Sabtu, 08 Maret 2008

[psikologi_transformatif] peran perempuan dalam tragedi asyuro...

dari salah satu web site islam...

Peran Perempuan dalam Tragedi Asyuro Buat halaman ini dlm format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
   
Friday, 16 February 2007
Oleh: Euis Daryati 
Nyawa manusia memang terhormat dan harus dijaga. Namun ketika bahaya menyerang agama, pada saat itu agama harus lebih diutamakan kendati nyawa akan melayang. Itulah yang dilakukan Imam Husain as di Karbala. Tapi yang menjadi pertanyaan ialah; Apakah Asyuro cukup sampai di sini? Siapakah duta-duta di balik tragedi Asyuro yang harus menyampaikan pesan Asyuro? Bagaimanakah peranan perempuan dalam hal ini?  
"Al-Islam, Muhammaddiyatul Huduts wa husainiyatul Baqa'. 'Asyuro, Husainiyatul Huduts wa Zainabiyatul Baqa". ("Keberadaan Islam terwujud melalui  Nabi Muhammad saww dan kekal melalui Imam Husain as. Keberadaan Asyuro terwujud melalui Imam Husain as dan kekal melalui Zainab as".)

Ungkapan di atas merupakan salah satu manifestasi dari hadis Rasul saww yang berbunyi: "Husain dariku dan aku dari Husain, Allah mencintai orang yang mencintai Husain".[1] Ungkapan "Aku dari Husain" mengisyaratkan bahwa kelanggengan Islam Muhammadi terwujud melalui peranan Imam Husain as dalam peristiwa Asyuro. Sedangkan kelanggengan Asyuro terwujud melalui peranan Zainab al-Kubro as. Oleh karena itu, Sayyidah Zainab as  juga memiliki peran penting dalam menjaga kemurnian dan kesucian Islam Muhammadi. Hal ini menunjukkan tiga buah mata rantai yang satu sama lain saling berkaitan erat dan tidak mungkin untuk dapat dipisahkan; Nabi Muhammad saww, Imam Husain as dan Sayyidah Zainab as.

Melalui peristiwa Asyuro, terjadi pelurusan kembali agama Islam yang telah diselewengkan. Kita dapat memahami perihal ini jika kita menelaah kembali apa yang telah terjadi di zaman Imam Husain as. Ketika itu, ajaran-ajaran Islam diselewengkan,  kebenaran diperlihatkan sebagai suatu kebatilan dan sebaliknya. Sang  penguasa melakukan hal-hal yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam, padahal ia telah memploklamirkan dirinya sebagai khalifah Rasul saww dan khalifah kaum muslimin. Maka tibalah saatnya Imam Husain as bangkit untuk melawan kezaliman dan memurnikan Islam yang telah dikotori oleh tangan-tangan jahil yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad saww. Imam Husain as sendiri telah menjelaskan masalah ini ketika menuliskan wasiat kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiah berkaitan dengan sebab-sebab keberangkatannya ke Karbala. Imam mengatakan bahwa keberangkatannya ke Karbala bukan untuk berbuat keonaran dan kerusakan tetapi untuk merevisi kembali kondisi umat kakeknya (Nabi Muhammad saww), menegakkan  yang makruf dan mencegah yang munkar serta menghidupkan kembali jalan serta agama kakek dan ayahnya.[2]  Imam Husain as datang ke Karbala bukan untuk melakukan gerakan harakiri, akan tetapi demi menyelamatkan Islam Muhahammadi. Meskipun proses penyelamatan tersebut dapat merenggut nyawanya.

Nyawa manusia memang terhormat dan harus dijaga. Namun ketika bahaya menyerang agama, pada saat itu agama harus lebih diutamakan kendati nyawa akan melayang. Itulah yang dilakukan Imam Husain as di Karbala. Tapi yang menjadi pertanyaan ialah; Apakah Asyuro cukup sampai di sini? Siapakah duta-duta di balik tragedi Asyuro yang harus menyampaikan pesan Asyuro? Bagaimanakah peranan perempuan dalam hal ini?

Tidak dapat dipungkiri bahwa di balik setiap tokoh yang menciptakan peristiwa besar, pasti ada peranan perempuan di sana, baik peranan langsung dalam panggung peristiwa atau peranan di balik layar. Di balik "Muhammad" ada "Khadijah". Di balik "Ali" ada "Fathimah az-Zahro". Dan dibalik "Husain" ada "Zainab al-Kubro". Keberadaan Islam, keimamahan (kepemimpinan pasca Rasulullah) dan kelanggengan pesan Asyuro dijaga dan didukung oleh para wanita pilihan nan berani seperti Khadijah as, Fathimah as, dan Zainab as. Meskipun dalam hal ini kita tidak dapat menafikan peranan para pejuang wanita lainnya yang telah ikut andil dalam membela agama Islam.

Secara global peran perempuan dalam tragedi Asyuro dapat dispesipikasihan dalam tiga fase:

Pertama: Pra Tragedi Asyuro

Sebagian orang yang tidak mengetahui kedudukan Imam Husain as mungkin akan bertanya-tanya mengapa beliau membawa  para perempuan ke Karbala dan menganggap hal tersebut sebagai sebuah sikap yang sangat konyol dan sia-sia.  Beliau sendiri sudah mengetahui keberangkatannya ke Karbala bukan untuk hal-hal yang menyenangkan. Bukankah Imam Husain as mengetahui bahwa bencana dan musibah yang akan menimpa beliau di Karbala? Kenapa beliau tetap bertekad untuk membawa para perempuan dan anak-anak tak berdosa menuju tempat yang tidak memberikan kesenangan buat mereka?[3] Bahkan beberapa para pembesar seperti Ibnu Zubair, Ibnu Umar, Muhammad bin Hanafiah, Abdullah bin Umar dan sebagainya telah melarang Imam Husain as untuk membawa para perempuan ke Karbala. Namun Imam tetap bersikukuh untuk membawa mereka. Bahkan ketika beliau menjawab pertanyaan Muhammad bin Hanafiah tentang sebab dibawanya para perempuan ke Karbala, beliau menjawab:"Allah swt telah menghendaki untuk melihat mereka dalam keadaan tertawan".[4] Berdasarkan ucapan beliau ini, maka salah satu alasan membawa mereka ke padang Karbala adalah untuk  melaksanakan kewajiban dan perintah Allah swt.  

Selain itu, para perempuan yang ikut ke Karbala bukanlah sembarang perempuan. Mereka adalah para perempuan yang sudah terlatih dan terseleksi, baik dari sisi mental maupun spiritual. Sayyidah Zainab as, misalnya, telah mendapat berita tentang tragedi Asyuro dari kakeknya (Nabi saww) dan ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib as. Dewi-dewi ini telah mengetahui bahwa para suami, anak dan saudara mereka akan terbunuh di padang Karbala nantinya. Namun mereka tahu bahwa sebagai gantinya, nyala api Islam akan selalu berkobar. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai ungkapan mereka yang melambangkan gelora perjuangan. Sewaktu Ibnu Abbas melarang Imam Husain untuk membawa para perempuan ke Karbala, Sayyidah Zainab al-Kubro as dan Ummu Kultsum as berkata kepadanya:"Wahai Ibnu Abbas, apakah engkau hendak memisahkan kami dari saudara kami? Demi Allah, kami tidak akan pernah berpisah darinya!".[5] Oleh karena itu, para perempuan pergi menyertai Imam Husain as atas keinginan mereka sendiri. Ini semua disebabkan kecintaan mereka terhadap Imam Husain as yang tidak dapat dibandingkan dengan kecintaan duniawi apapun. Lebih dari itu, mereka memang mengetahui kedudukan luhur Imam Husain as, sebagai seorang imam, pemimpin dan wali Allah di tengah-tengah mereka.[6]

Oleh karena itu, keikutsertaan para perempuan ke Karbala—khususnya Zainab al-Kubro dan keluarga Imam Husain as—bukan hanya atas dasar kecintaan kepada keluarga saja. Cinta dikaenakan hubungan keluarga bukanlah suatu hal yang salah dan dicela oleh agama. Namun kita juga harus kembali melihat kedudukan tinggi Sayyidah Zainab as, kesempurnaan dan makrifat yang dimilikinya tentang kedudukan Imam Husain as. Ketika  menggambarkan kesempurnaan yang dimiliki Sayyidah Zainab as, Imam Ali Zainal Abidin Sajjad as berkata:"…Dan engkau wahai bibiku, segala puji sukur bagi Allah swt. Engkau adalah sosok yang berpengetahuan tanpa ada yang mengajari. Dan memahami sesuatu tanpa ada yang memahamkan (menerangkan)".[7] Sepertinya kurang layak jika Sayyidah Zainab yang memiliki pengetahuan seperti itu berjuang membela Imam Husain hanya dikarenakan kecintaan. Beliau membela Imam Husain sedemikian rupa karena beliau menganggap  Imam Husain as sebagai Imam zamannya dimuka bumi, Wali Allah dan al-Qur'an Natiq (yang berbicara) yang senantiasa harus dibela dan dijaga, dimanapun dan kapanpun ia berada.

Bagaimanapun juga, keikutsertaan para perempuan telah mampu menyempurnakan misi dan revolusi Imam Husain as pasca pembantaian di padang tandus Karbala. Hal ini dikemukakan oleh Muhammad Husain Kasyiful-Ghitho, Allamah Baqir al-Qurasyi, dan DR Ahmad Mahmud Shubhi dalam karya-karya mereka berkaitan dengan hal ini.[8] Para perempuan itu aktif sebagai juru bicara di hadapan masyarakat, menyampaikan tujuan kebangkitan Imam Husain as dan sebab penting mengapa beliau sampai dibunuh. Mereka membeberkan berbagai kebusukan musuh-musuh beliau, mensosialisasikan peristiwa Asyuro seluas-luasnya, sebuah usaha yang tidak pernah dilakukan oleh laki-laki manapun sepeninggal mereka. Sosialisasi ini harus dilakukan di tengah masyarakat. Karena jika tidak maka gerakan Imam Husain as akan mudah terlupakan dan segera lenyap begitu saja ditelan waktu. Itu artinya bahwa gerakan Asyuro tidak memberikan dampak yang semestinya di kemudian hari. Oleh karena itu, sesuai dengan hikmah Ilahi, keikutsertaan para perempuan bersama beliau merupakan sebuah keharusan. Ini sangat relevan dengan pernyataan beliau yang menyatakan; "Allah menghendaki melihat mereka dalam keadaan tertawan". Penawanan para perempuan  menjadi bukti konkrit dalam membuka kedok para musuh-musuh Imam Husain as.[9] Mereka akan menjadi saksi hidup kebejatan Bani Umayah dan para sekutunya dan  perlakuan non manusiawi mereka terhadap keluarga Nabi saww serta para sahabat mulia beliau yang turut syahid di Karbala. Andaikan para perempuan itu tidak turut serta pergi ke Karbala, lantas siapa yang akan menyampaikan kepada publik tentang kebejatan, kebiadaban dan perlakuan hewani bani Umayah terhadap para keluarga Nabi saww serta pengikutnya?[10] Inilah salah satu alasan kenapa para perempuan dibawa ke Karbala.

Di sini, perlu disinggung pula tentang peran seorang perempuan yang merelakan rumahnya dijadikan tempat berlindung utusan Imam Husain as, Muslim bin Aqil, ketika tidak ada seorang pun yang bersedia melakukannya disebabkan situasi dan kondisi yang sangat genting kala itu. Mata-mata penguasa zalim Ibnu Ziyad telah ditempatkan di semua sudut kota sehingga mereka dapat memantau segala aktifitas penduduk Kufah. Jika terjadi hal yang mencurigakan, mereka akan segera bertindak.. Muslim bin Aqil keluar dari rumah Muhammad bin Katsir, lalu pergi untuk mencari perlindungan agar ia aman dari pantauan mata-mata Abdullah bin Ziyad. Ia terlunta-lunta di antara gang-gang sampai akhirnya tiba di pintu rumah Thau'ah, seorang perempuan mantan budak Asy'ats yang telah dinikahi Usaid bin Hadzrami dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Bilal.

Saat itu, Thau'ah sedang menunggu kedatangan anaknya. Sewaktu Muslim melihatnya, beliau memberikan salam kepada Thau'ah lalu meminta segelas air. Thau'ah memberikan segelas air kepadanya, setelah itu lantas masuk rumah. Sewaktu keluar, ia melihat Muslim masih berada di depan rumahnya, kemudian bertanya:"Bukankah anda telah meminum air?" "Ya", jawabnya singkat. "Bangkit dan pulanglah ke rumahmu!", ujar Thau'ah. Namun Muslim bin Aqil tidak memberikan jawaban. Thau'ah mengulangi perkataannya tetapi Muslim diam saja. Untuk ketiga kalinya ia berkata:"Pulanglah ke rumahmu, tidak selayaknya seorang laki-laki asing duduk di depan pintu rumahku. Selain itu pun aku tidak menyukai hal ini, karena ini perbuatan tidak benar." Kemudian Muslim bangkit dari tempat duduknya kemudian berkata:"Wahai hamba Allah, aku adalah orang asing. Aku tidak memiliki rumah di kota ini. Dapatkah anda melakukan kebajikan untukku, sehingga anda pun akan mendapatkan pahalanya? Mudah-mudahan aku dapat membalasnya". Thau'ah bertanya:"Apa yang dapat kulakukan?" Muslim menjawab:"Aku adalah Muslim bin Aqil. Penduduk Kufah telah berbohong kepadaku dan mengkhianatiku". "Engkau Muslim bin Aqil?" tanya Thau'ah. "Ya", jawab Muslim singkat. Lantas Thau'ah mempersilahkan Muslim untuk berlindung di rumahnya. Meskipun akhirnya, Bilal  membocorkan keberadaan Muslim di rumah ibunya kepada mata-mata Abdullah bin Ziyad dikarenakan cinta dunia telah menyelimuti hatinya.[11]
            
Kedua: Pada Hari Asyuro

Hari Asyuro merupakan hari peperangan kedua pasukan yang tidak sebanding. Di satu pihak, pasukan Umar bin Sa'ad dengan bala tentara yang sangat banyak dan dilengkapi dengan persenjataan lengkap dan di pihak laik, pasukan Imam Husain as dengan tentara amat terbatas dan perlengkapan perang yang sangat sederhana. Sebenarnya peperangan antara pasukan Umar bin Sa'ad dan Imam Husain as di padang Karbala lebih pantas disebut sebagai "pembantaian" daripada peperangan.

Dalam pandangan Islam, jihad memang tidak diwajibkan bagi perempuan namun mereka dapat melakukan hal-hal yang dapat membantu terwujudnya kesuksesan dalam peperangan seperti memberikan semangat, merawat orang-orang yang terluka, membagi-bagikan air kepada tentara dan lain sebaginya. Demikian pula para perempuan ikut hadir di padang Karbala. Kendati mereka tidak mengangkat senjata dan berperang tetapi mereka melakukan hal-hal sesuai dengan kemampuan mereka dalam turut membela imam dan pemimpin mereka, al-Husain as. Berbagai aktivitas yang mereka lakukan pada hari itu, di antaranya:
1. Menemani para syuhada: Mereka memberikan motivasi dan support kepada para suami dan anaknya untuk maju ke medan perang. Seperti istri Zuhair bin Qin Bajali yang berhasil mempengaruhi suaminya yang beraliran Utsmani untuk menjadi pengikut dan pembela Imam Husain as hingga akhirnya kesyahidan diraihnya. Ummu Wahab, istri Abdullah bin Umair, mengambil tiang kemah dan diberikan kepada suaminya seraya berkata:"Wahai yang jiwaku sebagai tebusannya, berperanglah untuk membela keluarga Rasul". Setelah suaminya syahid, ia meletakkan jenazah suami di pangkuannya. Syimr bin Dzil Zausyan–-laknat  Allah SWT atasnya—memerintahkan budaknya untuk memukul kepala Ummu Wahab dengan tiang kemah tadi sampai akhirnya Ummu Wahab pun turut meneguk cawan kesyahidan  sesuai impiannya. Ia adalah perempuan pertama yang syahid dalam membela Imam Husain as.[12]
2.  Menenangkan jiwa anak-anak sehingga anak-anak tidak menghalangi ayah ataupun saudaranya untuk berjihad.
3.  Berusaha untuk selalu menguasai diri: Dengan penguasaan diri mereka tidak cepat terpengaruh situasi dan kondisi kala itu. Memang Tuhan telah menganugrahkan kadar emosional lebih kepada perempuan berdasarkan hikmah-Nya sebagaimana yang telah banyak dibahas dalam makalah-makalah yang berkaitan tentang perempuan. Namun yang perlu diperhatikan adalah, seandainya para perempuan pada hari Asyuro tidak pandai menguasai dirinya maka dengan para musuh Allah swt akan mudah mengalahkan pasukan Imam Husain.. Mereka telah tampil dengan kokoh dan tegar walaupun kondisi kala itu sangat menyayat hati.[13]  
4.  Mentaati perintah Imam Husain as: Istri Abdullah Kalbi dan Ummu Wahab istri Abdullah bin Umair hendak ikut maju ke medan perang, namun mereka megurungkan niatnya karena ketaatan mereka terhadap perintah Imam Husain as. Sedangkan istri Junadah bin Haris Anshari segera kembali ke tendanya sesuai perintah Imam Husain as setelah ia berhasil membunuh dua orang tentara musuh. Setelah kesyahidan suaminya ia memerintahkan anaknya yang masih remaja, Amru bin Junadah Anshari untuk pergi berperang membela Imam Husain as. Musuh melemparkan kepala anaknya yang telah syahid ke pangkuannya. Selepas membersihkan debu dari kepala anaknya, kemudian ia memukulkan kepala tersebut ke salah satu kepala musuh yang berada di dekatnya hingga mati. Setelah itu ia pergi ke kemah untuk mengambil tiang kemah—sebagian mengatakan pedang—seraya membaca sya'ir perang:"Akulah seorang nenek tua yang sudah lemah, kurus dan tak berdaya. Akan kupukulkan pukulan keras kepada kalian demi membela keturunan Fathimah yang mulia". Lalu ia menyerang musuh-musuh hingga dapat membunuh dua orang dari mereka. Setelah itu, Imam Husain as memerintahkan kepadanya untuk kembali ke tendanya, dan ia pun menta'ati perintah Imamnya.[14]
5.  Tidak menangis dan besedih kala para suami dan anak mereka mati syahid demi membela Imam Husain as. Hal itu karena mereka tahu bahwa gugur dalam membela Imam as merupakan amal kebajikan yang balasannya tiada taranya.
6.  Menghibur para pejuang (mujahid) perihal masa depan keluarganya sehingga mereka tenang dalam berjihad.[15]
7. Merawat Imam Sajjad as: Memburuknya kondisi Imam Ali Zainal Abidin Sajjad beliau pada waktu itu merupakan hikmah Ilahi, demi keberlangsungan keimamahan pasca Imam Husain as. Jika tidak demikian, maka musuh-musuh Imam Husain as akan membantai habis dan tidak akan menyisakan seorang laki-laki pun dari keturunan Imam Husain as.
8. Mengemban wasiat Imam Husain as tentang keimamahan sepeninggal beliau: Ini  merupakan tugas terpenting dan terberat di antara tugas-tugas lain yang mereka emban. Pada detik-detik menjelang berakhirnya tragedi Asyuro, Imam Husain as pergi menuju kemah anaknya, Imam Ali Zainal Abidin as yang sedang sakit keras untuk mengucapkan perpisahan dengannya. Beliau mengetahui bahwa ajalnya semakin dekat. Imam Husain as memasuki kemah, sementara Imam Sajjad as tengah terbaring dan tergeletak dalam keadaan sakit di atas tanah yang hanya beralaskan kulit yang sudah dikeringkan. Sayyidah Zainab al-Kubro sedang merawatnya. Sewaktu Imam Sajjad as melihat Imam Husain as datang, beliau hendak berdiri sebagai tanda penghormatan. Namun Imam Husain as tidak mengizinkannya untuk berdiri. Imam Sajjad berkata kepada bibinya, Sayyidah Zainab al-Kubro: "Sandarkan diriku pada dadamu, karena putra Rasul saww telah datang". Sayyidah Zainab as pun menurutinya. Setelah itu Imam Husain as menanyakan kondisi kesehatannya. Terjadilah percakapan antara keduanya. Imam Sajjad as menanyakan tentang pamannya Abul Fadhl al-Abbas, semua saudaranya dan para sahabat. Imam Husain as menjawab: "Wahai anakku, ketahuilah, tidak ada laki-laki (dewasa) lain yang tersisa di antara kemah-kemah ini melainkan hanya aku dan engkau saja. Dan orang-orang yang telah engkau tanyakan tadi semuanya telah terbunuh dan terjatuh di atas tanah". Mendengar hal tersebut Imam Sajjad as menangis dengan penuh kesedihan seraya berkata kepada bibinya, Sayyidah Zainab as: "Wahai bibiku, berikan kepadaku pedang dan tongkat". "Untuk apa engkau menginginkan benda itu?" tanya Imam Husain as. Imam Sajjad as menjawab: "Aku ingin bersandar pada tongkat dan membela putra Rasulullah dengan pedang ini". Namun Imam Husain as mencegahnya dan merengkuhnya seraya berkata: "Wahai anakku, engkau adalah sebaik-baiknya keturunanku, ithrahku yang paling utama…". Setelah mengungkapkan keutamaan-keutamaan Imam Sajjad, lantas Imam Husain as memegang tangan Imam Sajjad as dan dengan suara lantang beliau berkata: "Wahai Zainab, wahai Ummu Kultsum, wahai Ruqayyah, wahai Fathimah dengarkanlah ucapanku dan ketahuilah; sesungguhnya anakku ini adalah khalifahku atas kalian semua dan Imam yang harus dita'ati".[16] Wasiat Imam Husain as ini, dengan jelas menunjukkan keimamahan pasca beliau dan keimamahan ini harus dijaga dan disampaikan kepada masyarakat.  
 
Ketiga: Pasca Tragedi Asyuro

Syahidnya Imam Husain as merupakan detik-detik yang paling tragis dan sangat menyayat hati manusia manapun, khususnya bagi orang-orang yang menyaksikan langsung pembantaian dan perlakuan tidak manusiawi Umar bin Sa'ad serta bala tentaranya terhadap Imam Husain as dan para pembelanya. Bagaimana tidak, Imam Husain as yang merupakan manusia suci, cucu manusia  termulia dan tersempurna di seluruh alam semesta ini—Rasulullah saw—dibunuh bak hewan najis. Kebiadaban para manusia durjana itu tidak cukup sampai di situ. Mereka menyerang kemah-kemah dan membakarnya. Busana dan perhiasan para perempuan dan laki-laki yang tersisa dari keluarga Imam Husain as dirampas secara paksa. Namun Sayyidah Zainab as tampil berwibawa. Keberanian dan kewibawaan yang telah beliau warisi dari kedua orang tuanya yang mulia. Beliau menjadi tempat berlindung para perempuan yang ketakutan menyaksikan sikap-sikap liar para musuh Islam, antek-antek Yazid bin Muawiyah (laknatullah alaihim).

Sewaktu Sayyidah Zainab as menyaksikan kemah-kemah telah dibakar, beliau menoleh ke arah Imam Sajjad as seraya berkata: "Wahai yang merupakan pusaka para pendahulu dan penolong orang-orang yang telah ditinggal, mereka telah membakar kemah-kemah kita semua, apa yang harus kami lakukan?". Imam Sajjad as menjawab: "Kalian semua harus lari meninggalkan kemah". Salah seorang saksi tragedi Asyuro menyatakan: "Aku melihat seorang perempuan berwibawa dan agung berdiri di hadapan kemah seraya menoleh ke arah kanan dan kiri, terkadang ia melihat ke arah langit dan bumi lalu masuk ke dalam kemah dan keluar kembali. Sementara kemah tersebut telah dipenuhi kobaran api. Aku bertanya kepadanya kenapa ia berdiri di kemah yang sudah dipenuhi kobaran api, kenapa tidak melarikan dan menyelamatkan diri? Ia menangis seraya berkata : "Wahai syeikh, di dalam kemah terdapat orang yang sakit parah. Beliau tidak mampu untuk duduk dan bangun. Bagaimana kami akan meninggalkannya sendirian di antara kobaran api?". Dalam riwayat lain, Hamid bin Muslim ia berkata: "Aku melihat Zainab as masuk ke dalam kemah yang telah dipenuhi kobaran api. Kemudian beliau keluar dari dalam kemah dengan membawa seseorang. Aku mengira beliau mengeluarkan jenazah dari dalam kemah. Lalu aku mendekatinya supaya dapat melihat dengan jelas. Ternyata sosok tersebut adalah Imam Sajjad as".  Coba perhatikan kembali kisah di atas wahai para pembaca yang budiman! Bagaimana pengorbanan dan perjuangan Sayyidah Zainab as dalam membela imam zamannya, mungkinkah beliau melakukan hal tersebut hanya berdasarkan tendensi kekeluargaan saja padahal beliau memiliki tingkat makrifat yang sangat tinggi?

Terdapat dua misi penting yang berada di pundak para perempuan pasca tragedi Asyuro; menjaga keberlangsungan serta menyampaikan keimamahan pasca Imam Husain as—sebagaimana  yang telah diwasiatkan oleh Imam Husain as—dan menyampaikan pesan Asyuro sehingga revolusi Asyuro pun menjadi lebih sempurna. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa para musuh Allah berkali-kali berusaha untuk membunuh Imam Sajjad as karena mereka tidak ingin seorang pun dari keluarga Imam Husain as hidup dan tersisa. Namun Sayyidah Zainab as terus menghalau mereka dan membela Imam Sajjad sehingga mereka tidak jadi membunuhnya. Sayyidah Zainab as pernah berkata: "Demi Tuhan, selama aku masih hidup niscaya dia tidak akan pernah terbunuh".[17] Di sini jelas sekali bagaimana perempuan memainkan peran yang sangat penting dalam peristiwa Asyuro. Sebagaimana mereka membela Imam Husain as dan menganggap beliau sebagai wali Allah di muka bumi dan imam zamannya, mereka pun selalu berusaha membela Imam Sajjad as sehingga garis keimamahan tidak putus dan mereka juga menganggap Imam Sajjad sebagai imam, wali Allah dan al-Qur'an an-Natiq (Quran yang berbicara).

Para musuh Allah dan Rasul-Nya yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad saww menawan keluarga Rasulullah bak para tawanan tentara kafir yang berhasil dikalahkan. Kepala Imam Husain as serta para syuhada Asyura ditancapkan di ujung tombak, bagaikan membawa kepala-kepala hewan sembelihan. Rombongan tawanan berjalan dengan lunglai, namun ketegaran dan kekokohan tetap terpancar dari raut wajah suci mereka karena mereka meyakini tugas berat masih berada di pundak mereka. Mereka harus membuka kedok busuk Yazid bin Muawiyah serta antek-anteknya dan kemudian menunjukkannya kepada dunia Islam serta mensosialisasikan risalah Asyuro seluas-luasnya.

Dalam kesempatan ini, sebaiknya kita menyinggung nama para tawanan perempuan sehingga kita dapat mengenal duta-duta Karbala tersebut.   Menurut berbagai sumber, jumlah tawanan perempuan lebih banyak dari jumlah tawanan laki-laki. Tawanan laki-laki berjumlah kurang lebih delapan orang saja sementara para tawanan perempuan berjumlah dua puluh satu orang. Sebagian tawanan perempuan adalah keturunan Bani Hasyim dan sebagian lagi bukan keturunan Bani Hasyim. Adapun tawanan dari Bani Hasyim berjumlah lima belas orang: Zainab binti Ali, Ummi Kultsum binti Ali, Fathimah binti Ali, Fathimah binti Husain, Sukainah binti Husain, Rubab istri Imam Husain, Ruqayyah binti Husain, Ruqayyah istri Muslim bin Aqil, Khausha' istri Aqil, Ummu Kultsum Sughra (anak Zainab binti Ali), Romlah ibu Qosim (istri Imam Hasan Mujtaba), Laila binti Mas'ud bin Khalid (ibu Abdullah Ashghar), Fathimah binti Hasan Mujtaba dan Syahr-Banu (ibu dari anak kecil yang syahid dibunuh Hani bin Tsabit). Tawanan perempuan yang bukan dari keturunan bani Hasyim: Hasaniyah perawat Imam Ali Zainan Abidin yang berangkat ke Karbala bersama anaknya yang telah meneguk cawan kesyahidan, istri Abdullah bin Umair Kalbi yang berangkat ke Karbala bersama suaminya yang turut syahid di Karbala, Fakihah (pelayan Rubab, istri Imam Husain) ibu dari Abdullah bin Uraiqath yang turut syahid di Karbala, Bahariyyah binti Mas'ud Khazraji yang berangkat bersama suaminya Junadah bin Ka'b serta anaknya Amru bin Junadah yang telah turut syahid di Karbala, pembantu Muslim bin Ausjah (sebagian berpendapat beliau adalah Ummu Khalaf istri Muslim bin Ausjah) dan Fidhah Hindi berdasarkan beberapa riwayat.[18]

Sewaktu para musuh mengarak tawanan dan melewatkan mereka di antara jasad para syuhada, termasuk badan suci Imam Husain as yang di injak-injak pasukan dan kuda-kuda musuh, saat itu Zainab as mendekati jasad Imam Husain as dengan kesedihan yang mendalam. Sembari mengangkat jasad Imam Husain as dan dengan melihat ke arah langit berkata: "Ya Allah, terimalah sedikit qurban ini dari kami".[19] Sungguh menakjubkan ungkapan beliau. Semua musibah tersebut dianggap kecil jika semuanya dilakukan demi keridhoan Tuhannya. Kemudian para tawanan pun diarak dari Karbala menuju Kufah. Pesta terbunuhnya Imam Husain as akan dirayakan di istana Ubaidillah bin Ziyad (laknat Allah swt atasnya). Sesampainya di kota Kufah, para penduduk Kufah berkumpul mengerumuni para tawanan untuk melihat keadaan mereka dari dekat. Melihat kondisi tawanan, penduduk ikut larut dalam kesedihan lalu melemparkan makanan ke arah mereka. Namun Ummu Kultsum mengatakan kepada mereka bahwa keluarga Rasul saw diharamkan untuk menerima sedekah. Lantas beliau berkata: "Diamlah wahai penduduk Kufah, para laki-laki kalian telah membunuh orang-orang kami. Apakah pantas para perempuan kalian menangis untuk kami? Ketahuilah, Allah swt akan menjadi hakim di hari pengadilan nanti dan akan mengadili kalian dan kami". Sedangkan Fathimah binti Husain as berkata: "Binasalah mereka yang tidak menolong imamnya. Binasalah mereka yang tidak membela imamnya. Tunggulah laknat Allah swt, laknat atas orang-orang zalim…". [20]

Di sini dapat kita saksikan bahwa para perempuan lebih aktif berbicara karena jika Imam Sajjad as yang lebih aktif dan vokal membongkar semua kebusukkan penguasa niscaya jiwa beliau akan terancam bahaya. Setelah itu Sayyidah Zainab as berpidato di hadapan penduduk Kufah. Basyir bin Khuzaim berkata: "Aku melihat Zainab binti Ali saat itu, tak pernah kusaksikan seorang tawanan yang lebih piawai darinya dalam berbicara. Seakan kata-katanya keluar dari mulut Imam Ali as".

Adapun isi khutbah Sayyidah Zainab as di hadapan masyarakat Kufah adalah sebagai berikut:

1.  Menggambarkan dan mengenalkan kondisi dan karakteristik masyarakat Kufah kala itu. Beliau menggunakan perumpamaan sehingga mudah dipahami oleh banyak orang dan menggunakan realitas yang mengisyaratkan sifat-sifat masyarakat Kufah.
2. Sebab-sebab yang menjadikan masyarakat Kufah bernasib seperti itu, di antaranya karena mereka telah membunuh, menyebarkan kejahatan dan kefasadan, cinta dunia, pengecut dan tidak berpendirian (mudzabdzab).
3. Nasib yang akan menimpa masyarakat Kufah setelah menghianati Imam Husain as berupa kecelakaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat.

Kemudian, para tawanan dan kepala suci Imam Huseian as di arak ke istana Ubaidillah bin Ziyad. Ubaidillah duduk dengan congkak di atas singgasananya. Setelah memasuki istana, Sayyidah Zainab as duduk dengan wajah yang sulit dikenali. Ibnu Ziyad bertanya: "Siapakah dia?". Sayyidah Zainab as tidak menjawabnya sampai Ibnu Ziyad mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Hal ini merupakan sebuah penghinaan terhadap Ibnu Ziyad yang seorang penguasa. Salah seorang dari perempuan menjawab: "Dia Zainab putra Ali!". Dengan penuh kecongkakan dan dengan tujuan untuk merendahkan dan meremehkan mereka, Ibnu Ziyad berpaling kepadanya dan berkata: "Puji syukur aku panjatkan pada Allah swt yang telah mempermalukan kalian dan telah membuka kedok kebohongan kalian semuanya". Zainab as menjawab: "Yang sebenarnya dipermalukan Allah ialah kalian yang fasik dan yang mempunyai kebohongan ialah para pendusta, bukan kami". Ibnu Ziyad menyahut: "Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah Allah timpakan terhadap saudara dan keluargamu?". Tanpa diduga oleh Ibnu Ziyad, dengan tegas Sayyidah Zainab as menajwab dengan ungkapan yang sangat indah: " Tidaklah kulihat semua ini, melainkan keindahan. Mereka ialah orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Allah swt untuk mati terbunuh. Mereka pun bergegas menyongsong kematian itu. Allah swt kelak akan mempertemukanmu dengan mereka. Kelak engkau akan dihujani pertanyaan dan disudutkan. Lihatlah, siapakah yang akan menang pada hari itu? Semoga ibumu memakimu, hai anak Marjanah!!!"[21] Jawaban beliau yang tegas itu mampu mengurangi kadar kesombongan Ibnu Ziyad dan membuatnya merasa dipermalukan di hadapan masyarakat. Ia menjadi marah setelah mendengar jawaban Sayyidah Zainab as.

Jawaban Sayyidah Zainab as di atas melukiskan bahwa beliau lebih mengutamakan keridhoan Ilahi di atas segalanya. Betapa tinggi derajat makrifat beliau. Jelaslah bahwa beliau adalah seorang arif dan merupakan salah satu wali Allah swt di muka bumi. Baginya, segala ketentuan Allah swt adalah indah dan cantik. "Tidaklah kulihat semua ini, melainkan keindahan". Sungguh ungkapan yang sangat luar biasa, yang tidak tidak akan keluar dari sosok manusia biasa.

Kini telah tiba saatnya untuk menyampaikan kepada masyarakat akan kebenaran dan hakikat Asyuro. Penguasa zalim berusaha berusaha mengelabuhi masyarakat kepada khalayak umum. bahwa mereka berada di pihak yang benar sedang Imam Husain as bersama para pembelanya adalah pemberontak yang menentang penguasa legal. Yazid dan antek-anteknya selalu berusaha mencari justifikasi atas sikap dan perbuatan kejinya terhadap Imam Husain as bersama para pembelanya. Jika para tawanan Karbala diam seribu bahasa dan tidak berusaha untuk membuka kebusukan-kebusukan Yazid dan antek-anteknya dengan berbagai cara seperti melalui pernyataan, sikap dan peringatan maka opini umum akan selalu bersahabat dan mendukung penguasa zalim yang selalu berusaha melakukan fallacy (memutarbalikkan fakta, menampakkan kebathilan sebagai kebenaran atau sebaliknya).

Seusai berdialog dengan Sayyidah Zainab as, Ibnu Ziyad menoleh ke arah Imam Sajjad as dan bertanya: "Siapakah anda?" Imam Sajjad as menjawab: "Aku adalah Ali bin Husain". "Bukankah Allah telah membunuh Ali bin Husain?" tanya Ibnu Ziyad dengan congkak. Imam Sajjad as menjawab: "Aku memiliki seorang saudara yang bernama Ali bin Husain yang telah dibunuh oleh mereka". Ibnu Ziyad dengan sombong berkata: "Tidak, Allah yang telah membunuhnya". "Allah swt telah mengambil nyawanya ketika ia mati," sahut Imam Sajjad as.[22] Jika kita simak baik-baik dialog ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ibnu Ziyad selalu berusaha untuk mengelabui kaum muslimin. Bagaimana tidak, dengan congkaknya ia mengatakan bahwa Allah-lah yang telah membunuh Ali bin Husain as. Artinya, ia ingin menyatakan kepada khalayak; jangan salahkan kami (Ibnu Ziyad), bukan kehendak kami melakukan pembantaian di Karbala tetapi itu adalah kehendak Allah. Argumen pembelaan diri semacam ini ibarat pepatah yang mengatakan: "Lempar batu sembunyi tangan". Artinya dengan berkedok keyakinan determinisme (jabriyah), ia ingin berlepas tangan dari kesalahan yang telah perbuatnya Masyarakat awam mungkin dengan mudah akan membenarkan semua pernyataan Ibnu Ziyad, bahwa Allah-lah yang telah membunuh Imam Husain as—dengan takdir yang telah ditentukan oleh-Nya—sementara pasukan Yazid hanya sebagai pelaksana dari takdir tersebut. Pemikiran jabriyah adalah sebuah pemikiran yang cukup membahayakan Islam kala itu. Pemikiran ini telah merubah fakta, memutarbalikkan kebenaran dan kebathilan sedemikian rupa. Oleh karena itu,  salah satu misi para tawanan tragedi Karbala—khususnya para tawanan perempuan—adalah merubah pemikiran ini. Mereka harus mampu mengubah opini umum yang tidak bertentangan dengan Islam murni yang dibawa oleh Ahlul Bait as.

Selepas mendengar Imam Ali Zainal Abidin Sajjad as, Ibnu Ziyad marah. Lantas ia memerintahkan bawahannya untuk membunuh beliau. Namun Sayyidah Zainab as menghalanginya seraya berkata kepada Ibnu Ziyad: "Wahai Ibnu Ziyad, belum cukupkah engkau tumpahkan darah kami?". Lalu Sayyidah Zainab as memeluk Imam  Sajjad dan berkata: "Demi Allah, aku tidak akan pernah berpisah darinya. Jika engkau ingin membunuhnya maka bunuh hugalah aku ".[23]

Inilah risalah pertama yang dilaksanakan para perempuan di kota Kufah. Tugas selanjutnya yang mereka emban adalah menyampaikan misi Asyuro dan mengubah opini umum tentang ahlul bayt Nabi di kota Syam. Saat itu, Syam merupakan ibu kota pemerintahan Bani Umayyah. Islam yang dipeluk oleh penduduk Syam adalah Islam yang dibawa dan dikenalkan Muawiyah yang sejak awal telah membenci ahlul bayt Nabi saww. Maka pandangan mereka terhadap Ahlu-Bayt Nabi adalah pandangan yang negatif. Sebagai contoh, dalam sejarah disebutkan bahwa penduduk Syam sangat takjub saat mendengar Imam Ali as dibunuh di m ihrab. Dengan takjub mereka berkata: "Ali mendirikan shalat juga?" Sampai sedemikian rupa anggapan mereka terhadap Imam Ali as dan ahlul baytnya. Hal ini disebabkan propaganda busuk Muawiyah yang berhasil meracuni otak dan jiwa penduduk Syam. Ketika mereka mengetahui bahwa rombongan tawanan akan dibawa ke Syam, masyarakat Syam segera mengadakan pesta dengan sangat meriah layaknya pesta hari raya. Pesta ini diselenggarakan atas perintah Yazid bin Muawiyah dengan alasan kemenangan pasukannya di Karbala dan untuk menyambut kedatangan para tawanan Karbala.

Diriwayatkan bahwa ketika rombongan tawanan tiba di istana Yazid bin Muawiyah, mereka meletakan kepala suci Imam Husain as di atas nampan dan nampan itu diletakan di hadapan Yazid bin Muawiyah (laknat Allah swt atasnya). Yazid bin Muawiyah memukul gigi-gigi suci Imam Husain as dengan tongkatnya sembari mengucapkan sya'ir- berikut ini: "Bani Hasyim (Rasulullah) telah bermain dengan kekuasaan padahal tidak ada berita yang datang dan wahyu yang turun. Andaikan leluhurku yang mati dalam perang Badar menyaksikan keketakutan dan kekalahan kabilah Khazraj maka mereka akan bergembira ria dan memujiku. Kami melakukan perbuatan ini sebagai balasan atas kekalahan kami dalam perang Badar. Sekarang, kedudukan korban  kami (di perang Badar) dan kedudukan musuh kami adalah sama. Jangan katakan diriku dari keturunan Khandaf (nama salah satu leluhur Muawiyah .red) jika aku tidak mampu membalas dendam kepada Bani Ahmad (baca: keturunan Muhammad saww)". [24]

Dengan tidak sadar, Yazid bin Muawiyah telah membuka kedoknya sendiri melalui syair yang dilantunkannya. Ia menganggap peperangan kaum muslimin dengan kaum musyrikin dalam perang Badar yang telah menyebabkan kematian para leluhurnya adalah perang antar suku. Bukan perang antara hak dan bathil. Lantas apakah orang semacam Yazid bin Muawiyah itu layak menduduki tampuk kepemimpinan Islam, apalagi mengaku sebagai khalifah Rasul saww atas kaum muslimin? Layakkah orang seperti Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan ini dibela? Apakah salah jika kita meragukan keislaman orang yang membela Yazid bin Muawiyah yang fasik dan pemabuk itu, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah beserta para pengikutnya yang mengaku menghidupkan kembali ajaran para salaf saleh dan menyebut dirinya sebagai kelompok Salafy(baca: Wahabi)?.
 
Hati Sayyidah Zainab as amat tersayat sewaktu menyaksikan prilaku kurang ajar Yazid terhadap kepala suci Imam Husain as. Kemudian dengan suara yang sangat menyayat hati beliau berkata: "Wahai Husain, wahai putra Rasul, wahai putra Mekah dan Madinah, wahai putra Fathimah penghulu para wanita dan wahai putra Muhammad manusia pilihan Allah swt". Orang-orang yang hadir di tempat itu tersentuh hatinya dan merekapun menangis. Bahkan Yazid diam seribu bahasa. Kemudia Sayyidah Zainab as menyampaikan khutbah Ghara' di hadapan Yazid bin Muawiyah dengan tujuan menyampaikan kepada Yazid dan khalayak umum tentang kedudukan agung Rasul saww  dan menunjukkan kepada mereka bahwa kesabaran para tawanan adalah demi keridhoan Allah swt, bukan karena rasa takut. Dengan bahasa yang sangat fasih Sayyidah Zainab as menyampaikan khutbah tersebut. Adapun isi khutbah beliau adalah sebagai berikut;

1.  Peringatan kepada Yazid bin Muawiyah agar tidak menganggap musibah yang telah ia timpakan   kepada mereka sebagai sebuah kemenangan.
2.  Peringatan kepada Yazid bin Muawiyah akan perlakuan buruknya kepada para tawanan khususnya para perempuan.
3. Memberitahukan kepada khalayak umum tentang jati diri Yazid bin Muawiyah. Ialah adalah cucu dari Hindun neneknya yang telah memakan hati Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Rasul) dalam perang Uhud.
4.  Mengenalkan kepada para hadirin tentang kedudukan Imam Husain as di sisi Rasul saww.
5.  Mengingatkan pahala yang diberikan Allah swt kepada para syuhada.
6. Mengingatkan nasib dan siksaan yang akan menimpa orang-orang yang telah berbuat zalim, khususnya pembunuhan yang mereka lakukan terhadap hujjah-Nya di muka bumi.

Ajaib, Yazid bin Muawiyah yang memegang tampuk kekuasaan Islam saat itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mampu berkata sepatah kata ketika mendengar khutbah Sayyidah Zainab as. Padahal ia bisa saja memerintahkan bawahannya untuk menghentikan khutbah tersebut. Ia tidak melakukan apa pun dikarenakan kewibawaan yang dimiliki oeh Sayyidah Zainab as. Khutbah Sayyidah Zainab itu terus mengiangngiang di telinga Yazid.[25]        
 
Diriwayatkan bahwa ketika salah satu sahabat Nabi yang berumur panjang melihat Yazid bin Muawiyah memukul-mukulkan tongkatnya ke gigi suci Imam Husain as, dengan takjub ia berkata: "Engkau memukul gigi Husain dengan kayu ini? Aku melihat kayumu mengenai bagian yang sering dicium oleh Rasul saww. Ingatlah wahai Yazid, pada hari kiamat engkau akan datang dengan Ibnu Ziyad sebagai pensyafa'atmu dan kepala suci ini akan datang sedang Rasul saww  sebagai pensyafa'atnya."
 
Kemudian Yazid memerintahkan tentaranya untuk menempatkan para tawanan di tempat terbuka. Wajah-wajah suci mereka terbakar teriknya matahari. Namun mereka tetap mengadakan majlis duka untuk Imam Husain as kendati kondisi mereka sangat sulit. Setelah itu, bukan para tawanan saja yang mengadakan majlis duka atas kesyahidan Imam Husain as tetapi para perempuan bani Umayah dan masyarakat Syam pun mengadakan majlis duka yang sama. Khutbah Sayyidah Zainab as telah mampu menyadarkan masyarakat Syam yang tidur dalam kelalain. Beliau telah membuka kedok kejahatan Yazid di hadapan masyarakat Syam dan mengingatkan mereka tentang ahlul bayt Nabi saww. Tidak sampai di situ, Yazid pun menjadi ketakutan  menyaksikan kondisi yang ada, sampai akhirnya ia menyatakan penyesalan atas pembunuhan Imam Husain as dan melemparkan kejahatan tersebut kepada gubernurnya Ibnu Ziyad.[26]
Hasil Risalah Perempuan dalam Tragedi Asyuro :
1.      Melenyapkan pengaruh dari agama yang diperkenalkan Bani Umayyah.
2.      Membangkitkan kembali jiwa masyarakat.
3.      Menghancurkan pemerintahan zalim.
4.      Menyiapkan lahan untuk terwujudnya gerakan dan revolusi dalam masyarakat.
5.      Menyadarkan para pendukung rezim serta mampu menumbuhkan rasa berdosa di kalangan mereka.
6.      Mengajarkan jiwa tangguh dan bertahan dalam menghadapi kesulitan.
7.      Mewujudkan rasa persatuan.
8.      Membersihkan pemikiran yang telah terpolusi.
9.      Menyiapkan lahan keruntuhan rezim zalim.
10.  Menyebarkan ajaran-ajaran Islam, dan lain-lain.[27]
Inilah beberapa risalah yang telah disampaikan para duta Karbala, yang tidak kalah pentingnya dengan Asyuro itu sendiri. Karena dengan peranan yang mereka mainkan misi Asyuro menjadi sempurna. Wallahua'lam
"Ya Allah, jadikanlah kami Zainab-Zainab masa kini,
Menjadi pembela dan pengusung Asyuro
Menjadi pembela dan pengusung Islam Muhammadi.
Amiin".[]
 
Penulis: Mahasiswi Pasca Sarjana Jurusan Tafsir al-Quran, Sekolah Tinggi Bintul Huda Qom, Republik Islam Iran.

[1]  Rey Syahri, Muntkhab Mizan al-Hikmah, hal : 42.
[2] Ali Nazri Munfarid, Qesse-ye Karbalo,  hal : 70.
[3] Allamah Muhammad Kazim Gazwini, Zainab al-Kubro-minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Farsi, hal :126.
[4] DR. Ali Qoimi, Naqsye-ye Zanon dar Asyuro.
[5] Ibid.
[6] Muhammad Baqir Sadr, Mengungkap Yang Tak Terungkap-Karbala yang Menyisakan Pertanyaan, edisi terjemahan-hal :46.
[7] Sayyid Nurudin Jazairi, Wizegihoye Hazrate Zainab, hal 79.
[8] Allamah Muhammad Kazim Gazwini, Zainab al-Kubro-minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Farsi, hal : 130.
[9] Muhammad Baqir Sadr, Mengungkap Yang Tak Terungkap-Karbala yang Menyisakan Pertanyaan, edisi terjemahan-hal :46.
[10] Ibid hal :126-127
[11] Ali Nazri Munfarid, Qiseyy-e Karbalo, hal : 126-128
[12] Ibid, hal : 292-293, 310-311.
[13] DR. Ali Qoimi, Naqsye-ye Zanon dar Asyuro.
[14] Ali Nazri Munfarid, Qiseyy-e Karbalo, hal : 319-320.
[15] DR. Ali Qoimi, Naqsye-ye Zanon dar Asyuro.
[16] Allamah Muhammad Kazim Gazwini, Zainab al-Kubro-minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Farsi, hal : 181-184
[17] Ibid, hal : 210-213
[18] Ali Nazri Munfarid, Qese-ye Karbalo, hal : 404-407.
[19] Sayyid Nurudin Jazairi, Wizegihoye Hazrate Zainab, hal : 227.
[20] DR. Ali Qoimi, Naqsye-ye Zanon dar Asyuro.
[21] Allamah Muhammad Kazim Gazwini, Zainab al-Kubro-minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Farsi, hal : 305-306
[22] Ibid, hal : 306-307
[23] Ibid, hal : 307
[24] DR. Aisyah binti Syathi', Banuy-e Karbalo Hazrate Zainab, edisi Persia, hal : 145.
[25] Ibid, hal : 147-148.
[26] Sayyid Nurudin Jazairi, Wizegihoye Hazrate Zainab, hal : 207-208.
[27]DR. Ali Qoimi, Naqsye-ye Zanon dar Asyuro.
 


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

Women of Curves

on Yahoo! Groups

A positive group

to discuss Curves.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar