Senin, 10 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Buletin Elektronik SADAR Edisi 85 Tahun III 2007

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.503 / Virus Database: 269.16.17/1179 - Release Date: 09/12/2007 11:06 wib

 

 

Buletin Elektronik

www.Prakarsa-Rakyat.org

SADAR

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 85 Tahun III - 2007
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org


 

BERSAMA SBY, MEREKA BISA MELANGGAR HAM

 

 

 

Oleh Eka Pangulimara H[1]

 

 

 

Dari catatan antar waktu, negeri ini masih kerap mempertunjukkan kisah miris pengabaian terhadap apresiasi pemaknaan filosofi memanusiakan manusia. Sebagaimana kesepakatan universal, dimana hak-hak sipil perlu dijunjung dan mendapat perlindungan. Pasalnya, bukan cuma penghidupan yang layak yang tidak mendapat tempat di negeri ini, tapi penghilangan nyawa manusia secara paksa begitu mudahnya, bagai membalikkan telapak tangan.

 

Kalau dalam dunia bisnis, hanya satu hukum besinya: persaingan. Maka tak jarang siapa yang bermodal besar bakalan menguasai pasaran. Yang kuat memangsa yang lemah. Benarkah situasi seperti ini semakin menggejala? Pemerintah tak memiliki peran signifikan, minimal untuk mengurangi derajat pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang terampas.

 

Sepanjang tahun ini saja kita ambil contoh konkretnya, dari pelanggaran hak asasi manusia yang berskala perorangan sampai massal.

 

Penembakan warga Desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur oleh TNI AL, 30 Mei lalu, penggusuran pemukiman penduduk miskin, peraturan daerah DKI No. 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum di ibukota, birokratisasi maraknya uang siluman, masih banyaknya pengusaha yang anti serikat; pada kasus buruh PT. Honey Lady di Jakarta, PT. ACPI di Karawang. Bahkan telah memaksa kurang lebih 1500–an buruhnya di PT. Honey Lady di PHK massal, ataupun PT. TITAN yang telah menelantarkan 800–an buruhnya, karena ditinggal ngacir pengusahanya.

 

Belum lagi berderet kasus-kasus pelanggaran HAM, yang dialami warga desa Porong, Sidoarjo akibat korban lumpur panas PT. Lapindo Brantas, bahkan sang pendekar HAM sendiri, Cak Munir tewas menggenaskan dalam sebuah pembunuhan terencana. Semua ini dapat saja terjadi sampai kini, bersama SBY, mereka bisa melanggar HAM.

 

Jalan keluarnya

SBY-JK, pemerintahan terpilih yang hampir memasuki usia purna masa jabatan tak kurang dari dua tahun ke depan, makin jelas memosisikan negara ini untuk turut menanggungjawabi sejumlah pelanggaran HAM, jika tak mau disebut melegitimasi. Pemerintahan hasil pemilu 2004 ini, masih menyandarkan power politiknya pada kaum pemodal, para birokrat, dan tentara yang tak bersih “dosa“ dari peristiwa yang menodai hak-hak sipil akan HAM-nya.

 

Ujungnya, kita sepertinya dituntut agar tak jenuh memikirkan upaya dan jalan keluar penyelesaian, dan tindakan konkret pula menyudahinya. Berbagai wacana kritis agaknya tak mendapat respon yang semestinya, meski harus terus digulirkan. Watak dari sebuah kekuasaan yang bukan lahir dari kalangan rakyat yang menderita, merupakan cerminan sejati yang tidak mungkin diharap mampu merombak wajah bopeng aparatur pemerintahannya. Konsekuensi logis yang dapat ditarik menjadi hasil pemikiran sementara ini, rakyat kebanyakan diperlukan pengejawantahan antara beragam tulisan kritis dan aktifitas yang dilihat secara rill.

 

Supaya ingatan kolektif masyarakat semakin menajam, pengungkapan terhadap sejumlah kasus penggaran HAM agar terus dipublikasi lebih masif. Ekspresi dalam bentuk seni dan budaya, hingga tindakan protes secara besar-besaran melalui aksi massa, jangan pernah dikendurkan hanya lewat sebuah catatan-catatan seperti ini.

 

Harapannya, masyarakat di kemudian hari dapat menyadari pentingnya suara mereka ketika berduyun-duyun datang ke bilik-bilik suara, untuk tidak mencoblos calon-calon pemerintahnya yang berpotensi sebagai pelanggar HAM, apalagi terbukti memiliki catatan buram terlibat dalam pelanggaran HAM di masa lalu.

 

Yang penting dicatat selain bukti-bukti banyaknya kasus pelanggaran HAM saat ini, dibutuhkan pula prasyarat yang jelas bagi pemerintahan yang berkuasa suatu kelak, agar kasus-kasus serupa, ataupun kasus baru dapat diminimalisir. Sedikitnya prasyarat tersebut dapat menunjukkan; pertama adanya kontrol sosial yang kuat, dan relasi yang berarti antara pemerintah dan masyarakatnya. Memosisikan masyarakat sebagai kekuatan partisipatif yang dapat memaksa pemerintahan terpilih bersedia mendapat sangsi, mulai dari mencabut gaji pemerintah yang diterima, menerima jatuh tempo penyeleseian suatu kasus, hingga bersedia melepaskan jabatan strukturalnya dari kursi pemerintahan.

 

Kedua, meskipun mekanisme di atas perlu dilakukan. Masih diperlukan aturan main yang tetap melibatkan peran masyarakat dalam berbagai pengerjaan pembangunan negara secara maksimal. Misalkan kaum buruh di kota-kota industri, merekalah pahlawan produksi yang sehari-hari berada dalam proses pengerjaan sebuah produk sampai layak dikonsumsi. Andai saja pemerintahan yang dilahirkan nantinya dapat memahami bahwa pembangunan industri musti berbasis pada peningkatan mutu hidup. Akhirnya dibutuhkan pengelolaan produksi secara kolektif, dan pembagian hasil produksi secara kolektif pula. Pemerintah sudah harus bisa menjamin kalau kebutuhan konsumsi masyarakatnya dapat terjangkau ataupun serba diberi gratisan. Begitu juga dengan masyarakat di pedesaan, yang intinya ialah kaum tani. Selain pemenuhan lahan pertanian yang mencukupi, masyarakat tani di desa-desa diberikan proporsi dalam pengelolaan mulai dari peningkatan teknologi pertanian, pengadaan bibit, pupuk, hingga distribusi hasil pertanian dapat terkelola atas dasar peranan kaum tani itu sendiri. Tidak seperti sekarang ini, dimonopoli oleh perorangan bermantel pejabat, yang pada gilirannya bermuara pada mekanisme pasar.

 

Terakhir, kita juga dituntut dalam pergaulan internasional untuk berupaya keras mencegah terjadinya pelanggaran HAM di dunia ini. Dalam pergaulan tersebutlah, kita harus membuktikan eksistensi sebagai mayarakat yang bermartabat. Berani mengkritik keras siapapun yang masih menginjak-injak Hak Asasi bangsa lain untuk terbebas dari cengkraman negara pemodal, dan pengekspor mortir/senjata berhulu ledak serta pasukannnya. Yang sudah berkali-kali secara kasat mata terbukti mencampakkan slogan Hak Asasi Manusia ke keranjang sampah. Maka dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan, untuk menegakkan dan melaksanakan prinsip menjunjung HAM sebagai landasan integritas sebagai bangsa.

 

 

 


[1] Penulis adalah Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

 

 

 

 

 

webmaster@prakarsa-rakyat.org  

 


 


 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Dog Zone

on Yahoo! Groups

Join a Group

all about dogs.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar