Jumat, 04 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Buletin Elektronik SADAR Edisi 88 Tahun IV 2008

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.17.13/1208 - Release Date: 03/01/2008 15:52 WIB

 

Buletin Elektronik

www.Prakarsa-Rakyat.org

SADAR

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 88 Tahun IV - 2008
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org


 

 

BENCANA: PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DAN GERAKAN MASYARAKAT SIPIL

Oleh: Fatah Muria[1]

 

Serentetan bencana banjir dan tanah longsor di Jawa telah melengkapi gambaran situasi “less governance” di Indonesia pada tutup tahun 2007. tidak banyak upaya negara untuk menunjukkan kewajiban utamanya dalam perlindungan dan pemenuhan terhadap warga negaranya.

Berbeda dengan sosok gunung berapi dan gempa bumi yang murni faktor alam, bencana banjir merupakan gabungan dari berbagai aspek dengan melibatkan unsur manusia sebagai faktor dominan. Perubahan iklim pemanasan global dan perubahan tata guna lahan akibat kebijakan menempatkan manusia pada posisi rentan terhadap bencana! yang muncul.

Asumsi faktor alam, digunakan oleh Pemerintah untuk menutupi ketidakamampuan dalam melindungi rakyat dari terjangan air bah.Bencana seolah menjadi sosok yang diamini kehadirannya. Negara seolah hadir dalam sebuah bentuk sinterklas yang memberikan bantuan “semampunya’ sehingga lepas dari konteks pertanggungjawaban utamanya dalam memberikan perlindungan kepada para korban bencana.

Ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam merespon peristiwa bencana di Karanganyar, Solo, Kudus dan Ngawi secara eksplisit merupakan bentuk pelemparan tanggung jawab negara dalam urusan bencana. Banjir dan tanah longsor dalam tipologi dan karakteristik ancamannya, relatif “predictable” ketimbang tsunami maupun gunung berapi. Namun ini sendiripun tidak mampu diantisipasi baik dalam pencegahan bahkan penanganan situasi darurat. Tidak ada langkah mitigasi bencana yang terprogram sehingga mampu melakukan pe! ncegahan sampai penanganan darurat. Sebuah ironi sebuah tim be! rnama SA RDA Jawa Tengah hanya memiliki 2 perahu karet untuk meng-cover banjir besar di yang melanda seluruh Jawa Tengah.

Sudah jadi berita umum, distribusi dan isi bantuan terkadang tidak sesuai kebutuhan, tempat pengungsian seadanya, pelayanan kesehatan sampai sanitasi berulang-ulang tidak pernah tertangani secara tepat. Belum lagi sistem administrasi pencatatan korban yang sangat vital hampir selalu dilupakan sehingga membuat banyak korban tidak pernah bisa mengklaim berbagai kerusakan yang diderita.

Tidak ada mekanisme yang justiciable (pertangungjawaban hukum) untuk menyeret aparat negara yang telah gagal memberikan perlindungan dan pemenuhan hak korban. Kasus penolakan gugatan kelompok masyarakat sipil atas kasus LAPINDO semakin memperkuat bahwa mekanisme hukum yang dibuat selama ini tidak mampu menyeret pelaku-pelaku “pembuat bencana” yang notabene melibatkan unsur-unsur negara.

Kritik UU Penangg! ulangan Bencana sendiri menjadi macan ompong diatas kertas karena tidak mengatur dengan jelas bagaimana tanggung gugat negara dalam penanganan bencana terbukti. Padahal, dalam situasi darurat peran negara menjadi sangat signifikan, mulai dari tanggap darurat, rehabilitasi dan pasca rehabilitasi.

Dalam situasi bencana, negara hampir atau tidak mampu untuk mengupayakan semua sumber daya dan kemampuan yang ada untuk menanggulangi. Tidak ada upaya mobilisasi tersistematis dan terencana untuk mengatasi situasi.


Bencana dan Gerakan Masyarakat Sipil

Celah legal yang masih memungkinkan sekarang ini adalah mendorong kelompok korban untuk membuka kesadaran bahwa terlindungi dan pemenuhan akibat dari bencana merupakan bagian dari hak yang harus dilakukan oleh negara. Upaya yang harus dilakukan pertama kali yakni perlu ada pengorganisasian korban banjir yang tersistematis dengan mengkaitkan antara! kebutuhan darurat dengan upaya-upaya yang telah dilakukan o! leh nega ra. Hal ini merupakan pintu masuk untuk membuka kesadaran bahwa rakyat juga memiliki hak untuk dapat bebas dari bencana serta memungkinkan untuk mendapatkan jaminan atas hak saat mereka terkena bencana.

Selain itu, gerakan masyarakat sipil dalam konteks bencana juga harus melihat dan merumuskan strategi partisipatif bagi penanggulangan bencana. Selama ini penanggulangan bencana atau upaya mitigasi bersifat teknokratis (BMG, PSDA serta para ahli) serta jauh dari pemahaman dan kebutuhan publik.

Dalam level kebijakan, Pemerintah sekarang akan mengimplementasikan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penanggulangan Bencana di tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota di seluruh Indonesia. RAD ini merupakan follow up dari Rencana Aksi Nasional (RAN) yang dirumuskan pasca gempa di Aceh dan Yogyakarta-Klaten. Perumusan ini sendiri meski dipersyaratkan partisipatif, namun selama ini cenderung tidak terlalu banyak melibatkan kelompok korban dan kelom! pok masyarakat sipil yang lebih luas.

Kelemahan dalam mekanisme yang justiciable dalam pemenuhan hak, dalam langkah awal sekarang ini perlu diimbangi dengan langkah-langkah tuntutan politis berbasis masyarakat terorganisir korban banjir.
 

 

Penulis adalah anggota Badan Pengurus Perkumpulan Perdikan - Semarang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jawa Tengah.

 

 

 

webmaster@prakarsa-rakyat.org  

 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Special K Challenge

on Yahoo! Groups

Find shape-up

tips and tools.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar