Senin, 21 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Jangan ada kompleks, tdk perlu Ijin Praktek = krg penting (Wisnubroto, 2007)

Dear all,


Buat milisers yang ikut daily digest, atau belum memperoleh file pemikiran Bang Wisnubroto, berikut ini saya lampirkan langsung dalam tubuh email.


Semoga care dan berkenan urun rembug terhadap satu atau lebih pokok-pokok pemikiran Bang Wisnu. Siapa yang mau memulai?


For your info, Bang Wisnu akan hadir pula di tengah-tengah kita pada temu di Jakarta, 2 Februari 2008 mendatang.


Semoga kehadiran Bu Nani Nurrachman, Bung Irwanto, dan Bang Wisnubroto dapat memunculkan setidaknya sekadar "oase" di "padang gurun" organisasi profesi psikologi.


Semoga seluruh "gonjang ganjing" ini ada juga sesuatu gunanya.


Salam takzim,

Juneman



Berikut ini adalah Pokok-pokok Rekomendasi Bang Wisnu:


Menjawab pertanyaan kemana HIMPSI harus memperjuangkan legitimasi Profesi Psikolog yang bekerja di Organisasi Pemerintah / Perusahaan di Indonesia, saran saya Road Map nya adalah sbb:


a.        Ajukan ke Depnaker agar jabatan Psikolog dimasukkan kedalam KJI. Cara-nya, tunjukkan kepada pejabat Depnaker bahwa Jabatan (Occupation) tersebut sudah tercatat dalam ISCO. Sehingga seharusnya Depnaker meng-adopsi klasifikasi tersebut.


b.        Bagi kawan-kawan yang bekerja di Badan Pemerintah, selanjutnya memperjuangkannya melalui SATMINKAL masing-masing ke Menteri PAN. Menteri PAN sudah pasti tidak bisa menolak jika Jabatan tersebut sudah tercatat dalam KJI.


c.        Bagi kawan-kawan yang bekerja di Swasta tentu pejuangannya langsung ke Depnaker, yang nota bene ia pulalah yang mengeluarkan KJI.



Saran saya untuk menuju tercapainya TUJUAN   PERJUANGAN  RUU  tadi, adalah :


1.        Benahi Organisasi Profesi Psikologi yang ada.

  • Apakah ke-anggauta-an nya sudah memenuhi persyaratan Psikolog yang diperkenankan untuk praktek ?
  • Dan bagaimana keterkaitannya dengan Organisasi Psikologi lain yang ada (kalau ada).
  • Dalam kesempatan pemilihan Kepengurusan Organisasi Profesi yang baru (karena masa bakti Pengurus lama sudah habis), hendaknya ini digunakan untuk memilih Pengurus yang benar2 mempunyai "NIAT  TULUS" dan  PROFESIONAL (keilmuan) dan bukan di isi oleh Tokoh Politik yang ingin menggunakan Organisasi Profesi ini sebagai kendaraan Politiknya. 


2.        Bangun KODE ETIK PSIKOLOGI.

  • Pertegas batasan PSIKOLOG yang perlu mendapat IJIN PRAKTEK, dan PSIKOLOG bidang lain yang tidak memerlukan IJIN PRAKTEK (Misalnya Psikolog yang bekerja di bidang  PIO apakah memerlukan ijin Praktek ?)
  • Implementasikan Kode Etik Psikologi ini dengan benar dan secara professional, serta bukan sekedar untuk UNJUK PRESTASI dilatar belakangi ambisi-ambisi politik para pengurusnya, dst, dst.


3.        Bentuk DEWAN PSIKOLOGI yang beranggautakan Psikolog Senior, berbobot dan sudah acknowledged diambil dari berbagai Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia.


4.        Bagaimana dengan RUU Psikologi ?  Nanti – nanti saja, kalau sudah butuh.


Beberapa permasalahan Pokok yang harus disepakati dikalangan Pelaku Profesi ini.:


1.        Pembakuan Pengakuan Profesi Psikolog, sehingga Organisasi Profesi itu nantinya hanya akan beranggautakan


2.        Penetapan yang tegas Psikolog yang ber praktek di bidang apa yang perlu mendapat IJIN  PRAKTEK. 


  • Kembalikan kepada dulu latar belakang diperlukannya IJIN PRAKTEK itu untuk apa ? 
  • Tentunya untuk melindungi masyarakat dari mal-praktek dan sekaligus untuk melindungi kwalitas dan citra Profesi tsb. 
  • Sehingga dengan demikian kita dapat memutuskan aplikasi2 mana yang perlu dikendalikan melalui Ijin Praktek diatas. Disini perlu ada ketegasan judgement, jangan ada tenggang rasa, jangan ada kompleks seakan-akan kalau tidak perlu Ijin Praktek seakan-akan kurang penting,dll.


3.        Dengan dua hal dasar tsb diatas sudah dapat disepakati, dengan bulat, baru Pengembangan Organisasi Profesi tadi dapat dilakukan dengan lancar. Kode Etik lebih mudah disepakati. Dewan Psikologi lebih mudah disepakati.


Mengapa kedua hal tersebut diatas yang perlu diselesaikan terlebih dahulu ?  

  • Pertama : Dengan terselesaikannya kedua hal diatas, akan terbentuk suatu Kelompok (yang ber-organisasi) dengan keanggautaan-nya yang lebih homogen.
  • Kedua     :   Kedua hal tsb merupakan aspek/peran organisasi yang menyangkut harkat hidup profesi orang banyak (para psikolog).


4.        Menyangkut perlunya "LEADER" yang perlu me-rescue Organisasi Profesi dari situasi yang "simpang siur" ini, saya sarankan untuk memilih Fakultas Psikologi mengambil peran-nya kembali. Sebab institusi inilah yang menjadi Sumber keilmuan.


Langkah praktisnya saran saya adalah sbb : 


  • Fakultas Psikologi UI (sebagai Fak.Psikologi pertama di Indonesia) mengambil prakarsa mengundang pimpinan Fakultas Psikologi Perguruan Tinggi lain (semua saja, baik negeri maupun swasta. Sudah tidak jaman-nya lagi untuk membuat peng-kotak-an yang semu).
  • Pertemuan ini akan mencari jalan untuk menyelesaikan masalah Organisasi Profesi ini.  
  • Bentuk Team Profesi, yang beranggautakan Psikolog-Psikolog senior yang respectable.
  • Undang HIMPSI (yang selama ini dianggap sebagai Organisasi Profesi), dan juga undang berbagai  Psikologi terkait yang ada, guna pemetaan lapangan.
  • Komunikasikan dan sepakati cara penyelesaian terbaik.
  • Kembalikan penyelesaian ini kepada Organisasi Profesi baru yang sudah disempurnakan.









Legitimasi Jabatan / Profesi Psikolog  

dan  

Aturan  Main  Praktek  Psikolog  di  Indonesia




Yth Kawan2 Psikolog dan Sarjana Psikologi. 

Perkenankan saya menyampaikan sumbangan pemikiran saya dalam melihat permasalahan2 yang mencuat akhir2 ini dalam MAILGROUP kita ini.

 

LATAR  BELAKANG :

Dari urutan issue2 yang timbul dalam Mail Group kita ini, pertama-tama saya melihat :

Diawali dari keluhan seorang kawan yang menghimbau Himpunan Profesi Psikologi untuk memperjuangkan Pengakuan atau diterimanya LEGITIMASI Profesi Psikolog di Rumah Sakit. Untuk itu, ada sebagian kawan2 Psikolog yang mencari-cari kemana harus memperjuangkannya, mulai dari melakukan konsultasi ke Depnaker dimana diperoleh jawaban agar untuk itu dilakukan pendekatan ke Organisasi Profesi terlebih dahulu sebelum mengajukannya ke Depnaker. 

Sebagian kawan lain melakukan konsultasi ke DPR, dan bahkan akhir akhir sudah terdengar suara tentang RUU Psikologi (yang mencontoh bulat-bulat RUU Kedokteran), dengan Dewan Psikologi, dst, dst,


Menurut pandangan saya kedua Permasalahan diatas merupakan dua permasalahan yang berbeda sama sekali Masing2 punya Frame of Reference (Medan Perjuangan/ battle Field) yang berbeda.

Oleh karena nya saya usul untuk kita mengambil jarak sedikit dari kedua permasalahan yang sangat berbeda ini, dan membahasnya satu per satu.



2. PERUMUSAN MASALAH 


Saya melihat hal diatas sebagai dua Kelompok Permasalahan yang berbeda. Masing2 mempunyai Frame of Reference (Medan Perjuangan/ battle Field) yang berbeda pula.

 

PERMASALAHAN   I : 


Perjuangan untuk mendapat pengakuan / legitimasi bagi Profesi Psikolog. 

Untuk ini, " Frame of Reference "- nya adalah Standard Klasifikasi Jabatan Nasional, yang di  Indonesia dikenal sebagai KJI (Klasifikasi Jabatan Indonesia) yang diterbitkan oleh Depnaker-RI.  

Dikalangan internasional kita mempunyai apa yang dikenal sebagai ISCO (International Standard Classification of Occupations) yang dikeluarkan oleh ILO (United Nation).

Untuk mengenal KJI lebih lanjut, kita perlu mengenal ISCO terlebih dahulu, karena, ia merupakan Standard Internasional yang dijadikan acuan oleh banyak negara.



1.        Standard Classification of Occupations ( ISCO )

a.  Standard Classification of Occupations yang berisi 2 main concepts:

Job  :        Defined as a set of Tasks and Duties executed, or meant to be 

               executed, by one  person 

2.        Skill :        Defined as the ability to carry out the Tasks and Duties of a 

               Given Job.has the two following dimensions

2.1  Skill Level ( for which, there are only four broad Skill levels were 

defined as appear in the International Standard Classification of  

Education (ISCED). 

         2.1.a. First ISCO Level        :   Primary Education (5 years)

2.1.b. Second ISCO Level   :   Secondary Education (First Stage  

       3 years & 2nd Stage 3 years)

2.1.c. Third ISCO Level     :     University Degree

2.1.d. Fourth ISCO level    :     4 more years Post Graduate 

               University Degree

 

2.2.  Skill Specialization : defined by the Field of Knowledge required, the machinery used, the materials worked on or with, as well as the kinds of goods and services produced.

 b.        Design and Structure :

Komposisi dan Hirarki dari Occupation disusun kedalam 10 Major Groups, dan masing Major Group dibagi kedalam beberapa Sub Major Group – selanjutnya tiap Sub Major Group dibagi kedalam Minor Group – Unit Groups.

ISCO – 88  Major Groups with number of Sub Groups and Skill Levels


Major  Groups

Sub

Major

Minor

Groups

Unit

Groups

ISCO

Skill Lvl


1. Legislators, Senior Officials and Managers

2. Proffesionals

3. Technicians,and Associate Proffesionals

4. Clerks

5. Service Workers – Shop – Market Sales Worker

6. Skilled Agricultural and fishery workers

7. Craft and related trade workers

8. Plant and machine operators & assemblers

9. Elementary Occupations

0. Armed forces


3

4

4

2

2

2

4

3

3

1


8

18

21

7

9

6

16

20

10

1


33

55

73

23

23

17

70

70

70

1


--

4th

3rd

2nd

2nd

2nd

2nd

2nd

2nd

--



Dengan demikian sebetulnya apa yang dimuat dalam ISCO adalah JOB DESCRIPTION yang dibakukan atas Standard Occupation yang ada di dunia (demikian juga seharusnya dengan KJI).

 

2.        Bagaimana penggunaan ISCO / KJI untuk pengembangan Job Establishment System di Organisasi /Perusahaan di Indonesia ?

ISCO maupun KJI dapat dijadikan acuan / reference oleh setiap Organisasi / Perusahaan dalam membangun Compensation System (Salary System / Job Grading System / Merit System)  bagi karyawan2 yang dipekerjakannya.

Dengan demikian, KJI / ISCO tidak sebegitu jauh sampai mengatur tingkat besaran kompensasi / tingkat upah dari tiap jabatan, sebab banyak variable penentu lain yang harus ikut dipertimbangkan, seperti misalnya, Tingkat Kemakmuran / kondisi Pasar Tenaga Kerja setempat, dll.

Di Pertamina misalnya, pada awalnya mereka menggunakan menggunakan ISCO sebagai acuan ketika mereka menyusun Standard Klasifikasi Jabatan dan Job Establishment System - nya, karena dalam KJI banyak jabatan di bidang Perminyakan yang belum dikenal / dimuat.

Demikian juga halnya, pada waktu kami menyusun Job Establishment System di PT.IPTN, kami mengambil acuan / mencontoh Standard Klasifikasi Jabatan yang ada di Boeing Amerika.


Catatan :

Dalam hal Job Classification di Boeing, mereka bahkan telah mengambangkan lebih lanjut Job Nomenclatures yang lebih spesifik sebagai hasil perundingan antara Serikat Pekerja terkait di Negara Bagian dengan pihak Management Boeing. Secara keseluruhan di Boeing mereka mempunyai ribuan Job Nomenclatures. Dan tidak semuanya ada dalam ISCO.




3.        Bagaimana Indonesia mengatur Sistem Kepegawaian PNS  (Pegawai Negeri Sipil) - nya ? 

khusus bagi Pegawai Negeri Sipil di Indonesia, Menteri Penertiban Aparatur Negara telah menetapkan Standard Klasifikasi Jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil, dalam Sistem Kepegawaian Negara RI. (Peng-administrasian-nya selanjutnya dilakukan oleh BAKN - Badan Administrasi Kepegawaian Negara).

Namun dalam perjalanannya, harus diakui pula bahwa, Nomenklatur Jabatan yang telah diatur dalam Sistem Kepegawaian Negara itupun terus tumbuh dari waktu ke waktu, karena perkembangan teknologi dan pertumbuhan Organisasi Pemerintahan.  Oleh karenanya Men. PAN juga mengeluarkan ketentuan tentang prosedur untuk mengajukan Nomenklatur Jabatan baru yang belum pernah dimuat  sebelumnya.

Hal ini terjadi di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) pada waktu mereka mulai merasakan bahwa Sistem Kepegawaian Negara yang ada kurang dapat menampung secara lebih "adekwat" kondisi pekerjaan "Pengkajian" (untuk penerapan Teknologi) yang mereka lakukan . 

Pada mulanya bagi PNS yang bekerja di BPPT diberlakukan System Kepegawaian seperti di LIPI, yang meng-kelompok-kan jabatan2-nya kedalam beberapa tingkat PENELITI – beserta semua persyaratan kenaikan pangkatnya. ( Seorang PNS di LIPI harus mengikuti/ memenuhi syarat tingkat pendidikan dan program penelitian tertentu terlebih dahulu, sebelum dapat diusulkan kenaikan pangkatnya ).

Namun mengingat tugas2 pengkajian (Technology assessement) dalam prakteknya sangat berbeda dengan Tugas Penelitian (In depth research), maka BPPT merasa perlu mengusulkan kepada Menteri PAN, nomenklatur jabatan baru (disamping Peneliti yang juga ada) yang disebut "PENGKAJI" beserta  semua persyaratan kwalifikasinya,.

Selanjutnya Menteri PAN membentukTeam Evaluasi guna merundingkan dan men-justify seberapa jauh usul-usul BPPT tadi dapat di terima dan di putuskan.

Sehingga jika kita lihat kembali permasalahan rekan kita yang bekerja di RS Pemerintah Daerah, maka ia harus memperjuangkannya ke Dep Kes – dan selanjutnya Depkes yang akan memperjuangkannya ke Men PAN. 

Namun perlu dicatat disini bahwa, dengan adanya Otonomi Daerah Tingkat II dewasa ini, tentu akan terjadi penyesuaian2 prosedur diatas.


4.        Bagaimana dengan Perusahaan-perusahaan Swasta Nasional/ Asing di Indonesia ?

Bagi perusahaan-perusahaan Swasta, diharapkan mereka menyusun Job Establishment System-nya sendiri. Mereka dapat mengacu kepada KJI yang dikeluarkan oleh Depnaker dan kalau perlu dapat memasukkan Nomenklatur jabatan baru yang lebih mencerminkan Scope of Work yang tepat.

Setelah mereka menyelesaikan rumusan Job Establishment sampai dengan Sistem Upah Perusahaan, Perusahaan Swasta tadi harus mengajukan permohon untuk mendapat Persetujuan dari Depnaker.


Dengan demikian dapat kita lihat bahwa, KJI (Klasifikasi Jabatan Indonesia) adalah merupakan ACUAN STANDARD KLASIFIKASI JABATAN secara nasioal yang dapat atau boleh digunakan maupun tidak digunakan oleh Organisasi Pemberi Kerja yang beroperasi di Indonesia.

Namun menghadapi "Borderless Global Business" dewasa ini, BSN (Badan Standardisasi Nasional} bekerja sama dengan Depnaker dan Depdiknas, saat ini tengah berusaha membangun Standard Jabatan dan Standard Pendidikan bagi Pekerja yang melakukan Kegiatan/ pekerjaan di Indonesia, agar supaya pasar tenaga kerja Indonesia jangan di dominasi Pekerja-pekerja asing yang bersedia mendapat upah murah.

Selanjutnya menggunakan Standard Klasifikasi Jabatan itu, tiap Organisasi / Perusahaan yang beroperasi di Indonesia masih akan mengembangkan Job Establishment-nya sendiri. Jadi Job Establishment tsb bersifat  "local".

Akibatnya seorang Psikolog yang bekerja di Pertamina mungkin akan mendapatkan "treatment" yang berbeda dibandingkan rekannya yang bekerja di PT. Caltex misalnya.  Bahkan lebih lanjut lagi seorang Psikolog yang bekeja di Pertamina juga akan mendapat treatment yang bebeda di Perusahaan Konsultan Pengembangan SDM. Sebab peran profesi Psikolog dalam "Core Competence" masing-masing Perusahaan berbeda. Dan Ini normal terjadi.

Catatan :

Menyadari kondisi ini, maka dewasa ini para HRD Manager perusahaan-perusahaan di Indonesia, membentuk Asosiasi HRD Management Indonesia, untuk saling berkomunikasi dan bertukar pikiran untuk menyelaraskan hal-hal tsb diatas.



5.        Bagaimana Occupation "Psychologist" di klasifikasikan dalam ISCO- 88

Jika kita kembali kepada perjuangan yang tengah dilakukan oleh sebagian kawan2 di HIMPSI (sebagai Organisasi Profesi-nya Psikolog), dengan menggunakan mekanisme diatas seharusnya HIMPSI berjuang untuk memasukkan Job Nomenclature PSIKOLOG kedalam KJI dan agar dimasukkan kedalam Kelompok yang tepat.

Dalam ISCO – 88 ada tercantum Occupation PSYCHOLOGIST ( Code 88 berarti diterbitkan pd th 1988. Maaf ini dokumen paling mutakhir yang dapat saya pinjam, seharusnya yang lebih up to date dapat dibeli di Kantor PBB Jl.Thamrin),.

Psychologist tercatat dalam : 

Major Group 2 : Proffesionals  -  Sub Major 24 : Other Proffesionals  -  Minor Group 244 : Social Science and related Proffesionals  -  Unit Group 2445 : Psychologist.  Dan Skill Level nya adalah 4th (tingkat 4 – Sarjana Post Graduate keatas).

Mengenai Uraian Jabatan dari Psychologist disini digambarkan cukup panjang sehingga kurang tepat untuk saya kutip disini, mengingat tujuan tulisan ini hanyalah memberikan Guide Line bagi perjuangan kawan2 kita.

Saya sarankan HIMPSI membeli ISCO yang paling mutakhir di Kantor UN di jl. Thamrin – Jakarta Pusat.




6.        Bagaimana apresiasi dan legitimasi masyarakat umum terhadap profesi Psikolog ?

Dari pengamatan saya, saya berpendapat bahwa penerimaan masyarakat umum terhadap profesi Psikolog, ternyata tidak ditentukan oleh legitimasi formal sebagaimana diuraikan diatas. Pelayanan jasa professional lah yang lebih menentukan tingkat appresiasi masyarakat umum terhadap profesi Psikolog.


7.        Kesimpulan

Melihat Peta diatas, maka menjawab pertanyaan kemana HIMPSI harus memperjuangkan legitimasi Profesi Psikolog yang bekerja di Organisasi Pemerintah / Perusahaan di Indonesia, saran saya Road Map nya adalah sbb:


a.        Ajukan ke Depnaker agar jabatan Psikolog dimasukkan kedalam KJI. Cara-nya, tunjukkan kepada pejabat Depnaker bahwa Jabatan (Occupation) tersebut sudah tercatat dalam ISCO. Sehingga seharusnya Depnaker meng-adopsi klasifikasi tersebut.

b.        Bagi kawan-kawan yang bekerja di Badan Pemerintah, selanjutnya memperjuangkannya melalui SATMINKAL masing-masing ke Menteri PAN. Menteri PAN sudah pasti tidak bisa menolak jika Jabatan tersebut sudah tercatat dalam KJI.

c.        Bagi kawan-kawan yang bekerja di Swasta tentu pejuangannya langsung ke Depnaker, yang nota bene ia pulalah yang mengeluarkan KJI.



II.  PERMASALAHAN   KE  II :    RUU – Psikologi


Saya mendapat kesan bahwa permasalahan RUU Psikologi timbul ketika sebagian dari para Psikolog di tanah air sibuk mencari cara yang efektif untuk mengatur Tingkah Laku Psikolog dalam situasi praktek. 


Beberapa generasi HIMPSI belum juga berhasil membuat  " KODE ETIK  PSIKOLOGI ".


Belum lagi usaha untuk mencontoh habis Kode Etik Kedokteran berhasil dilakukan dan diterapkan dengan tepat  ("proper"), tiba – tiba ada sebagian Psikolog yang melakukan usaha-usaha untuk membuat Rancangan Undang-Undang Psikologi.

Usul saya dalam mensikapi permasalahan ini adalah sbb :

Sama-sama kita sepakati selama ini bahwa untuk  menyusun "aturan main" diantara "Praktisi Profesi", agar mereka melakukan tindakan-tindakan yang professional, perlu disusun "KODE  ETIK  PROFESI " yang diharapkan menjadi "Rule of Conduct" bagi praktek profesi tersebut.

Karena penilaian dan judgement atas "misconduct" yang mungkin dilakukan oleh seseorang Profesional tertentu akan dilakukan oleh sesama Profesional juga, maka diperlukan suatu Organisasi yang kemudian dapat memperoleh mandat untuk mengatur dan menjalankan Rule of Conduct tadi. Untuk  itu maka dibentuk ORGANISASI PROFESI, yang dalam hubungan ini memperoleh mandat untuk mengeluarkan IJIN PRAKTEK  bagi para PROFESIONAL tsb.

Dalam perjalannya, Legitimasi Formal ini mungkin mengalami KRISIS WIBAWA, karena kebetulan yang duduk dalam Kepengurusan ORGANISASI PROFESI tadi belum mendapat pengakuan intelektual dan wisdom dari para Profesional yang jauh lebih senior dan berpengalaman.di lapangan.  Maka biasanya dalam Organisasi Profesi seperti ini dibentuk semacam "DEWAN" yang beranggautakan para PROFESIONAL SENIOR, yang sudah well accepted & acknowledged diantara semua sesama Profesional di tanah Air. 

Seperti misalnya, jika Dewan Profesi itu dipimpin oleh seorang Prof.DR. yang sudah mendapat acknowledgement nasional (apalagi kalau internasional) misalnya, maka siapa diantara praktisi Profesi tadi yang tidak segan dan akan tetap mbalelo melakukan "misconduct", jika mendapat teguran dari Dewan Profesi tersebut.

Gambaran diatas dapat kita terapkan pula pada profesi "PSIKOLOG".  

Jika Dewan Psikologi ini dipimpin oleh Prof.DR.Fuad Hassan (sayang beliau sudah almarhum dan beranggautakan Psikolog senior dari berbagai Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia, maka Rule of Conduct yang mampu mengikat tingkah laku praktek para Psikolog di Indonesia dapat ditegak-kan.

Jadi sebetulnya Penempatan "Dewan Psikologi" dimaksud, seharusnya dalam Konteks ini.

Sementara ini dua tingkat pekerjaan ini saja belum selesai (Organisasi Profesi yang benar dan Kode Etik Psikolog), mengapa pula kita sudah harus memasuki perjuangan disusunnya "RUU Psikologi" ?

Sebab, mengapa UU Kedokteran menjadi issue yang ramai dewasa ini? Menurut hemat saya hal ini disebabkan oleh banyaknya Gugatan Hukum dari masyarakat atas tindakan-tindakan malpraktek dikalangan profesi Dokter. 

Kode Etik Kedokteran sudah lagi tidak mampu mengatur tingkah laku praktisi kedokteran dan sekaligus melindungi para dokter praktek (yang sudah bekerja dengan benar) dari gugatan2 hukum. 

Perlindungan Hukum atas HAM (Hak Azazi Manusia) telah jauh memasuki dan turut mengatur "keputusan-keputusan Medis" yang selama ini berada dalam domain Ilmu Kedokteran.

Bagaimana dengan profesi Psikolog ? apakah sudah cukup matang dinamika praktek psikolog untuk dapat di-akomodasi-kan dalam RUU yang seharusnya melindungi dan bukan justru membelenggu perkembangan praktek Psikolog di tanah air.


4.        Saran saya untuk menuju tercapainya TUJUAN   PERJUANGAN   RUU  tadi, adalah :


4.1.        Benahi Organisasi Profesi Psikologi yang ada.

>  Apakah ke-anggauta-an nya sudah memenuhi persyaratan Psikolog yang diperkenankan untuk praktek ?

>  Dan bagaimana keterkaitannya dengan Organisasi Psikologi lain yang ada (kalau ada).

> Dalam kesempatan pemilihan Kepengurusan Organisasi Profesi yang baru (karena masa bakti Pengurus lama sudah habis), hendaknya ini digunakan untuk memilih Pengurus yang benar2 mempunyai "NIAT  TULUS" dan  PROFESIONAL (keilmuan) dan bukan di isi oleh Tokoh Politik yang ingin menggunakan Organisasi Profesi ini sebagai kendaraan Politiknya. 

4.2.        Bangun KODE ETIK PSIKOLOGI.

>        Pertegas batasan PSIKOLOG yang perlu mendapat IJIN PRAKTEK, dan PSIKOLOG bidang lain yang tidak memerlukan IJIN PRAKTEK (Misalnya Psikolog yang bekerja di bidang  PIO apakah memerlukan ijin Praktek ?)

>        Implementasikan Kode Etik Psikologi ini dengan benar dan secara professional, serta bukan sekedar untuk UNJUK PRESTASI dilatar belakangi ambisi-ambisi politik para pengurusnya, dst, dst.

4.3.        Bentuk DEWAN PSIKOLOGI yang beranggautakan Psikolog Senior, berbobot dan sudah acknowledged diambil dari berbagai Perguiruan Tinggi terkemuka di Indonesia.

4.4.        Bagaimana dengan RUU Psikologi ?  Nanti – nanti saja, kalau sudah butuh.



Saran Penutup

Saya yang selama ini (bahkan sampai saya pensiun) tidak bekerja di bidang Psikologi namun tetap mengamati bagaimana para Psikolog (yang pada umumnya lebih muda dari saya) didalam Organisasi Profesi Psikolog, melihat kesimpang-siuran yang kompleks. Repotnya lagi pola interaksi diantara pengurus Organisasi terkait sudah sarat dengan emosi. Sehingga usaha-usaha untuk menyelesaikan permasalahan Organisasi Profesi ini sudah semakin sukar. Dibutuhkan seorang "Leader" yang harus me- "rescue" situasi ini, dan mengembalikannya ke arah yang benar.

Ada beberapa permasalahan Pokok yang harus disepakati dikalangan Pelaku Profesi ini.:


1.        Permbakuan Pengakuan Profesi Psikolog, sehingga Organisasi Profesi itu nantinya hanya akan beranggautakan

2.        Penetapan yang tegas Psikolog yang ber praktek di bidang apa yang perlu mendapat IJIN  PRAKTEK. 

Kembalikan kepada dulu latar belakang diperlukannya IJIN PRAKTEK itu untuk apa ? 

Tentunya untuk melindungi masyarakat dari mal-praktek dan sekaligus untuk melindungi kwalitas dan citra Profesi tsb. 

Sehingga dengan demikian kita dapat memutuskan aplikasi2 mana yang perlu dikendalikan melalui Ijin Praktek diatas. Disini perlu ada ketegasan judgement, jangan ada tenggang rasa, jangan ada kompleks seakan-akan kalau tidak perlu Ijin Praktek seakan-akan kurang penting,dll.

3.        Dengan dua hal dasar tsb diatas sudah dapat disepakati, dengan bulat, baru Pengembangan Organisasi Profesi tadi dapat dilakukan dengan lancar. Kode Etik lebih mudah disepakati. Dewan Psikologi lebih mudah disepakati.

       Mengapa kedua hal tersebut diatas yang perlu diselesaikan terlebih dahulu ?  

Pertama : Dengan terselesaikannya kedua hal diatas, akan terbentuk suatu Kelompok (yang ber-organisasi) dengan keanggautaan-nya yang lebih homogen.

Kedua     :   Kedua hal tsb merupakan aspek/peran organisasi yang menyangkut harkat hidup profesi orang banyak (para psikolog).

4.        Menyangkut perlunya "LEADER" yang perlu me-rescue Organisasi Profesi dari situasi yang "simpang siur" ini, saya sarankan untuk memilih Fakultas Psikologi mengambil peran-nya kembali. Sebab institusi inilah yang menjadi Sumber keilmuan.

Langkah praktisnya saran saya adalah sbb : 

a.        Fakultas Psikologi UI (sebagai Fak.Psikologi pertama di Indonesia) mengambil prakarsa mengundang pimpinan Fakultas Psikologi Perguruan Tinggi lain (semua saja, baik negeri maupun swasta. Sudah tidak jaman-nya lagi untuk membuat peng-kotak-an yang semu).

Pertemuan ini akan mencari jalan untuk menyelesaikan masalah Organisasi Profesi ini.  

b.        Bentuk Team Profesi, yang beranggautakan Psikolog-Psikolog senior yang respectable.

c.        Undang HIMPSI (yang selama ini dianggap sebagai Organisasi Profesi), dan juga undang berbagai  Psikologi terkait yang ada, guna pemetaan lapangan.

d.        Komunikasikan dan sepakati cara penyelesaian terbaik.

e.        Kembalikan penyelesaian ini kepada Organisasi Profesi baru yang sudah disempurnakan.


PENUTUP


Di zaman "kebebasan berpendapat" ini, mudah-mudahan pandangan saya yang berasal pengalaman dan pemikiran pribadi ini,  tidak menyinggung perasaan kawan-kawan psikolog, dan juga pasti tidak akan lepas dari kemunginan adanya kesalahan-kesalahan persepsi yang mendasarinya. 

Mohon maaf sekiranya ada kesalahan-kesalahan dimaksud, dan terima kasih.


Jakarta  14 Januari 2008 

Wassalam : Wisnubroto (Psi UI-64)

__._,_.___
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Self Improvement

on Yahoo! Groups

Connect with people

and get support.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar