Rabu, 05 Desember 2007

Balasan: [psikologi_transformatif] Re: Para Atheis Perlu Datang dan Bersuara

ethics siapa yang akan jadi "pegangan" ketika atheis berkumpul untuk
membahas sesuatu dalam konferensi ?
ethics kita? ethics aku? ethics kami?

gimana kalau ethics gue yang dipakai('ethics gigolology'); peserta
konfrensi bertelanjang saja semua.

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "Anwar Haryono"
<aharyono@...> wrote:
>
> Kalo konperensi atheis kali malah gak ribut mas, masih ada
ethics….justru
> gak ada potensi jadi tuhan ndiri2, wong ndak percaya….yang ada fight for
> interest, praktis prgmatis….tapi realistis
>
>
>
> yang paling potensi ribut tuh konperensi theis2 yang kepleset
>
>
>
>
>
> _____
>
> From: psikologi_transformatif@yahoogroups.com
> [mailto:psikologi_transformatif@yahoogroups.com] On Behalf Of gotholoco
> Sent: Thursday, December 06, 2007 9:19 AM
> To: psikologi_transformatif@yahoogroups.com
> Subject: Balasan: [psikologi_transformatif] Re: Para Atheis Perlu
Datang dan
> Bersuara
>
>
>
> Atheis datang lalu berkumpul, semacam konvensi atau konferensi maka
> akan muncul "keributan" baru, mengapa?
> Karena yang datang semua sudah menjadi tuhan yaitu dirinya sendiri
> dengan berbagai kepentingan. Lalu muncul pepatah lama "tidak ada yang
> abadi di dunia ini selain kepentingan/interest".
> Soal "diakuai" atau "tidak diakui" tidak menjadi relevan lagi.
>
> Salam
>
> --- In psikologi_transform
> <mailto:psikologi_transformatif%40yahoogroups.com> atif@yahoogroups.com,
> lulu <lu2_mm@> wrote:
> >
> > untuk yang agama baru ...
> > mungkin bakal lebih seru lagi , mengingat dengan agama yang ada
> sekarang aja udah segini kondusifnya, apalagi entar kalo ada tambahan
> baru lagi ya ..
> > untuk mas gotho, satu hal yang menarik dari anda yaitu ...
> > makin flexible dengan hal yang berbau `baru`..
> > tapi kalo misal aplikasi dari ``Atheis datang? Untuk menghilangkan
> agama dengan tanpa agama, maka ketika berkumpul akan menjadi agama
> baru..``satu gebrakan baru nih, dan kira2 bakal bisa gak ya `agama
> baru` itu di akui di indonesia , hehehehe...
> >
> > salam manis
> > /Lu2
> >
> >
> > gotholoco <gotholoco@> wrote:
> > Agama dan Politik itu mirip kok, malah hampir identik.
> > Kedua-duanya sama "berbicara" "what ought to be, what should to be"
> > ('berbicara bagaimana sebaiknya, bagaimana seharusnya, NTAR ESOK
HARI').
> > Bedanya 'di titik' kalau agama : pencarian Sang Khalik, kalau Politik
> > pencarian "Kekuasaan".
> > Ketika beragama tidak "ketemu" Sang Khalik, maka disitulah agama
> > menjadi pencarian kekuasaan di berbagai bidang atau agama akan identik
> > dengan politik.
> >
> > Atheis datang? Untuk menghilangkan agama dengan tanpa agama, maka
> > ketika berkumpul akan menjadi agama baru..he..he..
> >
> >
> > --- In psikologi_transform
> <mailto:psikologi_transformatif%40yahoogroups.com> atif@yahoogroups.com,
> Angga Wijaya
> > <anggaji@> wrote:
> > >
> > > Atheis Juli 30, 2007
> > > Agama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi
> > layakkah ia dibela?
> > >
> > >
> > > Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhatian ketika bukunya
> > terbit dengan judul God Is Not Great: Religion Poisons Everything.
> > Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tuhan tidak akbar dan bahwa
agama
> > adalah racun—tak bersuara sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun
> > 2004 terbit The End of Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu
> > mempertegas posisinya dengan menyerang agama Kristen dalam Letter to a
> > Christian Nation. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins,
> > seorang pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat
> > pengarang lain: "Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan
> > disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan
> > disebut agama."
> > >
> > >
> > > Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah merasa
> > setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir,
> > tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya gembira: kini
> > datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang
> > seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua
> > agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa
> > ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian.
> > Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia
> > menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis
> > inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan
> > kemudian berhenti bermusuhan.
> > >
> > >
> > > Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara tentang
> > iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001, hari yang
> > bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara radio: "Bayangkan
> > Anda berada di sebuah kota asing di waktu senjakala, dan sejumlah
> > besar orang datang ke arah Anda. Akan lebih merasa amankah Anda, atau
> > justru merasa kurang aman, bila Anda tahu orang-orang itu baru selesai
> > berkumpul untuk berdoa?"
> > >
> > >
> > > Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay, Beograd,
> > Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, "Kurang aman."
> > >
> > >
> > > Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan antara
> > orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan
> > Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan
> > orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad.
> > Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar.
> > >
> > >
> > > Maka bagi Hitchens, agama adalah "sebuah pengganda besar", an
> > enormous multiplier, "kecurigaan dan kebencian antarpuak".
> > >
> > >
> > > Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai sumber
> > sikap negatif itu.
> > >
> > >
> > > Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik
> > antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—yang
> > bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab, tak ada
> > hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah kekuasaan Inggris
> > masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah dalam tiap tafsir atas
> > akidah—dan dalam hal ini ia mirip seorang fundamentalis Kristen atau
> > Islam. Pandangannya yang menampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa
> > doktrin Quran itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara
> > Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada 11 September
> > 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu "Islam" identik dengan
> > amarah karena ada kepahitan kolonialisme di Timur Tengah, Afrika, dan
> > Asia, dan kekalahan dunia Arab di Palestina.
> > >
> > >
> > > Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan
> > agamanya yang salah, melainkan manusianya.
> > >
> > >
> > > Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam
> > Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan
> > tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki
> > umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan
> > bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?
> > >
> > >
> > > Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembunuhan
> > dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang mudah sampai
> > kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya: agama meracuni segala hal.
> > >
> > >
> > > Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain:
> > jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia.
> > Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal
> > lahirnya agama-agama.
> > >
> > >
> > > Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Majlis Ugama Islam
> > Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Armstrong mengatakan sesuatu
> > yang tak lazim: agama lahir dari sikap jeri (recoil) atas kekerasan.
> > Juga Islam, yang kini tak urung dihubungkan dengan bom bunuh diri,
> > konflik berdarah di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir
> > sebagai pembangun perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku
> > Arab yang saling galak.
> > >
> > >
> > > Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih jauh:
> > jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa jeri itu
> > bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama sebab itu tak
> > merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru berada di kancah yang
> > tersisih, menemani mereka yang daif—sebuah posisi yang kian tampak
> > dalam keadaan manusia teraniaya.
> > >
> > >
> > > Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas, agama
> > cenderung melupakan "empati asali"-nya sendiri. Orang-orang Islam
> > merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan dan bela rasa kepada
> > mereka yang diteror, walaupun Hijrah bermula dari nasib sekelompok
> > minoritas yang dikejar-kejar. Orang merayakan Hijrah lebih sebagai
> > kemenangan. Mungkin dengan tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri
> > terlupa: pekan lalu atas nama "Islam" orang-orang mengancam para
> > biarawati Karmel yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah
> > Cikanyere di wilayah Cianjur.
> > >
> > >
> > > Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi
> > tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu
> > batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan
> > bersuara?
> > >
> > >
> > > ~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli - 05 Agustus 2007~
> > >
> > >
> > >
> > > sumber: http://caping.
> <http://caping.wordpress.com/category/fundamentalisme/>
> wordpress.com/category/fundamentalisme/
> > >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di
> Yahoo! Answers
> >
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Y! Messenger

Instant hello

Chat in real-time

with your friends.

Yahoo! Groups

Find Green Groups

Share with others

Help the Planet.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar