Sabtu, 22 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Re: Baik & Buruk, Boleh & Tidak Boleh ... dst.


--- In <mailto:semedi%40yahoogroups.com>semedi@yahoogroups.com, Sjahrazad Alamsjah by way of
<hudoyo@...> wrote:
> HUDOYO:
>
> >Apakah pikiran mampu mencipta atau menyadari?
> >Seorang balita tidak menciptakan baik, buruk saat memegang lilin yang
> >menyala. Dia merasakan hal yang 'buruk' saat itu. Hal buruk itu kita
> >namakan panas, agar bisa diekspresikan.
> >Jadi menurut si Doel segala sesuatu itu telah eksis, sebelum fikiran
> >itu sendiri menyadarinya.
> >Disaat detik menyentuh panas, barulah fikiran memilah diantara enak
> >dan tidak enak, dingin dan panas.
> ------------------------
> 'Panas', 'dingin' adalah sifat-sifat fisik. Tanpa makna, tanpa nilai.
> Yang memberi nilai adalah pikiran/si aku: "baik", "buruk", yang adanya
> hanya di dalam pikiran, muncul di dalam pikiran: "baik" kalau dianggap
> bermanfaat bagi si aku, "buruk" kalau dianggap tidak bermanfaat bagi
> si aku.
> Jadi, nilai/makna itu baru muncul ketika pikiran/si aku bergerak.
> Selama pikiran/si aku tidak bergerak, tidak ada nilai, tidak ada makna.
> Yang ada hanyalah 'apa adanya'.
>
> ***

Yang Si Doel kaji disini adalah, apakah fikiran itu menciptakan
sesuatu atau sebenarnya segala sesuatu, apapun, sebenarnya eksis.

Ada satu research tentang orang orang dengan iq tinggi, mereka yang
bisa menjawab perhitungan rumit seketika. Berbeda dengan duggan kita
pada umumnya bahwa mereka ini bisa cepat menjawab karena fikirannya
bisa berproses lebih cepat, ternyata tidak.

Jadi semisal hasil angka adalah 2469437,9994, itu bukan didapatkan
melalui proses berfikir melainkan orang pintar itu memperoleh image
dari hasil itu seketika. Karena itulah dia mampu menjawab dengan cepat
perhitungan yang serumit apapun. Jadi orang pintar yang distudi ini
bukan pintar karena kecepatan proses berfikir, melainkan kecepatan
dalam memperoleh hasil yang sudah ada.

Dari research itu juga diperoleh bahwa didalam memory otak terdapat
tidak terhingga bentuk bentuk image, sama halnya seperti video, dimana
image image itulah yang membentuk suatu proses ingatan. Video yang
kita kenal rata rata setiap framenya terdiri dari 31 images, ini yang
membuat kita melihat sebuah film bergerak. Memory otak menyimpan hal
yang sama dengan jumlah frames dan images yang tidak diketahui batasnya.

Dari sisi spiritual, ini mendatangkan pertanyaan. Pertama apakah semua
'images' / 'pengetahuan' itu hanya eksis berbeda di setiap individu
atau semua pengetahuan itu sebenarnya eksis tanpa dipengaruhi oleh
batasan individu.

Dari pertanyaan itu pula akan berkembang tentang definisi ber'fikir'
selama ini. Apakah benar kita ber'fikir'? atau sebenarnya kita tidak
lain hanya membuka channel, membuka frekwensi kepada alam pengetahuan
yang telah eksis?

Dari sinilah si Doel tidak sependapat bahwasanya suatu nilai/makna itu
baru muncul ketika fikiran bergerak. Nilai/makna tidak diciptakan oleh
fikiran, terlepas apakah fikiran itu bergerak atau berhenti,
pengetahuan apapun itu eksis.

>
> >Bisa iya bisa pula tidak. Selama kita belum pernah menjadi kang
tuhan, maka tampaknya tak akan ada satupun rumusan yang baku dalam hal
kemutlakan.
> >Ini justru ciptaan fikiran, untuk memperkuat apa yang diolah secara
> >fikir atau apa yang dialami secara batin.
> >Fikiran tidak akan pernah mengerti sisi mata tuhan.
> -----------------------
> "Tuhan", "Kebenaran Sejati", "Yang Mutlak", dsb, semua itu cuma
'telunjuk', 'penunjuk'. Jangan terpaku pada 'telunjuk', jangan
menggeluti 'telunjuk' dengan pikiran.
>
> 'Telunjuk' itu perlu; orang-orang yang telah bebas menggunakan
'telunjuk' itu untuk mengacu kepada suatu taraf kesadaran yang lain,
di mana pikiran yang kita kenal ini tidak berfungsi lagi, di mana si
aku tidak ada lagi.
> Taraf kesadaran itu oleh Bernadette Roberts dinamakan "The Unknown",
oleh J Krishnamurti dinamakan "It" atau "The Otherness", oleh Buddha
dinamakan "Yang tak dilahirkan, tak terbentuk, tak tercipta, tak
tersusun", "Tanpa Aku". Tapi, sekali lagi, semua itu sekadar 'telunjuk'.
> Pertanyaannya sekarang: alih-alih menggeluti 'telunjuk' dengan
pikiran, sudahkah kita masuk ke dalamnya?
>
> ***

Yang ingin si Doel angkat disini adalah selama telunjuk itu menempel
kepada suatu 'itikad', maka kondisi yang dialami itu tidaklah sama
dengan telunjuk itu.

Sebagai contoh sederhana adalah sabar dan bersabar. Bersabar adalah
itikad, disana telunjuk melekat, ada tujuan. Sabar, berdiri sendiri,
tanpa itikad, tanpa telunjuk, tidak ada tempelan. Seperti uraian
diatas, bersabar adalah upaya membuka frekwensi, itikad dengan tujuan.
Sabar, bukanlah itu, sabar adalah pengetahuan yang eksis diluar diri.

Jadi selama kondisi 'Diam' masih dilekatkan kepada Kebenaran Sejati,
Pencerahan atau semua telunjuk yang dinyatakan, maka 'Diam' disini
tetap merupakan rekayasa fikiran dengan tujuan untuk memperoleh
sesuatu. Memperoleh sesuatu yang diharapkan.

Jadi permasalahannya bukan terletak kepada menggeluti 'telunjuk'
dengan pikiran. Masuk kedalam diam juga itikad yang sama dengan
menggeluti telunjuk dengan fikiran. 'Diam' itu seharusnya eksis
berdiri sendiri, tidak ada istilah masuk atau tidak. Tidak melekat
kepada 'telunjuk' apapun, tidak ada apa apanya.

nuwun,
si Doel

ps: si Doel januari pulang, kalau ada waktu kita kumpul kumpul kangen
juga ngobrol langsung. Entar si Doel hubungin. Tapi yang pakai 'aku'
ha.. ha..

=====================
HUDOYO:

>Ada satu research tentang orang orang dengan iq tinggi, mereka yang
>bisa menjawab perhitungan rumit seketika. Berbeda dengan duggan kita
>pada umumnya bahwa mereka ini bisa cepat menjawab karena fikirannya
>bisa berproses lebih cepat, ternyata tidak.
>
>Jadi semisal hasil angka adalah 2469437,9994, itu bukan didapatkan
>melalui proses berfikir melainkan orang pintar itu memperoleh image
>dari hasil itu seketika. Karena itulah dia mampu menjawab dengan cepat
>perhitungan yang serumit apapun. Jadi orang pintar yang distudi ini
>bukan pintar karena kecepatan proses berfikir, melainkan kecepatan
>dalam memperoleh hasil yang sudah ada.
>
>Dari research itu juga diperoleh bahwa didalam memory otak terdapat
>tidak terhingga bentuk bentuk image, sama halnya seperti video, dimana
>image image itulah yang membentuk suatu proses ingatan. Video yang
>kita kenal rata rata setiap framenya terdiri dari 31 images, ini yang
>membuat kita melihat sebuah film bergerak. Memory otak menyimpan hal
>yang sama dengan jumlah frames dan images yang tidak diketahui batasnya.
-----------------
Riset itu tidak pernah menjawab pertanyaan: Apa yang ada, yang tinggal, ketika pikiran berhenti.

>Dari sisi spiritual, ini mendatangkan pertanyaan. Pertama apakah semua
>'images' / 'pengetahuan' itu hanya eksis berbeda di setiap individu
>atau semua pengetahuan itu sebenarnya eksis tanpa dipengaruhi oleh
>batasan individu.
------------------
Ketika dulu (1961) saya mengikuti ujian masuk FKUI, ada pertanyaan sebagai berikut:
"Kalau di sebuah hutan, di mana tidak ada manusia sama sekali, ada sebuah pohon tumbang, adakah suara pohon tumbang?"
Jawaban: (1) ada; (2) tidak ada; (3) tidak tahu.

>Dari pertanyaan itu pula akan berkembang tentang definisi ber'fikir'
>selama ini. Apakah benar kita ber'fikir'? atau sebenarnya kita tidak
>lain hanya membuka channel, membuka frekwensi kepada alam pengetahuan
>yang telah eksis?
-------------------
Bagi saya, 'berpikir' adalah tanggapan batin terhadap rangsangan yang masuk. Di satu sisi, 'berpikir' itu berguna untuk survive, tapi di sisi lain 'berpikir' itu selamanya terkondisi, sehingga "pengetahuan" pun terkondisi, tidak pernah total, dan bukan 'apa adanya' yang sesungguhnya. Bagi saya, lebih penting mengalami, bisakah pikiran itu berhenti, tapi bukan dibuat berhenti, tanpa iktikad untuk berhenti.

>Dari sinilah si Doel tidak sependapat bahwasanya suatu nilai/makna itu
>baru muncul ketika fikiran bergerak. Nilai/makna tidak diciptakan oleh
>fikiran, terlepas apakah fikiran itu bergerak atau berhenti,
>pengetahuan apapun itu eksis.
----------------------
Nilai/makna bukanlah pengetahuan faktual; pengetahuan faktual adalah "obyektif", nilai/makna adalah "subyektif".
Anda berpendapat bahwa nilai/makna sudah ada dan berdiri sendiri terlepas dari pikiran manusia.
Saya berpendapat bahwa nilai/makna datang dari pikiran manusia yang bergerak; tidak ada nilai/makna di luar pikiran manusia.
Pendapat Anda dan pendapat saya bertolak belakang; oleh karena itu, tidak perlu diperdebatkan, sampai di sini saja.

***

>Jadi selama kondisi 'Diam' masih dilekatkan kepada Kebenaran Sejati,
>Pencerahan atau semua telunjuk yang dinyatakan, maka 'Diam' disini
>tetap merupakan rekayasa fikiran dengan tujuan untuk memperoleh
>sesuatu. Memperoleh sesuatu yang diharapkan.
--------------------
Selama ada iktikad, ada pikiran, ada keinginan itu bukan 'diam'. Itu si aku yang masih bergerak, beriktikad, berupaya, merekayasa.

'Diam' itu tidak bisa dikehendaki, diiktikadi, direkayasa. Itu bukan 'diam' yang sejati. Diam itu akan muncul dengan sendirinya, ketika pikiran yang menginginkan, mengiktikadi, merekayasa 'diam' itu berakhir, tetapi berakhirnya pikiran itu pun tidak bisa diinginkan, tidak bisa diiktikadi, tidak bisa direkayasa. Begitu seterusnya, selama si aku bergerak, selama pikiran bergerak, itu masih keinginan, masih iktikad, masih rekayasa, itu bukan 'diam' yang sejati.

Salam,
Hudoyo

PS: Silakan kabari jauh-jauh hari, supaya saya bisa sisihkan waktu. Sampai jumpa.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Connect w/Parents

on Yahoo! Groups

Get support and

share information.

Stay in Shape

on Yahoo! Groups

Find a fitness Group

& get motivated.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar