Senin, 03 Maret 2008

[psikologi_transformatif] [esai] DULU, DULU SEKALI, SAYA PERNAH MENGALAMINYA

DULU, DULU SEKALI, SAYA PERNAH MENGALAMINYA
---Septina Ferniati

Dengan si sulung Ilalang saya baru saja habiskan waktu berdua.
Setelah dia tuntaskan PR-nya, dan saya sudah sangat capek menekuni
terjemahan, kami berinisiatif cari makan. Bukan karena kami
kebanyakan uang. Namun karena di rumah saya tidak masak banyak. Tahu
tumis bawang jahe sudah habis sejak sarapan, siang pun diisi dengan
acara makan spageti pemberian seorang teman istimewa. Jadi sore ke
malam memang tidak ada apa-apa. Maka harus ke luar.

Meski gerimis, kami semangat. Saya susui dulu si bungsu yang baru 16
bulan usianya, sampai tertidur. Ayahnya di rumah, tidur bareng dia.
Lalu kami ke luar, agak jauh dari rumah, karena saya dan Ilalang
ingin ke surabi imut.

Kami memesan tiga porsi surabi, tempe bacem bakar lima. Sebelumnya
kami mampir beli yoghurt kesukaan kami berdua. Kami bawa makanan ke
rumah dan makan dengan lahap. Semua habis, sampai kemudian berita
Daeng Basse yang mati kelaparan bersama bayinya sampai ke telinga…

Semangat saya langsung turun. Saya ingat rasanya kelaparan. Saat itu
terjadi, tubuh terasa lumpuh, tak mampu bergerak. Semua terasa ngilu
dan kelu. Jemari bergeletar, mata berkunang-kunang. Rasanya tubuh
bisa melayang tanpa beban. Semua suara yang sampai ke telinga kita
terdengar amat intens, bahkan desir angin terhalus sekalipun takkan
luput dari pendengaran. Ada rasa sakit yang dahsyat di rongga perut,
diimbangi kemampuan melihat dan mendengar melampaui batas. Ada
kenikmatan tak terperi di tengah nyeri tak terkira. Begitulah saya
mendefinisikan kelaparan.

Dulu, dulu sekali, saat masih kuliah, saya pernah mengalaminya. Tubuh
sudah sulit digerakkan. Doa sudah dipanjatkan, saya bersiap. Rasanya
sudah mau mati saja. Perut saya sudah dekok… Rasanya melilit, sakit
sekali. Saya berdoa dan berdoa. Tak lama sayup-sayup terdengar suara
orang. Saya kira suara malaikat. Ternyata memang ada yang datang.
Saya tak sanggup membuka pintu. Bahkan lupa pintu dikunci atau tidak.
Orang yang datang lalu membopong saya. Semua terasa melayang. Saya
tetap berdoa. Dengan bibir pecah teramat parah (hingga berdarah),
saya mencoba tanya siapa penolong saya. Ketika membuka mata saya
sadar sedang ada di dipan pemeriksaan dokter. Cairan di tubuh saya
diambil. Dokter dan penolong saya berbicara dengan suara rendah.

Saya menderita kekurangan gizi akut, atau gizi buruk. Tubuh saya
hanya 36-37 kg, paling banter 38. Saya kurus sekali, seperti sudah
tua, padahal usia masih awal 20-an. Pak Mammukat, nama penolong saya
itu menyuapi saya bubur encer, agar bisa pulih dulu. Beliau membekali
banyak bahan makanan, juga uang, sampai saya kuat dan bisa kembali
kuliah. Dari hasil lab, saya terkena sejenis virus cukup berbahaya
yang membuat haid saya terhambat hampir dua tahun lamanya. Semua
bermula dari gizi yang buruk. (Saking seringnya menghemat, sampai-
sampai makan mie instan seminggu empat kali).

Sebenarnya saya tinggal dengan saudara yang berkecukupan. Tetapi
waktu kejadian lapar itu, mereka sedang berjuang hidup di negeri
orang dalam waktu lama. Uang saku lama-lama habis juga. Saya sering
malu jika butuh uang lagi, karena sudah merasa sangat merepotkan.
Sudah disekolahkan, masih minta-minta pula…

Untunglah kini saya hidup cukup baik. Setidaknya tawaran kerja masih
mengalir. Itu membuat saya merasa cukup. Pernah sih, kami benar-benar
habis uang. Anehnya ASI saya tetap bagus dan lancar, padahal hanya
makan nasi garam dari pagi sampai sore. Yang tersulit adalah menjaga
keyakinan atau optimisme, bahwa rejeki bakal selalu ada. Menjelang
maghrib, pintu diketuk tetangga yang rumahnya agak jauh, yang baru
saja selamatan nujuh bulanan. Dia bilang, "Ke orang lain saya hanya
bawa satu besek, entah kenapa ke Lalang kok bawa dua…" Kami tertawa.
Saya merasa doa saya dikabulkan. Mungkin naif, tapi Tuhan memang Maha
Mendengar, ora sare, kata orang Jawa. Besoknya suami memutuskan
melelang kaset-kasetnya. Setelah itu kami bisa hidup agak lapang.

Berat sekali mendengar dan menyaksikan berita mengguncangkan ini.
Urusan Daeng Basse di dunia sudah selesai, memang. Namun selamanya
beberapa di antara kita akan terus dihantui perasaan malu karena
berdalih dia mati akibat dehidrasi. Saya seorang ibu, seorang
manusia. Meski kemanusiaan saya masih sering karut marut oleh
banyaknya kesalahan yang saya lakukan, rasanya ini keterlaluan
sekali.

Melihat sekilas gambar Daeng Basse yang mayatnya ditutupi kain, saya
menangis. Rasanya campur aduk. Perut saya baru saja terisi yoghurt,
surabi dan tempe bacem sambel, sedangkan di sudut sana, seorang
perempuan sedang hamil dan bayinya harus meregang nyawa setelah kalah
melawan lapar. Si sulung tanya, "Bu, kalau matinya kelaparan gitu,
apa bisa masuk surga?" Saya tersengal, tersendat menyahut, "Ya,
bisa." Kami sama-sama diam. Lalu tanyanya lagi, "Kita juga pernah kan
bu kelaparan? Untung ya bu, kita diselamatin Allah." Dia tersenyum,
wajahnya terlihat sedikit lega. Saya matikan TV. Hati saya menjerit
lagi, entah kenapa. Barangkali karena saya merasa, Daeng Basse tanpa
sengaja luput dari penyelamatan oleh…

Entahlah, wallahu'alam bisshawab. Tuhan pasti tahu, Gusti ora sare,
nak…[]

SEPTINA FERNIATI, ibu dua anak, tinggal di Bandung. Kontak:
08156140621

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Special K Group

on Yahoo! Groups

Learn how others

are losing pounds.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar