Jumat, 23 November 2007

[psikologi_transformatif] VIHARA TEMPAT UMAT BUDDHA MEMUASKAN EGONYA?.

Dari: "Soetrisno" <dualolo@yahoo.com>

>>Sering-seringlah pergi ke vihara.
>------------
>Hudoyo:
>Pergi ke vihara (tempat ibadah) = bergaul dengan orang bijak? Apa iya? Terlalu idealistik, kali. ...
>Saya sendiri tidak pernah pergi ke vihara, kecuali diundang untuk ceramah. Kesan saya, vihara itu tempat umat Buddha memuaskan egonya.
>
>Saya lebih senang ikut retret vipassana di tempat sepi daripada pergi ke vihara setiap Minggu.
---------------

Pak Hudoyo
maaf ini saya cut dari komentar pak Hud,

Pertanyaan saya, yg berkaitan dengan umat Buddha itu sendiri.
Jika selevel pak Hud, saya akan memahami /mengerti akan jawaban tsb.
akan tetapi bagi umat Buddha yg lain ? yg sedang belajar ,.
Apakah jawaban tsb tidak membingungkan terhadap keberadaan dan fungsi " vihara "?

Mohon komentar dari pak Hudoyo.

Matur Nuwun.
Soetrisno
=========================
HUDOYO:

Mas Soetrisno yg baik,

hehehe ... "memuaskan ego" tidak selalu berkonotasi "tidak baik", lho ... :-)

Marilah kita coba renungkan sedikit:
Setiap manusia, pada waktu sadar/bangun, di mana pun, kapan pun, SELALU berusaha memuaskan egonya sendiri, bukan?; tidak pernah tidak.

Umat Buddha pergi ke vihara (umat Islam pergi ke mesjid, umat Kristen pergi ke gereja), semuanya tiada lain adalah demi memuaskan egonya sendiri:
- ada yang berniat cari pacar di vihara - itu kan demi memuaskan egonya sendiri;
- ada yang berniat bergunjing, bergaul, bersosialisasi di vihara - itu kan demi memuaskan egonya sendiri;
- ada yang berniat berdoa, pasang dupa, baca paritta, mendengarkan khotbah dsb - itu kan demi memuaskan egonya sendiri;
- ada yang berniat berdana - itu kan demi memuaskan egonya sendiri;
- ada yang berniat masuk sorga, lahir di alam dewa dsb - itu kan demi memuaskan egonya sendiri.
- ada yang berniat menyatu dengan Tuhan - itu kan demi memuaskan egonya sendiri;
- ada yang berniat mencapai nibbana - itu kan demi memuaskan egonya sendiri.
(Di sini saya tidak mempersoalkan mana yang "baik" dan mana yang "tidak baik", lho. Semuanya--"baik" maupun "tidak baik"--adalah demi memuaskan egonya sendiri.)

***

Nah, barulah ketika orang sadar/eling terhadap gerak-gerik egonya dari saat ke saat--yang "baik" maupun yang "tidak baik"--maka ia tidak lagi berniat memuaskan egonya sendiri. Itulah kesadaran vipassana -- kesadaran vipassana tidak ada kaitannya dengan KEINGINAN untuk mencapai nibbana, tidak ada kaitannya dengan UPAYA untuk mencapai nibbana.

Di dalam Kitab Visuddhi-magga ada syair berbunyi begini:

"Ada derita, tapi tak ada si penderita.
Ada perbuatan, tapi tak ada si pembuat,
Ada nibbana, tapi tak ada yang memasukinya,
Ada jalan, tapi tak ada yang menempuhnya."

***

Dari: Ayacana-sutta, Samyutta-nikaya, 6.1

Ketika Sang Buddha baru saja mencapai Pencerahan Sempurna, beliau duduk di tepi sungai Neranjara, di bawah pohon Ajapaala-nigrodha (semacam beringin). Di situ terpikir oleh beliau:

"Hakikat (Dhamma) yang telah kucapai ini begitu dalam (gambhiiro), sukar dilihat (duddaso), sukar direalisir (duranubodho), damai (santo), tinggi (pa.niito), di luar lingkup pemikiran (atakkaavacaro), halus (nipu.no), hanya dapat dialami oleh mereka yang arif (pa.n.dita-vedaniiyo). Tetapi kebanyakan manusia bersenang hati dalam kelekatan (aalaya-raamaa), bergairah dalam kelekatan (aalaya-rataa), menyukai kelekatan (aalaya-sammuditaa); oleh karena itu, mereka sukar melihat keterkondisian (idappaccayataa) dan kesalingbergantungan (pa.ticcasamuppaado) ini. Keadaan yang juga sukar dilihat adalah: larutnya semua bentukan pikiran (sabba-sa.nkhaara-samatho), tanggalnya semua perolehan (sabb-uupadhi-pa.tinissaggo), berakhirnya keinginan/kehausan (ta.nha-kkhayo); tanpa gejolak batin (viraago); berhenti (nirodho); padam (nibbaa.na.m)."

Menyadari hal itu, pada mulanya Sang Buddha berniat untuk tidak mengajarkan Hakikat (Dhamma). Ceritanya, maka datanglah Dewa Brahma Sahampati, mohon kepada beliau untuk mengajarkan Dhamma dengan berkata:

"Desetu, bhante, Bhagavaa Dhamma.m! Desetu Sugato Dhamma.m! Santi sattaa apparajakkhajaatikaa. Assava.nataa dhammassa parihaayanti. Bhavissanti dhammassa a~n~naataaro" ti.
("Bhante, mohon mengajarkan Dhamma Sang Bhagava, mohon mengajarkan Dhamma Sang Sugata. Ada makhluk-makhluk yang sudah tipis debu menutupi matanya; mereka akan merosot karena tidak mendengar Dhamma. Ada yang akan memahami Dhamma.")

Demikianlah, setelah Sang Buddha memandang ke seluruh dunia dengan mata Buddha yang penuh welas asih, akhirnya beliau memutuskan untuk mengajarkan Dhamma. Inilah jawaban Sang Buddha kepada Brahma Sahampati:

"Apaarutaa tesa.m amatassa dvaaraa,
ye sotavante pamu~ncantu saddha.m."
("Terbukalah pintu pembebasan dari kematian,
bagi mereka yang memiliki telinga;
hendaklah mereka memiliki keyakinan.")

***

Kesimpulan: Kebenaran (Hakikat, Dhamma) itu sangat halus, sukar dilihat oleh orang biasa, di luar lingkup pemikiran, dan hanya dapat dialami oleh orang yang arif. Karena melekat kepada pikiran & angan-angannya, kebanyakan manusia tidak menyadari keterkondisian batinnya, tidak bisa mengalami berhentinya semua bentukan (pikiran), tanggalnya semua perolehan, berakhirnya semua keinginan, tanpa gejolak batin, berhenti, padam (nibbana).

Nah, berapa persen dari umat Buddha yang memadati vihara-vihara itu yang memahami hal ini? .... Apakah yang kita pelajari sejak sekolah minggu itu Kebenaran Dhamma? ... Saya rasa bukan! Pengetahuan intelektual bukanlah pencerahan. Itu tidak lebih daripada hafalan, konstruk pikiran (sankhara), yang pada akhirnya harus runtuh, untuk pada akhirnya badan & batin tempat melekat ini padam (nibbana), dan tidak lahir kembali.

Salam,
Hudoyo

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Real Food Group

on Yahoo! Groups

What does real food

mean to you?

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar