Minggu, 03 Februari 2008

[psikologi_transformatif] Ali Moertopo dan L.B. Moerdani (oleh Dr. George J. Aditjondro)

fyi.

------------------------------------------------------------

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/03/06/0161.html

From: apakabar@clark.net
Date: Fri Mar 06 1998 - 14:58:00 EST


Forwarded message:
From owner-indonesia-l@indopubs.com Fri Mar 6 18:57:57 1998
Date: Fri, 6 Mar 1998 16:57:11 -0700 (MST)
Message-Id: <199803062357.QAA14850@indopubs.com>
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@clark.net
Subject: [INDONESIA-L] MEDIA DAKWAH - Aditjondro tt CSIS, Beek, Moertopo & Moerdani
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com
   CSIS, Pater Beek SJ,
   
   Ali Moertopo dan L.B. Moerdani
   
   Dr. George J. Aditjondro
   
   Tulisan ini pernah disiarkan oleh Aditjondro melalui jaringan
   internet. Karena isinya aktual berkenaan dengan krisis moneter,
   walaupun tidak semua isinya disetujui redaksi, tetapi ada perlunya
   masyarakat mengetahui yang ditulis Aditjondro ini.
   
   
   Pada salah satu seminar membicarakan pemilu di kantor CSIS di Tanah
   Abang, Jakarta, tanggal 3 September 1996, Panda Nababan, seorang
   wartawan senior Jakarta, tiba-tiba angkat bicara. Dengan tenang Panda
   Nababan menuduh CSIS sebagai pusat tempat dirumuskannya banyak
   keputusan Politik Indonesia masa lalu yang merepotkan kita
   
   semua sekarang ini. Dr. Sudjati Djiwandono, seorang pembicara dalam
   acara itu juga sulit menyembunyikan amarahnya kepada Panda Nababan.
   
   Tapi Harry Chan Silalahi yang menjadi moderator pada saat itu, meski
   bisa menahan diri untuk menangkis tuduhan Panda Nababan, tapi ia tetap
   tenang, dan seperti biasanya penuh senyum, meski kabarnya terlihat
   gugup. Beberapa hari kemudian, dengan bantuan harian Kompas (tgl. 7
   September 1996), Harry Chan Silalahi memberikan wawancara khusus yang
   membantah semua tuduhan Panda Nababan. Disana dengan gaya orang rendah
   hati Harry Chan membeberkan betapa salahnya orang yang menganggap CSIS
   itu memainkan peranan penting pada belasan tahun pertama Orde Baru.
   Yang ada sebenarnya hanya kedekatan antar individu, bukan CSIS dengan
   pemerintah, kata Harry Chan.
   
   Para pendiri CSIS itu dekat dengan pemerintah, katanya. Ia menyebutkan
   dirinya sebagai tokoh KUP Gestapu (Front Pancasila), Liem Bian Kie
   (Yusuf Wanandi) sebagai tokoh Golkar, demikian juga dengan Sudjati
   Djiwandono. Dan tentu saja Sudjonosemua sekarang ini. Dr. Sudjati
   Djiwandono, seorang pembicara dalam acara itu juga sulit
   menyembunyikan amarahnya kepada Panda Nababan.
   
   Tapi Harry Chan Silalahi yang menjadi moderator pada saat itu, meski
   bisa menahan diri untuk menangkis tuduhan Panda Nababan, tapi ia tetap
   tenang, dan seperti biasanya penuh senyum, meski kabarnya terlihat
   gugup. Beberapa hari kemudian, dengan bantuan harian Kompas (tgl. 7
   September 1996), Harry Chan Silalahi memberikan wawancara khusus yang
   membantah semua tuduhan Panda Nababan. Disana dengan gaya orang rendah
   hati Harry Chan membeberkan betapa salahnya orang yang menganggap CSIS
   itu memainkan peranan penting pada belasan tahun pertama Orde Baru.
   Yang ada sebenarnya hanya kedekatan antar individu, bukan CSIS dengan
   pemerintah, kata Harry Chan.
   
   Para pendiri CSIS itu dekat dengan pemerintah, katanya. Ia menyebutkan
   dirinya sebagai tokoh KUP Gestapu (Front Pancasila), Liem Bian Kie
   (Yusuf Wanandi) sebagai tokoh Golkar, demikian juga dengan Sudjati
   Djiwandono. Dan tentu saja SudjonoHumardani dan Ali Murtopo yang
   memang Aspri Suharto.
   
   Kepada harian Kompas, Harry Chan menjelaskan: "Pada prinsipnya CSIS
   membatasi diri untuk tidak terlibat dalam soal taktis politik.
   Meskipun demikian CSIS kerapkali diisukan telah melakukan hal itu.
   Padahal pembahasan masalah dalam negeri yang dilakukan CSIS bersifat
   strategis konsepsional".
   
   CSIS terbentuk, menurut Harry, pada tahun 1971 ketika Hadi Susastro
   dan beberapa kawan-kawannya pulang belajar dari Eropa. Merekalah yang
   mengusulkan dibentuknya sebuah lembaga think tank. Tidak dijelaskan
   oleh Harry bahwa sebelumnya bergiat dalam CSIS, para kader Beek itu
   sudah berkiprah dalam operasi khusus (Opsus) pimpinan Ali Murtopo.
   
   Masih belum yakin dengan bantahannya lewat harian Kompas, sebulan
   kemudian, lewat harian Nusa Tenggara (terbit di Denpasar) edisi 13
   Oktoer 1996, Harry Chan muncul lagi dalam sebuah wawancara yang
   menggunakan hampir satu halaman surat kabar. Di sini sekali lagi Harry
   Chan melakukan cuci tangan terhadap semua tingkah laku politik CSIS di
   masa jaya Ali Murtopo hingga masa akhir berkuasanya L.B. Murdani.
   Penjelasan panjang lebar Harry Chan dalam koran terbitan pulau Bali
   itu sepintas lalu sangat persuasiv serta menyakinkan, terutama bagi
   generasi muda yang tidak mengalami pergolakan politik awal Orde Baru.
   Tapi bagi orang seperti saya, semua cerita Harry Chan itu sebenarnya
   adalah isapan jempol belaka.
   
   Perhatikan bahwa dalam semua penjelasan Harry Chan sama sekali tidak
   pernah menyebut Opsus dan keterlibatan kaum katolik ekstrem kanan di
   sana. Mereka yang tergolong generasi 66 di Jakarta masih ingat kantor
   mereka (Opsus) di Jalan Raden Saleh Jakarta Pusat. Juga penjelasan
   Harry Chan sama sekali tidak terdengar nama Pater Beek SJ, pastor
   kelahiran Belanda yang memainkan peranan besar di balik lahirnya CSIS
   tersebut.
   
   Beek adalah pastor ordo Jesuit yang sudah aktiv lama di Indonesia
   melakukan kaderisasi para pemuda dan mahasiswakatolik. Ia melakukan
   kegiatan kaderisasinya di asrama Realino Yogyakarta, di samping
   melakukan kaderisasi di Klender, Jakarta. Di Klender kegiatan itu
   disebut Kasebul (Kaderisasi sebulan). Dalam kegiatan Kasebul itu bukan
   cuma indoktrisasi yang dilakukan, bahkan latihan pisik yang mendekati
   latihan militer juga diberikan. Di sana para kader dilatih menghadapi
   situasi jika diinterograsi oleh lawan. Bagaimana meloloskan diri dari
   tahanan, bagaimana survive dan sebagainya.
   
   Latihan seperti ini ditujukan untuk mempersiapkan showdown dengan
   komunis waktu itu. Kegiatan ini kemudian diketahui oleh Subandrio yang
   memimpin BPI (Badan Pusat Intelejen). Akibat kejaran BPI Pater Beek
   terpaksa melarikan diri ke luar negeri dekat sebelum Gestapu 1965.
   Beek kembali ke Indonesia setelah Subandrio ditangkap dan BPI
   dibubarkan.
   
   Sebagian dari lulusan terbaik Kasebul ini dikirim untuk latihan lebih
   jauh lagi di luar negeri. Salah seorang yang berhasil dikirim keluar
   negeri sebelum Gestapu adalah yang kemudian menjadi wakil komandan
   Laskar Ampera, Louis Wangge almarhum. Wangge dikirim oleh Beek ke
   Universitas Santo Thomas, Filipina. Begitu yang diketahui orang. Tapi
   kemudian Wangge sendiri mengaku bahwa sebenarnya ia dikirim ke sebuah
   pusat latihan intelejen di sebuah pangkalan Amerika di Filipina.
   
   Cerita tentang ini semua dikisahkan Wangge setelah ia dikucilkan oleh
   CSIS karena sikap Wangge yang menolak kebijakan SCIS yang anti Islam.
   Dalam keadaan tegang antara Wangge dan CSIS di pertengahan tahun tujuh
   puluhan, misalnya, Wangge pernah menyundut rokok menyala ke baju yang
   melekat di tubuh Sofyan Wanandi dikamar kecil bioskop Menteng (bioskop
   itu sudah digusur sekarang).
   
   Saya sendiri juga pernah menjadi kader Pater Beek dan dilatih melawan
   komunis. Tapi seperti juga Wangge, ketika CSIS sudah menjadikan Islam
   sasarannya, dan karena CSIS menjadi tanki pemikir Rezim Suharto, juga
   karena ikut berdarahnya tangan CSIS di TimorTimur, saya tidak bisa
   lagi tetap berada dalam jajaran pengikut Pater Beek. Terutama setelah
   demi ambisi kekuasaan dan kontrol orang-orang CSIS (Liem Bian Kie dan
   Sudradjat Djiwandono) Partai Katolik pun mereka gilas. Begitu yakinnya
   mereka akan pentingnya mengontrol Indonesia lewat Golkar, mereka tega
   menindas Uskup Atambua (mempertahankan Partai Katolik), orang yang
   sebenarnya berjasa dalam proses integrasi Timor-Timur.
   
   Sebagai wartawan Tempo yang sudah mengunjungi Timor Timur sebelum
   invasi operasi intel pimpinan Murdani, dan mengikuti perkembangan
   wilayah itu hingga kini, saya tahu bagaimana permainan Murdani bersama
   orang-orang CSIS dalam mengeruk uang dari Timor-Timur, setelah
   sebelumnya membantai secara kejam banyak penduduk bekas jajahan
   Portugis tersebut. Dengan uangyang terus mengalir (monopoli kopi yang
   dikelola oleh Robby Ketek dari Solo) itulah mereka, antara lain, bisa
   membiayai operasi-operasi politik Murdani bersama CSIS.
   
   Tapi siapa sebenarnya Beek? Menurut cerita dari sejumlah pastor yang
   mengenalnya lebih lama, Beek adalah pastor radikal anti komunis yang
   bekerja sama dengan seorang pastor dan pengamat Cina bernama pater
   Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di
   Hongkong). Pos china watcher (pengamat Cina) pada umumnya dibiayai
   CIA. Maka tidak sulit untuk dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang
   amat bagus dengan CIA. Sebagian pastor mencurigai Beek sebagai agen
   Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang
   mengepalai operasi politik katolik di seluruh dunia.
   
   
   Tentang Black Pope ini tidak banyak diketahui orang, juga pastor
   katolik yang tidak tahu mengenai kedudukan, peran, dan operasi Black
   Pope yang sangat penuh rahasia itu. Tapi ketika almarhum Dr.
   Sudjatmoko menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo, ia pernah
   berkunjung ke Tahta suci di Vatikan. Selain berjumpa Paus, Sudjatmoko
   juga jumpa seorang Kardinal yang mengajaknya berbicara banyak mengenai
   keadaan di Indonesia. Sudjatmoko merasa surprise bahwa Kardinal itu
   tahu banyak tentang politik di Indonesia. Tidak lama setelah pulang ke
   Indonesia sebagai pensiunan rektor Universitas PBB, pimpinan harian
   Kompas mengirimkan orang kepada Sudjatmoko untuk meyakinkannya agar
   tidak usah cemas masalah finansial. Kalalu ada apa-apa Kompas bersedia
   membantu. Dari tawaran simpatik Kompas itulah Sudjatmoko yakin adanya
   kontrol Black Pope terhadap kegiatan katolik di Indonesia.
   
   Kembali kepada Beek, yang makin memperkukuh posisi kader Beek di mata
   tentara adalah sikap mereka yang didasarkan oleh kebijakan yang
   digariskan oleh Beek.
   
   Kebijakan itu dikenal sebagai Lesser evil theory (teori setan kecil).
   
   Setelah komunis dihancurkan olehtentara, Beek melihat ada dua ancaman
   (setan) yang dihadapi kaum Katolik di Indonesia. Kedua ancaman
   sama-sama berwarna hijau. Islam dan tentara. Tapi Beek yakin, tentara
   adalah ancaman yang lebih kecil (Lesser evil) dibanding Islam yang
   dilihatnya sebagai setan besar. Berdasarkan pikiran itulah maka
   perintah Beek kepada kader-kadernya adalah rangkul tentara dan gunakan
   mereka untuk menindas Islam.
   
   Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan
   Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa dari
   partisipasinya dalam penumpasan Gestapu. Padahal Suharto dan pimpinan
   ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk mengelola sendiri negara dan
   tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan
   Islam. Ketegangan Islam lawan tentara inilah yang melicinkan
   dipraktekkannya doktrin Lesser evil Pater Beek tersebut.
   
   Kebetulan lain adalah adanya Ali Murtopo dan Sudjono Humardani. Kedua
   orang ini mempunyai sejumlah persamaan meski ada perbedaan
   mendasarnya. Sudjono dan Ali sama-sama ingin mengabdi kepada Suharto.
   Tapi Ali Murtopo punya rencana jangka panjang untuk berkuasa (I will
   be the next president, kata Murtopo kepada wartawan Tempo, Tuty
   Kakiailatu, pada masa kampanye Pemilu 1971) sedang Humardani adalah
   orang Solo yang sudah bahagia jika bisa menjadi abdi dalam yang baik.
   Ambisi Ali Murtopo inilah yang dimanfaatkan oleh kader-kader Pater
   Beek tersebut.
   
   Banyak orang yang tidak percaya kalau Ali Murtopo (keluarga santri
   dari pesisir Jawa dan bekas hisbullah di jaman revolusi) bisa menjadi
   orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang
   Islam di awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah bahwa Ali
   Murtopo punya rencana berkuasa, oleh karena itu semua yang
   merintanginya untuk mencpai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya
   bukan cuma Islam, tapi juga Perwira-perwira ABRI yang dianggapnya
   sebagai perintang, seperti H.R. Dharsono, Kemal Idris, Sarwo
   EdhiWibowo dan Soemitro (Pangkopkamtib). Almarhum Dharsono (Pak Ton)
   difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan
   sistem politik baru untuk menyingkirkan Suharto. Kemal Idris
   dituduhnya berambisi jadi Presiden. Sedang Sarwo Edhy difitnahnya
   merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Suharto.
   
   Kader-kader Beek yang kemudian mendirikan CSIS dan waktu itu masih
   berkumpul dalam Opsus tahu betul mengenai ini, dan mereka ikut
   membantu Ali Murtopo mencapai ambisi berkuasanya.
   
   Pada tahun 1974 terjadi Malari di Jakarta. Orang-orang Opsus yang
   berada dibalik kerusuhan dan pembakaran-pembakaran merasa dengan itu
   bisa menghabisi lawan mereka yang dipimpin Soemitro. Kemudian terbukti
   memang Soemitro yang kurang canggih berpolitik itu berakhir karir
   militernya dengan cara yang sangat mengenaskan. Namun yang menang juga
   bukan Ali Murtopo. Suharto ternyata jauh lebih pintar dari Ali dan
   Soemitro. Kedua Jenderal yang berambisiitu dalam waktu singkat habis
   peranan politiknya.
   
   Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Suharto, salah
   seorang kadernya disimpannya di Korea Selatan sebagai Konjen. Itulah
   LB. Murdani. Sudah sejak di Kostrad pada jaman konfrontasi dengan
   Malaysia, para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat tanda-tanda
   adanya rivalitas diam-diam antara Ali dan Murdani. Banyak yang menduga
   perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan, sedang Murdani
   penuh kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus
   kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin
   menjadi orang yang berkuasa, sementara Murdani hanya ingin menjadi
   orang yang mengendalikan orang yang berkuasa.
   
   Tapi setelah terjadi Malari. Ali Murtopo tidak bisa lagi menghalangi
   Murdani untuk tampil ke depan. Sejak itulah bintang Murdani mulai
   menanjak. Murdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi karena
   sama-sama ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS yang
   mulai cemas karena merosotnya posisi dan peran Ali Murtopo pada masa
   paska Malari, berjaya lagi oleh naiknya Murdani.
   
   Berlainan dengan Ali Murtopo yang ditakutkan bisa merupakan ancaman
   bagi CSIS kelak ketika berkuasa (ingat Suharto yang kini berbalik
   kepada Islam setelah menindasnya dahulu?) Murdani adalah orang katolik
   yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu
   lancar saja kerjasama Murdani dengan CSIS. Sebagai orang katolik
   ekstrem kanan Murdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itulah sebabnya
   mengapa Moerdani sekarang dengan tenang bisa berkantor di CSIS
   (menggunakan bekas kantor Ali Murtopo).
   
   Dipanggil pulang dan diberi bintang dan kuasa oleh Suharto setelah
   hampir terlupakan di Korea Selatan dan (sebelumnya) Kuala Lumpur,
   Murdani sangat berterima kasih kepada Suharto. Merasa telah mengutangi
   budi kepada Murdani, Suharto merasa dengan aman bisa menyuruh Murdani
   berbuat apa saja tanpa harus takut dikhianati. MemangMurdani menjadi
   "herder" Suharto yang menggigit siapa saja yang dianggap Murdani
   membahayakan Suharto. Maka Suharto makin percayalah kepada Murdani.
   
   Kepercayaan yang besar itulah kemudian yang menjadi modal bagi ambisi
   lama Murdani untuk menjadi King Maker. Kepada seorang perwira Kopassus
   di akhir tahun 1980-an Murdani katanya pernah berseloroh: "Buat apa
   jadi orang berkuasa jika bisa dengan tanpa resiko kita mengontrol
   orang yang berkuasa". Memang itulah yang digeluti Murdani di belakang
   Suharto. Keberhasilan Murdani dan Sudomo membesar-besarkan bahaya
   Petisi 50 (AH. Nasution hampir ditangkapMurdani, tapi dicegah oleh TB.
   Simatupang) berhasil mengecoh Suharto untuk mengeluarkan sebuah surat
   pamungkas yang memberi kuasa lebih besar lagi kepada Murdani. Dengan
   kekuasaan amat besar dari Suharto itulah ia dengan gampang dan cepat
   bisa membangun kerajaan dan operasi intelnya (BAIS).
   
   Menurut Wismoyo Arismunandar (mantan Kasad), orang yang mula-mula dan
   dari awal punya firasat buruk terhadap Murdani adalah Ibu Tien
   Suharto. Tapi karena Suharto sangat koppeg dan merasa paling tahu
   sendiri, baru pada tahun 1988 Murdani berhasil disingkirkan. Tapi
   sebelum meninggalkantahta kekuasaannya, Murdani sudah berhasil
   menciptakan beberapa calon raja yang menurut rencana akan dikontrolnya
   kelak. Salah seorang di antaranya adalah Try Sutrisno. Begitu patuh
   Try Sutrisno kepada Murdani sehingga sebagai kepala BAIS, Try Sutrisno
   di Mabes ABRI adalah staf yang dulu diangkat, dipercaya, dan pernah
   dipakai oleh Murdani sebagai Pangab.
   
   Dalam soal memilih kader, Ali Murtopo dan Murdani sama. Keduanya amat
   berbeda dengan Pater Beek. Beek memilih pemuda dan mahasiswa Katolik
   terbaik. Tujuannya adalah agar kader-kader tersebut dengan kecerdasan
   dan kelihaiannya sanggup mengendalikan orang lain untuk mencapai
   tujuan yang diamanatkan Beek. Pater Beek SJ tahu betul bahwa Indonesia
   ini penduduknya adalah mayoritas Islam, oleh karena itu orang Katolik
   jangan bermimpi untuk tampil berkuasa. (Murdani sadar akan hal ini,
   karena itu ia hanya ingin jadi King Maker). Tapi mereka harus
   mengusahakan agar yang berkuasa adalah orang Islam yang mereka bisa
   atur. Inilah penjelasan mengapa Try Sutrisno dijagokan oleh Murdani
   dan untuk itu dipakai orang Islam lain yang bisa diaturnya, yaitu
   Harsudiono Hartas.
   
   Ali Murtopo dan Murdani memilih bukan orang terbagus yang ada untuk
   jadi kader, tapi orang-orang yang punya cacat atau kekurangan, (orang
   yang ketahuan korup, punya skandal, bekas pemberontak, mereka yang
   ingin kuasa, ingin jabatan, ingin kaya cepat, dan sebagainya).
   Orang-orang demikian mudah diatur. Perbedaan inilah justru yang
   menyebabkan Ali Murtopo dan Murdani mudah bekerjasama dengan
   kader-kader Pater Beek SJ. Lewat tangan Ali Murtopo dan Murdani
   cita-cita dan rencana Beek SJ pernah berhasil dijalankan dengan
   saksama. Meski tragis, tapi inilah yang penjelasannya mengapa yang
   melaksanakan kebijakan anti Islam (lewat tangan Ali Murtopo dan
   Murdani) kebanyakan adalah orang-orang Islam yang tidak sadar
   diperalat oleh Ali Murtopo dan Murdani untuk ambisi mereka
   masing-masing.

***


sastra-pembebasan@yahoogroups.com
milisgrup opini alternatif

http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/
penerbit buku sejarah alternatif

http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Wellness Spot

on Yahoo! Groups

A resource for living

the Curves lifestyle.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar