Senin, 26 November 2007

Re: [psikologi_transformatif] Re: dari moshaddeq sampai mount carmel..(2)

Ngapain harus punya prinsip sendiri
Prinsip itu bisa dibeli
Apalagi minyak dah seratus US dollar per barrel
cukuplah untuk beli prinsip
Huahahahahahahahahahaha

pradita@telus.net wrote:

Lalu ngapain elo mau tiru-tiru yang di Barat itu? Katanya kafir, tapi contoh
jeleknya diambil semua. Gak punya prinsip sendiri ya?

manneke

Quoting hendrik bakrie <henrik12syiah@yahoo.com>:

> Dari Moshaddeq Sampai Mount Carmel [2] Sabtu, 24 November
> 2007 var sburl2477 = window.location.href; var sbtitle2477 =
> document.title; var sbtitle2477=encodeURIComponent("Dari Moshaddeq Sampai
> Mount Carmel [2]"); var
> sburl2477=decodeURI("http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=5844");
> sburl2477=sburl2477.replace(/amp;/g,
> "");sburl2477=encodeURIComponent(sburl2477); Sanksi penistaan agama
> bukan monopoli Indonesia. Itu juga terjadi di Eropa. Amerika jauh lebih kejam
> dan lebih sectarian. Bagian Kedua-habis
>
> Oleh: Amran Nasution
>
> Hidayatullah.com--Orang Barat itu selalu menganut standar ganda, tapi tak
> malu-malunya mengajari kita tentang hak persamaan dan kebebasan, terutama
> melalui agennya yang sawo matang, yang berkeliaran di sini.
> Namun yang pasti undang-undang itu masih tetap berlaku di sana, sekali pun
> berbagai usaha untuk menghapuskannya terus dilakukan oleh para seniman atau
> aktivis HAM. Bahkan ia tetap awet bertahan, walau pun pada 1998, muncul Human
> Rights Act, undang-undang tentang HAM. Memang penggunaannya sangat selektif,
> atau bahkan suatu saat seakan sudah dipingsankan.
> Tapi nyatanya pada 1977, pengadilan Inggris mengadili majalah Gay News,
> karena memuat puisi James Kirkup. Puisi itu dituduh menempatkan Jesus sebagai
> objek cinta.
> Undang-undang Blasphemy bukan satu-satunya cara. Pada 1976, sutradara
> Denmark, Jens Jorgen Thorsen, hendak membuat film The Many Faces of Jesus, di
> Inggris. Film itu bercerita tentang kehidupan seks Jesus.
> Reaksi keras bermunculan. Bukan cuma dari para aktivis Gereja, tapi dari
> Ratu Inggris, Perdana Menteri James Callagan, dan Uskup Agung Canterbury,
> Donald Coggan. Akhirnya, rencana itu pun hilang begitu saja.
> Ada lagi sejumlah peristiwa yang mirip. Salah satu, adalah kasus the
> Penguin, penerbit terkenal itu. Pada 1967, penerbit itu siap meluncurkan buku
> Massacre, ditulis Malcolm Muggeridge. Tiba-tiba, suatu malam, Allen Lane,
> sang pemilik, muncul ke gudang: seluruh buku yang sudah siap cetak ia bakar
> habis.
> Lane sebenarnya bukan aktivis Gereja. Tapi dia pusing karena mendapat
> protes dari kawan, langganan, dan kerabatnya, yang menuduh buku itu menghina
> Kristen, blasphemy.
> Yang menarik, the Penguin adalah juga penerbit the Satanic Verses. Inilah
> sikap sektarian dan standar ganda yang amat nyata dari orang Inggris itu.
> Massacre dibakarnya karena menghina Kristen, tapi the Satanic Verses yang
> menghina Islam tidak. Malah novel itu dan penulisnya dipromosikan
> besar-besaran dengan dalih kebebasan berkreasi, kebebasan berbicara, dan
> bla... bla... bla lainnya.
> Bagaimana Amerika, negara eksportir demokrasi itu? Di sini lebih seru, tapi
> caranya lebih canggih. Meski undang-undang blasphemy masih ada, dilihat dari
> beberapa kasus sempalan agama, ia tak digunakan. Tapi dicarikan delik pidana
> yang ancaman hukumannya lebih berat, semisal penggelapan pajak dan pemakaian
> senjata api. Di sini peran intelijen diperlukan.
> Sebutlah kasus bunuh diri massal aliran the Peoples Temple (Kuil Rakyat)
> yang dipimpin Pendeta Jim Jones, tamatan Indiana University di Bloomington,
> Indiana.
> Pada 1964, Jones membangun gereja sendiri di Indianapolis, dan mulai
> menyebarkan ajaran yang menekankan persamaan hak pada kulit hitam, dan
> keadilan sosial. Tak aneh bila jemaahnya kebanyakan orang hitam.
> Ia dan kelompoknya kemudian pindah ke Redwood Valley, California.
> Alasannya, untuk mencari daerah aman dari perang nuklir yang segera meletus.
> Pada waktu itu, memang perang dingin antara blok Barat pimpinan Amerika
> Serikat dan blok Timur pimpinan Uni Soviet, sedang menghangat. Perang nuklir
> menjadi ancaman.
> Ternyata pengikutnya tambah banyak, dan lama kelamaan meresahkan rezim,
> selain Gereja. Apalagi pendeta itu menggaku titisan Jesus. Pengusutan
> dilakukan. Ditemukanlah kasus pengelakan pajak.
> Karena pengusutan itu, Jim Jones dan ratusan pengikutnya – 70% orang hitam
> – pada 1977, pindah ke Guyana, negara yang terletak di tepi Samudera
> Atlantik, Amerika Latin. Itulah satu-satunya negeri berbahasa Inggris di
> kawasan berbahasa Spanyol itu.
> Di sana, di sebuah daerah terpencil, mereka membangun gereja dan pemukiman
> sendiri, yang dinamakan Jonestown, kota Jones. Mereka mengembangkan
> pertanian, menjalani kehidupan sesuai prinsip sosialisme ajaran Pendeta Jim
> Jones.
> Ternyata mereka tetap tak dibiarkan. Pada 15 November 1978, perkampungan
> terpencil itu didatangi anggota Kongres Leo Ryan, didampingi sejumlah
> wartawan dan anggota CIA. Mereka diutus Kongres sebagai misi pencari fakta
> dan sebenarnya diterima dengan baik oleh Pendeta Jones.
> Selama tiga hari di sana, Leo Ryan dan rombongan ternyata melakukan dakwah
> untuk menyadarkan anggota komunitas. Mereka berhasil mempengaruhi beberapa
> jemaah, tapi menimbulkan kemarahan jemaah lainnya.
> Rombongan melarikan diri ke lapangan terbang kecil, tempat pesawat terbang
> mereka diparkir. Namun mereka ditemukan kelompok jemaah yang marah,
> terjadilah tembak-menembak. Leo Ryan, beberapa anggota rombongannya, serta
> jemaah, tewas.
> Sementara itu, di tengah ketegangan suasana, Pendeta Jones memerintahkan
> seluruh komunitasnya melakukan bunuh diri dengan meminum racun sianida yang
> telah disiapkan. Selama ini, sang pendeta mengajarkan, hanya dengan bunuh
> diri mereka mencapai surga, selamat dari ancaman perang nuklir.
> Sungguh amat mengerikan. Hari itu, 908 jemaah Peoples Temple – 276 di
> antaranya anak-anak – mati bergeletakan di perkampungan, termasuk Pendeta Jim
> Jones.
> Peristiwa lain yang tak kurang mengerikan, kasus Pendeta David Koresh,
> pemimpin the Branch Davidian alias Sekte Cabang David di Mount Carmel, Waco,
> Texas.
> Pada 19 April 1993, pengepungan selama 51 hari oleh sekitar 75 anggota FBI
> – polisi federal Amerika – berakhir dengan hujan peluru di kompleks seluas 30
> ha itu. Perumahan itu meledak dan terbakar habis, diduga karena sejenis
> tabung gas yang dilemparkan ke dalam rumah untuk mengusir penghuni ke luar.
> Pendeta David Koresh dan 80-an pengikutnya – termasuk wanita dan 27
> anak-anak -- hangus terbakar. Mayat pendeta itu baru bisa dikenali melalui
> pemeriksaan laboratorium.
> Mirip kasus Jim Jones, Pendeta Koresh dianggap mengajarkan Kristen
> menyimpang. Dia menggaku nabi yang mendapat wahyu dan bisa berbicara dengan
> Tuhan.
> Mirip pula dengan kelompok Jim Jones, FBI mengusut mereka karena kasus
> pidana, tentang senjata api gelap. Ketika itu sejumlah polisi mendatangi
> kompleks terpencil itu mengantarkan surat panggilan untuk sang nabi.
> Pengikutnya marah, merasa nabi mereka direndahkan polisi. Terjadi
> tembak-menembak, yang menggakibatkan beberapa jemaah dan polisi tewas. Sejak
> itulah kompleks Mount Carmel dikepung FBI. Peristiwa ini sempat lama
> menjadi perdebatan. FBI dianggap berlebihan, istilah krennya sekarang,
> melanggar HAM. Sejumlah buku, film dokumenter, dan tulisan koran diterbitkan.
> Pengadilan digelar. Tapi sampai sekarang tak satu polisi pun yang ditindak.
> Orang Amerika tampaknya tahu sama tahulah kenapa peristiwa itu terjadi.
> Tapi persis dua tahun kemudian, 19 April 1995, sebuah bom meledakkan gedung
> federal di Oklahoma City, merampas nyawa 168 orang tak bersalah – termasuk
> perempuan dan anak-anak. Pelakunya, belakangan diketahui adalah Timothy
> McVeigh, orang kulit putih warga Amerika. Sebelumnya, karena prasangka
> rasial, polisi menangkap sejumlah orang Arab.
> Dari dalam sel tahanan, McVeigh menulis surat bahwa tindakan itu adalah
> pembalasan atas apa yang telah dilakukan pemerintah di Mount Carmel, Waco.
> Karena itu aksinya dilakukan 19 April, tepat pada hari Waco dibakar FBI.
> Di depan pengadilan, dia bungkem seribu bahasa. Hakim memintanya bicara
> sebelum dijatuhi hukuman mati. Dia menulis kutipan ini, ''Pemerintah punya
> pengaruh yang sangat besar, menjadi guru di mana-mana. Untuk baik dan jahat,
> ia mengajari semua orang dengan contoh perbuatannya'' (lihat Mahmood
> Mamdani, ''Good Muslim, Bad Muslim'', Three Leaves Press, 2005). Ia mau
> mengatakan, peristiwa Oklahoma hanya mencontoh perbuatan polisi di Mount
> Carmel.
> Syukurlah, berbagai peristiwa mengerikan di Amerika dalam kasus
> penyimpangan agama, belum pernah tejadi di sini. Seringkali malah aparat
> Pemerintah ragu-ragu bertindak karena pers arus utama selalu mendukung suara
> kaum Liberal. Padahal undang-undang sudah cukup jelas.
> Ujungnya, ummat yang marah terjebak main hakim sendiri. Mereka pun jadi
> korban kecaman kaum Liberal, disebar-luaskan pers yang senantiasa berpihak.
> [habis]
> * Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan
> IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
>
>
>
> ---------------------------------
> Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.



Get easy, one-click access to your favorites. Make Yahoo! your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Instant hello

Chat in real-time

with your friends.

Real Food Group

Share recipes

and favorite meals

w/ Real Food lovers.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar