Jumat, 18 Januari 2008

Bls: [psikologi_transformatif] Forensik Psikologi di Indonesia

Mas Juneman,

Prof. Gumilar sdh on the right track dengan akan menjadikan UI sbg Universitas tanpa fakultas !
Memang kosa kata " kuliah " dari bahasa Arab, artinya ' universe ' , untuk membedakan dengan ' ayat ' yang artinya bagian.
Universitas kita sdh menjadi kumpulan ayat, bukan universe lagi bahkan jurusan filsafatnya pun sdh mau jadi ' ayat' filsafat.
UI menunjukkan kepeloporannya untuk memulai di Indonesia. Bravo !
Anda sebaiknya membaca buku - buku karangan F.Capra  dan yang telah dibedah dalam serial seminar yang dibukukan dalam "VISI BARU KEHIDUPAN , Penerbit PPM dan " Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban " Penerbit Buku Kompas.

Vaclav Havel mengatakan bahwa science masa depan adalah mencari ' the hidden connections antara berbagai phenomenas ".
Kalau itu terjadi, maka tidak akan ada sarjana  psikologi yang mau berurusan dengan dekon  mendekon atau ribut soal ayat-ayat mana yang paling hebat, tapi bagaimana membantu manusia spy bisa menggosok permata yang ada di dalam dirinya masing-masing.

Ini akan berdampak pada SMU, shg harus segera merubah sistem pendidikannya dari ' mendengar - mencatat - menghafal (meski tdk faham artinya) - supaya lulus ujian '.
Dosen yang sekarang ada juga perlu re-orientasi karena bakal bersentuhan dengan disiplin yang lain dalam kerjasama ' trans-disipliner' bukan mozaik berbagai disiplin yang ditempel-tempel.

Salam,
JS


----- Pesan Asli ----
Dari: Juneman <juneman@gmail.com>
Kepada: Juneman <juneman@gmail.com>
Terkirim: Jumat, 18 Januari, 2008 12:41:23
Topik: [psikologi_transformatif] Forensik Psikologi di Indonesia

Dear all,


Pada 16 Januari 2008, di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pukul 08.00-17.00 WIB telah terjadi Forensic Sciences and Investigation Methods Workshop, dengan latar belakang & susunan acara sebagai terlampir (forensik_16 jan_aula fk_ui.pdf). Saya sendiri hadir mewakili Drs. Lukman Sriamin, M.Psi., Ketua HIMPSI DKI Jaya yang berhalangan hadir karena bertugas di Medan [Fyi, dua hari sebelumnya saya juga mewakili Bung Lukman sebagai unsur Pengawasan Eksternal pemeriksaan hasil tes psikologis Calon Bintara Polri untuk wilayah Jabodetabek] . Dari kalangan psikologi juga hadir perwakilan dari sejumlah Fakultas Psikologi. Pada tengah & akhir acara, saya berbincang dengan pihak Penyelenggara yang mengucapkan terimakasih atas kontribusi perwakilan Psikologi dan berharap kontribusi yang lebih lagi pada masa-masa mendatang. Sekadar sebagai catatan, dalam acara tersebut, makalah forensik psikologi termasuk dalam jajaran yang diminati (terbukti dari banyaknya peserta yang nampak sangat antusias mendengarkan presentasi DR. Probowati & Prof. Meliala, dan banyaknya pertanyaan yang diterima Prof. Meliala). Kendati demikian, seluruh presentasi dari awal sampai dengan akhir workshop very very well prepared. Saya tidak dapat menyembunyikan kekaguman saya kepada seluruh pihak Penyelenggara, khususnya dari Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI, atas kesuksesan berlangsungnya acara workshop sehari ini. Bertindak sebagai Chairman adalah Prof. O. Diran dari Institut Teknologi Bandung.


HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) DKI Jaya sendiri dalam penyelenggaraan workshop ini senantiasa terlibat dari awal dalam berbagai proses, pembahasan, mengusulkan pembicara, mendukung publikasi melalui milis & web himpsijaya.org , serta turut mendukung pertumbuhan Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia HIMPSI. Saya juga teringat sebuah kegiatan seminar yang saya ikuti yang diselenggarakan  oleh program Magister Profesi Unika Atmajaya pada tahun 2006 yg juga bekerjasama dengan HIMPSI DKI Jaya, di mana pada waktu itu hadir pembicara Dr. Poerwandari yang membahas Peran Psikologi dalam Proses Hukum.


Sebagaimana nampak dalam Susunan Acara workshop sehari ini, Pembicara terdiri atas ahli-ahli forensik dari berbagai disiplin ilmu, seperti Kedokteran Forensik, Odontologi Forensik, Psikologi Forensik, Forensik Akuntansi, (sempat dibahas) Forensik Teknologi Informasi, dsb. Dalam sambutannya, Rektor UI, Prof. Dr der Soz. Gumilar Somantri, mengungkapkan bahwa Universitas Indonesia memiliki rencana membangun sebuah model Pendidikan Kesarjanaan/ Profesi "tanpa fakultas". Terkait dengan ilmu-ilmu forensik, misalnya, seorang lulusan Pendidikan tsb adalah seorang S1 yang, mengutip perkataan Prof. Somantri, "kalau dia ditanya fakultasnya, dia akan 'bingung', karena memang tidak ada fakultasnya." Artinya, sang mahasiswa memang mempelajari seluruh disiplin ilmu yang terkait dengan forensik, tanpa harus berada di bawah fakultas tertentu.



Dalam kesempatan tersebut, Psikologi mendapat "kemewahan" (dalam bahasa Prof.Adrianus) , karena mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan dua makalah dari disiplin ilmu Psikologi (yang lain hanya kebagian satu :)) yang disampaikan oleh dua pembicara, yakni:


1. "Peran Psikologi Dalam Investigasi kasus Tindak Pidana"

Oleh: DR. Yusti Probowati Rahayu (FPSI Univ.Surabaya)

Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia-HIMPSI 

(Asosiasi ini baru dibentuk pada Desember 2007).


2. "Kontribusi Psikologi Pada Dunia Peradilan: Dari Mana Dan Mau Kemana"

Oleh: Prof. Adrianus Meliala, Ph.D. (Departemen Kriminologi FISIP UI)

Board Member Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia-HIMPSI


Presentasi yang dibawakan oleh DR. Yusti dan Prof. Adrianus selengkap-lengkapny a dapat dibaca pada Indonesian Journal of Legal & Forensic Sciences (IJLFS) Vol.1 No.1, yang dapat diperoleh di Departemen Kedokteran Forensik FKUI, Telp. (021) 3912768.



Berikut ini adalah beberapa bagian dari makalah tersebut:


1. "Peran Psikologi Dalam Investigasi kasus Tindak Pidana"

Oleh: DR. Yusti Probowati Rahayu


Abstract:

One of the problems in criminal/prime court is the truth of testimony. Most testimonies given may be biased. This is caused by the vulnerabilities of human memory and the mistakes in digging deep thorugh the witness' information. This paper aims to explain these problems from the perspective of psychological forensics, describing why human memory is vulnerable, and which techniques of investigation interviews can be best used for handling the problems.


Kesimpulan:

Proses peradilan pidana membutuhkan informasi dari saksi, korban dan tersangka, karena baik polisi, jaksa maupun hakim tidak melihat sendiri kejadian perkara. Tetapi polisi, jaksa dan hakim harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada. Oleh karena itu peran saksi menjadi penting. Dalam konsep psikologi, memori saksi sangat rentan, karena banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi kurang akurat. Dibutuhkan teknik psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi. Dua teknik yang biasa digunakan adalah hipnosis dan wawancara kognitif. Untuk dapat melakukan kedua teknik ini dibutuhkan ketrampilan. Disinilah psikologi forensik diperlukan untuk memberikan pelatihan keterampilan tersebut. Teknik ini terutama diperlukan saat penggalian kesaksian awal (di kepolisian), karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Hal yang membuat sulit adalah polisi selama ini sudah terbiasa melakukan interogasi dengan pertanyaan-pertanya an yang menuntun dan menekan.


Parts of content:


Begitu luasnya bidang kajian psikologi hukum maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi bidang tersebut menjadi tiga bidang: psychology in law, psychologi and law, psychology of law. Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat. Tulisan DR. Yusti merupakan salah satu kajian psikologi hukum pada bidang psychology and law, karena psikologi berusaha menjelaskan proses pencarian kebenaran dalam investigasi perkara pidana.


DR. Yusti Probowati, dalam pembahasan "Memahami Proses Kognitif Manusia", mengemukakan salahsatu hal yang menarik bahwa salahsatu faktor yang berpengaruh terhadap proses retrieval adalah Setreotipe. Masalah stereotipe, diteliti oleh Probowati (2005) dan menemukan bahwa hakim Indonesia yang pribumi memiliki steretipe negatif terhadap terdakwa etnis Tionghoa. Zubaidah, Probowati, & Sutrisno (2007) menemukan hakim (baik laki-laki dan perempuan) memiliki stereotipe negatif terhadap terdakwa perempuan dengan memberikan hukuman yang lebih berat. Stereotipe juga terjadi pada saksi.



2. "Kontribusi Psikologi Pada Dunia Peradilan: Dari Mana Dan Mau Kemana"

Oleh: Prof. Adrianus Meliala, Ph.D.


Abstract:

This paper explores the contribution of psychology to the judiciary, more specifically to the court-room situation. The writer argues that despite important contributions to other stages within the criminal justice system, this judicial stage can be regarded decisive. The writer also provides argument as to why psychological application to the jusdiciary is also named forensic psychology. Several approaches in the current situation relating contribution of psychology to the judicial system are discussed by the writer. Some look progressive while others seem to be rather backward. Discussion is extended to future situations faced by the contribution of psychology, and to the steps that should be undertaken.


Kesimpulan:

Telah dikemukakan bahwa pada masa kini telah terdapat kontribusi psikologi yang bisa dikatakan relatif minimal terkait dunia peradilan. Seiring dengan itu, juga telah dijelaskan bahwa banyak hal masih bisa dilakukan oleh semua pihak, jika menginginkan peran psikologi itu semakin besar secara proporsional terkait dunia peradilan. Dalam konteks fungsi forensik yang dilakukan oleh psikologi dalam hal ini, menunjukkan masih terbatasnya aplikasi psikologi forensik terkait dunia peradilan, tetapi pada saat bersamaan juga terdapat prospek untuk meningkat.


Parts of content:


Mau kemana


Pertama, terkait utilisasi psikolog sebagai saksi ahli, kiranya sudah waktunya HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) bekerjasama dengan instansi peradilan melakukan pelatihan terkait hal ini, yang lalu diakhiri dengan pemberian sertifikasi bagi psikolog yang dianggap telah memiliki kemampuan [Menurut Prof.Meliala, tidak semua Sarjana Psikologi atau Psikolog dapat menjadi Saksi Ahli]. Disarankan untuk selanjutnya juga perlu diadakan pelatihan dan pemantauan terkait etika pemberian keterangan ahli agar psikolog tidak terjerumus dalam fenomena "asal bicara, tergantung siapa yang bayar". Disarankan pula agar hal-hal di atas diinformasikan kepada hakim sehingga hakim dapat memanggil orang yang tepat atau mengetahui bila kepadanya dihadapkan psikolog yang tidak benar-benar ahli. 

[...]


Kedua, terkait kontribusi psikologi pada umumnya. Mengingat hal ini lebih dipengaruhi preferensi psikolog, maka yang seyogyanya memberi perhatian lebih vesar terkait studi di dunia peradilan adalah kalangan psikolog sendiri. Kalangan psikolog, khususnya yang berada di universitas atau asosiasi, dengan demikian perlu lebih banyak mengajak keluar komunitasnya untuk menggeluti dunia yang tidak konvensional baginya tersebut [Menurut Prof. Meliala, dunia perkawinan, anak, keluarga, masalah di sekolah, perkerjaan, gangguan jiwa, dsb; disebutnya sebagai "dunia konvensional" ]. Untuk Indonesia, satu dari sekian hambatan yang ada adalah minimnya insentif finansial bagi mereka yang hendak menggeluti bidang ini. [...] Psikolog dapat amat membantu kepolisian dalam rangka membangun database terkait psychological profilling dari para calon tersangka atau menginterpretasikan sesuatu yang ditemukan di tempat kejadian perkara secara psikologis sehingga dapat menjadi barang bukti (psychological evidences).


Ketiga, dalam rangka peran psikolog selaku hakim ad-hoc, terkait kasus-kasus dengan muatan psikologik yang berat, sudah sepantasnya psikolog tidak hanya hadir sebagai saksi ahli tetapi menjadi hakim itu sendiri. Asosiasi psikologi perlu mendorong Mahkamah Agung guna memberikan kesempatan tersebut.

[...]


Keempat, dalam rangka memungkinkan seorang hakim terekspose dengan psikologi secara dini dan rutin, maka perlu diupayakan agar para psikolog dapat berinteraksi dengan kalangan hakim dalam berbagai fase karier mereka baik dalam format pelatihan atau perkuliahan. Pada dasarnya, pelatihan atau perkuliahan itu perlu terkait untuk menyadarkan hakim atau calon hakim tersebut akan kemungkinan- kemungkinan bias yang bisa muncul pada dirinya, baik disadari maupun (lebih-lebih) yang tidak disadarinya, dan dilanjutkan dengan upaya mengatasi bias tersebut.

[...]


Psikologi juga memiliki kemampuan untuk menjadikan hakim kembali humanis dan peka dengan permasalahan- permasalahan kepribadian dan kemanusiaan pada umumnya. Bisa dibayangkan, akan terdapat peningkatan kualitas persidangan apabila psikologi berkesempatan memfokuskan diri pada hakim mengingat pada diri hakim terdapat kewenangan besar untuk mengendalikan percakapan, menginterogasi sekaligus memutus perkara.



Pada akhir workshop ini dideklarasikan agenda pembentukan Asosiasi Ilmu-Ilmu Forensik Indonesia.


Demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.



Salam takzim,


Juneman

HIMPSI DKI Jakarta Raya





Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Move More

on Yahoo! Groups

This is your life

not a phys-ed class.

Parenting Groups

on Yahoo! Groups

Single Parenting

to managing twins.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar