Senin, 07 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Menyiapkan masa depan si kecil dan kaitannya dengan kelekatan emosional

Hai,
Saya hanya ingin membagi tulisan atas wawancara dengan sebuah majalah perempuan Indonesia.
Mudah-mudahan membantu mencerahkan...
 
Best,
Ratih Ibrahim
 
Menyiapkan Masa Depan Si Kecil dan Kaitannya dengan Kelekatan Emosional

 

 

1.        Jelaskan yang dimaksud dengan Kelekatan Emosional (Emotional Attachment)?

 

Emotional attachment adalah sebagaimana yang diterjemahkan di sini sebagai kelekatan emosional. Apakah itu? Intinya, emotional attachment yang positif mengandung unsur kasih sayang, hormat, keakraban, perasaan dekat, perasaan bahwa ia didukung, serta semua emosi positif lain yang saling dimiliki, saling mengait dan melekat satu sama lain secara utuh, menyeluruh antara mereka yang saling berhubungan. Dan memang hubungan antara ibu dan anak yang sehat adalah contoh konkretnya. Sejak ada terbentuk dan lalu tumbuh dalam rahim ibu, sampai ia dilahirkan dan dirawat dalam pengasuhan ibu, selama itu pulalah terjalin sebuah ikatan biopsikologis yang menjadi dasar emotional attachment yang luar biasa antara anak dengan ibunya, dan sebaliknya.

 

Para ahli perkembangan meyakini kelekatan emosional yang positif ini memiliki nilai yang luar biasa pentingnya sebagai dasar perkembangan anak menjadi pribadi yang sehat dan utuh. Tentu saja modal yang begini baik ini harus senantiasa dibina dalam sebuah lingkungan yang kondusif dan penuh kasih sayang.

 

 

2. Apakah Kelekatan Emosional terbesar terdapat dalam hubungan antara ibu dengan anak kandungnya? Atau antara suami-istri? Atau dalam hubungan lainnya?

 

Contoh kelekatan emosi yang paling kelihatan, memang terutama bisa kita lihat pada hubungan anak dengan ibunya. Namun pada dasarnya hal ini bisa terjadi antara siapa saja. Terutama mereka yang signifikan, penting dengan diri kita. Semakin penting orang tersebut, semakin besar peran yang bersangkutan terhadap hidup kita dan semakin besar kenyamanan emosional yang diperoleh dengan hadirnya orang tersebut, semakin besar kelekatan emosional yang ada. Itu sebabnya kelekatan ini terutama terjalin antara anak dengan ibunya. Dan mengapa begitu besar, karena ada sebuah ikatan biopsikis yang sudah terjalin secara naluriah sejak kehadiran sang anak dalam kehidupan ibunya, sejak ia tumbuh sebagai janin dalam kandungan ibunya.

 

Bagaimana dengan suami dan istri? Apakah ada kelekatan emosional juga? Jelas ya. Ketika sepasang sejoli menikah, umumnya pernikahan tersebut didasarkan pada cinta, harapan, keyakinan bahwa dengan bersama-sama mereka akan mampu membangun kehidupan yang lebih baik, lebih bahagia. Umumnya juga mendasarkan kecocokan satu sama lain sebagai dasar mengapa mereka memilih pasangannya. Kecocokan itu memberikan rasa nyaman besama-sama. Ada rasa selalu ingin bersama-samaAda rasa bahwa pasangannya mendukung dirinya, begitupun sebaliknya. Ada rasa lebih aman dengan bersama-sama, lebih mantap dan lebih lengkap ketika bersama-sama. Termasuk juga ada rasa kehilangan, rasa kuatir, kekosoangan ketika tidak bersama-sama. Sehingga timbul juga rasa kuatir, ketakutan ditinggal pasangannya.

 

Nah semua ini adalah bentuk adanya kelekatan emosional yang ada antara suami istri. Dalam bentuk yang mirip namun dengan perwujudan maupun intensitas yang berbeda, kelekatan emosi   ini juga ada pada hubungan-hubungan yang lain.

 

2.        Mengapa Kelekatan Emosional antara ibu dan anak kandungnya begitu besar?

 

Sudah dijawab di soal no 1 dan 2. karena ada sebuah ikatan biopsikis yang sudah terjalin secara naluriah sejak kehadiran sang anak dalam kehidupan ibunya, sejak ia tumbuh sebagai janin dalam kandungan ibunya. Semakin ibunya siap menerima sang anak, semakin besar ikatan yang terjalin. Dan adanya naluri keibuan, to nurture mendukung tumbuhnya kelekatan emosional tersebut.

 

 

3.        Sejak kapan hubungan emosional antara ibu dan anak kandungnya itu terbentuk?

 

Sejak sang anak hadir dalam kehidupan ibunya. Sejak sang ibu menyadari kehadiran anaknya, selama anak tersebut tumbuh dalam kandungan ibunya, sampai ia dilahirkan, lalu dirawat, diasuh, dibesarkan oleh ibu.

 

Bahkan bukan hanya oleh ibunya saja, tetapi juga pada sang ayah. Juga mereka yang memiliki hubungan dengan ibu dan ayah (kakek, nenek, paman, bibi, kaka, adik, dll) , serta mereka yang   turut terlibat dalam pengasuhan anak (pengasuh bayi, pembantu, dll)

 

4.        Karena begitu besar hubungan emosional antara ibu dan anak kandungnya, berarti sang ibu punya tanggung jawab yang besar dalam membesarkan anaknya. Kalau begitu bagaimana caranya agar sang ibu bisa menjalankan tanggung jawab yang besar itu, tapi ia tetap disayangi anak-anaknya?

 

Peran pengasuhan , tanggung jawab terhadap anak, tidak semata-mata hanya pada ibu lho. Saya sangat tidak setuju jika tanggungjawab itu dikatakan sebagai hanya milik ibunya. Kalau dikatakan peran pengasuhan anak terutama pada ibu, menurut saya adalah lantaran masyarakat kita masih sangat terpaku kepada konsep ibuisme. Sehingga seolah-olah semuanya adalah tanggung jawab ibu, harus ibu yang melakukannya, atau bahkan hanya ibu yang bisa melakukannya. Konsep ini juga potensial menghantui si ibu, sehingga ia termotivasi untuk melakukan segala-galanya sendiri demi menjadi ibu yang baik, ibu yang sempurna. Padahal, jujur saja, setiap orang, termasuk perempuan, memiliki keterbatasannya sendiri-sendiri. Itu sebabnya tidak cukup hanya sang perempuan sendirian, sang ibu, yang harus menjalankan seluruh tanggung jawab atas keluarganya, atas anak-anaknya sendirian.

 

Kalau sendirian, si ibu bisa kecapaian. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara  emosional dan psikologis lantaran harus menanggung segala sesuatunya sendirian.  Seorang yang kecapaian, terlalu lelah, tidak akan mampu lagi untuk memberikan dirinya lagi. Dan hal ini bisa menjadi pemicu ketidak bahagiaan dirinya. Ketidak bahagiaan akan mempengaruhi munculnyaberbagai emosi negatif lainnya. Dan semuanya itu tercermin dalam perilakunya. Sehingga bukan tidak mungkin dia akan menjadi tidak sabaran, pemarah, dan mungkin malahan jadi si pelaku kekerasan di rumah. Baik terhadap anaknya sendiri, maupun kepada anggota keluarga lainnya. Belum lagi jika ia dilanda kekuatiran yang besar, ketidak yakinan bahwa ia akan mampu berperan sebagai ibu yang baik. Atau kekuatiran akan masa depan anaknya bersama dia. Hal ini   juga bisa mempengaruhi perilaku ibu dalam pengasuhan anaknya.

 

Itu sebabnya ibu harus dibantu. Minimal untuk merasa yakin bahwa hal-hal yang utama untuk anak dan keluarganya sudah terjamin. Dan biasanya yang menjadi kekuatiran terbesar pada ibu untuk keluarganya terutama yang berkaitan dengan kebutuhan sandang-pangan-papan, kesehatan dan pendidikan anak. Selain itu adanya oang-orang lain yang turut membantu ibu mengurus keluarga dan anak-anaknya. Jika untuk urusan domestik lebih beres, ibu bisa punya waktu lebih banyak , tenaga lebih segar dan   lebih tenang mengasuh anak-anaknya. Karenanya semuanya membutuhkan juga pendanaan, maka dari itu perencanaan dan jaminan finansial yang baik dibutuhkan.

 

5.        Bagaimana caranya agar sang ibu bisa selalu merasa bahagia menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu? Mengingat tugas menjadi ibu itu tidaklah mudah.

 

Yang pertama-tama harus disadari semua orang adalah bagaimanapun dibutuhkan adanya sebuah panggilan untuk menjadi orangtua. Serta kesadaran bahwa menjadi orangtua melibatkan sebuah tanggungjawab, komitmen seumur hidup. Jadi bukan semata-mata lantaran nasib, atau karena sesuatu yang otomatis terjadi ketika sepasang suami istri menikah. Begitupun dengan menjadi seorang ibu. Dengan demikian, sang calon ibu memang semestinya menginginkan untuk jadi ibu. Dan idealnya ia juga siap untuk menjadi ibu. Dengan demikian ketika pada suatu ketika ia sungguh-sungguh jadi ibu, hamil, mempunyai anak, ia akan menyambutnya dengan penuh suka cita.

 

Yang kedua adalah peran ayah. Bicara tentang orangtua, berarti tidak hanya oleh sang ibu saja. Orangtua selalu melibatkan dua orang : ayah dan ibu. Sehingga ketika kita bicara tentang peran sebagai ibu, peran sebagai orangtua, idealnya kita juga melibatkan peran sang ayah.

Dalam sebuah keluarga, peran ayah, keterlibatan sang ayah, sebagai pasangan ibu luar biasa besar. Ayah memang harus juga ikut terlibat bersama ibu dalam menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai orang tua.    Tanpa keterlibatan ayah, akan luar biasa sulit bagi ibu untuk menjalankan seluruh peran dan tanggungjawabnya dengan suka cita.

 

Ketiga. Kesiapan untuk  menjadi orangtua memang mutlak penting. Apa saja yang yang harus dipersiapkan? Kesiapan mental, emosional, sosial dan finansial adalah penting. Bagaimanapun menjadi orangtua bukan sebuah peran main-main. Menjadi orangtua adalah sebuah peran serius seumur hidup.

 

6.        Selain mempersiapkan dana (uang) untuk kebutuhan si kecil, apa lagi yang harus dipersiapkan seorang ibu agar sang anak tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan kokoh?

 

Mempersiapkan dana untuk kebutuhan si kecil, adalah bagian dari persiapan menjadi orangtua. Nah persiapan menjadi orangtua, idealnya sudah dilakukan   bahkan sejak sebelum orangtua menikah. Tentu saja sejauh keduanya yakin bahwa masing-masing adalah pasangan sejatinya dan merencanakan pernikahan bersama. Dan perencanaan, persiapan yang baik sebetulnya adalah bagian dari perwujudandari komitmen serta   tanggungjawab untuk menjadi  orangtua.

 

Mengapa persiapan finansial penting? Karena untuk kesejahteraan hidup dibutuhkan sejumlah dana yang tidak sedikit. Kesejahteraan hidup akan memberikan jaminan akan sandang-pangan-papan. Ketiga hal ini adalah hal dasar yang dibutuhkan setiap rumah tangga dan keluarga   untuk bisa berjalan. Begitupun dengan  kesehatan dan pendidikan. Dan setiap keluarga biasanya mendambakan standard ideal yang   minimal bagi keluarganya juga anak-anaknya. Sekali lagi untuk itu semua dibutuhkan pendanaan.

 

Selain itu kesiapan mental, emosional dan sosial orangtua juga sangat penting. Dengan terpenuhinya ke empat aspek kesiapan tersebut mudah-mudahan orangtua, sang ibu dan ayah bisa menyediakan sebuah lingkungan yang sangat kondusif bagi anak-anaknya, baik dirumah, maupun lingkungan lain yang lebih luas, yang dapat membantu si anak tumbuh secara sehat dan utuh.

 

 

7.        Di usia berapakah yang terbaik untuk mulai menyekolahkan anak?

 

Usia berapa sebaiknya kita mulai menyekolahkan anak?

Jujur saja, ini sangat terpulang kepada kebutuhan masing-masing anak dan tujuan orangtua menyekolahkan anaknya. Ada mereka yang menyekolahkan anaknya sejak usia yang sangat dini. Ada yang di usia lebih besar. Saya percaya, di usia berapapun baik untuk menyekolahkan anak, asal orangtua sungguh mendasarkannya kepada kebutuhan anak, dan memilihkan sekolah yang betul-betul cocok untuk anaknya. Dengan demikian, bukan di dasarkan pada ambisi orangtuanya semata.

 

Yang jelas usia wajib bersekolah dimulai pada usia 6 tahun. Pada saat itu anak siap masuk ke pendidikan sekolah dasar, di kelas 1 SD.   Memasuki sekolah dasar, sifat penyelenggaraan pendidikannya cenderung formal. Untuk itu dibutuhkan kematangan dan kesiapan anak untuk mampu menjalaninya. Kesiapan dan kematangan ini meliputi berbagai aspek pada anak, termasuk kematangan kognitif, kematangan psikomotor, kematangan sosial dan kematangan emosional.Itu sebabnya, saya tidak menganjurkan orangtua untuk memasukkan anak ke SD di bawah usia 6 tahun.

 

Nah di jaman sekarang ini ada sangat banyak sekolah dengan berbagai variasi layanan yang ditonjolkannya, bahkan ada yang dimulai sejak usia bayi. Tentu saja fokus layanan pendidikan yang disediakan masing-masing sekolah tersebut juga berbeda. Untuk anak-anak usia bayi, apa yang diberikan lebih berupa stimulasi motorik kasar (melalui kegiatan merangkak, berguling, dll)   dan stimulasi ketrampilan kognitif dasar (pengenalan warna, pengenalan bentuk, dll). Dan pada saat itu pendampingan dari orang dewasa mutlak harus. Itu sebabnya satu anak harus didampingi satu orang dewasa, biasanya oleh orangtuanya atau pengasuhnya.

Mengikuti perkembangan tahapan usia anak, tingkat kesulitan tugas yang diberikan kepada anak juga berubah. Semakin anak dewasa, semakin dituntut kemandirian pada anak untuk mengerjakan tugas yang diminta.

 

Tadi saya bicara tentang kebutuhan anak dan tujuan orangtua menyekolahkan anak-anaknya. Saya sendiri mulai menyekolahkan kedua anak saya sejak mereka berusia sekitar 18 bulan. Kelasnya di sebut kelas Toddler, di sebuah sekolah yang sangat dekat dengan rumah. Dan kelas itu betul-betul kelas untuk bayi. Setiap anak harus didampingi oleh orangtua atau pengasuhnya. Satu anak, satu orang pendamping – orang dewasa. Mengapa saya menyekolahkan anak2 saya di usia dini mereka? Tujuan saya pada saat itu adalah supaya kedua bocah saya itu berkesempatan bertemu dan bergaul dengan banyak anak lain seusianya, dalam sebuah lingkungan dan suasana yang kondusif, terstruktur dan sistematis. Hal ini jelas tidak mudah untuk diterapkan di rumah.

 

Nah, menurut saya, yang penting adalah bagaimana orangtua bisa tetap konsisten, berkomitmen kepada tujuannya mengapa dia menyekolahkan anaknya. Mengapa? Karena sesungguhnya dengan keluar dari rumah, di usianya yang sangat dini, dan harus berinteraksi dengan anak-anak lain, dengan orang dewasa lain sudah memberikan tantangan yang besar kepada anak. Tentunya hal ini tidak perlu ditambah dengan beban lain yang tidak relevan, yang muncul lantaran setelah bertemu dengan para orang tua   lain, sang orangtua jadi berubah. Lantaran orang tua jadi  terusik egonya untuk membuat anaknya menjadi sehebat-hebatnya, supaya tidak kalah dengan anak-anak lain.Dalam hal ini, anak yang potensial menjadi korban. Korban ego si orangtuanya.

 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Green Groups

on Yahoo! Groups

share your passion

for the planet.

Summer Shape-up

on Yahoo! Groups

Trade weight loss

and swimsuit tips.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar