Sabtu, 01 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Makassar di Persimpangan

Terdapat sebuah milis lokal, dimana Warkop Institute beserta beberapa rekan anggota milis lainnya sedang secara intens menyoroti sebuah proyek Pemerintah lokal di Makassar. Warkop Institute selama beberapa minggu, terlibat intenst memberi beberapa perspektif, diantaranya perspektif tentang ´INVESTASI´. Juga perspektif dengan berdasarkan pendekatan HUKUM AGRARIA. Dengan partisipasi di lapangan beberapa anggota milis untuk -salah satunya- mendrible topik tersebut ke arah Consumer Protection and Education.

Sebelum-sebelumnya, isi berita beberapa media mainstream hanya memberitakan proyek tersebut berdasarkan perspektif desain Arsitektural.  Sementara rekan-rekan Warkop Institute (Charly, Isdar, dll.) meski melalui milis, tetap intens dengan menyoroti masalah itu pada aspek hukum. Salah satunya, (Isdar) mengambil inisiatif dengan mewawancarai salah satu pakar hukum agraria, berdasarkan bahan yang diberikan dan disebar oleh Warkop Institute ke beberapa sohib lokal.

Dan, perkembangan terakhir, bersumber dari media cetak lokal, bahwa Kep. Bidang Hukum Pemerintah Kota telah memberikan statement publik yang bersebrangan dengan statement publik yang dikeluarkan oleh Kepala BPN.

Terlepas dari masalah di atas, ½Makassar di Persimpangan½ ini, adalah thread yang merupakan dialog Warkop Institute di milis lokal termaksud di atas, dalam rangka meneropong (membedah?) sebuah Catatan Pinggir dari Goenawan Mohammad.

Warkop Institute, wrote:

Sekarang, kalau kita lihat tulisan Gunawan Muhammad, ada unsur-unsur seperti Kopi, Energi, Arsitek... Dan mengapa -sepertinya diperjelas dengan- kata kata ´merasa bodoh´?... With all respect, biar saya jawab:

Kota Jakarta adalah simbol kedogolan dan kegagalan dari peran Seniman, Budayawan, Arsitek (khususnya Planologi) dan para Filsuf... Kalimat ini bukannya saya bicara ´dibelakang´ (maksudnya di milis kita ji disini) tapi terus amminro-minro diberbagai milis lainnya. Dan, Gunawan Muhammad hanyalah salah satu tokoh dari sedikit tokoh yang berani ´mentertawakan diri´ (mengaku merasa sebagai orang bodoh) Hal yang perlu kami sampaikan disini adalah bahwa dalam DAS KOPIkenTAL ada tulisan berjudul: Tata Cara Mentertawakan Diri.  ( http://warkop-institute.blogspot.com/2007/03/tatacara-mentertawakan-diri-2.html ) ... Sebuah ´virus of mind´ yg disebarkan oleh Kopitalisme. (Makanya tidak salah pula jika -with all respect- Gunawan Muhammad mampu melakukannya sambil minum kopi..Hahahahaha.... :-)

Jika ditinjau dari kacamata Warung Kopi Institute (sadap! dg. nuntung mode on) maka penguraiannya justru -sekurangnya- dari ketiga hal di atas: Kopi, Energi (kukana memangja Dg. Nuntung, to? Abbicara energy mi tawwa kamma kamma anne:-) dan Arsitek. Sebagai ingredient dasar dari apa yg dalam ´Kopitalisme´ disebut sebagai ´DemoCreative´ (mingka teamaki rong abbicara anne, ka tenaja bua-buana punna sangnging teoriji to?)

Maka, ikhwanul cafein yg saya hormati, bajikkangngangi mari kita abbicara... Kopi!

Kopi, bisa ditarik pemaknaannya kedalam ranah: spiritual scientific based. Jika -umpama kata- Anda mendudukkan 5 orang ilmuan kelas dunia (neuroscience, fisika quantum, 2 org professor filsafat, dan pakar biologi) membahas tentang ´apa itu manusia´ maka pertanyaannya akan mengarah kepada: what are we feels like doing... Dimana starting pointnya adalah Cortex. Akan tetapi -secara karikatural- Kopitalisme telah lama menjawabnya, bahwa: One of the most universal -morning- ritual is: To drink coffee. Anda mau mengkajinya secara subjektif maupun objektif tetap merupakan sebuah ´realitas´. (Objectively: Kopi adalah komoditi ke 2 terbesar di dunia setelah energy... kandakkandalakka cappo :-)... Jadi dari ranah per-Kopi-an okkot sedikit masuk ke ranah Energi...

Jadi rumus dasarna warkop institute, adalah: Kopi <---------> Energi ........... A

Di sisi lainnya, Kopi (dalam hal ini cafe dan warkop) adalah cell dan terminal, jika ditarik pemaknaannya keranah social & community space. Ini berlaku ke kota manapun Anda melancong  di bumi ini. (kandakkandala massolongka lagi, cappo :-) Disini okkotmi Kopia ke aspek ruang-ruang social-community space...

Nitamba-tambai sikeddek sambalu, rumus dasarna: Cafe & Warkop <---> Social-Community Space....... B

Selain Kopi, maka Energi adalah juga darah dari aktifitas dan produktifitas. Tak ada satupun produk (rumah tangga, perkantoran, entertainmen dan mall-mall) yang bisa lepas dari keterlibatan energy ini. Oleh karenanya masalah energy ini bukanlah tok bahasan para teknokrat saja, akan tetapi menjadi issue hingga ke ruang-runag tidur kita masing-masing, misalnya: Berapa wattkah anda menggunakan balon lampu di setiap kamar Anda? Standard minimal bagaimana yang mendekati kefahaman tentang environmentally friendly?... Jadi bahasan Kopi sudah okkot sedikit masuk ke ruang-ruang kamar tidur :-) ... Kopi dan energi okkotki ke kamar tidur (hahaha...)

Nitambai poeng, Kopi & Energi <--------------> Ruang-Ruang dan Kamar tidur (hahaha).................... C

Dan lalu, Kopi & Energi <---------------------> Aktifitas dan Produktifitas (cecceh!:-)...................................D

Aktifitas dan Produktifitas inilah yang juga membutuhkan ruang-ruang assollek & bersolek, dan jika menggunakan paradigma Warung Kopi Institute dimana segala sesuatu akan selalu ditarik ke CITY SCALE. Jadi Warung Kopi Institute tidak tunduk terhadap hirarki dan hegemoni intelektual... Tak peduli berapa institusi intelektual (secular dan non secular) berpusat di suatu kota, jika kota tersebut ternyata dalam scala waktu tertentu hanya melahirkan lebih dari 50% kemiskinan, maka apapun jenis institusi intelektual di kota tersebut -dalam persepektif Kopitalistik- telah: GAGAL!

Eit, eit...tunggu dulu, Arsiteka kemaemi kodong?...

Dunia Arsitektur seyogiyanya difahami tidak hanya dari jenis pondasi sampai pada jenis genteng apa yang digunakan. Dan jika di milis kita ini ada Arsitek, maka siapapun Anda pasti tahu bahwa pijakan dasar dari perencanaan dan perancangan adalah: Space (ruang) Gagasan dan data... Katakanlah Walikota Aco mengatakan butuh sepuluh (siapa tuh, Pamanto? cmiiw) Tapi yang sepuluh orang tsb maunya apa? Apakah membangun space-space ekonomi tapi menyeruduk space-space yang lainnya?

Jari apa erokkukana anrinni adalah, dibutuhkan Archtectural Transformators, jika tak ingin terlambat bahwa Makassar akan menjadi Jakarta II.  Dan yang tidak menjadi kultur bagi kita adalah terbiasa dalam perang gagasan (kritik sih udah sering bukan? secara parsial pula.) Misalkan sebelum anti terhadap pengembangan mall, mampukah kita menunjukkan alternatif pendapatan daerah, sebagai alternatifnya? Mampukah kita menyiapkan peluang-peluang peningkatan kesempatan kerja?  

Soal pembangunan mall-mall (apakah anti atau pro) adalah juga tak lepas dari ´perang´ atau ´benturan gagasan´. Maka dengan sendirinya kota-kota modern (wanna be) seperti Makassar juga tak lepas dari ´perang gagasan´ tersebut. Dengan kalimat a´la warung kopi, maka Makassar sedang berada di Panyingkul...:-)

Nah, bahasan bahasan inilah yang nantinya akan dibahas dalam tulisan, DemoCreative: The Clash of Kopitalization...:-)

Tabe lompo

Warkop Institute

http://warkop-institute.blogspot.com

 

Thread ½Makassar di Persimpangan½ di atas, adalah dalam rangka meneropong sebuah Catatan Pinggir, tulisan Goenawan Mohammad, berikut:

 



CATATAN PINGGIR-

GoenawanMohammad
Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007.

Jikaanda berdiri di salah satu sudut Senayan City , anda akan tahu bagaimana
malamberubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang luas
dandisejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan
dalamgambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod
kebagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itumemajang
bermeter-meter etalase dengan busana dan boga. Sepuluh, bukan,lima tahun
yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, jugakenikmatan dan
kegawatannya.

Hari itu saya duduk minum kopi disalah satu kafe di salah satu mall di
Jakarta, dan tiba-tiba saya merasabodoh: saya tak tahu berapa mega-kilowatt
listrik dikerahkan untukmembangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari
itu. Saya merasa bodoh,ketika saya ingat, pada suatu hari di Tokyo, di tepi
jalan yang meriah diGinza, teman saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan
kepada saya mesinjajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik
kentang. "TahukahTuan," tanyanya, "jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh
mesinjenis ini di seluruh Jepang?
Saya menggeleng, dan ia menjawab, Jumlahnyalebih besar ketimbang jumlah
tenaga listrik yang tersedia buat seluruhBangladesh.

Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin sayamembayangkan rumah-
rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia disebuah negeri miskin
yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buahmesin jajanan di negeri kaya
mesin yang menawarkan sesuatu yangsebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.

Saya merasa bodoh,mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung
berapa kilowattenergi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya
duduk minumkopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang
jumlah itudibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten
nun dipedalaman Flores .

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orangtahu, ketimpangan seperti
itu hanya satu fakta yang gawat danmenyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada
sesuatu yang justru tak timpang,sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauhantara di kalangan yang kaya dan kalangan
miskin, tapi bumi yang dikurasadalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak
karena polusi ada di atas bumiyang satu, dengan akibat yang juga mengenai
tubuh siapa saja termasukmereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di
sudut miskin di Floresatau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut
mengotori cuaca danmengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatandan keserakahan, tapi ada
pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yangakan menyerang dan air laut
yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutubmencair. Orang India, yang
rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW,akan mengalami bencana yang sama
dengan orang Amerika, yang rata-ratamenghabisi 11,4 kW.
"Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," katateman Jepang itu
pula, "terlalu sulit, terlalusulit."

Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Sayadengar ia hidup di
sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuatsebuah usaha kecil dengan
mengajak penduduk menghasilkan sabun yangbukan jenis detergen, mencoba
menanam sayuran organik sehingga tak banyakbahan kimia yang ditelan dan
dimuntahkan. Tapi kata-katanya masihterngiang-ngiang, "terlalu sulit,
terlalu sulit."

Mungkin memangterlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan
itu: dalamcatatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika
Serikatmencapai 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari
Vanuatuhanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut di masa depan akibat cairnya
esdi kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan Teduh itu
dantak menenggelamkan Amerika.

Ingin benar saya tak memikirkanketidakadilan dunia, tapi manusia juga
menghadapi ketidakadilanantargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50
tahun pasti telahlama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin,
batu bara,dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka takakan mengalami
kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yangkini berumur 5 tahun.
Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar,emisi C02 yang akan datang dari
Cina bakal dua kali lipat emisi dariseluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa,
Jepang, Australia, Selandia Baru.Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak
cucu kita?

"Terlalusulit, terlalu sulit," kata teman Jepang itu.

Ekonomi tumbuhkarena dunia didorong keinginan hidup yang lebih
layak. "Lebih layak"adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus
diperlihatkan mereka yangkaya . Kini satu miliar orang Cina dan satu miliar
orang India memandangmobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo
Ralph Lauren dan parfumGivenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak,
benda-benda seperti itumungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan
India berangsur-angsurmencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan
juta manusia yangselama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan
segala hal yangmembuat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi,
suhu bumi akanbegitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil,
lemari es, bajubermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi benda
yangsia-sia.

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surgasegala sesuatu
yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, takakan ada lagi
hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia takmembuat hidup
mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.

Tapi akankah sayamau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di
mana tak ada mall, takada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti
seorang rahib? Di mallitu, saya melihat ke sekitar. Terlalu sulit, terlalu
sulit, pikirsaya.

 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Instant hello

Chat in real-time

with your friends.

Yahoo! Groups

Join a Health

& Fitness Group

or create your own.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar