Minggu, 17 Februari 2008

[psikologi_transformatif] Problem Pendidikan di Era Reformasi

Problem Pendidikan di Era Reformasi

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Kebudayaan adalah
konsep,gagasan,fikiran dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat
dalamwaktu lamasehinggi menuntun mereka dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Berbeda konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah
konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi dengan
sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa.

Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi (Panca
Sila,UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh faunding father RI dan
dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun kebudayaan
dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat
mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel pada
pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda
kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya justeru
tidak ada yang mengerjakan.

Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan lebih
tepat berada di departemen pendidikan (depdikbud), karena
pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi
sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara pendidikan
anak usia dini (PAUD)dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada
masyarakat local sebagai wujud pembentukan budaya local, kearifan local.

Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia
Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:

1. Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia
dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan
cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak
sosiologi Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh
lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi
Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah
banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik
menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu
satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.

Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun
berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita
dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi
pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun
masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul
sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang
kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang
terpelajar. What wrong?

2. Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa
membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada pendidikan
generasi ini?

Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional
kita selama ini (masa orde Baru), meliputi:

[a] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan
penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya
sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality,
kepribadian yang pecah.

[b] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang
hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan
harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di
daerah masing-masing.

[c] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan
masyarakat yang berdisiplin.

[d] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global

[e] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan
hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru
negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa,
tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa.
Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai
Rp. 400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp.
4.000,-/anak/tahun.

[f] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM
dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas
masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.

[g] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya
gagasan-gagasan otonomi daerah.

[h] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya,
bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.

[i] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan
–yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang
telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:

1. Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan
imajinasi idealistik.

2. Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja
pasar global.

3. Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.

4. Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair

5. Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis

6. Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah

7. Cendekiawan yang hipokrit,

8. Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan

9. Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.

10. Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus
tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus
menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.

Pendidikan pada Era reformasi

1. Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang
terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok
penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat
berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana
psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih,
menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu
menawarkan soulusi

2. Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari system
pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global
sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya
tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill
dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat
dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidakkompetetip hari ini
adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu.
Untuk mengubah system pendidikan secara radikal juga punya
problem,yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari system
pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah
instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan
kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.

3. Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang
sungguh-sungguh untuk mengubah system pendidikan di Indonesia menjadi
pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih
berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba system di
lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru
–yang digugu dan ditiru- seperti dalam filsafat pendidikan nasional
kita sejak dulu. Mestinya doctor dan professor bidang pendidikan
tetapmengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan system pendidikan
berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan
menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian
mengatur pendidikan dari balikmeja berpedoman kepada teori-teori
Barat.. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar,
maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.

4. Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran
pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika
kreatifitas depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada
pengembangan pendidikan.

5. Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa
terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat
menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang
orientasinya pada bisnis pendidikan.

6. Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap
globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat
riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.

7. Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran
pendidikan Negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal,
tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu
titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah
formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan
di sekolah informaldan non formal. Pada satu titiknanti, gelar-gelar
akademik juga tidaklagi relefan.

Wassalam,
agussyafii

==============================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
achmad.mubarok@yahoo.com atau http://mubarok-institute.blogspot.com
==============================================

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

Cat Groups

on Yahoo! Groups

discuss everything

related to cats.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar