Senin, 14 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Seri The Dancing Leader: Mengimajinasikan Semesta

Beberapa hari terakhir, saya merasa penuh dengan beban. Berhenti. Keluar. Berhenti. Keluar. Begitulah mungkin hati saya kalau bisa berteriak. Menuntut berhenti dari segala macam urusan. Menuntut keluar dari semua persoalan. Satu persoalan datang, tanpa kenal kompromi, gelap mata persoalan lama belum terselesaikan. Saat saya mengeluh ke seorang kawan. Dia dengan seenaknya tertawa sinis, "Mau keluar? Ndak usah mimpi...lha periuk nasi kamu disitu. Mau makan apa anak isterimu?".

 

Dan nasib buruk pun masih berlanjut. Persoalan tidak lagi hadir di dunia nyata. Ketika saya sadar. Persoalan itu mengendap-endap memasuki mimpi saya. Siang yang penat digenapi dengan malam yang gelisah. Sudah kerja tidak nyaman. Tidur pun tak nyenyak. Menjalani hidup saat ini susah. Membayangkan masa depan, "tau ah gelap" kata mahasiswa saya. Nasib. Nasib. Dosa apa hamba gerangan?

 

Suasana semacam ini acapkali membuat saya mencari "kesenangan" yang dapat segera merelakskan seluruh tubuh, menenangkan urat syaraf. Ikut rapat, langsung saja tancap gas menyebarkan gangguan yang membuat orang lain tidak nyaman. Rasanya kok jadi sedikit lega kalau melihat orang jadi kesal, lebih-lebih kalau sampai marah. "Kamu itu memang tidak tahu diri", serang kawan saya yang bibirnya paling sering ditekuk, muka serius.

 

Dampak Pengetahuan
Dulu ketika kecil, saya mengangankan menjadi orang pintar. Kata orang tua, "Biar tidak ditipu sama orang". Rajin belajar. Rajin membaca buku. Rajin mendengarkan petuah guru. Apapun selama itu membuat saya jadi lebih pintar. Rangking kelas menjadi incaran yang diperjuangkan.

 

Setelah tua begini baru tobat. Ternyata semakin saya tahu, semakin saya menjadi bodoh. Semakin saya tahu, semakin saya menemui banyak masalah. Semakin saya tahu, semakin saya tahu mana yang benar mana yang salah. Semakin saya sadar banyak yang tidak beres terjadi. Semakin saya tahu banyak hal yang bisa dan harus saya lakukan. Semakin saya berharap banyak hal terjadi. Semakin sering saya mengalami kegagalan. Semakin sering saya menemui kekecewaan.

 

Banyak pengetahuan itu ibarat anak desa yang tengah membawa air dalam timba. Semakin banyak air yang dibawa maka semakin cepat ia menyelesaikan tugasnya. Semakin banyak air maka semakin berat beban yang dipikulnya. Semakin lambat menempuh perjalanannya. Semakin banyak air yang dibawa maka semakin sering ia harus berhenti, meletakkan timba airnya.

 

Yap, tepat! Layaknya keadaan saya sekarang. Sempoyongan. Tapi sok kuat, masih memaksa untuk melanjutkan membawa air tersebut. Dan itulah yang saat ini membuat saya terjebak dalam begitu banyak persoalan. Sudah, sudah cukup. Sekarang, ingin berhenti. Keluar dari hidup.

 

Masuk wilayah tidak tahu
Saya sungguh kagum dengan orang-orang yang dengan begitu "tidak peduli" masuk ke wilayah-wilayah ketidaktahuan. Salah satunya, yang membuat terhenyak, dimuat sosoknya satu halaman di Kompas (Minggu, 6 Januari 2007). Namanya Dynand Fariz. Idenya Jember Fashion Carnaval (JFC) telah memasuki tahun keenam. Dari Jember, Fariz berhasil menarik perhatian dunia ketika kantor berita dan media internasional menurunkan laporan mengenai JFC. Bulan Agustus lalu JFC digelar untuk yang keenam kalinya di jalan sepanjang 3,6 kilometer, diikuti 450 peserta, dan diperkirakan ditonton 150.000-an orang dari Jember dan kota-kota di sekitarnya. Keheranan demi keheranan saya ketika membaca sosoknya. Dari heran menjadi decak kagum, menjadi teriakan "WOW!". "Hebat!".

 

Apabila anda mengajukan pertanyaan kepada orang yang tahu Jember. Apa yang terbayang di benak anda tentang Jember? Sangat mungkin jawabannya. Petani. Sarungan. Santri. Agraris. Konflik Pertanahan. Atau kalau Tukul bilang "Ndeso". Lha ini Fariz kok bisa menjadi "tidak tahu" tentang Jember. Berangan-angan Jember menjadi pusat fashion. Padahal beliaunya itu kan tulen Jember, kelahiran Jember. Kok bisa ya?

 

Install Image
Mungkin yang saya alami adalah krisis imajinasi. Gambar yang muncul dibenak saya melulu kelabu, suram, bahkan hitam. Ketika melihat orang yang saya kenal, muncul gambaran buruk. Ketika melihat bawahan saya, langsung muncul film keusilannya. Film ini menuntun saya bertindak hati-hati. Menghindari bila mungkin. Bicara seperlunya, apalagi memberikan saran. Karena saya jarang komunikasi. Jarang memberikan masukan. Tambah kumat usilnya. Semakin usil semakin heboh film keusilan di benak saya. Dan seterusnya. Saya gagal untuk melihat orang dengan cara yang berbeda. Gagal berimajinasi tentang orang tersebut.

 

Mungkin krisis imajinasi ini pula yang terjadi di negeri ini. Dulu pemimpin tua diganti. Harapannya ada perubahan. Setelah pemimpin muda maju. Keadaan tetap sama. Yap. Bukan urusan umur. Bukan soal tua muda. Kalau dibedah kepala pemimpin-pemimpin itu, pasti gambarnya sama. Kalau dicari gambar tentang indonesia, pasti juga sama. Gambar ini seperti rancangan bangunan seorang arsitek. Nah kalau gambar indonesianya sama. Pastilah indonesia yang dibangun juga sama.

 

Berharap Indonesia baru? Installah image indonesia baru pula. Indonesia Impian!

 

Seperti sekarang saya lagi menginstall image baru tentang kehidupan saya.....hehehe

 

Ingin tahu tips-tips mengimajinasikan semesta?

Klik disini

atau http://appreciativeorganization.wordpress.com/2008/01/08/mengimajinasikan-semesta/

 

 



Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Yahoo! Groups

Improvement Zone

Make and keep

New Year's goals.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar