Selasa, 11 Desember 2007

[psikologi_transformatif] KISAH YANG MENJADI SABDA ALAM

 

Kisah yang menjadi Sabda Alam
Oleh:
 
Audifax
Penulis buku "Mite Harry Potter" (2005) dan "Semiotika Tuhan" (2007)


Sabda alam, menghanyutkan suasanaku
Kadangkala kebosanan mencekam jiwa
Sabda alam, berbuah kodrat tak tertahan
Rasa cinta, rasa nista berpadu satu


'Rasa' yang berpadu satu dalam lantunan kehidupan. Itulah gambaran perjalanan karir musik Chrisye. Perjalanan hidup seorang Chrisye, adalah sabda dari alam, karena dari perjalanan hidup beliau, ada begitu banyak hal yang menginspirasi dan menguatkan. Chrisye lebih dari seorang seniman yang melantunkan lagu, karena 'Diri' Chrisye sendiripun adalah sebuah lagu yang keindahannya melampaui ruang dan waktu.

'Chrisye-Sebuah Memoar Musikal' demikian judul dari buku yang mengisahkan perjalanan bermusik Chrisye. Buku ini ditulis oleh Alberthiene Endah dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada Februari 2007. Selain menulis memoar musikal Chrisye ini, Alberthiene juga menulis biografi Kris Dayanti, Seribu Satu KD, Panggung Hidup Raam Punjabi, Dwi Ria Latifa: Berpolitik dengan Nurani dan Venna Melinda's Guide to Good Living.

Chrisye dan Rasa
Di awal Mei 2006, ketika Alberthiene mulai bertemu Chrisye untuk pengerjaan buku ini, hal pertama yang disampaikan Chrisye adalah, ia ingin membuat memoar musikal, bukan biografi. Hasilnya, membaca buku ini membuat kita masuk dalam alam'rasa'. Narasi pada lembar demi lembar, seolah membawa pembaca mendengarkan lagu-lagu indah yang biasa dibawakan Chrisye. Namun kali ini, lagu itu adalah diri Chrisye sendiri.

Tentang 'rasa', Chrisye mengatakan "Saya murni hanya mengerahkan 'rasa' untuk berkarya". 'Rasa', meski mendekam dalam diri kita, acapkali justru seperti orang asing yang berada nun jauh di sana. Sulit datang. Sulit muncul, terus bersembunyi. Hingga Chrisye melatih diri dengan pola yang bisa membangkitkan rasa. Tampaknya, kemampuan Chrisye membangkitkan 'rasa' tak hanya melalui lagu-lagunya, tapi juga melalui perjalanan hidupnya seperti tertulis dalam buku ini.

Chrisye mengajak pembaca kisahnya untuk peka terhadap dirinya sendiri, untuk peka terhadap 'rasa'. Kepekaan ini bukan hal yang mudah, terutama jika berkaitan dengan hal yang tidak selaras dengan konstruksi sosial di masyarakat. Seperti dituturkan Chrisye ketika ia memutuskan menjadi musisi: "Memercayai sesuatu yang dianggap 'tak meyakinkan' bagi kebanyakan orang, rasanya seperti bercermin di air keruh. Saya tidak melihat bayangan yang jernih, bagusnya sulit terlihat, buruknya pun luput dari pandangan".

Kendati demikian, Chrisye tidak mengajarkan untuk menyerah. Seperti dituturkannya: "Saya ingin mempertahankan apa yang sudah saya perjuangkan sejak kecil. Tidak mudah menapaki jalan walau keyakinan kita begitu solid. Ada begitu banyak senjata yang perlu dimiliki ketika kita punya niat bertarung dalam hidup." Begitulah sedikit dari apa yang dipesankan Chrisye kepada pembaca kisahnya. Masih ada banyak hal yang bisa menginspirasi diri pembaca ketika menyelami perjalanan bermusik Chrisye seperti tertulis di buku ini.

Dialektika Kita dan Chrisye
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Pencerahan Jerman, mengemukakan filsafat dialektikanya, yang mampu menjelaskan banyak hal dalam kehidupan. Dalam dialektika hegelian, dikatakan bahwa setiap kemenampakan 'sesuatu', selalu membutuhkan 'sesuatu-yang-lain' (Liyan) untuk menegaskan dirinya. Setiap 'Diri' selalu membutuhkan sesuatu di luar diri untuk menegaskan 'Diri' itu dalam realita. Sesuatu di luar 'Diri' ini, bisa apa saja, termasuk sesuatu yang sifatnya 'spirit', seperti kisah-kisah. Inilah yang menjelaskan eksistensi kisah Chrisye di antara kita.

'Tubuh' Chrisye memang telah meninggal, namun lantunan kisahnya tetap mengalun dan mampu menginspirasi kita. Dalam dialektika hegelian, kisah Chrisye adalah sebuah 'Liyan' yang hadir di hadapan keterbatasan diri kita sebagai pembaca. Dengan kehadiran liyan ini, kesadaran diri pembaca berkembang sebab inilah titik dimana sang kesadaran mengenali dirinya sendiri bukan hanya dalam dirinya sendiri, melainkan sekaligus dalam kesadaran diri yang-lain (Liyan). Saat membaca Chrisye, diri pembaca seolah berada dalam Liyan, yang dalam hal ini adalah Chrisye. Seolah pembaca diajak masuk untuk 'merasakan' berbagai pengalaman dari Chrisye.

Dalam memoar musikalnya, Chrisye mengajak pembaca 'merasakan' berbagai momen magis yang memberi daya hidup, seperti: saat pertama kali diberi kesempatan bergabung sebagai pemain bas di Gypsy, mendapat kesempatan manggung di New York, melantunkan 'Lilin-lilin Kecil', 'Konser Sendiri' di tahun 1994, Konser di Indosiar pada Mei 2006, hingga momen mengharukan ketika Chrisye tak mampu melantunkan lirik 'Ketika Tangan dan Kaki Berkata'.

Semua momen itu adalah 'Saat' di mana realitas kesadaran menjadi sesuatu yang menyadari dirinya sendiri. Dalam hal ini, Hegel menjelaskan bagaimana terjadinya pengenalan diri itu. Menurut Hegel, pengenalan diri terjadi dalam dan melalui kesadaran manusia. Tetapi, kesadaran tanpa sesuatu yang lain dari dirinya, tak mungkin muncul. Ketika membaca memoar musikal Chrisye, kesadaran pembaca bertemu dengan yang lain dari dirinya, yaitu kisah hidup Chrisye. Sebuah Kisah yang barangkali bisa kita sebut sebagai idea atau arche, karena adanya mendahului atau melampaui 'Ada' itu sendiri.

Inilah apa yang disebut Hegel sebagai fenomenologi roh ('Roh' dalam hegelian sekaligus juga bermakna semangat dan pikiran). Kesadaran tak lain adalah 'roh' yang hadir menjelaskan realitas kesadaran melalui 'rasa' akan adanya Sesuatu yang berada di luar kesadaran itu. Momen di mana roh itu menampak, salah satunya ketika Chrisye berkata pada Alberthiene: "Apa yang kamu lihat sekarang Alberthiene? Di hadapan kamu adalah orang yang disebut-sebut khalayak sebagai seorang legenda. Tapi lihat, betapa tidak berdayanya saya saat ini". Chrisye terisak. "Pada akhirnya manusia bukanlah apa-apa di hadapan Tuhan". Dalam narasi itu, Chrisye 'mengajak' kita untuk melihat 'Diri' yang menampak sebagaimana 'Ada'nya, bukan Diri yang diatribusi oleh berbagai macam predikat.

Narasi 'Yang Menampak di Sana'
Alberthiene cukup mampu membuat suatu narasi fenomenologis, sehingga roh Chrisye benar-benar hidup di buku itu. Hidup dan menampak di hadapan setiap pembacanya. Pada larik-larik narasi itu, kehidupan Chrisye sebagai 'yang-ada-di-sana' (Dasein) terasa begitu kuat. Di sinilah kita bisa merenungkan. Bagi sosok seperti Chrisye, 'tubuh' sudah tak diperlukan lagi untuk membawa roh-nya. Kisah hidupnyalah yang membuat roh itu tak pernah mati. Kekuatan kisah hidup Chrisye sudah melampaui ruang dan waktu. Ibarat karya-karya seni klasik yang keindahannya tetap terus bisa dinikmati dari jaman ke jaman, seperti itu juga kisah hidup Chrisye. Kisah hidup Chrisye adalah sebuah karya seni dengan keindahan tersendiri.

Berbicara mengenai karya, ada sebuah kalimat menarik dari Chrisye: "Tak ada yang bisa menghentikan karya, tak juga waktu. Yang bisa menghentikan adalah semangat yang mati". Nah, Chrisye telah membuktikan kalimat yang pernah diucapkannya tersebut. Bahwa setelah kematiannya, semangat (spirit, roh, pemikiran) Chrisye tak mati. Semangat itu terus hidup melampaui waktu. Kisah hidup Chrisye adalah sebuah semangat yang selalu hidup dan mampu menginspirasi mereka yang membacanya. Kisah itu telah menjadi sabda alam.Sabda yang membangkitkan sejuta rasa.

Serasa pagi tersenyum mesra
Tertiup bayu membangkit sukma
Adakah esok kau senyum jua
Memberi hangatnya sejuta rasa


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Y! Messenger

Instant hello

Chat in real-time

with your friends.

Yahoo! Groups

Dog Zone

Connect w/others

who love dogs.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar