Sabtu, 12 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Quo Vadis Organisasi Profesi? (Bahan Temu Februari)

Dear all,


semoga bahan2 ini menjadi bahan refleksi untuk organisasi profesi psikologi, dan semoga menjadi bahan untuk pertemuan di Jakarta Februari 2008 mendatang.


Silakan ditelaah simetri & asimetrinya dengan organisasi profesi psikologi.


Terimakasih.


Salam takzim,

Juneman




---

KEMANA KAU ORGANISASI PROFESI?

Oleh: Drg. Judianto, MPH

Pusat Pemberdayaan Profesi dan Tenaga Kesehatan Luar Negeri

Bppsdmk, Jakarta - 



Dicari:!!! 

Organisasi profesi Kesehatan kelas dunia yang mandiri untuk menjadi mitra pemerintah dalam mengembangkan SDM Kesehatan Indonesia menjadi pemain kelas dunia.


Persyaratan:


   1. Mau bekerja keras

   2. Memiliki dedikasi tinggi

   3. Bekerja purna waktu untuk melayani anggotanya

   4. Memiliki wawasan luas.


Seandainya diperbolehkan kami akan memasang iklan diatas secara besar-besaran di berbagai media cetak dan elektronik. Mengapa? Karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki organisasi profesi yang professional. Untuk menelusuri pernyataan ini mari kita lihat anatomi organisasi profesi kesehatan di Indonesia.


Hampir semua organisasi profesi kesehatan di Indonesia belum mempunyai kantor yang tetap dan representatif (Pusat dan Cabang). Para pengurus merupakan tenaga sukarela yang bekerja secara lepas dan paruh waktu. Hal ini karena para pengurusnya adalah yang sebagian besar PNS yang sibuk dan hanya memiliki sedikit waktu untuk mengurus organisasi. Terlebih lagi sebagian besar dari mereka memiliki jabatan cukup tinggi di instansi pemerintah, baik sebagai pejabat struktural maupun fungsional yang sibuk. Karena mereka adalah PNS, maka cara berpikirnya, cara bekerjanya, dan program kerjanya mirip dengan pemerintah. Sehingga dapat dikatakan di Indonesia, organisasi profesi adalah cabang dari kantor pemerintah. Bila demikian adanya bagaimana mungkin mereka menjadi mitra bagi dirinya sendirinya.


APA dan SIAPA Organisasi Profesi?

Hanya kalangan dokter yang tahu apakah seorang dokter emiliki kemampuan dan sikap profesi yang mumpuni. Demikian juga halnya dengan profesi perawat, bidan, dan lainnya.


Dengan demikian pihak yang paling tepat untuk mengatur dan mengembangkan kemampuan profesi adalah profesi itu sendiri. Hal ini dapat dimengerti, karena untuk mengetahui dan memahami seluk beluk sebuah profesi seseorang harus mempelajari keilmuan dan ketrampilan serta memiliki pengalaman. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menjadi anggota profesi tersebut. Berdasarkan logika tersebut maka hanya profesi itu sendiri yang tahu bagaimana mengembangkan diri, anggotanya maupun profesinya secara keseluruhan. Untuk menjalankan peran tersebut, maka diperlukan adanya organisasi yang mewadahi semua orang yang memiliki profesi sama.


Sayang, di Indonesia sebagian besar organisasi tak lebih merupakan sejenis ikatan alumni dari institusi pendidikan sejenis yang berkumpul bila ada seminar, kegiatan sosial, dan kongres.


PERAN SENTRAL ORGANISASI PROFESI

Peran utama organisasi profesi adalah menentukan standar profesi (atau standar kompetensi) dan standar pendidikan profesi. Standar ini akan menjadi acuan utama dalam merancang kurikulum pendidikan.


Selepas dari lembaga pendidikan, seorang lulusan tidak otomatis dapat menjalankan profesinya. Terlebih dulu ia harus mendapat pengakuan dari organisasi profesi bahwa uang bersangkutan memiliki kompetensi, sikap dan perilaku seperti yang dipersyaratkan. Untuk itu organisasi profesi harus memiliki kode etik yang dapat menjaga kredibilitas profesi.


Mengingat dinamika perkembangan IPTEK Kesehatan, seorang profesional harus terus memutahirkan pengetahuan dan ketrampilannya. Untuk itu organisasi profesi harus menyediakan layanan bagi anggotanya dalam bentuk pendidikan berkelanjutan, atau pelatihan, seminar, coaching clinic, jurnal, maupun layanan informasi. Sebagai bentuk tanggung jawab moral bagi masyarakat, organisasi profesi harus mampu memantau anggotanya dari penyalahgunaan profesi. Dalam situasi dewasa ini dimana masyarakat telah melek hukum, akan banyak terjadi gugatan hukum dari masyarakat terhadap pelayanan anggota profesi. Untuk itu organiasai profesi harus memiliki struktur organisasi yang dapat menangani masalah hukum yang berkeadilan bagi kedua pihak, baik dari masyarakat (penggugat) maupun pihak anggota profesi tersebut.


Dalam era globalisasi dimana mobilitas tenaga kesehatan akan berlangsung secara lintas batas, dan lintas budaya organisasi profesi dituntut untuk berkolaborasi membentuk suatu jaringan dengan organisasi profesi sejenis dari negara-negara lain.



PRIVILEGE PROFESI KESEHATAN

Perlu disadari bahwa profesi kesehatan memiliki privilege atau hak istimewa yang sangat besar. Dokter, perawat, bidan, dan profesi kesehatan lainnya memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang harus atau perlu dilakukan pasien.


Keunikan dari dunia kesehatan adalah sebagai contoh, di rumah sakit, dokter dan profesi kesehatan lainnya yang nota bene merupakan pegawai, justru memiliki peran dan kewenangan yang lebih besar dari pemilik atau manajemennya. Profesi kesehatan juga memiliki informasi tentang pasiennya yang dapat mempengahruhi nasib dan kehidupan pasien tersebut. Sehingga profesional kesehatan harus bersumpah untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut. Bahkan di Indonesia kewenangan profesi kesehatan telah ikut menentukan dunia perpolitikan, dimana penilaian profesinyan ikut menentukan apakah seorang warganegara layak menjadi anggota DPR atau calon presiden.


KRITERIA KESIAPAN ORGANISASI PROFESI

Berikut ini adalah sebuah organisasi profesi yang profesional (sebagai bahan renungan bagi kalangan profesi):


   1. Profesi kesehatan tersebut mewakili suatu disiplin yang diakui secara internasional.

   2. Ada keinginan masyarakat yang nyata untuk mengangkat profesi ini di Indonesia pada basis regulated atau self regulated.

   3. Telah ada asosiasi profesi resmi yang bersifat swadana, dengan nama yang dikenal sebagai mewakili profesi itu minimal 5 tahun dan merupakan suatu Badan yang terdaftar serta berfungsi dengan struktur korporat, mempunyai peratuiran-peraturan yang mengikat, komisi-komisi, cara pemilihan dan prosedur pemungutan suara yang sesuai bagi profesi itu, serta mengadakan pertemuan teratur antar anggotanya dan menerbitkan laporan tahunan yang terbuka bagi anggota masyarakat.

   4. Asosiasi ini mempunyai jejaring dengan organisasi-organisasi internasional sebagai counter-part dan telah mendaftar atau memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota organisasi dari organisasi internasional yang berkaitan dengan profesi itu serta kepentingan-kepentingan pendidikan dan profesional lainnya.

   5. Jumlah anggotanya yang membayar iuran pada asosiasi profesi ada pada tingkat yang wajar dari keseluruhan SDM dari disipilin tersebut (diharapkan tak kurang dari 30%).

   6. Batang ilmu (body of knowledge) resmi yang harus dimiliki oleh anggota harus ditetapkan, beserta persyaratan pendidikan profesi minimum dan gelar yang berlaku.

   7. Memiliki kode etik profesi yang resmi dan dipublikasi mengikat bagi anggota asosiasi dan menjadi syarat yang dipakai untuk menjadi atau tetap sebagai anggotanya.

   8. Ada suatu komisi disipliner dan proses yang baku dalam menangani masalah-masalah perilaku etis.

   9. Ada suatu komisi yang menangani standar praktik profesi.

  10. Ada suatu persyaratan formal untuk prndidikan berkelanjutan dengan suatu proses mendapatkan dan melaporkan angka kredit yang dicapai.

  11. Ada kebijakan dan proses baku dalam menghadapi keluhan dan keberatan masyarakat.

  12. Ada kebijakan dan proses baku untuk mengkomunikasikan minat dan posisi profesi kepada masyarakat.

  13. Asosiasi profesi tersebut telah mampelajari dengan seksama konsep regulasi dan mengerti hukum dan peraturan yang berlaku bagi profesi itu serta kapasitas institusional yang dibutuhkan dalam implementasinya.

  14. Asosiasi profesi telah menjelaskan pada anggotanya konsep dan kewajiban dalam status regulasi, telah mengadakan semacam poll di kalangan anggotanya utnuk menanyakan apakah akan meneruskan upaya regulasi ini dan sebagian besar (lebih dari 50%) anggota telah menyepakatinya.

  15. Asosiasi profesi telah mengajukan permohonan resmi kepada instansi pemerintah yang berwenang menerima dan memproses permohonan untuk memperoleh status regulasi ini (sebaiknya Depkes) dengan didukung bukti-bukti tersebut diatas dan bila diperlukan kriteria lain yang ditetapkan lebih lanjut oleh pemerintah.


PENUTUP

Uraian diatas kami harapkan dapat menggugah kalangan profesi kesehatan untuk bangkit dan berbenah diri menjadi mitra pemerintah. Bahkan lebih jauh dari itu, kiranya tidak berlebihan bila kami katakan bahwa hidup matinya bangsa ini berada ditangan profesional kesehatan. Bagaimana mungkin bangsa ini akan tumbuh maju secara bermartabat bila status kesehatannya tidak mampu membuatnya bersaing dengan masyarakat bangsa lain.


Sumber : Majalah SDM Kesehatan, Vol 1 No 4 Oktober 2005





Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia 


Budi Sampurna


Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll.  Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.


Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.


Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.


Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.


Etik Profesi Kedokteran


Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.


World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1] 


Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.


Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).


Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.


            IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).


            Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar "hanya" akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.


Majelis Kehormatan Etik Kedokteran


Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.


 MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah "disiplin profesi", yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.


Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.


            Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.


            Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :


1.      Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan


2.      Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.


            Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bar's Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di"sah"kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).


            Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5


            Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. [3]


            Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.


            Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.


Pengalaman MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta 1997-2004 (8 tahun)


Dari 99 kasus yang diajukan ke MKEK, 13 kasus (13 %) tidak jadi dilanjutkan karena berbagai hal – sebagian karena telah tercapai kesepakatan antara pengadu dengan teradu untuk menyelesaikan masalahnya di luar institusi. Selain itu MKEK juga menolak 14 kasus (14 %), juga karena beberapa hal, seperti : pengadu tidak jelas (surat kaleng), bukan yurisdiksi MKEK (bukan etik-disiplin, bukan wilayah DKI Jakarta, etik RS, dll), sudah menjadi sengketa hukum sehingga sidang MKEK dihentikan. Dengan demikian hanya 74 kasus (75 %) yang eligible sebagai kasus MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta.


Dari 74 kasus yang eligible tersebut ternyata sidang MKEK menyimpulkan bahwa pada 24 kasus diantaranya (32,4 % dari kasus yang eligible atau 24 % dari seluruh kasus pengaduan) memang telah terjadi pelanggaran etik dan atau pelanggaran disiplin profesi. Namun perlu diingat bahwa pada kasus-kasus yang dicabut atau ditolak oleh MKEK terdapat pula kasus-kasus pelanggaran etik, dan mungkin masih banyak pula kasus pelanggaran etik dan profesi yang tidak diadukan pasien (fenomena gunung es).


Dari 24 kasus yang dinyatakan melanggar etik kedokteran, sebagian besar diputus telah melanggar pasal 2 yang berbunyi "Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi".


Pasal lain dari Kodeki yang dilanggar adalah pasal 4 yang berbunyi "Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri", pasal 7 yang berbunyi "Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya", dan pasal 12 yang berbunyi "Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal".


 


 

Tahun

Jumlah Pengaduan

Dicabut

Ditolak

Tidak terdapat pelanggaran etik / profesi

Terjadi pelanggaran etik / profesi

1997

10

3

2

4

1

1998

11

2

3

3

3

1999

18

2

5

7

4

2000

14

2

1

8

3

2001

10

3

1

5

1

2002

13

1

1

6

5

2003

14

-

1

10

3

2004

  9 *

 

 

1

4

Jumlah

99 *

13

14

44

24

 * sisanya (4 kasus) belum selesai diproses




Apabila dilihat dari cabang keahlian apa yang paling sering diadukan oleh pasiennya adalah : SpOG (24), SpB (17), DU (14), SpPD (10), SpAn (7), SpA (4), SpKJ (3), SpTHT (4), SpJP (2), SpM (2), SpP (2), SpR (2) kemudian masing-masing satu kasus adalah SpBO, SpBP, SpBS, SpF, SpRM, SpKK, SpS dan SpU. Mereka pada umumnya bekerja di rumah sakit atau klinik ( 90 % ), bukan di tempat praktek pribadi.


Dan apabila dilihat dari sisi pengadunya, maka terlihat bahwa pada umumnya pengadu adalah pasien atau keluarganya, tetapi terdapat pula kasus-kasus yang diajukan oleh rumah sakit tempat dokter bekerja dan oleh masyarakat (termasuk media masa).


Dari sisi issue yang dijadikan pokok pengaduan, atau setidaknya terungkap di dalam persidangan, dapat dikemukakan bahwa menduduki tempat teratas adalah komunikasi yang tidak memadai antara dokter dengan pasien dan keluarganya. Kelemahan komunikasi tersebut muncul dalam bentuk : kurangnya penjelasan dokter kepada pasien – baik pada waktu sebelum peristiwa maupun sesudah peristiwa, kurangnya waktu yang disediakan dokter untuk dipakai berkomunikasi dengan pasien, komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien.


Ditinjau dari sisi sanksi yang diberikan dapat dikemukakan bahwa pada umumnya diberikan sanksi berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Terdapat dua kasus diberi sanksi reschooling. Tidak ada yang memperoleh sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktek.


Dari sekian banyak yang ditolak oleh MKEK terdapat kasus-kasus sengketa antar dokter, sengketa dokter dengan rumah sakit, dan surat kaleng; sedangkan mereka yang mencabut kasusnya umumnya tidak diketahui alasannya, hanya sebagian yang menyatakan sebagai akibat dari upaya damai.


Kesimpulan


            Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa masalah yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien, baik dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar manusia maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi.


            Pelajaran lain adalah bahwa sosialisasi nilai-nilai etika kedokteran, termasuk kode etik profesi yang harus dijadikan pedoman berperilaku profesi (professional code of conduct), kepada para dokter yang bekerja di Indonesia belumlah cukup memadai, sehingga diperlukan crash-program berupa pendidikan kedokteran berkelanjutan yang agresif di bidang etik dan hukum kedokteran, pemberian mata ajaran etik dan hukum kedokteran bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran sejak dini dan bersifat student-active, serta pemberian bekal buku Kodeki bagi setiap dokter lulusan Indonesia (termasuk adaptasi).


 


Pustaka lanjutan


Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 3rd ed. New York: Oxford University Press, 1989.


Breen K, Plueckhahn V, Cordner SM. Ethics, Law and Medical Practice. St Leonard NSW: Allen & Unwin, 1997


Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-Bass, 2001


Dix A, Errington M, Nicholson K, Powe R. Law for the medical profession in Australia. Second ed. Australia: Butterworth-Heinemann, 1996


Elliot C and Quinn F. Tort Law. Second edition. Essex: Pearson Education Limited, 1999.


Harpwood V. Modern Tort Law. 5th ed. London: Cavendish Publ Ltd, 2003.


Hickey J. The Medical Protection Society Experience Worldwide. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.


Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 1991


Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Kode Etik Kedokteran Indonesia


Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer health system. Washington: National Academy Press, 2000


Kuhse H and Singer P. Bioethics on Anthology. Oxford: Blackwell Publ, 1999.


Leenen H, Gevers S, Pinet G. The Rights of Patients in Europe. Deventer : Kluwer Law and Taxation Publ, 1993


Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989.


McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.


O'Rourke K. A Primer for Health Care Ethics. 2nd ed. Washington DC: Gergetown University Press, 2000.


Plueckhahn VD and Cordner SM. Ethics, Legal Medicine & Forensic Pathology. Melbourne : Melbourne University Press, 1991.


Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publication, 2002


Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis : American College of Legal Medicine, 1998.


Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995


Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.


Tjiong R. Worldwide trends of medical negligence claims and implications for Singapore from UMP perspective. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.


Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan


Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.


WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, September 1992


 


[1] Lebih lanjut agar dibaca buku "Kode Etik Kedokteran Indonesia"


[2] Breen K, Plueckhahn V, Cordner SM. Ethics, Law and Medical Practice. St Leonard NSW: Allen & Unwin, 1997


[3] Dix A, Errington M, Nicholson K, Powe R. Law for the medical profession in Australia. Second ed. Australia: Butterworth-Heinemann, 1996





Kode etik dan organisasi profesi1 


Sulistyo-Basuki2 


1. Pendahuluan


Kode etik yang dibahas dalam makalah ini dikaitkan dengan kode etik susunan Ikatan Pustakawan Indonesia (untuk selanjutnya disingkat IPI) sedangkan IPI merupakan organisasi profesi. Menyangkut definisi profesi ada 2 pendekatan yaitu pendekatan berdasarkan definisi yang diberikan dalam buku dan buku rujukan serta pendekatan berdasarkan ciri yang ada. Maka definisi profesi berdasarkan buku misalnya sebagai berikut: profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.


Definisi di atas secara tersirat mensyaratkan pengetahuan formal menunjukkan adanya hubungan antara profesi dengan dunia pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan lembaga yang mengembangkan dan meneruskan pengetahuan profesional.


Karena pandangan lain menganggap bahwa hingga sekarang tidak ada definisi yang yang memuaskan  tentang profesi yang diperoleh dari buku maka digunakan pendekatan lain dengan menggunakan ciri profesi. Secara umum ada 3 ciri yang disetujui oleh banyak penulis sebagai ciri sebuah profesi. Adapun ciri itu ialah: 


   1. Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi.  Pelatihan ini dimulai sesudah seseorang memperoleh gelar sarjana. Sebagai contoh mereka yang telah  lulus sarjana baru mengikuti pendidikan profesi seperti dokter, dokter gigi, psikologi, apoteker, farmasi, arsitektut untuk Indonesia. Di berbagai negara, pengacara diwajibkan menempuh ujian profesi sebelum memasuki profesi.


 


   2. Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Pelatihan tukang batu, tukang cukur, pengrajin meliputi ketrampilan fisik. Pelatihan akuntan, engineer, dokter meliputi komponen intelektual dan ketrampilan. Walaupun pada pelatihan dokter atau dokter gigi mencakup ketrampilan fisik tetap saja komponen intelektual yang dominan. Komponen intelektual merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan bantuan menyangkut bidang keahliannya yang rata-rata tidak diketahui atau dipahami orang awam. Jadi memberikan konsultasi bukannya memberikan barang merupakan ciri profesi.


 


   3. Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat. Dengan kata lain profesi berorientasi memberikan jasa untuk kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Dokter, pengacara, guru, pustakawan, engineer, arsitek memberikan jasa yang penting agar masyarakat dapat berfungsi; hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh seorang pakar permainan caturmisalnya. Bertambahnya jumlah profesi dan profesional pada abad 20 terjadi karena ciri tersebut. Untuk dapat berfungsi maka masyarakat modern yang secara teknologis kompleks memerlukan aplikasi yang lebih besar akan pengetahuan khusus daripada masyarakat sederhana yang hidup pada abad-abad lampau. Produksi dan distribusi enersi memerlukan aktivitas oleh banyak engineers. Berjalannya pasar uang dan modal memerlukan tenaga akuntan, analis sekuritas, pengacara, konsultan bisnis dan keuangan. Singkatnya profesi memberikan jasa penting yang memerlukan pelatihan intelektual yang ekstensif.


 


      Di samping ketiga syarat itu ciri profesi berikutnya. Ketiga ciri tambahan tersebut tidak berlaku bagi semua profesi. Adapun ketiga ciri tambahan tersebut  ialah: 


   4. Adanya proses lisensi atau sertifikat. Ciri ini lazim pada banyak profesi namun tidak selalu perlu untuk status profesional. Dokter diwajibkan memiliki sertifikat praktek sebelum diizinkan berpraktek. Namun pemberian lisensi atau sertifikat tidak selalu menjadikan sebuah pekerjaan menjadi profesi. Untuk mengemudi motor atau mobil semuanya harus memiliki lisensi, dikenal dengan nama surat izin mengemudi. Namun memiliki SIM tidak berarti menjadikan pemiliknya seorang pengemudi profesional. Banyak profesi tidak mengharuskan adanya lisensi resmi. Dosen di perguruan tinggi tidak diwajibkan memiliki lisensi atau akta namun mereka diwajibkan memiliki syarat pendidikan, misalnya sedikit-dikitnya bergelar magister atau yang lebih tinggi.  Banyak akuntan bukanlah Certified Public Accountant dan ilmuwan komputer tidak memiliki lisensi atau sertifikat.


 


   5. Adanya organisasi. Hampir semua profesi memiliki organisasi yang mengklaim mewakili anggotanya. Ada kalanya organisasi tidak selalu terbuka bagi anggota sebuah profesi dan seringkali ada organisasi tandingan. Organisasi profesi bertujuan memajukan profesi serta meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Peningkatan kesejahteraan anggotanya akan berarti organisasi profesi terlibat dalam mengamankan kepentingan ekonomis anggotanya. Sungguhpun demikian organisasi profesi semacam itu biasanya berbeda dengan serikat kerja yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya pada kepentingan  ekonomi anggotanya. Maka hadirin  tidak akan menjumpai organisasi pekerja tekstil atau bengkel yang berdemo menuntut  disain mobil yang lebih aman atau konstruksi pabrik yang terdisain dengan baik.


 


   6. Otonomi dalam pekerjaannya. Profesi memiliki otonomi atas penyediaan jasanya. Di berbagai profesi, seseorang harus memiliki sertifikat yang sah sebelum mulai bekerja. Mencoba bekerja tanpa profesional atau menjadi profesional bagi diri sendiri dapat menyebabkan ketidakberhasilan.  Bila pembaca mencoba menjadi dokter untuk diri sendiri maka hal tersebut tidak sepenuhnya akan berhasil karena  tidak dapat menggunakan dan mengakses obat-obatan dan teknologi yang paling berguna. Banyak obat hanya dapat diperoleh melalui resep dokter.


 


Dengan demikian sebenarnya kode etik tidak merupakan syarat mutlak keberadaan sebuah profesi. Namun demikian karena kode etik disusun oleh organisasi profesi maka keberadaan kode etik dapat dikaitkan dengan keberadaan organisasi dan organisasi ini merupakan syarat tambahan, berbeda dengan syarat mutlak yang dicantumkan dalam ketiga butir persyaratan sebuah profesi. 


2. Etika dengan etiket


Sebelum membahas  lebih lanjut mengenai kode etik, ada baiknya kita memahami istilah yang berkaitan dengan etika guna mencegah salah pengertian. Dalam kaitannya dengan pendidikan pustakawan, ada program studi yang memberikan mata kuliah "Etiket dan kepribadian pustakawan" di samping mata kuliah "Etika profesi." 


Etika merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu berasal dari kata Arab dan kata tersebut berasal dari kata Yunani filosofia. Kata filosofia berasal dari kata filo dan sofia. Filo artinya cinta dalam arti seluas-luasnya yaitu ingin dan karena ingin  itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan. Sofia artinya kebijaksanaan, artinya pandit, tahu secra mendalam. Maka batasan filsafat menurut pendekatan nama adalah ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan. 


Definisi filsafat menurut pengertian umum artinya ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Karena filsafat telah mengalami perkembangan cukup lama maka timbul berbagai pendapat mengenai pengertian filsafat yang mempunyai kekhususan masing-masing. Adanya aliran dalam filsafat membuktikan adanya bermacam-macam pendapat yang khas yang berbeda satu dengan yang lain. Misalnya rasionalisme mengagungkan akal, materialisme mengagungkan materi, idealisme mengagungkan idea, hedonisme mengagungkan kesenangan dan stoicisme mengagungkan tabiat saleh. 


Etika dan estetika merupakan cabang filsafat  tentang tindakan di samping filsafat tentang pengetahuan, filsafat tentang keseluruhan kenyatan dan  sejarah filsafat. 


         1. Etika dan estetika.


Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. 


Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, noprma agama  dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan,norma agama berasal dari agama  sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun  berasal dari  kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika. 


         2. Etika dan etiket


Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris dikenal sebagai ethics dan etiquette. Antara etika dengan etiket terdapat persamaan yaitu:


   1. etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.


 


   2. Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilkukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.


 


Adapun perbedaan antara etika dengan etiket ialah:


      (a) etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkan cara


      yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu. Misalnya dalam makan, etiketnya ialah orang tua didahulukan mengambil nasi, kalau sudah selesai tidak boleh mencuci tangan terlebih dahulu. Di Indonesia menyerahkan sesuatu harus dengan tangan kanan. Bila dilanggar dianggap melanggar etiket. 


      Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. 


   2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Bila tidak ada orang lain atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya etiket tentang cara makan. Makan sambil menaruh kaki di atas meja dianggap melanggar etiket dila dilakukan bersama-sama orang lain. Bila dilakukan sendiri maka hal tersebut tidak melanggar etiket. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.


 


   3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contohnya makan dengan tangan, bersenggak sesudah makan. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti "jangan berbohong", "jangan mencuri" merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.


 


   4. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahirian saja sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.


 


2.3.  Etika dan ajaran moral


Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia. 


Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya). 


               1. Fungsi etika


Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, itu ajaran moral, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.


Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena:


         1. pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;

         2. modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional;

         3. berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.


 


Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi:


   1. Sikap terhadap sesama;

   2. Etika keluarga

   3. Etika profesi  misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi

   4. Etika politik

   5. Etika lingkungan hidup


      serta


   6. Kritik ideologi


 


3. Etika


Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangka moral adalah  ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb.  Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika dengan moralitas. 


3.1. Moralitas


Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai suami atau isteri, sebagai pustakawan. 


Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adala sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber  tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. 


3.2. Etika dan moralitas


Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya. 


3.3. Etika dan agama


Etika tidak dapat menggantikan agama. Orang yang percaya menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi.  Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut: 


   1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapu ia juga ingin mengertimengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.


 


   2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.


 


   3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.


 


   4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena


 


   5. itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia.


 


4. Istilah berkaitan


Kata etika sering dirancukan dengan  istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau kode etika. Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah ajaran sopan santun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompok dengan manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusia hidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau di tengah hutan. Etis artinya sesuai dengan ajaran moral, misalnya tidak etis menanyakan usia pada seorang wanita. Ethos artinya sikap dasar seseorang dalam bidang tertentu. Maka ada ungkapa ethos kerja artinya sikap dasar seseorang dalam pekerjaannya, misalnya ethos kerja yang tinggi artinya dia menaruh sikap dasar yang tinggi terhadap pekerjaannya. Kode atika atau kode etik artinya daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalam menjalankan tugasnya. 


Etika terbagi atas 2 bidang besar yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum masih dibagi lagi menjadi prinsip dan moral dasar etika umum. Adapun etika khusus merupakan terapan etika, dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu disebut kode etika atau kode etik. 


5.  Kode etik


Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. 


Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. 


Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri. 


Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan. 


Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter, guru, pustakawan, pengacara, Pelanggaran kde etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat Kode Etik Kedokteran. Bila seorang dokter dianggap melanggar kode etik tersebut, maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia, bukannya oleh pengadilan. 


5.1. Sifat kode etik profesional


Kode etik adalah pernyataan cita-cita dan peraturan pelaksanaan pekerjaan (yang membedakannya dari murni pribadi) yang merupakan panduan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok. Kode etik yang hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi. 


Sifat dan orientasi kode etik hendaknya singkat; sederhana, jelas dan konsisten; masuk akal, dapat diterima, praktis dan dapat dilaksanakan; komprehensif dan lengkap; dan positif dalam formulasinya. Orientasi kode etik hendaknya ditujukan kepada rekan, profesi, badan, nasabah/pemakai, negara dan masyarakat. Kode etik diciptakan untuk manfaat masyarakat dan bersifat di atas sifat ketamakan penghasilan, kekuasaan dan status. Etika yang berhubungan dengan nasabah hendaknya jelas menyatakan kesetiaan pada badan yang mempekerjakan profesional. 


Kode etik digawai sebagai bimbingan praktisi. Namun demikian hendaknya diungkapkan sedemikian rupa sehingga publik dapat memahami isi kode etik tersebut. Dengan demikian masyarakat memahami fungsi kemasyarakatan dari profesi tersebut. Juga sifat utama profesi perlu disusun terlebih dahulu sebelum membuat kode etik. Kode etik hendaknya cocok untuk kerja keras 


Sebuah kode etik menunjukkan penerimaan profesi atas tanggung jawab dan kepercayaan masyarakat yang telah memberikannya. 


6. Kode etik ilmuwan informasi


Pada tahun 1895 muncullah istilah dokumentasi sedangkan orang yang bergerak dalam bidang dokumentasi menyebut diri mereka sebagai dokumentalis. Istilah dokumentasi kini ada yang mengaggapnya sudah usang walaupun istilah tersebut masuh lazim digunakan di Eropa Barat.  DI AS, istilah dokumentasi diganti menjadi ilmu informasi sebagaimana nampak pada perubahan nama badan yang bergerak dalam bidang dokumentasi. Dahulu organisasi dokumentasi bernama American Documentation Institute kemudian diganti menjadi American Society for Information (ASIS). Sebagai sebuah organisasi profesi maka ASIS pun berupaya menyusun kode etik untuk ilmuwan informasi (information scientists). Kode etik ASIS tumbuh dari pembahasan etika yang dimulai di Inggeris. Penulis Inggeris B.J.  Kostrewski dan  Charles Oppenheim menunjukkan bahwa ilmuwan informasi memerlukan kode etik dan mereka membutuhkannya jauh lebih banyak daripada apa yang mereka sadari. Gagasan kedua penulis tersebut kemudian dibahas oleh ASIS, kemudian membentuk  ASIS Public Affairs Committee (ASIS PAC). PAC membuar rencana kode etika untuk masyarakat. Tugas PAC kemudian diteruskan oleh ASIS Professionalism Committee yang menbuat rancangan  ASIS Code of Ethics for Information Professionals. Kode etik yang dihasilkan terdiri dari preambul dan 4 kategori pertanggungan jawab etika, masing-masing pada pribadi, masyarakat, sponsor, nasabah atau atasan dan pada profesi. Kesulitan menyusun kode etik menyangkut (a) apakah yang dimaksudkan dengan kode etik dan bagaimana seharunysa; (b) bagaimana kode tersebut akan digunakan; (c) tingkat rincian kode etik dan (d) siapa yang menjadi sasaran kode etik dan kode etik diperuntukkan bagi kepentingan siapa.


Walaupun ada kode etik profesi, keberadaan kode etik bukanlah sesuatu yang mutlak dan pasti sehingga tidak dapat diubah. Sesuai dengan tuntutan zaman, kode etik dapat diubah. 


7. Kode etik Ikatan Pustakawan Indonesia


Kode etik pustakawan (untuk memudahkan disingkat KEP) disusun oleh IPI (lihat Lampiran 1). Sejak penyusunannya hingga tahun 2000 belum pernah direvisi ataupun dibahas dalam pertemuan ilmiah. Dengan demikian pelanggaran kode etik yang mungkin terjadi juga tidak dibahas. Seandainya ada pelanggaran kode etik, IPI masih belum memiliki semacam Majelis Kode Etik Pustakawan Indonesia yang bertugas memecahkan  pelanggaran kode etik beserta sanksinya. Beberapa butir yang memerlukan pembahasan. 


7.1. definisi pustakawan


Definisi pustakawan dinyatakan dalam KEP, berbeda mislanya dengan Kode Etik (KE) Singapura, Filipina, Malaysia.3 Definisi pustakawan disebutkan dalam pendahuluan. Ada beberapa asosiasi, misalnya Canadian Library Association menganggap perpustakaan dan pustakawan sebagai sebuah kesatuan sehingga tidak perlu memberi definisi pustakawan. Pandangans erupa diikuti oleh Singapore Library Association (SLA), Philippines Library Association dan Persatuan Pustakawan Malaysia (PPM). 


7.2.kewajiban umum 


7.2.1. Tugas yang diemban.


Kewajiban umum yang dicantumkan dalam KEP (Kode Etik Pustakawan) terlalu berat.


Butir (1) menyatakan bahwa "rofesi pustakawan adalah profesi yang terutama mengemban tugas pendidikan dan penelitian." Tugas ini terlalu berat, pustakawan bukanlah seorang pendidik atau peneliti; pustakawan adalah tenaga yang berhubungan dengan tugas informasi. Seperti dikatakan Pendit (2000a) IPI ingin menunjukkan bahwa profesi pustakawan terekesan agung dan mulia. Hal tersebut menunjukkan bahwa IPI masih belum yakin akan profesinya sendiri. 


7.2.2. Butir (2) Pengabdian kepada masyarakat


Pustakawan ...mengutamakan pngabdian negara dan bangsa" berdasarkan pengalaman semasa Orde Baru digunakan untuk kepentingan penguasa. Sesungguhnya kepentingan utama pustakawan ialah pemakai, pengguna, klien dan pemakai tidak dapat dirampadkan (generalisasi) menjadi masyarakat.


8.3. kewajiban terhadap organisasi profesi


Kewajiban ini bersifat berat sebelah karena mewajibkan anggota IPI namun tidak memuat ketentuan apa kewajiban pengurus IPI serta IPI sebagai organisasi kepada anggotanya. Dalam AD/ART tidak dinyatakan secara jelas tugas IPI dan PB IPI kepada anggotanya. 


8. Beberapa saran.


Berdasarkan kajian dengan berbagai organisasi profesi di luar negeri maka ada butir yang perlu ditambahkan pada KEP yaitu: 


(1) ketentuan yang mengatur hubungan antara pustakawan dengan pemakai.


Hal ini belum dicantumkan dalam KEP karena pustakawan berhadapan angsung dengan pemakai. Dalam hal ini kewajiban pustakawan disebutklan seperti:


   1. memberikan layanan/jasa dan kepuasan kep[ada pemakai (pengguna) dengan mengerahkan segala pengetahuan dan keahlian yang dimiliki pustakawan;

   2. melindungi dan menjaga privasi dan kepercayaan pemakai serta membantu mereka dalam konsultasi informasi.Ini berkaitan dengan kerahasiaan informasi.


 


(2) hubungan dengan masyarakat


Hal ini belum dicakup dalam KEP. Pemakai merupakan bagian dari masyarakat namun dalam berbagai kode etik selalu dicantumkan  butiran hubungan dengan masyarakat. Seyogyanya dalam KEP mendatang disertakan peran pustakawan sebagai pemandu arus bebas informasi atau hak informasi dalam segala kehidupan masyarakat sehingga dengan demikian pustakawan merupakan fasilitator sumber informasi bagi masyarakat. Hal lain yang perlu pertimbangan untuk dimasukkan ialah:


    * mutu dan kecepatan layanan. Pustakawan yang bermalas-malasan memberikan layanan atau lambat mengolah buku dapat dkatakan sebagai melanggar kode etik walaupun tidak melanggar undang-undang. Demikian pula pustakawan yang membiarkan permintaan penelusuran tidak dijawab segera;

    * teknologi informasi (TI). Bagaimana sikap pustakawan terhadap TI serta pendayagunaannya bagi masyarakat;

    * bagaimana sikap pustakawan terhadap pemakai yang membiarkan atau memungkinkan seorang pemakai memfotokopi seluruh karya tulis. Bagaimana kaitannya dengan hak cipta?

    * penerimaan imbalan. Hal ini erat sekali dengan kondisi Indonesia di mana pustakawan pegawai negeri menerima gaji yang relatif lebih rendah daripada mereka yang bekerja di sektor swasta. Situasi tersebut menimbulkan masalah apakah pustakawan boleh atau tidak boleh menerima imbalan dalam tugasnya.


 


(3) Definisi pustakawan.


      Berbagai kode etik negara jiran tidak memberikan definisi lengkap seperti kode etik IPI namun memberikan ciri pustakawan dilihat dari tugasnya. PPM mengatakan tugas seorang pustakawan ialah  mengawasi, memilih, mengorganisasi, melestarikan dan menyebarluaskan informasi. 


(4) Hubungan dengan atasan. 


Hal ini belum dibahas dalam KEP.


   6. Perlunya lembaga pengaduan dan pemeriksaan pelaksanaan kode etik. Walaupun kode etik sudah ada selama bertahun-tahun namun belum ada lembaga yang menerima pengaduan pelanggaran kode etik maupun memeriksa pelaksanaannya. Situasi ini menumbuhkan kesan bahwa kode etik tidak perlu ditaati karena pelanggaran toh tidak diikuti dengan sangsi.


 


   7. Penyebaran kode etik. Data yang diperoleh dari karya akhir mahasiswa JIP FSUI tentang pengetahuan kode etik sangat menyedihkan, apalagi persepsi dan tanggapan mereka tentangnya. Untuk Jakarta, dari 10 perpustakaan utama hanya 4 saja yang pernah mendengar keberadaan kode etik, itupun pengetahuan mereka masih terbatas.


 


9. Penutup


Kode etik merupakan bagian dari organisasi profesi sedangkan organisasi profesi merupakan persyaratan sebuah profesi. Kode etik untuk pustakawan Indonesia disusun oleh Ikatan Pustakawan Indonesia. Walaupun keberadannya sudah cukup lama, namun eksistensinya  tidak banyak diketahui orang. Sementara itu isi kode etik pustakawan Indonesia terlau berat bagi anggotanya karena adanya kewajiban yang beraneka warna sementara itu disisi lain belum dicakup hubungan pustakawan dengan pemakai, hubungan dengan masyarakat serta berbagai masalah yang memerlukan pemikiran seperti masalah imbalan, sikap ogah-ogahan dari pustakawan dalam melayani pemakai, sikap terhadap hak cipta. Pelanggaran kode etik tidak dicakup karena belum ada lembaga penerima pengaduan pelanggaran kode etik serta lembaga yang melaksanakan kode etik. Maka sudah waktunya  Kode Etik Pustakawan direvisi. 


Bibliografi 


Allerton Park Institute. Ethics and the librarian.  Urbana,Illinois: University of Ilinois


Graduate School of Library and Information Science, 1991.


America Library Association. "Statement on professional ethics adopted ny ALA


Council, June 30, 1981." American Libraries, 13, October 1982:595


Arlante, S.M. and R. Y. Tarlis. "The professionalization of librarians: a unique


Philippines experience,"Asian Libraries, 3 (2) June 1993:13-22


Bayles, M. D. Profesional ethics.  2nd ed.  Belmont, Calif.: Wadsworth, 1989.


Bekker, J.Professional ethics and its application to librarianship.  Unpublished


dissertation, Case Western Reserve University [Cleveland,Ohio], 1976.


Bernier, C. L. "Ethics of knowing." Journal of the American Society for Information


Science, 36, May 1985:211-2


Blixrud, J.C. and Sawyer, E. J. "A code of ethics for ASIS: the challenge before


us," ASIS Bulletin, 11, Oct. 1984:8-10


Finks, Lee W. And Elisabeth Soekefeld. Encyclopedia  of Library and Information


Science. vol 52 supplement  15, 1993 s.v. "Professional ethics,"


Hauptman, R. Ethical challenges in librarianship.  Phoenix, A: Oryx Press, 1988


Kochen, M. "Ethics and information science," Journal of the American Society for


Information Science, 38, May 1987:206-10


Kultgen, J. H. Ethics and professionalism.  Philadelphia, PA: University of


Pennsylvania ,  Press, 1988.


Library Association of Singapore. Code of ethics. http://www.faife.dk/lascode.htm. 24


November 2000


Magnis-Suseno, Franz. Etika sosial. Jakarta: APTIK bekerja sama dengan Gramedia


Pustaka Utama, 1991.


Pendit, Putu (a) . Kode etik. 20 November 2000. i_c_s@groups.com.   Akses tgl 27


November 2000.


Pendit, Putu (b). Kode etik (2). 21 November 2000. i_c_s@egroups.com. 27 November


2000.


Pendit, Putu. Sangsi moran (Re:saran dan komentar untuk Kode Etik). 27 Nov. 200.


i_c_s@egroups.com. 28 November 2000


Persatuan Pustakawan Malaysia (Librarians Association of Malaysia). Code of ethics.


http://www.faife.uk/ethics/faifecode. 22 November 2000.


Professional Regulation Commission of the Republic of Philippines. Code of ethics for


      registered librarians.  1992. http://www.faife.dk/ethics/bbcode   24 November 2000


Prins, Hans and Wilco de Gier. "Image, status and reputation of librarianship and


information work,"IFLA Journal, 18 (2) 1992:108-118


Rutgers School of Communication, Information, and Library Studies. Information


      ethics:  concerns for librarianship and the information industry.  Jefferson,NC:McFarland, 1990


Strauc, K. and B. Strauch (editors). Legal and ethical issues in acquisition.  New


York:  Haworth Press, 1990.


Soeriptyo, Yuni. Saran dan komentar untuk Kode Etik Pustakawan. 24 Nov. 2000.


i_c_s@egropus.com. 27 November 2000. 

 


Lampiran 1


KODE ETIK PUSTAKAWAN


Berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa, Indonesia telah mencapai  kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. 


Dalam rangka mencapai tujuan kemerdekaan nasional, yakni  mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata dan  berkesinambungan material dan spiritual, diperlukan warganegara  Indonesia yang berkeahlian dalam berbagai bidang termasuk  pustakawan yang setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang  Dasar 1945. 


Pustakawan yang telah sepakat bergabung dalam organisasi  profesi Ikatan Pustakawan Indonesia dengan niat yang luhur serta  penuh kesungguhan mengabdikan dirinya dengan jalan memberikan  pelayanan perpustakaan, dokumentasi dan informasi dengan tujuang  meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan  negara. 


Menyadari eksistensi serta peranannya dalam masyarakat,  dengan ini Ikatan Pustakawan Indonesia mengikrarkan Kode Etik  Pustakawan Indonesia. 


BAB I


Pengertian Pustakawan


Pustakawan adalah seorang yang melaksanakan kegiatan  perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat  sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu  perpustakaan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya melalui  pendidikan. 


BAB II


Kewajiban Umum


   1. Setiap Pustakawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa  profesi pustakawan


   adalah profesi yang terutama  mengembangkan tugas pendidikan dan penelitian.


   2. Setiap Pustakawan Indonesia dalam menjalankan profesinya  menjaga martabat dan moral serta mengutamakan pengabdian  pada negara dan bangsa.


 


   3. Setiap Pustakawan Indonesia menghargai dan mencintai  kepribadian dan kebudayaan Indonesia.


 


   4. Setiap Pustakawan Indonesia mengamalkan ilmu pengetahuannya  untuk kepentingan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan  agama.


 


   5. Setiap Pustakawan Indonesia menjaga kerahasiaan informasi  yang bersifat pribadi yang diperoleh dari masyarakat yang  dilayani.


 


BAB III


Kewajiban kepada organisasi dan profesi


      1. Setiap Pustakawan Indonesia menjadikan Ikatan Pustakawan  Indonesia sebagi forum kerjasama, tempat konsultasi dan  tempat pengemblengan pribadi guna peningkatan ilmu  pengembangan profesi antara sesama pustakawan. 


   2. Setiap Pustakawan Indonesia memberikan sumbangan tenaga,  pikiran dan dana kepada organisasi untuk kepentingan  pengembangan ilmu dan perpustakaan di Indonesia.


 


      3. Setiap Pustakawan Indonesia menjauhkan diri dari perbuatan  dan ucapan serta sikap dan tingkah laku yang merugikan  organisasi dan profesi, dengan cara menjunjung tinggi nama  baik Ikatan Pustakawan Indonesia. 


      4. Setiap Pustakawan Indonesia berusaha mengembangkan  organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia dengan jalan selalu  berpartisipasi dalam setiap kegiatan di bidang perpustakaan  dan yang berkaitan dengannya. 


BAB IV


Kewajiban antara sesama Pustakawan


      1. Setiap Pustakawan Indonesai berusaha memelihara hubungan  persaudaraan dengan mempererat rasa solidaritas antara  Pustakawan.


   2. Setiap Pustakawan Indonesia saling membantu dalam berbuat  kebijakan dalam mengembangkan profesi dan dalam melaksanakan  tugas.


 


   3. Setiap Pustakawan Indonesia saling menasihati dengan penuh  kebijaksanaan demi kebenaran dan kepentingan pribadi,  organisasi dan masyarakat.


 


   4. Setiap Pustakawan Indonesia saling menghargai pendapat dan  sikap masing-masing, meskipun berbeda.


 


BAB V


Kewajiban terhadap diri sendiri


      1. Setiap Pustakawan Indonesia selalu mengikuti perkembangan  ilmu pengetahuan, terutama ilmu perpustakaan, dokumentasi  dan informasi. 


   2. Setiap Pustakawan Indonesia memelihara akhlak dan kesehatan-  nya untuk dapat hidup dengan tenteram dan bekerja dengan  baik.


 


   3. Setiap Pustakawan Indonesia selalu meningkatkan pengetahuan  serta keterampilannya, baik dalam pekerjaan maupun dalam  pergaulan di masyarakat.


 


BAB VI


Pelaksanaan Kode Etik


Setiap Pustakawan Indonesia mempunyai tanggung jawab moral untuk  melaksanakan Kode Etik ini dengan sebaik-baiknya. 


 


 


1 Makalah untuk Rapat Kerja PB IPI, Jakarta, 5. s.d. 7 November 2001


2 Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI


3 Ketiga kode etik nenagara ASEAN dijadikan pembanding dengan pertimbangan kondisi  negara tersebut lebih memiliki banyak persamaan dengan Indoensia dibandingkan misalnya dengan AS atau Inggeris.

 




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2007 

TENTANG PERPUSTAKAAN 


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 


Menimbang: 


a. bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan  bangsa

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun  1945, perpustakaan

sebagai wahana belajar  sepanjang hayat mengembangkan

potensi masyarakat  agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa  kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia,  sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi  warga negara yang demokratis serta

bertanggung  jawab dalam mendukung penyelenggaraan

pendidikan 

nasional; 


b. bahwa sebagai salah satu upaya untuk memajukan

kebudayaan nasional, perpustakaan merupakan  wahana

pelestarian kekayaan budaya bangsa; 


c. bahwa dalam rangka meningkatkan kecerdasan 

kehidupan bangsa, perlu ditumbuhkan budaya gemar 

membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan 

perpustakaan sebagai sumber informasi yang berupa 

karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam; 

 

d. bahwa ketentuan yang berkaitan dengan 

penyelenggaraan perpustakaan masih bersifat parsial 

dalam berbagai peraturan sehingga perlu diatur  secara

komprehensif dalam suatu undang-undang  tersendiri; 


e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana 

dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d,  perlu

dibentuk Undang-Undang tentang  Perpustakaan; 


Mengingat:


Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 


Dengan Persetujuan Bersama 


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 


MEMUTUSKAN: 


MENETAPKAN: 


UNDANG-UNDANG TENTANG PERPUSTAKAAN. 



BAB I 

KETENTUAN UMUM 


Pasal 1 


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 


1. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi

karya  tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara

 profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi 

kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, 

informasi, dan rekreasi para pemustaka. 


2. Koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam 

bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya  rekam

dalam berbagai media yang mempunyai nilai  pendidikan,

yang dihimpun, diolah, dan dilayankan. 


3. Koleksi nasional adalah semua karya tulis, karya 

cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media  yang

diterbitkan ataupun tidak diterbitkan, baik yang 

berada di dalam maupun di luar negeri yang dimiliki 

oleh perpustakaan di wilayah Negara Kesatuan 

Republik Indonesia. 


4. Naskah kuno adalah semua dokumen tertulis yang 

tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara 

lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar 

negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima 

puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi 

kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. 


5. Perpustakaan Nasional adalah lembaga pemerintah 

non departemen (LPND) yang melaksanakan tugas 

pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang  berfungsi

sebagai perpustakaan pembina,  perpustakaan rujukan,

perpustakaan deposit,  perpustakaan penelitian,

perpustakaan pelestarian,  dan pusat jejaring

perpustakaan, serta berkedudukan 

di ibukota negara. 


6. Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang 

diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana 

pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan  umur,

jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status 

sosial-ekonomi. 


7. Perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang 

diperuntukkan secara terbatas bagi pemustaka di 

lingkungan lembaga pemerintah, lembaga  masyarakat,

lembaga pendidikan keagamaan, rumah  ibadah, atau

organisasi lain. 


8. Pustakawan adalah seseorang yang memiliki 

kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan  dan/atau

pelatihan kepustakawanan serta  mempunyai tugas dan

tanggung jawab untuk  melaksanakan pengelolaan dan

pelayanan  perpustakaan. 


9. Pemustaka adalah pengguna perpustakaan, yaitu 

perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau 

lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan 

perpustakaan. 


10. Bahan perpustakaan adalah semua hasil karya tulis,

 karya cetak, dan/atau karya rekam. 


11. Masyarakat adalah setiap orang, kelompok orang, 

atau lembaga yang berdomisili pada suatu wilayah  yang

mempunyai perhatian dan peranan dalam  bidang

perpustakaan. 


12. Organisasi profesi pustakawan adalah perkumpulan 

yang berbadan hukum yang didirikan oleh  pustakawan

untuk mengembangkan profesionalitas  kepustakawanan. 


13. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut 

Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang 

memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik 

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 


14. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau 

walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur 

penyelenggara pemerintahan daerah. 


15. Sumber daya perpustakaan adalah semua tenaga, 

sarana dan prasarana, serta dana yang dimiliki 

dan/atau dikuasai oleh perpustakaan. 


16. Menteri adalah menteri yang menangani urusan 

pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional. 


Pasal 2 


Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas 

pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, 

keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan

kemitraan. 


Pasal 3 


Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, 

penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk

 meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. 


Pasal 4 


Perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada 

pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta 

memperluas wawasan dan pengetahuan untuk  mencerdaskan

kehidupan bangsa. 



BAB II 

HAK, KEWAJIBAN, DAN KEWENANGAN 


Bagian Kesatu 

Hak 


Pasal 5 


(1) Masyarakat mempunyai hak yang sama untuk: 


a. memperoleh layanan serta memanfaatkan dan 

mendayagunakan fasilitas perpustakaan; 


b. mengusulkan keanggotaan Dewan Perpustakaan; 


c. mendirikan dan/atau menyelenggarakan  perpustakaan;



d. berperan serta dalam pengawasan dan evaluasi 

terhadap penyelenggaraan perpustakaan. 


(2) Masyarakat di daerah terpencil, terisolasi, atau 

terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak 

memperoleh layanan perpustakaan secara khusus. 


(3) Masyarakat yang memiliki cacat dan/atau kelainan 

fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial

 berhak memperoleh layanan perpustakaan yang 

disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan 

masing-masing. 


Bagian Kedua

Kewajiban


Pasal 6 


(1) Masyarakat berkewajiban: 


a. menjaga dan memelihara kelestarian koleksi 

perpustakaan; 


b. menyimpan, merawat, dan melestarikan naskah  kuno

yang dimilikinya dan mendaftarkannya ke  Perpustakaan

Nasional; 


c. menjaga kelestarian dan keselamatan sumber  daya

perpustakaan di lingkungannya; 


d mendukung upaya penyediaan fasilitas layanan 

perpustakaan di lingkungannya; 


e. mematuhi seluruh ketentuan dan peraturan  dalam

pemanfaatan fasilitas perpustakaan; dan 


f. menjaga ketertiban, keamanan, dan kenyamanan 

lingkungan perpustakaan. 


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur 

dengan Peraturan Pemerintah. 


Pasal 7 


(1) Pemerintah berkewajiban: 


a. mengembangkan sistem nasional perpustakaan  sebagai

upaya mendukung sistem pendidikan  nasional; 


b. menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan 

pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber  belajar

masyarakat; 


c. menjamin ketersediaan layanan perpustakaan  secara

merata di tanah air; 


d. menjamin ketersediaan keragaman koleksi 

perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih 

aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan 

(transkripsi), dan alih media (transmedia)


e. menggalakkan promosi gemar membaca dan 

memanfaatkan perpustakaan; 


f. meningkatan kualitas dan kuantitas koleksi 

perpustakaan; 


g. membina dan mengembangkan kompetensi, 

profesionalitas pustakawan, dan tenaga teknis 

perpustakaan; 


h. mengembangkan Perpustakaan Nasional; dan 


i. memberikan penghargaan kepada setiap orang  yang

menyimpan, merawat, dan melestarikan  naskah kuno. 


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghargaan 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i diatur 

dengan Peraturan Pemerintah. 


Pasal 8 


Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

berkewajiban: 


a. menjamin penyelenggaraan dan pengembangan 

perpustakaan di daerah; 


b. menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara 

merata di wilayah masing masing; 


c. menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan 

pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber  belajar

masyarakat; 


d. menggalakkan promosi gemar membaca dengan 

memanfaatkan perpustakaan; 


e. memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di 

daerah; dan 


f. menyelenggarakan dan mengembangkan  perpustakaan

umum daerah berdasar kekhasan  daerah sebagai pusat

penelitian dan rujukan tentang  kekayaan budaya daerah

di wilayahnya. 


Bagian Ketiga

Kewenangan


Pasal 9 


Pemerintah berwenang: 


a. menetapkan kebijakan nasional dalam pembinaan  dan

pengembangan semua jenis perpustakaan di  wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia; 


b. mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi 

penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan di 

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 


c. mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh 

masyarakat untuk dilestarikan dan didayagunakan. 


Pasal 10 


Pemerintah daerah berwenang: 


a. menetapkan kebijakan daerah dalam pembinaan dan 

pengembangan perpustakaan di wilayah masingmasing;  b.

mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi  penyelenggaraan

dan pengelolaan perpustakaan di  wilayah

masing-masing; dan 


c. mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh 

masyarakat di wilayah masing-masing untuk 

dilestarikan dan didayagunakan. 



BAB III

STANDAR NASIONAL PERPUSTAKAAN


Pasal 11 


(1) Standar nasional perpustakaan terdiri atas: 


a. standar koleksi perpustakaan; 


b. standar sarana dan prasarana; 


c. standar pelayanan perpustakaan; 


d. standar tenaga perpustakaan; 


e. standar penyelenggaraan; dan 


f. standar pengelolaan. 


(2) Standar nasional perpustakaan sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai acuan 

penyelenggaraan, pengelolaan, dan pengembangan 

perpustakaan. 


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar nasional 

perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

diatur dengan Peraturan Pemerintah. 



BAB IV 

KOLEKSI PERPUSTAKAAN 


Pasal 12 


(1) Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, 

dilayankan, dan dikembangkan sesuai dengan 

kepentingan pemustaka dengan memperhatikan 

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. 


(2) Pengembangan koleksi perpustakaan sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan 

standar nasional perpustakaan. 


(3) Bahan perpustakaan yang dilarang berdasarkan 

peraturan perundang-undangan disimpan sebagai  koleksi

khusus Perpustakaan Nasional. 


(4) Koleksi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) 

digunakan secara terbatas. 


(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan

koleksi  khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan

 penggunaan secara terbatas sebagaimana dimaksud  pada

ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 


Pasal 13 


(1) Koleksi nasional diinventarisasi, diterbitkan

dalam  bentuk katalog induk nasional (KIN), dan 

didistribusikan oleh Perpustakaan Nasional. 


(2) Koleksi nasional yang berada di daerah 

diinventarisasi, diterbitkan dalam bentuk katalog 

induk daerah (KID), dan didistribusikan oleh 

perpustakaan umum provinsi. 



BAB V

LAYANAN PERPUSTAKAAN


Pasal 14


(1) Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan 

berorientasi bagi kepentingan pemustaka. 


(2) Setiap perpustakaan menerapkan tata cara layanan 

perpustakaan berdasarkan standar nasional 

perpustakaan. 


(3) Setiap perpustakaan mengembangkan layanan 

perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi

informasi dan komunikasi. 


(4) Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) dikembangkan melalui pemanfaatan sumber  daya

perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan  pemustaka. 


(5) Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai 

dengan standar nasional perpustakaan untuk 

mengoptimalkan pelayanan kepada pemustaka. 


(6) Layanan perpustakaan terpadu diwujudkan melalui 

kerja sama antarperpustakaan. 


(7) Layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana 

dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan melalui jejaring 

telematika. 



BAB VI

PEMBENTUKAN, PENYELENGGARAAN, SERTA PENGELOLAAN DAN

PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN



Bagian Kesatu 

Pembentukan Perpustakaan 


Pasal 15 


(1) Perpustakaan dibentuk sebagai wujud pelayanan 

kepada pemustaka dan masyarakat. 


(2) Pembentukan perpustakaan sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah 

daerah, dan/atau masyarakat. 


(3) Pembentukan perpustakaan sebagaimana dimaksud 

pada ayat (2) paling sedikit memenuhi syarat: 


a. memiliki koleksi perpustakaan; 


b. memiliki tenaga perpustakaan; 


c. memiliki sarana dan prasarana perpustakaan; 


d. memiliki sumber pendanaan; dan 


e. memberitahukan keberadaannya ke Perpustakaan

Nasional. 


Bagian Kedua

Penyelenggaraan Perpustakaan


Pasal 16 


Penyelenggaraan perpustakaan berdasarkan kepemilikan 

terdiri atas: 


a. perpustakaan pemerintah; 


b. perpustakaan provinsi; 


c. perpustakaan kabupaten/kota; 


d. perpustakaan kecamatan; 


e. perpustakaan desa; 


f. perpustakaan masyarakat; 


g. perpustakaan keluarga; dan 


h. perpustakaan pribadi. 


Pasal 17 


Penyelenggaraan perpustakaan dilakukan sesuai dengan

standar nasional perpustakaan. 


Bagian Ketiga 

Pengelolaan dan Pengembangan Perpustakaan 


Pasal 18 


Setiap perpustakaan dikelola sesuai dengan standar 

nasional perpustakaan. 


Pasal 19 


(1) Pengembangan perpustakaan merupakan upaya 

peningkatan sumber daya, pelayanan, dan pengelolaan 

perpustakaan, baik dalam hal kuantitas maupun 

kualitas. 


(2) Pengembangan perpustakaan sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) dilakukan berdasarkan karakteristik, 

fungsi dan tujuan, serta dilakukan sesuai dengan 

kebutuhan pemustaka dan masyarakat dengan 

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. 


(3) Pengembangan perpustakaan sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara 

berkesinambungan. 


BAB VII 

JENIS-JENIS PERPUSTAKAAN 


Pasal 20 


Perpustakaan terdiri atas: 


a. Perpustakaan Nasional; 


b. Perpustakaan Umum; 


c. Perpustakaan Sekolah/Madrasah; 


d. Perpustakaan Perguruan Tinggi; dan 


e. Perpustakaan Khusus. 


Bagian Kesatu 

Perpustakaan Nasional 


Pasal 21 


(1) Perpustakaan Nasional merupakan LPND yang 

melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang 

perpustakaan dan berkedudukan di ibukota negara. 


(2) Perpustakaan Nasional bertugas: 


a. menetapkan kebijakan nasional, kebijakan  umum, dan

kebijakan teknis pengelolaan 

perpustakaan; 


b. melaksanakan pembinaan, pengembangan,  evaluasi,

dan koordinasi terhadap pengelolaan  perpustakaan; 


c. membina kerja sama dalam pengelolaan berbagai 

jenis perpustakaan; dan 


d. mengembangkan standar nasional perpustakaan. 

(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

Perpustakaan Nasional bertanggung jawab: 


a. mengembangkan koleksi nasional yang  memfasilitasi

terwujudnya masyarakat 

pembelajar sepanjang hayat; 


b. mengembangkan koleksi nasional untuk  melestarikan

hasil budaya bangsa; 


c. melakukan promosi perpustakaan dan gemar membaca

dalam rangka mewujudkan masyarakat  pembelajar

sepanjang hayat; dan 


d. mengidentifikasi dan mengupayakan  pengembalian

naskah kuno yang berada di luar 

negeri. 


Bagian Kedua 

Perpustakaan Umum 


Pasal 22 


(1) Perpustakaan umum diselenggarakan oleh 

Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah 

kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, serta dapat 

diselenggarakan oleh masyarakat. 


(2) Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota 

menyelenggarakan perpustakaan umum daerah yang 

koleksinya mendukung pelestarian hasil budaya  daerah

masing-masing dan memfasilitasi terwujudnya 

masyarakat pembelajar sepanjang hayat. 


(3) Perpustakaan umum yang diselenggarakan oleh 

Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah 

kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan 

mengembangkan sistem layanan perpustakaan  berbasis

teknologi informasi dan komunikasi. 


(4) Masyarakat dapat menyelenggarakan perpustakaan 

umum untuk memfasilitasi terwujudnya masyarakat 

pembelajar sepanjang hayat. 


(5) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau 

kabupaten/kota melaksanakan layanan perpustakaan 

keliling bagi daerah yang belum terjangkau oleh 

layanan perpustakaan menetap. 


Bagian Ketiga 

Perpustakaan Sekolah/Madrasah 


Pasal 23 


(1) Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan 

perpustakaan yang memenuhi standar nasional 

perpustakaan dengan memperhatikan Standar  

Nasional Pendidikan. 


(2) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang 

ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan 

pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang 

mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan 

pendidik. 


(3) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

mengembangkan koleksi lain yang mendukung  pelaksanaan

kurikulum pendidikan. 


(4) Perpustakaan sekolah/madrasah melayani peserta 

didik pendidikan kesetaraan yang dilaksanakan di 

lingkungan satuan pendidikan yang bersangkutan. 


(5) Perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan 

layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi  dan

komunikasi. 


(6) Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling 

sedikit 5% dari anggaran belanja operasional 

sekolah/madrasah atau belanja barang di luar  belanja

pegawai dan belanja modal untuk  pengembangan

perpustakaan. 


Bagian Keempat 

Perpustakaan Perguruan Tinggi 


Pasal 24 


(1) Setiap perguruan tinggi menyelenggarakan 

perpustakaan yang memenuhi standar nasional 

perpustakaan dengan memperhatikan Standar  Nasional

Pendidikan. 


(2) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

memiliki koleksi, baik jumlah judul maupun jumlah 

eksemplarnya, yang mencukupi untuk mendukung 

pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian 

kepada masyarakat. 


(3) Perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan 

layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi  dan

komunikasi. 


(4) Setiap perguruan tinggi mengalokasikan dana untuk 

pengembangan perpustakaan sesuai dengan  peraturan

perundang-undangan guna memenuhi  standar nasional

pendidikan dan standar nasional  perpustakaan. 


Bagian Kelima 

Perpustakaan Khusus 


Pasal 25 


Perpustakaan khusus menyediakan bahan perpustakaan 

sesuai dengan kebutuhan pemustaka di lingkungannya. 


Pasal 26 

Perpustakaan khusus memberikan layanan kepada 


pemustaka di lingkungannya dan secara terbatas 

memberikan layanan kepada pemustaka di luar 

lingkungannya. 


Pasal 27 


Perpustakaan khusus diselenggarakan sesuai dengan 

standar nasional perpustakaan. 


Pasal 28 


Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan 

berupa pembinaan teknis, pengelolaan, dan/atau 

pengembangan perpustakaan kepada perpustakaan  khusus.



BAB VIII 

TENAGA PERPUSTAKAAN, PENDIDIKAN, DAN 


ORGANISASI PROFESI 


Bagian Kesatu 

Tenaga Perpustakaan 


Pasal 29 


(1) Tenaga perpustakaan terdiri atas pustakawan dan 

tenaga teknis perpustakaan. 


(2) Pustakawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan standar 

nasional perpustakaan. 


(3) Tugas tenaga teknis perpustakaan sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) dapat dirangkap oleh 

pustakawan sesuai dengan kondisi perpustakaan  yang

bersangkutan. 


(4) Ketentuan mengenai tugas, tanggung jawab, 

pengangkatan, pembinaan, promosi, pemindahan  tugas,

dan pemberhentian tenaga perpustakaan yang  berstatus

pegawai negeri sipil dilakukan sesuai  dengan

peraturan perundang-undangan. 


(5) Ketentuan mengenai tugas, tanggung jawab, 

pengangkatan, pembinaan, promosi, pemindahan  tugas,

dan pemberhentian tenaga perpustakaan yang  berstatus

nonpegawai negeri sipil dilakukan sesuai  dengan

peraturan yang ditetapkan oleh penyelenggara 

perpustakaan yang bersangkutan. 


Pasal 30 


Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum Pemerintah, 

perpustakaan umum provinsi, perpustakaan umum 

kabupaten/kota, dan perpustakaan perguruan tinggi 

dipimpin oleh pustakawan atau oleh tenaga ahli dalam 

bidang perpustakaan. 


Pasal 31 


Tenaga perpustakaan berhak atas: 


a. penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan 

jaminan kesejahteraan sosial; 


b. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan 

pengembangan kualitas; dan 


c. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, 

dan fasilitas perpustakaan untuk menunjang kelancaran

pelaksanaan tugas. 


Pasal 32 


Tenaga perpustakaan berkewajiban: 


a. memberikan layanan prima terhadap pemustaka; 


b. menciptakan suasana perpustakaan yang kondusif; 

dan 


c. memberikan keteladanan dan menjaga nama baik 

lembaga dan kedudukannya sesuai dengan tugas dan 

tanggung jawabnya. 


Bagian Kedua 

Pendidikan 


Pasal 33 


(1) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan 

tenaga perpustakaan merupakan tanggung jawab 

penyelenggara perpustakaan. 


(2) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 

melalui pendidikan formal dan/atau nonformal. 


(3) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan 

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan 

melalui kerja sama Perpustakaan Nasional, 

perpustakaan umum provinsi, dan/atau  perpustakaan

umum kabupaten/kota dengan  organisasi profesi, atau

dengan lembaga pendidikan  dan pelatihan. 


Bagian Ketiga 

Organisasi Profesi 


Pasal 34 


(1) Pustakawan membentuk organisasi profesi. 


(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat 

(1) berfungsi untuk memajukan dan memberi  pelindungan

profesi kepada pustakawan. 


(3) Setiap pustakawan menjadi anggota organisasi 

profesi. 


(4) Pembinaan dan pengembangan organisasi profesi 

pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah 

daerah, dan/atau masyarakat. 


Pasal 35 


Organisasi profesi pustakawan mempunyai kewenangan: 


a. menetapkan dan melaksanakan anggaran dasar dan 

anggaran rumah tangga; 


b. menetapkan dan menegakkan kode etik pustakawan; 


c. memberi pelindungan hukum kepada pustakawan;  dan 


d. menjalin kerja sama dengan asosiasi pustakawan 

pada tingkat daerah, nasional, dan internasional. 


Pasal 36 


(1) Kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 

huruf b berupa norma atau aturan yang harus  dipatuhi

oleh setiap pustakawan untuk menjaga  kehormatan,

martabat, citra, dan profesionalitas. 


(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

memuat secara spesifik sanksi pelanggaran kode etik 

dan mekanisme penegakan kode etik. 


Pasal 37 


(1) Penegakan kode etik sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 36 ayat (2) dilaksanakan oleh Majelis 

Kehormatan Pustakawan yang dibentuk oleh  organisasi

profesi. 


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi profesi

 pustakawan diatur dalam anggaran dasar dan  anggaran

rumah tangga. 


BAB IX 

SARANA DAN PRASARANA 


Pasal 38 


(1) Setiap penyelenggara perpustakaan menyediakan 

sarana dan prasarana sesuai dengan standar nasional 

perpustakaan. 


(2) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) dimanfaatkan dan dikembangkan sesuai  dengan

kemajuan teknologi informasi dan  komunikasi. 


BAB X 

PENDANAAN 


Pasal 39 


(1) Pendanaan perpustakaan menjadi tanggung jawab 

penyelenggara perpustakaan. 


(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan 

anggaran perpustakaan dalam anggaran pendapatan  dan

belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan 

dan belanja daerah (APBD). 


Pasal 40 


(1) Pendanaan perpustakaan didasarkan pada prinsip 

kecukupan dan berkelanjutan. 


(2) Pendanaan perpustakaan bersumber dari: 


a. anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau 

anggaran pendapatan dan belanja daerah; 


b. sebagian anggaran pendidikan; 


c. sumbangan masyarakat yang tidak mengikat; 


d. kerja sama yang saling menguntungkan; 


e. bantuan luar negeri yang tidak mengikat; 


f. hasil usaha jasa perpustakaan; dan/atau 


g. sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan 

peraturan perundang-undangan. 


Pasal 41 


Pengelolaan dana perpustakaan dilakukan secara

efisien,  berkeadilan, terbuka, terukur, dan

bertanggung jawab. 


BAB XI 

KERJA SAMA DAN PERAN SERTA MASYARAKAT 


Bagian Kesatu 

Kerja Sama 


Pasal 42 


(1) Perpustakaan melakukan kerja sama dengan berbagai 

pihak untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka. 


(2) Peningkatan layanan kepada pemustaka sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan

jumlah pemustaka yang dapat dilayani dan  meningkatkan

mutu layanan perpustakaan. 


(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 

peningkatan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat 


(2) dilakukan dengan memanfaatkan sistem jejaring 

perpustakaan yang berbasis teknologi informasi dan 

komunikasi. 


Bagian Kedua 

Peran Serta Masyarakat 


Pasal 43 


Masyarakat berperan serta  dalam pembentukan,

penyelenggaraan, pengelolaan,  pengemabangan dan

pengawasan perpustakaan. 


BAB XII 

DEWAN PERPUSTAKAAN 


Pasal 44 


(1) Presiden menetapkan Dewan Perpustakaan Nasional 

atas usul Menteri dengan memperhatikan masukan  dari

Kepala Perpustakaan Nasional. 


(2) Gubernur menetapkan Dewan Perpustakaan Provinsi 

atas usul kepala perpustakaan provinsi. 


(3) Dewan Perpustakaan Nasional bertanggung jawab 

kepada Presiden dan Dewan Perpustakaan Provinsi 

bertanggung jawab kepada gubernur. 


(4) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 

(2) berjumlah 15 (lima belas) orang yang berasal dari:



a. 3 (tiga) orang unsur pemerintah; 


b. 2 (dua) orang wakil organisasi profesi  pustakawan;



c. 2 (dua) orang unsur pemustaka; 


d. 2 (dua) orang akademisi; 


e. 1 (satu) orang wakil organisasi penulis; 


f. 1 (satu) orang sastrawan; 


g. 1 (satu) orang wakil organisasi penerbit; 


h. 1 (satu) orang wakil organisasi perekam; 


i. 1 (satu) orang wakil organisasi toko buku; dan 


j. 1 (satu) orang tokoh pers. 


(5) Dewan perpustakaan dipimpin oleh seorang ketua 

dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan 

oleh anggota dewan perpustakaan. 


(6) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 

(2) bertugas: 


a. memberikan pertimbangan, nasihat, dan saran  bagi

perumusan kebijakan dalam bidang 

perpustakaan; 


b. menampung dan menyampaikan aspirasi  masyarakat

terhadap penyelenggaraan 

perpustakaan; dan 


c. melakukan pengawasan dan penjaminan mutu  layanan

perpustakaan. 


Pasal 45 


(1) Dewan Perpustakaan Nasional dalam melaksanakan 

tugas dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja 

negara. 


(2) Dewan Perpustakaan Provinsi dalam melaksanakan 

tugas dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja 

daerah. 


Pasal 46 


Dewan perpustakaan dapat menjalin kerja sama dengan 

perpustakaan pada tingkat daerah, nasional, dan 

internasional untuk melaksanakan tugas sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 44 ayat (6). 


Pasal 47 


Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan

 tata kerja, tata cara pengangkatan anggota, serta 

pemilihan pimpinan dewan perpustakaan diatur dengan 

Peraturan Pemerintah. 


BAB XIII 

PEMBUDAYAAN KEGEMARAN MEMBACA 


Pasal 48 


(1) Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui 

keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. 


(2) Pembudayaan kegemaran membaca pada keluarga 

sebagaimana dimaksud pada ayat 


(1) difasilitasi oleh  Pemerintah dan pemerintah

daerah melalui buku  murah dan berkualitas. 


(3) Pembudayaan kegemaran membaca pada satuan 

pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

dilakukan dengan mengembangkan dan  memanfaatkan

perpustakaan sebagai proses  pembelajaran. 


(4) Pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan  melalui

penyediaan sarana perpustakaan di tempattempat umum

yang mudah dijangkau, murah, dan  bermutu. 


Pasal 49 


Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat 

mendorong tumbuhnya taman bacaan masyarakat dan  rumah

baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran  membaca. 


Pasal 50 


Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan 

mendorong pembudayaan kegemaran membaca  sebagaimana

diatur dalam Pasal 48 ayat (2) sampai  dengan ayat (4)

dengan menyediakan bahan bacaan  bermutu, murah, dan

terjangkau serta menyediakan  sarana dan prasarana

perpustakaan yang mudah diakses. 


Pasal 51 


(1) Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan  melalui

gerakan nasional gemar membaca. 


(2) Gerakan nasional gemar membaca sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh  Pemerintah

dan pemerintah daerah dengan  melibatkan seluruh

masyarakat. 


(3) Satuan pendidikan membina pembudayaan kegemaran

membaca peserta didik dengan 

memanfaatkan perpustakaan. 


(4) Perpustakaan wajib mendukung dan  memasyarakatkan

gerakan nasional gemar membaca  melalui penyediaan

karya tulis, karya cetak, dan  karya rekam. 


(5) Untuk mewujudkan pembudayaan kegemaran  membaca

sebagaimana dimaksud pada ayat (1),  perpustakaan

bekerja sama dengan pemangku  kepentingan. 


(6) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan 

penghargaan kepada masyarakat yang berhasil  melakukan

gerakan pembudayaan gemar membaca. 


(7) Ketentuan mengenai pemberian penghargaan 

sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan 

Peraturan Pemerintah. 


BAB XIV 

KETENTUAN SANKSI 


Pasal 52 


(1) Semua lembaga penyelenggara perpustakaan yang 

tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana  dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 22  ayat (2),

Pasal 23, dan Pasal 24 dikenai sanksi  administratif. 


(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan 

Peraturan Pemerintah. 


BAB XV 

KETENTUAN PENUTUP 


Pasal 53 


Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan 

untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus 

diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung

sejak berlakunya undang-undang ini. 


Pasal 54 



Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 

diundangkan. 


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 

pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya 

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 


Disahkan di Jakarta  pada tanggal 1 Nopember 2007 


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

ttd. 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 



Diundangkan di Jakarta  pada tanggal 1 Nopember 2007 


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR

129 


Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


Wisnu Setiawan 


                                                             


__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

Instant hello

Chat in real-time

with your friends.

Improvement Zone

on Yahoo! Groups

Find groups about

New Year's goals.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar