jacques Derrida. Kebenaran-kebenaran yang sifatnya given mulai runtuh. Pemahaman akan realitas, tak lagi bertumpu pada hirarki, tetapi kembali pada peng-"Alam"-an individual. Segalanya menjadi relatif karena terus bergerak dan tumbuh, tak ada lagi klaim kebenaran universal atau absolut. Pemikir-pemikir ini sebenarnya membawa kembali spirit perempuan suci (sacred feminine) yang hilang, mencoba menyeimbangkan perlawanan kelas ala Marx dengan pertumbuhan. Memunculkan Yin untuk mengimbangi Yang.
Tak heran di era Aquarius ini muncul pula buku semacam Celestine Prophecy dan Da Vinci Code. Bahkan jika anda cermat, Harry Potter pun merupakan imbas dari masa ini. Sampai dengan awal abad 20, tokoh-tokoh seperti Penyihir, Dracula, Burung Gagak adalah tokoh-tokoh antagonis, tapi kini justru banyak yang menjadi tokoh protagonis. Harry Potter hanyalah salah satunya, kita bisa melihat fenomena lain pada Buffy the Vampire Slayer, The Crow, Charmed, dan sejumlah tokoh lain. Ini pula sebabnya dunia produksi tak lagi berfokus pada Mass Consumption atau Mass Production. Diferensiasi dan Positioning lalu menjadi kunci pemasaran dan segmentasi menjadi lebih kecil serta beragam, seperti diungkapkan oleh pakar marketing seperti Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, Al Ries, atau Rhenald Khasali. Berbagai hal alternatif pun muncul sebagai bentuk resistensi. Orang tak mau disamakan.
Universalitas dan absolutisme runtuh. Partikularitas dan idiosinkritas mengambil alih. Ini adalah era di mana manusia sampai pada kesadaran bahwa tidak semua bisa dijelaskan oleh sains, bahwa agama sendiripun tampak memiliki banyak ketidakkonsistenan dalam penjelasannya. Bahwa kebenaran absolut atau penjelasan logika Aristotelian tak lagi mampu menjelaskan kompleksitas dunia ini. Lalu ketika tatanan-tatanan itu mulai hancur, maka muncullah dunia yang silang sengkarut, tunggang-langgang. Manusia bergerak ke segala arah, tak hanya ke masa depan tapi juga memungut berbagai hal dari masa lalu. Ini sebabnya hal-hal mistis menjadi marak.
 
Di Mana Psikologi?
Lalu, di mana letak psikologi? Tampaknya otoritas dan institusi pendidikan psikologi di Indonesia justru berpotensi membuat "orang-orang psikologi" kehilangan posisi pentingnya dalam sains di era posmoderen ini. "Orang-orang psikologi" yang selalu mengklaim dirinya menguasai pemahaman akan psike ini, justru menjadi orang yang kebingungan dengan arah pergerakan dunia. Orang-orang yang justru bukan berasal dari kalangan psikologi malah akan lebih menguasai ranah ini. Ini karena psikologi tak menguasai kunci dari semua kesilangsengkarutan ini, yaitu "tanda". Orang psikologi justru sibuk memapankan "orang-orangnya" dengan berbagai modal simbolik. Bukannya menguasai tanda tapi justru membiarkan diri terkuasai tanda. Psikotes justru makin dikedepankan, manusia di-angka-kan; ketika perhatian orang justru pada hal-hal alternatif, seperti metafisik, foto aura, Tarot dan sejenisnya. Modal simbolik seperti "guru besar" atau anggota institusi besar tertentu, dijadikan kebanggaan dan pembenaran untuk melakukan kesemenaan terhadap karya orang lain, seperti: mem-forward karya orang lain dengan menghilangkan nama, mengajarkan hal-hal ilegal, memasang begitu saja karya orang di jurnal tanpa seijin empunya, menjatuhkan karya orang lain.
Pemikir-pemikir mengenai "tanda' yang sebenarnya berakar dari psikoanalisa, seperti Jacques Lacan, Michel Foucault atau Jacques Derrida tak diajarkan karena oleh kalangan psikologi dianggap terlalu filosofis. Sebuah alasan kekanakkan untuk menutupi kenyataan bahwa mempelajari tokoh-tokoh tersebut jelas lebih susah dan tak bermanfaat untuk dunia industri. Padahal justru yang filosofis inilah yang memahami psike, yang industri itu yang seringkali justru menghilangkan kemanusiawian. Padahal yang filosofis itulah yang menjaga agar psikologi tak terjebak dalam pertukangan alat tes semata.
"Tanda" akhirnya justru lebih dikuasai oleh orang-orang filsafat, komunikasi, atau sosiologi. "Simbol" justru lebih dikuasai oleh mereka yang belajar mitologi dan hermeneutika. Padahal penguasaan "Tanda" dan 'Simbol" inilah kunci untuk lepas dari pemikiran linier ala patriarki, lepas dari dominasi dan kekuasan untuk menuju pertumbuhan dan keseimbangan serta kembali pada pencarian keutuhan yang menjadi hakikat manusia. "Tanda" dan "Simbol" inilah yang menjadi jalan untuk memahami psike. Sayangnya, banyak "orang-orang psikologi" yang memilih untuk tetap tinggal dalam sistem pemikiran patriarkal yang mengutamakan tatanan, hirarki, kelas, ketaksetaraan. Mereka justru sibuk memapankan posisinya agar tak goyah melalui legitimasi berbagai modal simbolik, padahal itu adalah hal yang tak mungkin lagi dilakukan di jaman ini.
Psikologi tak menyadari, mereka tak hanya berhadapan dengan sesama psikologi, tapi juga dengan paranormal, sosiolog, praktisi iklan, praktisi komunikasi. Psikologi Sosial tak akan mampu bicara apa-apa tanpa penguasaan terhadap cultural studies. Psikologi Klinis hanya menghadirkan kekonyolan dalam terapi-terapinya tanpa pemahaman akan akar filosofis dari terapi yang digunakan. Psikologi Pendidikan tak lebih dari alat kekuasaan ketika mereka juga terjebak dalam pengkategorian anak berbakat, anak genius, anak bodoh. Psikologi Konsumen pun hanya ada di awang-awang ketika tak memahami hiperealitas.
Psikologi, yang menurut Freud semestinya berada dalam sistem animisme dan mampu menangkap pesan-pesan humanitas dari semesta dan alam ketaksadaran justru berubah menjadi ilmu pertukangan. Hal-hal yang muncul dari ketaksadaran seperti mite, justru terabaikan dengan berbagai alasan. Walau Carl Gustav Jung telah membahas mengenai mite secara jelas, namun orang-orang psikologi justru memandang psikologi Jung sebagai psikologi yang tidak bisa dibuktikan. Lantas teori psikologi Jung pun diredusir sebatas menjadi alat tes macam MBTI (Myers-Briggs Test Inventory) itu. Dalam psikologi perkembangan, mite hanya dibahas sekedar dalam wacana dongeng. Kalaupun dilakukan penelitian, lantas pembahasannya cuma sekedar dalam teori-teori relasi atau pola asuh, bahwa anak-anak yang didongengi memiliki perkembangan psikis lebih baik. Itupun mengukurnya dengan kuantitatif. Mereka tak sadar bahwa dongeng mengandung mite dan mite memuat tanda serta simbol. Mengapa tanda dan simbol dalam mite menjadi penting? Mite adalah misteri. Kekayaan dan kedalaman mite tak hanya mengizinkan satu interpretasi "betul", melainkan beberapa, tergantung tingkat pemahaman. Mite adalah penafsiran atas simbol, hasil kebudayaan yang menghargai kehidupan, dan tak melepaskan begitu saja dari harmoni alam.
 
Refleksi
Di tengah melenyapnya tatanan, Yin dan Yang kembali memperoleh peluangnya untuk memperoleh keseimbangan. Hanya bagi mereka yang memiliki kemawasan dan hanya merekalah yang mampu bertahan. Psike? Hanya mampu dipahami dalam wacana keseimbangan Yin dan Yang itu. Sayangnya, Psikologi, dalam ketakmampuannya menjelaskan "tanda", justru terbenam dan terkuasai oleh tanda itu sendiri. Membuat mereka masuk ke dalam suatu sistem pemikiran "ilmiah" yang menjauhkan dari pemahaman akan psike. Membiarkan diri mati dalam kekuasaan yang patriarkal, menghilangkan kesetaraan, memapankan hirarki dan kelas. Inilah sebuah perjalanan menuju kematian dari ilmu yang mengklaim dirinya memahami manusia. Ketika ilmu itu dikuasai oleh orang-orang yang memapankan diri dalam kekuasaan dengan memanfaatkan kefanaan sistem pemikiran.
 
Ada cermatan lain?
 
 
© Audifax – 11 Agustus 2005
 
 
 
NB: Saya mem-posting artikel ini ke milis Vincent Liong, Psikologi Transformatif, R-Mania, Pasar Buku dan Forum Studi Kebudayaan. Administrator Vincent Liong, Psikologi Transformatif dan R-Mania mungkin akan mem-forward artikel ini ke sejumlah milis. Biasanya tanggapan terhadap artikel ini juga akan di-forward ke milis psikologi transformatif dan R-Mania. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis Vincent Liong, Psikologi Transformatif, R-Mania dan Forum Studi Kebudayaan. Melalui artikel ini pula saya mengundang siapapun untuk berdiskusi dengan saya di milis psikologi transformatif (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)
 
 


CATATAN-CATATAN:
 
[i] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Altentif (IISA)-Surabaya
[ii] Jangkung Karyantoro; (2002); Merenungkan kembali kegagalan fakultas Psikologi Indonesia dalam pengorganisasian guna terlahirnya positivisme psikologi; dalam kumpulan makalah Simposium Nasional "Psikologi Transformatif"; di Surabaya 4 November 2002; hal. 43
[iii] Ibid; hal. 45
[iv] Sigmund Freud; (2001); Totem dan Tabu; saduran Kurniawan Adi Saputro; Yogyakarta: Jendela; hal. 122
[v] Ibid; hal. 122-125
[vi] Erich Fromm; Seksualitas, Matriarki, Gender; Yogyakarta; Jalasutra; hal. 24-25
[vii] Ibid; hal 25
[viii] Dan Brown; (2003); The Da Vinci Code; saduran Isma B, Koesalamwardi; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta; hal. 55
[ix] Ibid; hal. 55-56
[x] Ibid; hal. 172-173
[xi] Ibid ; hal. 173-174
[xii] Ibid; hal. 174
[xiii] Ibid; hal. 174-175
[xiv] Anonim; What is the Age of Aquarius?; online documents: http://members.cox.net/mystics1/mm0.html


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Y! Messenger

Instant hello

Chat in real-time

with your friends.

Parenting Zone

Your home for

parenting information

on Yahoo! Groups.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar