Sabtu, 01 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Perang baru agama

Silakan, dikomentari..terima kasih.
 
Salam,
 
RD
 
------------------------------------------------
 
Perang Baru Agama

Oleh : Azyumardi Azra

Jika membaca buku-buku semacam karya Sam Harris, The End of Faith;
Richard Harris, The God Delusion; dan Christopher Hitchen, The God is
not Great-How Religion Poisons Everything, agama terlihat segera mati
ditinggalkan para penganutnya. Agama dalam perspektif para penulis ini
tidak lebih dari racun yang membunuh para penganutnya. Buku-buku
antiagama yang rata-rata best-sellers memang menyajikan gambaran yang
serba negatif tentang agama.

Buku-buku tersebut boleh dikatakan sebagai reaksi balik terhadap
semakin  meluasnya kebangkitan kembali agama. Sudah banyak penelitian dan penerbitan yang mengungkapkan gejala ini. Salah satu yang paling akhir
adalah laporan khusus majalah The Economist, 3-9 November lalu dengan
tajuk 'The New Wars of Religion'.

Laporan The Economist menyimpulkan, agama tidak surut apalagi mati
karena modernisasi dan sekularisasi. Memang, di tengah deru modernisasi
dan sekularisasi, agama sering dipandang banyak politisi, birokrat
pemerintahan, dan bahkan akademisi Barat sebagai tidak relevan. Agama
dalam perspektif mereka kian tidak relevan dengan kehidupan publik.
Dalam istilah guru besar dan teolog Universitas Harvard, Harvey Cox,
dalam bukunya yang terkenal The Secular City, agama tidak punya tempat
sama sekali dalam kehidupan kota sekuler.

Tetapi, berbeda dengan pandangan tersebut, sejak 1970-an agama ternyata
kembali ke pentas berbagai lapangan kehidupan termasuk politik, sosial,
budaya, ekonomi, dan seterusnya. Sekali lagi meminjam istilah Harvey
Cox yang terpaksa merevisi teorinya, agama telah kembali ke kota sekuler.
Pada 2005 sekitar 73 persen umat manusia di seluruh dunia memeluk salah
satu dari empat agama besar; Kristiani, Islam, Hindu, dan Budha;  menurut
prediksi jumlahnya meningkat mencapai sekitar 80 persen pada 2050.

Titik balik kebangkitan agama tersebut menurut Timothy Shah, seorang
ahli pada The Council on Foreign Scholars, New York, adalah Perang Enam
Hari antara negara-negara Arab dan Israel pada 1967. Perang ini
menandai kekalahan total pan-Arabisme sekuler, yang pada gilirannya memberikan momentum bagi kebangkitan gerakan Islamis radikal yang mengerahkan segenap upaya untuk menumbangkan rezim-rezim sekuler di Dunia Arab; usaha yang sampai sekarang belum banyak berhasil.

Sebaliknya bagi penganut agama Yahudi, kemenangan Israel dalam Perang
1967 itu merupakan sebuah 'mukjizat' yang menunjukkan adanya campur
tangan Tuhan untuk membantu mereka. Karena itu, menurut mereka, Tuhan
dan agama sama sekali tidak lagi bisa dikesampingkan dalam mempertahankan eksistensi negara Israel. Pandangan dan anggapan
eskatologis ini memberikan momentum bagi kebangkitan kelompok ortodoks, ultra-ortodoks, fundamentalis, dan radikal di kalangan penganut agama  Yahudi.

Selanjutnya sejak 1970-an adalah masa-masa kebangkitan agama secara
global. Amerika Serikat memilih Jimmy Carter sebagai Presiden yang
dengan bangga menyatakan dirinya sebagai 'born-again Christian', yang
diikuti Ronald Reagan yang dengan mengutip Perjanjian Baru menyatakan
Amerika sebagai 'sebuah kota di puncak bukit, yang menerangi berbagai
penjuru'. Dan terakhir sekali adalah George W Bush yang memercayai
dirinya tidak lebih daripada sekadar menjalankan berbagai kebijakan
Tuhan melalui dirinya.

Kebangkitan agama tersebut jelas menimbulkan berbagai dampak dan
implikasi pula dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak hal positif dalam
kebangkitan agama itu; tetapi juga terdapat banyak ekses, yang oleh
The
Economist
disebut sebagai 'perang baru agama'. Sepanjang dua dasawarsa terakhir kian banyak terjadi kekerasan dan perang atas nama agama,
sejak dari Nigeria ke Srilanka, Filipina Selatan dan Thailand Selatan; dari
Serbia dan Bosnia terus Chechnya ke Palestina-Israel, Irak dan
Afghanistan.

Memang, agama dalam banyak kasus tidak dengan sendirinya menjadi
penyebab dan sumber dari 'perang baru agama' tersebut. Berkat
dialog-dialog antaragama yang kian intens, 'perang baru agama' karena
motif keagamaan sebagian besarnya dapat dicegah. Sebaliknya, apa yang
disebut 'perang baru agama' tersebut lebih bersumber pada masalah
politik dan ekonomi yang tidak pernah terselesaikan. Dan keadaannya
menjadi lebih rumit, rawan, dan eksplosif ketika para politisi dalam
menghadapi pertikaian-pertikaian politik tersebut mencampurbaurkan
kebijakan politiknya dengan semangat keagamaan.

'Perang baru agama' bisa menjadi sangat eksplosif dan menjerumuskan
masyarakat dunia ke ambang pertumpahan darah yang sulit diakhiri.
Karena  itulah penciptaan dan pemberdayaan tatanan dunia baru yang lebih
berimbang dan adil menjadi kebutuhan mendesak. Reformasi PBB dan
badan-badan internasional lainnya merupakan agenda dan tanggung jawab
bersama, yang meski sangat sulit mesti diupayakan terus.

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=315383&kat_id=19



 


Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Yahoo! Groups

Women of Curves

Discuss food, fitness

and weight loss.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar