Kamis, 27 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Fwd: keluarga yang baik adalah keluarga yang bahagia? - sebuah kado natal

Keluarga Yang Baik adalah Keluarga Yang Bahagia?

Oleh Ratih Ibrahim, psikolog

 

Keluarga yang bahagia?
Siapakah yang tidak mengidamkannya?
Bahkan sejak sepasang sejoli jatuh cinta, lalu bersama bersepakat untuk merajut masa depan sebagai pasangan, mereka memimpikan punya sebuah keluarga yang baik, yang bahagia.
Dan tentunya ingin hal tersebut akan abadi untuk selama-lamanya.  
Lalu, sebagai umat Katolik kita merujukkannya kepada keluarga kudus dari Nazareth :
Yosef – sang bapak, Maria – sang ibu, dan Yesus – anak mereka.
Merekalah yang dijadikan panutan, sebagai tolok ukur semua upaya untuk membangun sebuah keluarga yang baik.
Sebagai orang yang dibaptis sejak kecil, saya juga meyakini keluarga kudus tersebut sebagai keluarga yang baik.
Tetapi jika ditanya lebih lanjutm apakah mereka - sang keluarga kudus ini - bahagia atau tidak,
terus terang saja,  saya tidak tahu.
Yang saya tahu adalah, setiap keluarga memiliki dinamika romantikanya masing-masing.
Untuk itu saya lalu mencoba membayangkan bagaimana ya, seandainya mereka bertiga hidup di zaman kita saat ini.  
Hmmmm…..    Apakah akan tetap menjadi lebih mudah untuk mengurus Yesus, karena dia adalah seorang anak tunggal?
Atau bahkan sebaliknya? Bukankah anak tunggal memiliki karakteristiknya sendiri yang juga tidak mudah?
Atau jika keluarga itu ternyata menjelma menjadi keluarga tetangga saya, seperti apa ya mereka?
Atau jika justru terjelma sebagai keluarga saya sendiri.
Apakah mereka akan bertengkar juga seperti kita?
Atau mereka akan mesra?
Atau tampil dengan tersenyum selalu, meski di balik senyum itu ada banyak sekali masalah yang sedang berlangsung.
Yang jelas, ternyata ada banyak sekali kemungkinan yang bisa terjadi.
Buat saya, semuanya merupakan sebuah misteri besar.
Yang saya yakin apapun jadinya, semuanya bisa saja sesuai dengan segala macam potret keluarga masa kini yang kita jumpai dimanapun.

 

Yang saya tahu, sebuah keluarga terbentuk dari sebuah perkawinan.
Nah, sebuah perkawinan yang baik biasanya akan membuahkan sebuah keluarga yang baik.
Tetapi apakah sebuah keluarga yang baik juga otomatis akan menjadi sebuah keluarga yang bahagia?  
Ternyata tidak juga!!!!
Selama perjalanan karir profesi saya sebagai psikolog,   saya berjumpa dengan banyak orang.
Latar belakang mereka juga sangat beragam.
Ada yang datang sendirian, ada yang bersama pasangannya, ada yang membawa seluruh keluarganya.
Kebanyakan dari mereka merasa punya masalah.
Dan dari segala masalah yang ada, ternyata semuanya tidak bahagia.
Terutama tentang perkawinan mereka...
Kok?

 

Lalu, bagaimana cara mengidentifikasikan adanya ketidak bahagiaan tersebut?
Ternyata mudah.
Caranya?
Perhatikan saja bagaimana cara yang bersangkutan menjawab pertanyaan kita.
Juga dari isi jawabannya.
Ketika bertemu seseorang bisanya kita saling menyapa dengan saling melontarkan pertanyaan bukan?
Pertanyaan yang paling umum adalah : "Apa kabar?".
Dan biasanya secara otomatis kita menjawab : "Baik", "Baik-baik saja", "Oke".
Pertanyaannya, apakah betul dia memang dalam keadaan baik?
Belum tentu.
Ini adalah sebuah jawaban basa-basi yang standard!
Nah, perhatikan juga cara ia menjawab.
Apakah antusias? Bersemangat? Atau datar-datar saja? Atau malahan lesu?
Semuanya itu mencerminkan keadaan dia saat itu, bagaimana ia menghayati kehidupannya.
Perhatikan juga isi jawabannya.
Jawaban standard seperti, "biasa-biasa saja", "lumayan", "okelah", "tidak baik tidak buruk",
menunjukkan kualitas hidup yang standard juga.
Jika keduanya digabungkan, kita bisa memperoleh gambaran tentang keadaan yang bersangkutan secara lebih pasti.
Begitupun ketika ingin tahu tentang bagaimana kualitas hidup perkawinan seseorang.
 
Sekarang mungkin Anda jadi berpikir, apa sih yang salah dengan jawaban-jawaban tersebut?
Bukankah itu jawaban yang biasa diberikan oleh semua orang?
Nah, justru di situ letak permasalahnya yang utama.
Sebagian besar dari kita terlena dengan pendapat bahwa kehidupan yang "baik-baik saja" itu   sudah cukup.
Bahwa relasi dengan pasangan yang   "lumayan" sudah cukup.
Faktanya, tidak. Tidak cukup. Mengapa?
Jika benar-benar sudah cukup, mengapa ada begitu banyak orang yang datang dan ternyata tidak bahagia di sini?  
Dan jika benar-benar bahagia, mengapa tidak menjawab bahwa dengan, "Luar biasa", "Menyenangkan", "Asik", "F abulous", "Keren", " Bahagia"? Mengapa tidak dengan antusias, bersemangat dan berbinar ketika menjawab?

 

Lalu bagaimana dengan anak-anak?
Dari pengalaman saya bersama mereka, saya menemukan bahwa semakin muda usia anak-anak,
maka peran orangtua menjadi semakin penting! Mengapa?
Apakah karena anak-anak ada dari orangtuanya?
YA! Selain itu, bagaimanapun tokoh pertama sekaligus tokoh utama bagi anak untuk belajar tentang hidup
dan tentang kehidupan itu sendiri adalah orangtua.
Sejak kapan? Sejak anak tumbuh di dalam rahim ibunya!
Nah, bicara tentang peran orangtua, jelas melibatkan ayah dan ibu.
Karena anak tidak menjadi begitu saja.
Dengan demikian peran sebagai orangtua adalah peran ayah dan ibu, berdua.

 

Dari tadi saya mengatakan ayah dan ibu bukan?
Adanya ayah dan ibu itu identik dengan adanya suami dan istri. 
Relasi antara ayah dan ibu adalah relasi antara suami dan istri.
Dalam hal ini berarti relasi antara seorang lelaki dan seorang perempuan dalam sebuah hubungan perkawinan.
Ketika seseorang menikah, ia akan menjadi seorang suami atau seorang istri.
Dan pada suatu ketika, berdua, mereka akan menjadi seorang ayah dan seorang ibu.
Bersama dengan anak-anak,   mereka semua bersatu dalam sebuah keluarga.

 

Jadi, kunci sebuah keluarga yang baik dan bahagia terletak pada dua pelaku utamanya bukan?
Suami dan istri.
Jika sebagai suami dan istri mereka bahagia, kebahagiaan itu akan terpancar ke dalam keluarganya.
Dengan demikian seluruh keluarganya juga akan tumbuh sebagai keluarga yang bahagia.
Nah, suami dan istri hanya mungkin menjadi bahagia jika mereka memiliki sebuah relasi yang indah. Indah.  
Bukan sekedar baik-baik saja.
Sebuah perkawinan yang indah adalah perkawinan yang hangat, mesra dan penuh gairah.  

 

Wah, apa mungkin sih? Mana ada perkawinan yang demikian?
Bukankah cinta akan memudar dengan berjalannya waktu?
Bukankah segala getar gairah itu akan menghilang?
Mana mungkin kita bisa tetap bergairah?
Apakah saya becanda?
Jelas Tidak dong…. Mengapa tidak?
Ingat kan? Ketika anda berdua mengucapkan janji perkawinan di depan altar, anda bersumpah untuk hidup bersama pasangan selama-lamanya bukan?
Alangkah ruginya, jika   kehidupan tersebut kita jalani dengan sekedar baik-baik saja, tetapi hambar, dan biasa-biasa saja kan?
Bukankah akan indah sekali jika bersama pasangan kita menjalani kehidupan perkawinan yang betul-betul
mengasyikkan dan sehat untuk berdua???

 

Dalam mengupayakannya, mengupayakan semuanya itu,
saya mengibaratkan perkawinan adalah sebuah bangunan.
Bangunan yang kokoh memberikan rasa aman.
Rasa aman itu membuat orang menjadi lebih mampu untuk merasa nyaman.
Dan rasa nyaman itu memungkinkan ia untuk menjadi lebih bahagia.
 
Untuk membangun sebuah bangunan yang kokoh, aman, dan mampu mengakomodasi kebutuhan anggota keluarganya,
ada tiga hal utama yang menjadi pilar penopang perkawinan, yaitu   love, hope, dan  trust.  
Ketiga pilar ini saling menopang satu sama lain.
Semakin kokoh ketiga pilar ini, semakin kokoh perkawinan tersebut.
Namun, bila salah satu pilar roboh, seluruh bangunan bernama perkawinan itu bisa   rontok berantakan.
Jika sudah rontok, dan bangunannya oleng, bahkan berantakan, apakah   mungkin untuk membangunnya kembali?
Bisa saja.
Tetapi jelas sangat tidak mudah.
Bahkan ada beberapa kasus yang nyaris mustahil.
Yang jelas bangunan bernama perkawinan itu tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.

 

Jadi kita memang harus berhati-hati menjaga ketiga pilar itu bukan?
Tetapi pilar manakah yang paling rentan terhadap pengroposan?
Pilar bernama TRUST.
Mengapa?
Karena begitu trust ini roboh, pilar kedua yang segera ikut hancur adalah LOVE.
Padahal love inilah yang membuat sebuah pernikahan menjadi indah.
Ia pula yang membuat   pilar HOPE menjadi kuat.
Lalu bagaimana cara menjaganya?
Bagaimana cara merawatnya?

 

Untuk pilar TRUST, mau tidak mau hanya dengan memelihara kesetiaan kita kepada pasangan.  
Untuk itu, fokuslah kepada pasangan, kepada keluarga.
Jangan berselingkuh!!
Ingat, siapapun yang tidak berkepentingan DILARANG MASUK!
Karenanya lebih baik tidak jahil membuka peluang untuk masuknya pihak ketiga,
siapapun ia...
 
Untuk pilar LOVE, don't take for granted
bahwa cinta sudah mampu bertahan dan tumbuh dengan sendirinya tanpa harus diekspresikan.
Cinta tidak cukup hanya disimpan dalam hati.
Percayalah, cinta itu harus diungkapkan.
Ungkapkan dengan perkataan dan perilaku.
Melalui ciuman, pelukan, serta berbagai ungkapan sayang lainnya.
 
 
Tentu saja, cara mengungkapkannya juga harus benar..
Dan, jangan lupa, cinta harus selalu diberi makan.
Supaya cinta bisa tumbuh baik, makanannya juga harus makanan yang sehat.
Apakah makanan cinta? Makanan cinta adalah KEMESRAAN…..
Karenanya, jangan pernah ragu untuk mengungkapkan kemesraan Anda kepada pasangan.
Juga untuk menerima   kemesraan dari pasangan.
Bercumbulah lebih sering dengan pasangan. .
Jika cukup makan,   love akan akan membuahkan banyak sekali keajaiban dalam hidup Anda dan keluarga Anda.
Termasuk untuk mengokohkan TRUST serta   menumbuhkan HOPE.
 
Selain cinta, Hope akan menjadi kokoh jika kita sungguh memelihara kehidupan spiritual  yang benar sebagai umat beriman. …..

 

Yang terakhir, saya mendoakan kebahagiaan dan keceriaan hidup bagi kita semua, seluruh keluarga dan semua yang kita cintai.
Selamat Hari Natal dan Tahun Baru. 
 


 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

Fitness Challenge

on Yahoo! Groups

Get in shape w/the

Special K Challenge.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar