Sabtu, 24 November 2007

[psikologi_transformatif] Re: VIHARA TEMPAT UMAT BUDDHA MEMUASKAN EGONYA?.

Dari: agung hertanto <agungeka@yahoo.com>

Pak Hudoyo yth,

Saya juga baru 'mudeng' dengan statement pak Hudoyo
tentang pergi ke Vihara, karena saya tidak pernah
ke Vihara selama di Indonesia. Mungkin saya perlu
diajak teman untuk mengunjungi Vihara di Indonesia
untuk mengetahui atmosfirnya, agaknya persepsi
saya tentang Vihara dipengaruhi dari tempat saya
berlatih.

Di sini, paling tidak di Zendo/Kuil yang saya
datangi secara teratur, ke Vihara justru untuk
melepaskan ego. Artinya aktivitas setiap malam
meskipun diawali dengan doa (Kannon atau
Maka Hanya) selalu diikuti dengan dua jam Zazen
(entah koan atau shinkataza). Dan ditekankan sekali
oleh Roshi atau resident monknya bahwa kedatangan
disini 'just-sit, let your ego go'. Bahkan Morning
Service (semacam Misa di Katholik) setiap Sabtu pagi
selama satu jam, juga diikuti oleh dua jam Zazen.
Yang kemudian ditutup dengan minum teh. Zendo
menjadi sanctuary atau 'hutan yang hening'.

Saya tidak tahu bagaimana kalau Zazen (meditasi)
itu dihapuskan, apakah masih ada yang mau datang.
Kegiatan Buddhism di USA justru penekanannya
pada Zazen, dan karena sangat intensip diharapkan
akan mengintegrasikan wisdom dan compassion dalam
kehidupan sehari hari. Itupun saja masih jatuh bangun.

Mengenai bahan renungan, mungkin karena level
praktisinya, bahkan untuk bahan bacaan/renungan
dipakai bukunya Nisargadatta (dari Advaita), Tao
Te Ching, atau Biblenya St Thomas (Agnostic Bible -
dimana kata kata Jesus paralel sekali dengan kata
kata Buddha). Pernah ditawarkan tulisan Rumi,
tetapi dianggap terlalu 'sweet', akhirnya diganti
dengan Dogen dan Muso Kokushi. Perbedaan pandangan
para praktisi tentang suatu ajaran sangat biasa.
Tulisan S. Batchelor ttg agnostik Buddhism atau
bahkan pandangan yang pure materialism (tidak
percaya adanya consciousness) pernah saya dengar.
Tetapi teman teman menganggap variasi ini semua
sebagai persepsi-persepsi individu ttg 'Truth',
karena yang terpenting bagi mereka adalah
'Experential' dan integrasi experience ini dalam
kehidupan sehari-hari. Saya berani bertaruh
kalau pak Hudoyo memberi ceramah di Zendo saya,
tidak ada yang bingung. Bukan hanya 10 persen
tetapi 100 persen praktisi akan menikmatinya.

Mudah-mudahan umat Buddha (dan beragama lain)
di tanah air bisa mengalami dinamika kehidupan
spiritual seperti yang saya alami.

salam
===============================
HUDOYO:

Pak Agung yg baik,

Walah, kalau di vihara-vihara di Indonesia diberlakukan ketentuan duduk 2 jam meditasi dalam kebaktian hari Minggu, saya khawatir bahwa apa yang dikeluhkan oleh Romo Gatot Hadinata akan menjadi kenyataan, yakni vihara-vihara pada kosong semua, karena tidak memenuhi kebutuhan batinumat Buddha di Indonesia. :-)

Dalam kebaktian hari Minggu di vihara-vihara Buddhis di sini, meditasinya paling lama cuma 5 menit (namanya saja "meditasi"), didahului baca paritta kurang lebih setengah jam, lalu ceramah kurang lebih 30 - 60 menit, bisa lebih lama kalau panditanya bersemangat.

Tapi di banyak vihara ada waktu lain untuk meditasi 1-2 jam di malam hari dalam hari kerja. Ini buat umat yang lebih serius, yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan umat yang datang pada hari Minggu.

Jadi, singkatnya, kehidupan religius di vihara-vihara di Indonesia tidak berbeda dengan di gereja-gereja Kristen. Yang berbeda cuma simbol-simbol keagamaannya dan suprastruktur kepercayaannya saja, tapi secara PSIKOLOGIS tidak ada bedanya sama sekali antara vihara dan gereja.

Yang membedakan agama Buddha dengan agama-agama lain di Indonesia adalah retret meditasinya. Tapi di sini pun tampaknya agama Katolik mulai mengejar ketertinggalan mereka dari agama Buddha. Di Jakarta dan beberapa kota di berbagai paroki mulai diajarkan meditasi dengan teknik samatha (menggunakan mantra "Maranatha") pada pertemuan-pertemuan mingguan di rumah tangga. Mereka kebanyakan mengikuti tradisi WCCM (World Community for Christian Meditation) yang dipimpin oleh Romo Lawrence Freeman di London. Beliau pernah datang ke Indonesia beberapa tahun lalu, dan saya diundang mengikuti retretnya sehari semalam di Cipanas.

Tapi bagaimana dengan di AS sendiri? Gambaran yang Anda berikan adalah dari kacamata Zen, yang memang sangat berkembang di AS. Tapi setahu saya, banyak juga vihara-vihara yang lain, misalnya Jodo Shin, Tibetan, Theravada dll. Apakah kehidupan di vihara-vihara itu juga strict meditasi? Kalau meditasi menarik bagi orang Barat eks-Kristen yang sudah jenuh dengan agama mereka sendiri, bagaimana pula dengan Amerisians (orang Amerika keturunan Asia) yang tinggal di AS? Apakah mereka juga lebih tertarik meditasi, ataukah sama saja dengan saudara-saudara mereka di Indonesia sini?

***

>Tulisan S. Batchelor ttg agnostik Buddhism atau
>bahkan pandangan yang pure materialism (tidak
>percaya adanya consciousness) pernah saya dengar.
----------------
Saya tertarik pada buku S. Batchelor, "Buddhism without Beliefs" yang merupakan Buddhisme agnostik, dan lagi pesan dari Amazon.com. Yang sudah saya baca adalah sebuah thesis yang ditulis oleh seorang mahasiswa Master Degree, yang membela Batchelor dari ketika pengritiknya dari sekte Theravada tradisional: Bhikkhu Bodhi dari BPS, Bhikkhu Punnadhammo dari Kanada, dan Bhiksu Sangharakshita dari Western Buddhist Order. Yah, kritik-kritik itu sudah diantisipasi arahnya karena merupakan reaksi yang wajar dari sebuah tradisi yang mapan terhadap sebuah pemikiran inovatif.

Tapi yang ingin saya tanyakan, apakah pure materialism (tidak percaya adanya consciousness) itu ada dalam "Buddhism without Beliefs"?

***

Saya tertarik mendengar bahwa buku-buku yang dipakai di Zendo Anda antara lain dari Nisargadatta ("I Am"). Saya rasa itu baru separuh perjalanan, menurut Bernadette Roberts. Yang separuh lagi adalah runtuhnya "I Am" itu. Di sinilah Krishnamurti berbicara. Juga Buddha; karena Buddha secara eksplisit menyatakan bahwa dalam diri seorang Arahat tidak ada lagi pikiran "Ini milikku; ini aku; dan ini diriku."

Apakah pernah dicoba memperkenalkan buku-buku Krishnamurti?

Salam,
Hudoyo

http://www.nisargadatta.net/

The Sense of "I am" (Consciousness)

When I met my Guru, he told me: "You are not what you take yourself
to be. Find out what you are. Watch the sense 'I am', find your real
Self." I obeyed him, because I trusted him. I did as he told me. All
my spare time I would spend looking at myself in silence. And what a
difference it made, and how soon!

My teacher told me to hold on to the sense 'I am' tenaciously and not
to swerve from it even for a moment. I did my best to follow his
advice and in a comparatively short time I realized within myself the
truth of his teaching. All I did was to remember his teaching, his
face, his words constantly. This brought an end to the mind; in the
stillness of the mind I saw myself as I am -- unbound.

I simply followed (my teacher's) instruction which was to focus the
mind on pure being 'I am', and stay in it. I used to sit for hours
together, with nothing but the 'I am' in my mind and soon peace and
joy and a deep all-embracing love became my normal state. In it all
disappeared -- myself, my Guru, the life I lived, the world around
me. Only peace remained and unfathomable silence.

Nisargadatta Maharaj

HUDOYO:

Keadaan apakah yang digambarkan oleh Nisargadatta Maharaj ini?

"... with nothing but the 'I am' in my mind and soon peace and
joy and a deep all-embracing love became my normal state. In it all
disappeared -- myself, my Guru, the life I lived, the world around
me. Only peace remained and unfathomable silence."

Coba bandingkan dengan Bernadette Roberts, "The Experience of No-Self".

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Endurance Zone

on Yahoo! Groups

Groups about

better endurance.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar