Kamis, 13 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Buletin Elektronik SADAR Edisi 86 Tahun III 2007

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.503 / Virus Database: 269.17.1/1182 - Release Date: 12/12/2007 11:29 wib

 

Buletin Elektronik

www.Prakarsa-Rakyat.org

SADAR

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 86 Tahun III - 2007
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org


 

ALIRAN SESAT, VERSI SIAPA?

 

Oleh Engkos[1]

 

 

Maraknya soal aliran sesat dan penistaan agama akhir-akhir ini, bukanlah hal yang baru.   Kejadian ini sebenarnya hanya mengulang kejadian sejak agama itu sendiri lahir.   Bahkan pada akhir abad ke-20, salah satu tokoh agama menyatakan abad ke-21 akan semakin banyak aliran kepercayaan, agama-agama dan keyakinan baru lahir.

 

Fenomena aliran kepercayaan dan penafsiran agama secara berbeda dari “agama” yang ada sekarang merupakan hal yang wajar.  Kondisi ini lahir karena berbagai hal yang melatarbelakanginya.  Tentu faktor internal agama itu sendiri dan faktor kondisi ekonomi politik serta sosial dalam masyarakat, memicu lahirnya aliran-aliran kepercayaan, keyakinan dan menyebut agama baru tersebut.

 

Paling tidak ada dua hal yang menjadi pemicu dari dalam agama itu sendiri, yakni pertama, ruang demokrasi dalam agama tersebut hampir tidak ada, kalau tidak mau disebut otoriter bagi pemeluknya. Penafsiran ajaran agama hanya boleh dilakukan pemimpin-pemimpinnya, sementara umat hanyalah pengikut yang tidak boleh protes atau menyampaikan kritik-kritik.  Kedua, ajaran agama masih mendasarkan pada situasi dan kondisi abad pertengahan, sementara jaman terus bergerak maju dan modern.  Penafsiran dan penerapan agama selama ini tidak secara demokratis dan ilmiah.  Hal ini ada sejak zaman agama lahir.   Pada masa itu tidak terlihat ajaran yang baru.   Munculnya aliran-aliran ini hanyalah hasil kualitas baru dari kontradiksi internal agama.

 

Dari faktor ekonomi politik, masyarakat dipaksa mencari solusi yang berasal dari luar dirinya. Kemiskinan karena sulitnya mendapat pekerjaan dan tingkat pemenuhan kehidupan yang tinggi serta minimnya akses informasi mengakibatkan orang berpikiran pendek.   Sehingga yang dilakukan adalah mencari jalan termudah keluar dari situasi yang dihadapi. Pilihan yang disuguhkan oleh ajaran agama dan kepercayaan, yakni pasrah dan mencari surga di kehidupan kemudian menjadi “ilusi.”  Hal ini bisa diterima dengan mudah oleh mayoritas masyarakat karena keadaan yang memaksa tersebut.

 

Kondisi masyarakat seperti inilah yang akhirnya menjadi motif orang-orang mengikuti aliran-aliran baru, karena dengan mudah mereka menebus dosa dan mendapat surga kelak di alam sana.  Kalau kita kaji lebih jauh, cara penebusan dosa seperti ini (mengganti dengan uang) hanya untuk kepentingan ekonomi para pendiri dan organisasi aliran-aliran baru tersebut. Dan yang menjadi korban adalah rakyat yang dihisap karena tidak ada solusi dalam ajaran maupun prakteknya.

 

Penyebutan sesat juga harus dicermati untuk apa dan siapa yang mengungkapkannya.   Ini tak lebih dari sebuah pemberian stigma kepada pembangkang dan pengkritisi. Seharusnya mereka disebut salah dan menyimpang, bukan sesat dan penistaan agama. Bila ditilik lebih jauh, praktek-praktek pemuka agama saat inilah yang menistakan dan menodai agama itu sendiri. Bisa kita lihat kesehariannya, pendakwah agama bila tidak diberi honor yang diminta, mereka tidak mau datang. Bukankah ini penistaan dan penodaan agama, sedangkan para nabi dan rosul saat berdakwah tidak pernah meminta honor bahkan harus berkorban.  Dari sini melahirkan kesenjangan begitu hebat, umatnya terdekap dalam kesengsaraan dan kemiskinan tetapi pemuka agama bergelimang harta.

 

Perilaku lain, pemuka agama lebih asyik berselingkuh dengan kekuasaan politik negara dan memberikan legitimasi kebijakan yang merugikan umat. Ketika rakyat berjuang melawan kebijakan tersebut, para pemuka agama bilang, “Sabar dan hargai pemimpin kalian!”  Jadi, siapa yang tersesat, menistakan dan menodai agama?

 

Agama dalam Kepentingan Negara Kapitalis

“Negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara dalam memeluk agama dan menjalankan ibadah”  (Pasal 29 ayat (2) UUD 1945)

 

Negeri ini memang penuh keanehan, soal keyakinan pun diurusi. Walau ini tidak berdiri sendiri dalam kebijakan ekonomi politik negara. Perlindungan (tepatnya mengatasnamakan) agama-agama besar yang ada saat ini, hanyalah untuk menguatkan posisi penguasa dalam membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.

 

Dari sisi aturannya pun sudah rancu dan saling bertabrakan satu sama lainnya, lihat dalam UUD 1945 pasal 29 dengan UU No.1/1965. Pemberian stigma sesat dan pemberlakuan sanksi pidana kepada para pendiri aliran baru menguatkan bahwa negara tidak mau terganggu.

 

Pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi, "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu."

 

Dalam konteks memahami sebuah ajaran agama, seharusnya negara tidak ikut campur dalam soal keyakinan, dalam hal ini adalah soal Ketuhanan. Karena pengetahuan, pemahaman dan pengalaman seseorang soal gaib dan Ketuhanan sangat berbeda-beda dan sulit dibuktikan secara praktek.

 

Nah, karena semua agama memiliki tujuan menghilangkan penindasan dan mewujudkan keadilan dengan cara: hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan TUHAN.  Maka negara mengambil peran membuat keadilan dan mencegah penindasan melalui hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan sesama manusia. Melalui kekuasaan politiknya, dua hal tersebut yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Namun pada prakteknya terbalik, kedua hal tersebut diabaikan dan malah mengurusi soal Ketuhanan yang merupakan keyakinan masing-masing orang dan bersifat pribadi.

 

 

Mari Menyesatkan Diri

Apa yang bisa kita lakukan dalam situasi seperti ini? Paling tidak, kita tidak ikut menghujat pada aliran-aliran baru tersebut.  Kemudian memberikan penyadaran dengan melakukan pembongkaran pada akar persoalan sesungguhnya kepada massa rakyat. Sehingga rakyat tidak mencari “solusi cepat” di luar dirinya, namun harus bergerak dan merubah nasibnya secara bersama.

 

Selain itu, kita harus yakin untuk bisa mendapatkan solusi yang dibahas secara bersama dengan mereka. Persoalan aliran-aliran baru, harus kita berikan pemahaman tentang tinjauan ekonomi dan politik sehingga tidak terjebak pada penghisapan baru.

 

Persoalan ini harus kita letakkan sebagai sebuah pekerjaan yang harus dilakukan bersama-sama dalam sebuah organisasi massa.  Pekerjaan tersebut pasti memakan waktu, tenaga dan pikiran kita. Maka, mari menyesatkan diri dalam kerja-kerja yang tidak menghasilkan nilai rupiah, tidak memberikan harga besar pada diri kita pribadi. Tapi kita bekerja bersama di tengah-tengah massa rakyat dalam memperjuangkan nasib dan melawan kesewenang-wenangan.


 


[1]Penulis adalah Pengurus Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jawa Barat, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

 

 

 

webmaster@prakarsa-rakyat.org  

 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Yahoo! Groups

Be a Better Planet

Share with others

Help the Planet.

Y! Messenger

Files to share?

Send up to 1GB of

files in an IM.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar