Selasa, 19 Februari 2008

[psikologi_transformatif] Re: Dasar-dasar Komunikasi yang Empatik

ya ini benar....

tapi kalau sudah kusut, lewat mana?

bagaimana menanggalkan ego? lewat mana? bagaimana mengasahnya? lewat
pintu mana? itu masalah orang,

pertanyaannya : untuk apa???????

salam,
goen

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, leonardo rimba
<leonardo_rimba@...> wrote:
>
> DASAR-DASAR KOMUNIKASI YANG EMPATIK
>
>
> Dear Friends, Komunikasi yang Empatik (Empathetic
> Communication) bisa juga dinamakan sebagai "Mind
> Reading" atau membaca pikiran. Biasanya istilah itu
> diartikan sebagai membaca pikiran orang lain, walaupun
> sebenarnya yang kita baca adalah pikiran kita sendiri.
> Kita membaca pikiran orang lain melalui pikiran kita
> sendiri. We read other people's minds through our own
> minds.
>
> Tidak ada yang kita baca selain pikiran kita sendiri
> di dunia ini. Segala sesuatu yang kita lihat, kita
> rasakan, kita dengar, kita baca, kita pahami…
> segalanya itu melalui pikiran kita sendiri. Tidak ada
> sesuatupun yang datang begitu saja tanpa melalui
> saringan di kepala kita yang kita kenal sebagai
> jaringan otak. Dan counterpart-nya di alam nir ruang
> dan waktu yang kita sebut sebagai "pikiran" atau
> "mind".
>
> We read other people's minds through our own minds.
>
> Pertanyaannya adalah: bagaimana kita bisa membaca
> pikiran orang lain melalui pikiran kita sendiri?
>
> Jawabannya mudah saja: Kita harus mulai dari awal
> kembali, membayangkan ketika pertama kali kita
> mengenal apa yang dinamakan kesadaran itu. Apakah yang
> pertama kita sadari itu? Bukankah pertama kali kita
> sadar bahwa diri kita adalah diri kita setelah
> beberapa saat (bulan, tahun…) setelah kita terlahir di
> dunia dalam kehidupan kali ini? Bukankah pertama kali
> yang kita sadari bukanlah diri kita sendiri tetapi
> orang lain? Ibu kita, ayah kita, lingkungan kita?
>
> Sebagai seorang bayi kita tidak menyadari diri kita
> sebagai kita, tetapi diri kita sebagai orang lain,
> terutama sebagai ibu kita. Atau, lebih tepat, kita
> sebagai bagian dari ibu kita. Tidak ada yang namanya
> "ego" itu selain kebutuhan-kebutuhan fisikal yang
> dirasakan oleh kita sebagai seorang bayi. Selanjutnya,
> segalanya adalah ibu kita, dan kita sebagai bagian
> dari ibu. Dan apapun yang dirasakan oleh ibu kita akan
> kita rasakan: emosi-emosinya, kegalauannya,
> kegembiraannya.
>
> Setelah itu kita akan merasakan apa yang dirasakan
> oleh orang-orang dekat yang ada di sekitar kita: ayah,
> saudara-saudari, lingkungan sekitar, … walaupun saat
> itu kita masih seorang bayi yang belum bisa
> berkomunikasi dengan kata-kata. Kita sadar bahwa kita
> sadar, tetapi kesadaran kita adalah kesadaran orang
> lain. Kesadaran yang ada di manusia-manusia dewasa
> yang berada di sekitar kita.
>
> Setelah berlalunya waktu, sedikit demi sedikit
> lingkungan akan mengajarkan bahwa kita beda, bahwa
> kita adalah seorang entitas yang berdiri sendiri.
> Sebagai manusia modern, inilah sosialisasi yang kita
> alami, walaupun kita juga menyadari bahwa banyak
> manusia yang budayanya primitif tetap mengalami
> identitas komunal sepanjang hidupnya.
>
> Sebagai manusia modern kita akhirnya dibiasakan untuk
> berpikir bagi diri kita sendiri, untuk menyatakan
> kebutuhan kita, untuk mengartikulasikan kepentingan
> kita. Dan lahirlah "ego". Ego adalah kita, diri kita
> vis a vis orang-orang lain. Tetapi ego adalah
> perkembangan lanjutan dari diri kita yang asli ketika
> lahir di dunia ini. Kita lahir tanpa ego, dan ego itu
> adalah bentukan budaya, dan ego itu adalah
> superficial.
>
> Setelah kita dewasa, kita akan terbiasa untuk berpikir
> dalam konteks kita vs. mereka. Diri kita vs. diri
> orang-orang lain. Yang kita lihat dan kita rasakan
> hanyalah diri kita sendiri karena kita disosialisasi
> seperti itu. Tidak ada lagi yang namanya merasakan
> melalui orang-orang lain itu karena kita tahu bahwa
> setelah tahap bayi berlalu, kita harus menghadapi
> orang-orang lain sebagai orang lain, sebagai the
> others. The others are not me, and I have to state my
> own interests as opposed to those of the others'.
>
> Kepentingan saya sebagai seorang entitas tersendiri
> dinyatakan sebagai terpisah dari kepentingan
> orang-orang lain: baik orang dekat, orang jauh,
> lingkungan dekat, lingkungan jauh, masyarakat, maupun
> dunia luas. Empati masih ada, karena kita masih bisa
> merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang lain
> itu, kalau kita mau. Tetapi, itu "tidak normal". Tidak
> normal dalam tanda kutip. Yang dianggap normal itu
> adalah dipertahankannya mode saya vs. orang lain itu.
>
> Saya selalu mengatakan bahwa Komunikasi yang Empatik
> adalah bakat alam dari tiap orang. Artinya itu apa?
> Artinya adalah bahwa Komunikasi yang Empatik adalah
> sesuatu yang telah dimiliki oleh tiap orang sebagai
> mode awal dari interaksi kita sebagai manusia ketika
> terlahir ke dunia. Komunikasi yang Empatik telah kita
> lakukan dengan fasih ketika kita masih bayi dan belum
> bisa berkata-kata. Komunikasi yang Empatik telah
> mendarah-daging di diri kita ketika segala konsep
> tentang kepentingan diri sendiri belum ditanamkan ke
> diri kita oleh lingkungan budaya dimana kita
> dibesarkan. Lalu apa susahnya?
>
> Susahnya adalah untuk menguraikan benang kusut antara
> "saya" dan "mereka" itu. Antara impressi-impressi yang
> masuk ke dalam pikiran saya. Impressi-impressi itu
> tetap sebagai impressi, dan selalu ada di pikiran
> atau "mind" milik saya, tetapi saya merasa kesulitan
> untuk membedakan apakah impressi itu mengenai saya
> atau mengenai orang lain. Yang menghalangi tentu saja
> ego saya. Dan ego itu tidak lain adalah konsep diri
> saya yang ditanamkan oleh budaya dimana saya
> dibesarkan. Saya dan Anda dibesarkan dengan pengertian
> bahwa ego harus dipertahankan demi kewarasan pikiran.
> Kalau tidak demikian, maka akan bisa terombang-ambing
> antara kepentingan saya sendiri dan kepentingan orang
> lain yang saya lihat sebagai saya juga.
>
> Memang benar akan ada kemungkinan seperti itu,
> terutama bagi mereka yang lemah mentalnya. Tetapi
> disini saya akan berbicara tentang hal-hal yang umum
> dan berlaku bagi semua orang, dan bukan tentang
> psikologi klinis yang menyelidiki tentang hal
> schizophrenia, paranoia, dan sebagainya. Ada orang
> yang lemah mentalnya dan tidak bisa melakukan
> komunikasi yang empatik tanpa jatuh ke dalam kategori
> tidak waras. Dan ada orang yang sehat jasmani dan
> rohani dan mampu untuk melakukan komunikasi yang
> empatik sebagaimana komunikasi umumnya. Apa adanya dan
> tanpa dipaksakan.
>
> Secara gamblang, Komunikasi yang Empatik adalah
> mengkomunikasikan apa yang kita baca dari pikiran kita
> sendiri tentang apa yang dirasakan oleh orang lain,
> apa aspirasinya, apa ketakutannya, apa kepentingannya.
> Dan itu bisa kita lakukan apabila kita mau kembali
> menelaah situasi yang terjadi ketika kita masih bayi
> sebelum konsep ego ditanamkan oleh lingkungan kita.
>
> Kita akan bisa melihat orang lain seperti kita melihat
> diri kita sendiri. Kita akan bisa merasakan orang lain
> seperti kita merasakan diri kita sendiri.
>
> Tetapi ada bedanya dibandingkan dengan ketika kita
> masih bayi ketika kita belum bisa menerangkan apa
> sebenarnya yang kita lihat dan rasakan tentang
> orang-orang lain itu. Sekarang, kita akan bisa
> membedakan bahwa sesuatu yang kita lihat itu adalah
> mengenai orang lain. The others. Dan bukan kita
> sebagai diri kita yang merupakan entitas terpisah dari
> orang-orang lain itu. Ketika kita masih bayi, hal itu
> tidak bisa kita lakukan.
>
> You could give it a try even now! Try to think and
> feel as if you were somebody else: your close friend,
> your mate, your brother, sister, neighbor, anybody.
> Ucapkanlah, tuliskanlah… cobalah untuk diperiksa
> dengan orangnya apakah benar demikian. Dan Anda telah
> melakukan Komunikasi yang Empatik!
>
> Di bahagian atas telah saya tuliskan bahwa tahap
> pertama dalam penguasaan Komunikasi yang Empatik
> adalah dengan mencoba membayangkan diri kita sendiri
> sebagai orang lain. Seolah-olah kita adalah orang lain
> itu. As if we were the other person with whom we are
> having an empathetic communication Caranya memang
> mudah, dan bahkan tahap-tahap selanjutnya juga sama
> mudahnya.
>
> Tahap berikutnya dijalankan dengan melakukan Osmosis.
> Osmosis adalah istilah ilmu alam yang berarti
> menyamakan isi dari sesuatu yang kosong dengan sesuatu
> yang berisi. Kalau saya merupakan satu kertas kosong,
> dan di sebelah saya ada satu kertas berisi tulisan,
> maka isi dari kertas bertulisan itu bisa berpindah ke
> kertas kosong yang merupakan diri saya.
>
> Maksud dari istilah itu adalah penyerapan pengetahuan
> dari seseorang tanpa melalui cara-cara umum; tanpa
> perlu diajari secara formal, walaupun tetap harus ada
> komunikasi intensif. Bagaimana cara melakukan Osmosis
> bukanlah sesuatu yang aneh bagi kita manusia-manusia
> normal. Bukankah kita sudah melakukan Osmosis itu
> sepanjang hidup kita?
>
> Bukankah kita sudah menyerap segala nilai-nilai budaya
> dari masyarakat kita tanpa kita merasa mempelajarinya
> secara sungguh-sungguh: nilai-nilai budaya dari orang
> tua kita, dari teman sepergaulan kita, dari teman
> sekolah kita, dari segalanya yang kita temui sepanjang
> hidup kita? Dan kita telah melakukannya sejak kita
> sadar bahwa kita sadar. Sejak kita sadar bahwa kita
> memiliki kesadaran sebagai seorang entitas.
>
> Tidak ada cara lain bagi kita dalam mempelajari
> sesuatu secara MENDALAM selain melakukan Osmosis. Bisa
> saja kita melanjutkan sekolah dan mempelajari segala
> teknik itu, tetapi yang terutama kita lakukan adalah
> Osmosis. Osmosis dari dosen-dosen kita, dari pengajar
> kita, dari penulis yang kita kagumi...
>
> Segala teknik yang dipelajari itu cuma pengisi waktu
> saja, cuma sebagai bukti empirik bahwa ada metode yang
> diajarkan dan dipelajari. Tetapi untuk bisa dan
> memahami mau tidak mau kita harus melakukan Osmosis.
>
> Setelah Osmosis itu Anda jalankan, dengan mudah Anda
> akan bisa mengembangkan teknik Anda sendiri, bahkan
> pengertian Anda sendiri.
>
> Mungkin apa yang saya tulis kali ini terasa
> mengejutkan bagi sebagian rekan-rekan. Mungkin juga
> ada sebagian rekan yang telah bisa meraba secara
> intuitif bahwa pada akhirnya saya akan menuliskan hal
> ini juga, apapun konsekwensinya.
>
> Apapun konsekwensinya, saya harus menuliskan terus
> terang bahwa Komunikasi yang Empatik adalah bakat alam
> dari tiap orang yang bisa dipelajari sendiri asalkan
> mau membuka hati dan pikiran terhadap fenomena alamiah
> yang telah kita alami dalam perkembangan hidup kita
> sendiri sebagai manusia.
>
> Pertama, seperti disebutkan sebelumnya, kita bisa
> memulai Komunikasi yang Empatik dengan cara
> membayangkan diri kita seolah-olah kita adalah orang
> lain itu: teman, pasangan hidup, atasan, bawahan,
> kolega bisnis, teman kuliah, dsb.... Dan kedua, dengan
> mulai melakukan Osmosis dari orang-orang yang Anda
> anggap telah mahir melakukan Komunikasi yang Empatik.
>
> Segala percakapan dengan menggunakan bahasa sehari-
> hari ini adalah Komunikasi yang Empatik dengan aliran-
> aliran Osmosis dari alam bawah sadar orang yang satu
> ke bawah sadar orang yang satunya lagi. Dan bergerak
> kembali dengan input, output, dan feedback yang tidak
> berkesudahan. Hasil akhirnya adalah pemenuhan isi dari
> seseorang yang tidak memiliki dengan isi dari orang
> lainnya yang memiliki. Osmosis selalu berlaku dua
> arah, dan tidak pernah hanya berlaku searah.
>
> Nah, bukankah Osmosis ini adalah sesuatu yang natural
> atau alamiah bagi Anda? Anda telah melakukannya
> sepanjang hidup Anda. Waktu Anda kuliah, Anda bisa
> menangkap maksud hati seorang dosen hanya dengan
> mengamatinya. Waktu Anda masih pacaran, Anda bisa tahu
> bahwa pacar Anda serius atau tidak dalam berhubungan
> dengan Anda. Waktu Anda telah menikah seperti
> sekarang, Anda bahkan bisa tahu kalau pasangan Anda
> hanya mempertahankan formalitas belaka karena segala
> desir romantik telah habis terpakai.
>
> Jadi, Komunikasi yang Empatik juga mengandalkan
> Osmosis yang tidak berkesudahan ini antara Anda dan
> orang-orang lainnya dengan mana Anda melakukan
> komunikasi. Kalau Anda merasa bahwa perlu melakukan
> Osmosis dari saya, that's fine too. Aturlah waktu
> untuk bertemu dengan saya atau saling berkirim e-mail
> dan SMS! Bisa juga melalui chatting atau bahkan cukup
> dengan HANYA membaca tulisan-tulisan saya.
>
> Cuma sesederhana itu. Cuma... Tetapi tentu saja masih
> banyak lagi pernak-perniknya. Sekali bertemu saja
> tidak cukup, sekali membaca saja juga tidak cukup;
> Anda perlu bertemu atau membaca berulang-ulang untuk
> bisa menangkap ESSENSI dari apa yang dikomunikasikan
> itu. Osmosis memang memerlukan interaksi berkali-kali.
> Tidak cukup sekali bertemu atau berinteraksi, tetapi
> perlu waktu berulang-ulang sampai Osmosis itu
> tuntas. (Leo)
>
>
> +++++++++++++
>
> [Leo seorang praktisi Psikologi Transpersonal; no HP:
> 0818-183-615. Untuk bergabung dengan Milis SI, click:
> <http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia/join>.
> NOTE: Except mine, all names used in the YM / email
> conversations are PSEUDONYMS.]
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Send instant messages to your online friends
http://uk.messenger.yahoo.com
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Dog Zone

on Yahoo! Groups

Join a Group

all about dogs.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar