Senin, 07 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Catatan Remaja 80-an

warrior, sepatu untuk sahabat

CATATAN REMAJA 80-AN

Judul WARRIOR: Sepatu untuk Sahabat
Pengarang Arie Saptadji
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Desember 2007
177 hal
Ragam Sastra Teenlit

Dari bumi Ngadirejo ini, ke langit mana engkau akan mengangkasa
meraih
bintangmu, Sri?(hal 57)

Ke langit yang bersahaja tanpa bintang-bintang. Asalkan tidak
mendung dan
hujan, cukuplah. Begitulah cita-cita sederhana seorang remaja dari
desa.

Membaca buku ini saya jadi teringat Children of Heaven, film tentang
anak
terbaik produksi Iran yang diputar dalam Jiffest beberapa tahun lalu.
Kisahnya mirip, anak yang mendaftar untuk ikut lomba lari karena
hadiahnya
adalah sepatu baru, yang akan dia hadiahnya kepada adiknya.

Ceritanya sederhana. Dibuka dengan kisah Sri Suryani, siswi kelas 2
SMP
Negeri Ngadirejo, yang khawatir ketika ia terpilih menjadi salah satu
anggota lomba gerak jalan sekabupaten Temanggung. Apa masalahnya?Ya
itu
tadi. Sepatu. Sepatunya bolong. Kalau dipakai latihan, tampilan
sepatunya
pasti lebih buruk di hari H. Ia perlu sepatu baru. Sepatu Warrior,
yang
tahun 80-an adalah sepatu yang mungkin paling popular di seluruh
sekolah
di nusantara ini. Sepatu hitam dengan bahan kain, berhak nyaris rata,
dengan tali putih.

Untuk membeli yang baru, rasanya berat. Tentu saja. Sri anak yatim.
Ibunya
seorang penjual ketan, lopis, tiwul, gerontol (penganan dari jagung
yang
direbus), dan sesekali menerima upah cuci setrika tetangga. Mereka
tinggal
di rumah yang hanya sekamar luasnya, dengan lantai tanah yang sudah
mengeras
Tapi Sri tidak putus asa. Ia bertekad untuk membeli sepatu dari hasil
keringatnya sendiri. Pintu demi pintu terbuka. Lika-liku hingga
akhirnya
ia mendapatkan sepatu itu, sungguh klasik dan lembut, mengharukan.
Seperti
yang dikatakan Paulo Coelho, ketika seseorang bertekad untuk meraih
sesuatu, alam semesta akan dengan serta-merta berkompromi untuk
membantu.

Dunia yang damai
Remaja menempati sisi dunia yang aktif, dipenuhi kegembiraan dan
kenakalan
khas yang dimaklumi orang dewasa. Di tangan seorang Arie Saptajie,
remaja
ada di dunia yang damai dan menyenangkan. Yang baik akan diberi
penghargaan, yang nakal akan dihukum. Arie rajin berpesan moral. Ia
melukiskan persahabatan indah Sri dan Lisa yang berjalan mulus,
nyaris
tanpa konflik. Kesabaran Sri yang teguh dalam menanti apa yang
diperlukan,
melukiskan kebersahajaan khas orang kecil yang sadar diri akan
keterbatasannya.

Ada tokoh antagonis, yaitu Titin. Sebenarnya bila tokoh ini dibangun
sebaik Sri, mungkin akan lebih mempertegas hitam putih cerita. Namun
sayang, ia dimunculkan sekedarnya. Tiba-tiba menjadi pecundang ketika
menolak Lisa yang meminta untuk meminjamkan sepatu Warriornya untuk
Sri.
Titin pun `dihukum'.

Arie memilih bahasa yang sopan dan anggun untuk ukuran remaja
sekarang,
dibandingkan majalah remaja Gadis, Aneka, Hai, misalnya. Memang jadi
terkesan membosankan. Namun kelebihan Arie, ia menghadirkan istilah
dan
suasana Jawa yang kental, sehingga memberi kedekatan tertentu pada
masyarakat tertentu. Bukan itu saja. Dengan cara menggiurkan
pengarang
asli Yogya ini mencatat kuliner khas sego gono atau empis-empis -
hidangan
serbalombok yang dicampur tempe bongkrek, tahu, ikan asin.

Catatan remaja 80-an
Secara emosi, saya curiga buku ini terlalu `canggih' untuk remaja,
secara
ia termasuk pada ragam teenlit. Kisah ulang peluncuran pesawat
Discovery
ke angkasa tahun 1985, apakah menarik bagi remaja sekarang? Atau
tokoh
Adam Malik dengan `Semua bisa diatur'-nya yang popular waktu itu atau
pelari Jesse Owen, sprinter Purnomo, Kartini, Indira Gandhi?

Belum lagi pilihan kata yang tergolong `tinggi' bagi remaja seperti
cergas, bernas, memunggah, kampium, menukilkan, zaman edan,
berdompol-dompol, sumarah, legawa, cangkriman, pitik walik,
membuhulkan,
jembar, didapuk, mencatu.

Saya berpikir orang dewasa yang masa remajanya sekitar tahun 80-an,
mungkin akan tersenyum geli saat diingatkan lagu Untuk Sebuah Nama
yang
dilantunkan (almarhum) Pance Pondaag atau iklan `Epilepsi, bukan
penyakit
turunan dan tidak menular', lalu, ajakah `Kita main bola lagi yuk,
Di!'.
Atau juga jargon mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan
olahraga
atau istilah GN-OTA.

Bagi remaja masa kini, mungkin hatinya takkan tergetar saat
mengetahui
harga sepatu Warrior yang diimpikan Sri `hanya' berharga 8 ribu
rupiah,
yang bahkan tidak cukup untuk membeli satu pake nasi di Mc Donald's.
Bagaimana pun, buku ini tetap asyik untuk dibaca. Seperti pendapat
Luna
Torashyngu, salah satu endorser buku ini, ini adalah karya klasik
untuk
remaja.

ita siregar, jan 2008

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Yahoo! Groups

Endurance Zone

A Yahoo! Group

for better endurance.

Women of Curves

on Yahoo! Groups

see how women are

changing their lives.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar