Minggu, 25 November 2007

[psikologi_transformatif] Re: VIHARA TEMPAT UMAT BUDDHA MEMUASKAN EGONYA?.

Dari: "Gatot Utami Hadinata" <gatot@tarakan.wasantara.net.id>

Namo Buddhaya
Salam Metta dari saya untuk Bapak Hudoyo

dan juga terima kasih jawaban dan perhatian dari Bapak Hudoyo atas pertanyaan dari saya , sebenarnya saya juga dalam ego saya maonya Romo menjawabnya sedemikian jelas, setahu saya banya netter2 yg ikut membaca tulisannya Romo, saya kwatir banyak netter yg masih muda seperti saya, akan menimbulkan polemik :) atau salah tanggap maksudnya Romo.
mungkin selain melaksanakan DHAMMA,SILA dan DANA , kita juga masih usahakan mengerti tentang empat kesunyatan mulya dan juga dengan jalan utama yang berunsur delapan menuju ke pembebasan yang di praktekkan dalam kehidupan sehari2 atau perumah tangga, terima kasih dan anumodana kepada Romo yg telah sudi menjawab semua pertanyaan saya.
Saya sejak muda mulai belajar dhamma saya telah mendengar tentang Romo dari para bhikku yg pernah berkunjung ke kota yg saya tinggal, moga satu hari kita bisa punya karma baik , entah dimana kita dapat bertemu dan juga mungkin saya dapat belajar lebih banyak dari Romo.
Moga Romo selalu menjaga kesehatannya dan juga jaga istirahatnya dengan baik.
semoga Sang Triratna selalu melindungi Romo. Sadhu!sadhu!sadhu!

mettacittena

Gatot Utami Hadinata

========================
HUDOYO:

Romo Gatot yg baik,

Terima kasih kembali atas tanggapan Romo di atas. Semoga tulisan-tulisan saya bermanfaat bagi umat Buddha yang mau belajar tentang kenyataan batinnya.

Sebagai ringkasan, saya merasa perlu untuk menggarisbawahi dua hal pokok yang menyebabkan "kebingungan" di kalangan teman-teman Buddhis dalam memahami tulisan-tulisan saya:

(1) pengertian tentang "ego" atau "aku" itu sendiri. Sering kali "ego" / "aku" itu dipahami mengandung konotasi negatif. Ini karena ada kata lain yang mirip yang memang mengandung konotasi negatif, yakni: "egoistik" dan "keakuan", yang berarti mementingkan diri sendiri.

Tapi saya menggunakan "ego" dan "aku" itu untuk mengacu kepada penggerak paling dasar dari kehidupan manusia. Setiap orang--terlepas dari "baik" atau "buruk"--pasti mempunyai "ego" / "aku". Tanpa ego/aku, manusia tidak bisa hidup (kecuali aranat). Ego/aku itulah yang berbuat karma, dan ego/aku itulah yang memetik buah karma. Ego/aku itulah yang mendorong kita lahir kembali, dan berputar terus dalam samsara. Kalau karma si ego itu "buruk", ya ego itu akan menderita; kalau karma si ego itu "baik", ya ego itu akan berbahagia. Yang menggerakkan orang untuk membunuh, mencuri dan berzina adalah sama dengan yang menggerakkan orang untuk sembahyang, berdana, dsb. yaitu ego-nya.

(2) Tapi pembebasan yang diajarkan oleh Sang Buddha tidaklah bisa dicapai oleh upaya ego. Karena pembebasan itu hanya bisa tercapai dengan 'lenyapnya ego', dengan 'padamnya ego' (nibbana = padam). Tidak mungkin ego melenyapkan ego! Jadi mustahil dan absurd kalau ada umat Buddha yang berkata: "Saya akan berjuang (dengan menjalankan sila, berdana, bermeditasi dsb) untuk mencapai nibbana."

Lenyapnya ego itu hanya akan tercapai kalau manusia MENYADARI dan MEMAHAMI gerak-gerik egonya yang selalu menyeretnya dalam Samsara (entah ke arah yang baik atau buruk), termasuk keinginan ego yang ingin bebas, ingin mencapai nibbana. Hanya dengan menyadari & memahami ego secara pasif, terdapat kemungkin ego itu akan berhenti, padam, dengan sendirinya, tapi itu bukan hasil usaha ego itu sendiri. Entah kapan itu akan terjadi, jangan dipikir-pikir, karena yang memikir-mikir itu ego lagi. Itulah vipassana yang sejati ajaran Sang Buddha, sebagaimana tercantum dalam Bahiya-sutta:

"Bahiya, lakukan ini:
dalam yang terlihat hanya ada yang terlihat,
dalam yang terdengar hanya ada yang terdengar,
dalam yang terasa hanya ada yang terasa,
dalam yang terpikir hanya ada yang terpikir.
Kalau kamu [bisa begitu], maka ... kamu tidak ada ...,
dan itulah, hanya itulah, akhir dari dukkha."

Di situ Sang Buddha hendak menyatakan, bahwa bila pikiran/batin ini bisa menyadari secara pasif segala sesuatu yang muncul ("hanya itu yang ada ..."), maka EGO/AKU/DIRI TIDAK ADA, dan itulah akhir dukkha (nibbana). Tampak jelas dalam "latihan" vipassana yang murni ini sama sekali tidak ada UPAYA atau USAHA apa pun, yang ada hanyalah DIAM.

Sang Buddha menyatakan dalam berpuluh sutta, bahwa dalam diri seorang yang telah bebas (arahat), tidak ada lagi pikiran "Ini milikku, ini aku, ini diriku." ("Etam mama, eso hamasmi, eso me atta" ti)

***

Akhirnya, saya ingin mengingatkan kembali jawaban Sang Buddha kepada Angulimala ketika Angulimala berteriak menyuruh Sang Buddha berhenti:

".Thito aha.m, A.ngulimaala, tva~nca ti.t.thaa" ti.
("Aku sudah berhenti, Angulimala; kamulah yang harus berhenti.")

Nah, teman-teman, kapan kita akan berhenti? Kenapa kita masih terus berlari?

Salam,
Hudoyo

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Real Food Group

Share recipes,

restaurant ratings

and favorite meals.

Yahoo! Groups

Find Green Groups

Share with others

Help the Planet.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar