Selasa, 29 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Selamat Jalan, Kaset dan Mantan Presiden

[halaman ganjil]

Selamat Jalan, Kaset dan Mantan Presiden
----------------------------------------
>> Anwar Holid

Pada hari Senin, 28 Januari 2008 ketika semua koran dan televisi
menyatakan selamat jalan kepada pak Harto, aku mengucapkan selamat
jalan kepada 36 kaset favorit yang aku jual ke toko musik second.
Honor-honor yang aku nanti datang dari beberapa pihak ternyata belum
ngalir juga, sementara kami sekeluarga sudah kehabisan beras, harus
beli sayur mayur, dan bayar pembantu setiap Senin. Di antara koleksi
itu ialah sejumlah album Peter Gabriel, Pink Floyd, Joe Satriani, The
Cult, Steve Vai, Counting Crows, Matchbox Twenty, Fates Warning,
Lokua Kanza, dan album musik klasik: Wagner, Sibelius, dan lagu-lagu
adagio aransemen Herbert von Karajan. Uang yang aku dapat memang di
bawah harapan (sudah aku duga sejak awal), tapi alhamdulillah
setidaknya aku bisa beli beras, biskuit, dan di hari-hari ke depan
kami bisa makan dengan pantas.

Aku beli koran murah (Rp.1.000,-), Tribun Jabar, untuk mendapat
informasi tentang kematian pak Harto. Tertulis headline: The End:
13.10 WIB. Aku membatin, ingat ungkapan sebuah lagi The Doors: This
the end, my only friend. The end. Aku rasanya juga ingat sebuah lagu
tentang perpisahan, tapi entah apa itu. Atau sebenarnya aku hendak
bilang begini: Good bye Mr. Former President and my cassettes---
sambil teringat sebuah judul cerpen Gabriel García Márquez. Kematian
pak Harto hanya berdampak dua hal saja buatku, yaitu (1) berhasil
membuat aku beli koran, dan (2) bisa menggerakkan aku menulis esai.
Kematian pak Harto kalah menghenyakkan dibandingkan berita kematian
Freddie Mercury yang dulu aku dengar via TVRI malam-malam. Ini
menyiratkan betapa aku memang boleh dibilang bersih dari pengaruh
maupun ketertarikan terhadap negara, presiden, dan politik.

Berita kematian pak Harto pertama kali aku simak pada hari Minggu, 27
Januari 2007, kira-kira jam 14.30-an, waktu kami sekeluarga makan
siang di warung makan serba ada yang kurang enak, sehabis menemani
Ilalang dapat tambahan les main perkusi di Jendela Ide. "Wah... pak
Harto sudah mati tuh," kataku, langsung terpaku pada tv yang juga
tengah dikerubungi semua pengunjung dan pegawai warung. Waktu itu
siaran sedang meliput sekitar rumah beliau di jalan Cendana (entah di
mana letak persisnya) yang ricuh oleh pengunjung dan petugas. Setelah
beberapa menit perhatian ke tv, aku mengasuh Shanti biar istriku bisa
makan dengan tenang. Setelah itu aku makan nasi + ayam goreng dengan
sambal terlalu pedas. Samar-samar terdengar berita kematian dia terus
disiarkan tv sampai kami pulang. Sehabis magrib, di sela-sela ngobrol
segala hal, istriku tanya, "Kamu percaya nggak sih kalau Soeharto itu
korupsi?" Aku rada bingung dengan pertanyaan itu, apa juntrungannya
dengan kami sekeluarga. Rupanya dia ingat laporan khusus majalah
Tempo tentang hal itu. "Kalau aku baca dari media, berdasar pada
investigasi mereka, aku percaya dia korupsi," kataku. "Tapi kalau
ditanya apa buktinya dan siapa saksinya, aku nggak tahu. Aku nggak
pernah lihat dia melakukannya." Beberapa menit kemudian aku
menyergah, "Eh, apa sih hubungannya ini dengan kita semua?" Rasanya
lebih suka kalau kami beralih ke topik lain. Malamnya, aku tegang
menyaksikan pertandingan penyisihan Piala FA antara Manchester United
vs Tottenham Hotspurs; 3-1 buat MU.

Bagi orang Indonesia kelahiran 1973-an seperti aku, Soeharto jelas
bakal tertatah kuat dalam memori kami. Ketika tumbuh, langit kami
cuma satu, penuh berisi Soeharto. Dia Bapak Pembangunan, perancang
Pelita, yang sudah jalan memasuki periode ke-5, sudah mencapai
tahap 'tinggal landas', namun akhirnya ternyata kandas. Setelah itu
cuaca langit kami berganti-ganti begitu drastik, mulai dari Habibie,
Gus Dur, Megawati, dan sekarang Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang
di foto Tribun Jabar terlihat memberi hormat dengan gaya resmi di
depan keranda jenazah pak Soeharto. Wah... sinismeku langsung
mendidih. Bagaimana mungkin presiden seperti itu, yang jelas
kelihatan inferior bahkan di depan mayat seniornya, bakal punya
iktikad mengadili kontroversi seputar status hukum Soeharto. Aku
yakin harapan M. Fadjroel Rachman dan kawan-kawan agar keadilan tetap
hidup bakal seperti pepesan kosong.

Aku ingat, dulu waktu SD kami bahkan sampai hapal semua menteri yang
jadi pembantu Soeharto, habis bakal masuk ulangan. Apa nggak gila
tuh? Kami ingat TVRI menyiarkan laporan khusus berisi kunjungan
Soeharto ke daerah atau ladang pertanian dan sawah, Kelompencapir
(yang namanya selalu dikritik oleh Pusat Bahasa), atau sidang-sidang
beliau dengan para menteri. Baru pada 1998 era itu tamat, dan siapa
sangka, jelas di luar dugaanku, betapa begitu lama beliau mewarnai
sebuah kanvas bernama Indonesia, sampai akhirnya boyak-boyak,
sebagian rombeng dan kusam di sana-sini. Sisanya ialah
sekarang; 'pembangunan' jelas ada jejaknya, dan berlanjut, dengan
pola mirip... mungkin dikerjakan sembarangan, karena entah kenapa
mudah sekali memicu prasangka dan sinisme. Sebagian orang yang
bertentangan dengan Soeharto atau pihak yang tak punya kaitan dengan
dia berani lantang bilang bahwa dia diktator, misalnya para
demonstran pro demokrasi atau media massa seperti CNN dan Time. Aku
sendiri takut dan tak punya dasar untuk bilang bahwa dia seorang
diktator. Faktanya ialah dia mantan presiden Indonesia, negeri tempat
aku terdaftar sebagai warga negara. Dulu, aku sesekali ikut demo
bareng teman menuntut keadilan atau keterbukaan; tapi keadilan harus
diupayakan sendiri dan keterbukaan ternyata datang sendiri. Yang
paling mengasyikkan ialah jadi bagian massa waktu kami demo besar-
besaran selama masa awal-awal menegakkan Reformasi di Gasibu
(sebagian kawanku demo di gedung MPR/DPR), sampai akhirnya rezim dia
tumbang, dan sejak itu reputasi pak Harto beserta kroni dan
keluarganya melorot ke kubang terendah dan penuh masalah, namun tetap
saja tetap menarik diberitakan. Yang paling akhir tentu saja skandal
yang muncul dari para anak-anaknya, rebutan harta dan kuasa antara
istri pertama dan madu salah satu anaknya, perempuan yang sampai rela-
rela ngaku dihamili anaknya---entah dengan motif apa, atau artis yang
kawin dengan cucunya. Wah... sebenarnya aku cukup sibuk dengan diri
sendiri, bertahan hidup atau meningkatkan standar, dan tak peduli
dengan peristiwa terkait Soeharto... toh nyatanya aku selalu samar-
samar mendengar atau mendadak punya kesempatan baca informasi tentang
mereka. Tadi saja, waktu menuju toko kaset bekas itu, tiga gadis
mahasiswa aku dengar bicara, "Kamu sedih nggak pak Harto
meninggal?" "Enggak, lebih sedih waktu kakek gue meninggal
tuch." "Iyalah, coba kamu bakal dapat warisannya. Pasti sedih." Salah
satu gadis itu langsung menyergah, "Dapat warisan mah senang,
bukannya sedih..." Serentak mereka tertawa. "Aku mah pengen lihat
upacara pemakamannya euy. Yang pakai tembak-tembakan itu." (Namanya
salvo, neng, kataku dalam hati.)

Aku bukan PNS dan ketertarikan atau kepedulianku pada negara boleh
dibilang nol. Aku lebih pusing memikirkan bagaimana meningkatkan
karir dan pendapatan di tahun ini daripada sibuk mendengar analisis
politik bila The Smiling General (ini kayaknya bukan oksimoron)
meninggal dunia dan mewariskan banyak buntut persoalan. Aku lebih
merasa dekat dengan kaset-kasetku daripada dengan pria berusia 87
tahun itu, meski dia pernah jadi presidenku. Begitu kondisi dia
kritis di rumah sakit minggu-minggu lalu, aku dengar analisis politik
bahwa Indonesia bisa-bisa bakal makar begitu dia meninggal. Wah...
aku malas dengar gosip keterlaluan itu. Satu-satunya berita yang aku
sukai ialah analisis ini: Bila status hukum dia ditetapkan salah,
maka itu kesempatan menyeret persoalan hukum yang dilakukan keluarga,
kroni, dan orang-orang sekelilingnya akan terbuka. Keadilan jadi
ditegakkan. Frasa yang menarik; "Keadilan jadi ditegakkan." Keadilan
seperti apa? Apa bakal berdampak buat aku? Wah... aku ragu. Apa
bila "Keadilan jadi ditegakkan" aku bisa optimistik tak perlu jual
kaset favorit buat beli beras? Wah Wartax, kamu jadi kekanak-kanakan!
Mungkin ini akibat aku buta politik dan nggak kritis sejak remaja.
Lebih baik aku menghindari persoalan yang aku sendiri nggak tahu.
Biarkan itu jadi urusan orang yang memperkarakan dia, terutama bekas
lawan politik dia yang masih hidup dan bersemangat menyeret dia ke
pengadilan dan ingin agar harta hasil korupsi itu dikembalikan ke
negara. Aku jelas lebih suka andai tetap punya kaset dan kondisi
keuanganku baik-baik saja. Tapi faktanya aku harus kehilangan mereka.

Aku sangat setia pada kaset-kaset itu. Aku rawat dengan baik, menjaga
jangan sampai kusut, tetap sempurna bila disetel, meski itu semua
gagal menaikkan harga jual. Aku selalu suka melihat-lihat sleeve,
membaca-baca segala info yang ada di sana. Mereka berisi pemusik yang
aku sukai karya-karyanya. Kini kotak kasetku berisi pemusik yang jauh
kurang populer dibanding album yang aku jual sekarang. Di sana masih
ada Chroma, Jaduk Ferianto, Bidjeh, Ravi Shankar, Youssou N'Dour,
Sinead O'Connor, The Stage Bus... Entah berapa lama aku akan tetap
bisa bertahan dengan mereka; entah berapa harga jual mereka di toko
kaset bekas, lepas dari betapapun mereka bagus atau legendaris. Di
tangan penjual loak, semua barang pasti direndah-rendahkan. Melankoli
dan legenda cuma jadi cerita. Kalah oleh kebutuhan akan uang.

Aku rela dan senang-senang saja kehilangan kaset itu, akhirnya.
Apalagi dari situ aku merasa memberi bakti pada keluarga. Aku
kehilangan mereka tepat di saatnya. Sudah waktunya. Bisa jadi begitu
juga Indonesia terhadap pak Harto. Dia sudah tua dan sakit-sakitan.
Wajar dia meninggal dunia. Jelas keterlaluan berharap dia bakal sehat
wal afiat seperti sedia kala ketika masa jaya atau bisa bertahan
lebih dari lima belas tahun ke depan. Nyawa bisa dicabut izin
penggunannya kapan saja, datang begitu saja tanpa perlu perjanjian
lebih dulu. Sebagian orang, banyak orang, terisak-isak oleh kepergian
beliau; sebagian orang mungkin bingung apalagi agenda hukum yang bisa
dijalankan; orang seperti aku, yang tak terkait dengan semua itu,
heran, kenapa mereka semua heboh dengan kematian satu jiwa. Mendadak
aku ingat dulu ada orang di Jakarta yang menyeret-nyeret mayat karena
tak punya biaya kubur. Kematian seorang mantan kepala negara sudah
disiapkan dengan sempurna, mulai dari kepergian dan upacara. Dia
merepotkan banyak sekali orang; dan orang entah rela, pura-pura, atau
terpaksa dan karena tata krama, hirau dengan kepergiannya. Kematian
ini lebih heboh dan seru dibandingkan delapan besar Liga Indonesia
yang ricuh. Apa ini tanda kehebatan seseorang, bahkan dalam
kematiannya pun dia bikin guncang, tetap dihormati banyak sekali
orang, dihadiri sosialita paling terkemuka? Wah, entah ya.

Dari dulu aku membayangkan kematian yang sederhana. Aku ingin nanti
nisanku tak ditandai apa-apa, biar lama-lama hilang dan rata dengan
tanah. Aku ingat ayahku membiarkan patok tanda kuburan kakakku lama-
lama hancur oleh waktu dan sebagian habis dimakan rayap. Dibersihkan
bila berziarah saja. Terakhir kali kami ke sana, gundukan tanahnya
sudah nyaris rata. Aku agak yakin sekarang tentu sudah rata. Aku
sulit membayangkan ada semacam kompleks istana untuk mayat-mayat yang
sudah selesai berurusan dengan dunia. Untuk apa ya semua itu
dibangun?

Hari ini aku kehilangan kaset; esok hari siap-siap aku kehilangan
nyawa. Dalam beberapa hari ke depan aku masih bisa menyelamatkan
keluarga; pasti suatu hari nanti aku yang malah repot menyelamatkan
jiwa sendiri.[]0:11 30/01/08

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku
Bandung.

KONTAK: 08156140621 - (022) 2037348 | wartax@yahoo.com | Panorama II
No. 26 B, Bandung 40141

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

Do-It-Yourselfers

Find Y! Groups

on Lawn & garden,

homes and autos.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar