Senin, 31 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Bukan, Bukan dan Bukan -- Oleh: Gede Prama

Bukan, Bukan dan Bukan

Oleh : Gede Prama
Seorang pencinta keheningan, tinggal di Jakarta


Dalam hiruk-pikuk manusia di zaman ini, sulit membayangkan ada manusia yang bercita-cita menjadi pertapa di tempat sepi dan sunyi. Lebih-lebih di kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar, orang sudah teramat biasa dengan ritme hidup yang serba sibuk, keras serta jauh dari sepi. Sepi sunyi hanyalah identik dengan hal-hal yang tidak banyak membawa guna.


Tentang sunyi sepi ini, suatu ketika ada tiga orang sahabat yang bersama-sama mendaki bukit. Di suatu ketinggian, tiba-tiba mereka melihat di puncak bukit di kejauhan sana ada seorang manusia sedang duduk. Mulailah ketiga sahabat ini berspekulasi. Yang pertama menyebutkan, pastilah orang itu sedang mencari binatang peliharaannya yang hilang. Yang kedua tidak sepakat, dan menyebutkan bahwa orang itu hanya mencari dan menunggu teman. Yang ketiga dengan santainya menyebutkan, orang itu hanyalah mencari udara segar.


Tidak sabar dengan keinginan membuktikan tebakan dan argumen siapa yang benar, ketiga sahabat ini cepat-cepat melangkah ke puncak bukit. Kendati napas masih megap-megap, suara masih putus-putus, ketiganya berlomba-lomba bertanya pada orang di puncak bukit tadi. "Anda di sini mencari binatang peliharaan yang hilang kan?" tanya yang pertama. Pertanyaan ini dijawab dengan gelengan kepala. Merasa benar, yang kedua juga menerjang dengan pertanyaan berikutnya, "Bukankah Anda hanya menunggu seorang kawan?" Ini pun dijawab dengan gelengan kepala. Yakin semua salah, yang ketiga juga tidak sabar dan bertanya, "Ah, Anda pasti hanya mencari udara segar?" Dan, sekali lagi ini juga direspons dengan gelengan kepala. Tidak puas hanya dengan jawaban gelengan kepala, ketiga sahabat itu serentak bertanya, "Kalau demikian, sedang apa Anda di sini?" Dengan enteng dijawabnya, hanya duduk-duduk.


Dalam bahasa seorang guru, inilah replika kehidupan kekinian. Semakin jauh seseorang dari puncak bukit, semakin banyak perdebatan diperlukan. Ada yang berdebat tentang kebutuhan badani (diwakili binatang peliharaan). Ada yang demikian sukanya memperbincangkan kebutuhan hati (diwakili mencari sahabat). Ada juga yang hanya mengenal kebersatuan dengan alam di jalan-jalan Yoga (diwakili mencari udara segar). Dan ketika sampai di puncak bukit, semua perdebatan tidak menyisakan apa-apa, terkecuali gelengan kepala.


Ini juga yang terjadi dalam kehidupan kita. Ada yang demikian semangatnya di tangga-tangga sekolah. Ada yang bermandikan keringat di jalan-jalan kerja. Ada juga yang teramat lelah dengan jalan-jalan pengabdian. Namun, ketika badan dijemput umur tua, atau tatkala tangga-tangga hidup menjelang berakhir karena telah digapainya puncak kehidupan, tiba-tiba dari dalam sini ada yang menggelengkan kepala. Sebagai tanda kalau semuanya serba bukan. Materi bukan. Keterkenalan bukan. Anak-anak yang berhasil juga bukan. Semuanya serba bukan. Dalam keadaan serba bukan, yang tersisa mirip cerita tadi: hanya duduk-duduk. Satu perkara yang oleh kebanyakan orang disebut sepele. Sebab, diidentikkan dengan buang-buang waktu, tidak produktif, malas dan sejenisnya.


Namun, bukan master namanya kalau bersikap serta berpendapat sama dengan orang kebanyakan. Osho dalam Tao, The Pathless Path, berpendapat lain, "If man is allowed to be here now, he will be so peaceful and restful that he will not bother about any heaven." Tatkala manusia mengizinkan dirinya hidup di hari ini (bebas dari hantu masa lalu dan setan masa depan), yang tersisa hanya kedamaian yang mendalam. Bahkan, surga pun tidak lagi demikian atraktif.


Yang menarik dalam kehidupan para master, ia mirip orang di puncak bukit tadi. Pertama, tidak memerlukan terlalu banyak perdebatan, bahkan lebih banyak memilih hidup dalam hening dan sepi. Apa yang perlu ditanyakan dan diperdebatkan kalau semua sama? Kedua, melompat ke wilayah-wilayah "serba bukan". Ini? Bukan. Itu? Bukan. Ketika semuanya serba bukan, yang tersisa sekali lagi hanya satu: hening. Dan keheningan terakhir gagal diwakili logika dan kata-kata manusia. Mirip menerangkan pengalaman jatuh cinta ke orang yang belum pernah mengalaminya. Ketika diterangkan jantung berdebar, akan ditanya balik: seperti habis lari-lari pagi? Bukan! Tatkala dikemukakan ada perasaan emosi seperti takut kehilangan, ingin memiliki, ingin terus bersama, lagi-lagi ditanya balik: seperti punya mobil baru? Bukan!


Tatkala semua serba bukan, yang tersisa mirip cerita tadi: hanya duduk-duduk. Makanya, meditasi orang-orang Zen dikenal dengan istilah zazen yang makna sederhananya ya duduk-duduk saja. Osho jernih sekali menerangkan hal ini: you are neither active nor inactive. You are centered. Bukan aktif, bukan tidak aktif, hanya terpusat. Dan serupa dengan pusat lingkaran (entah ban mobil atau lingkaran lain), tatkala lingkaran kehidupan berputar keras atau pelan, di pusat tidak terjadi gerakan apa-apa. Hening, sepi, diam, hanya itu.


Tentu, tidak semua orang suka pendekatan seperti ini. Dari luar, kehidupan seperti ini diduga banyak orang sebagai kehidupan yang terlalu pasif. Namun jauh di dalam sana, ia menjadi river-like phenomenon. Mengalir saja seperti sungai, dan semua sungai sampai di samudra. Adakah kehidupan yang lebih indah dari hanya duduk-duduk bisa sampai di surga?




Sumber: http://www.swa.co.id/sekunder/kolom/manajemen/details.php?cid=2&id=124


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Featured Y! Groups

and category pages.

There is something

for everyone.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar