Minggu, 02 Maret 2008

[psikologi_transformatif] Re: RUNAWAY UNIVERSITY

Nggak usah repot-repot dikaji pakai semiotika dan psikoanalisa, Audi. Sudah
sangat gamblang dan terang benderang kasusnya. Cuma satu kata yang diperlukan
buat menjelaskannya: BOBROK!

manneke

Quoting audifax - <audivacx@yahoo.com>:

> RUNAWAY UNIVERSITY
> Telaah Posmodern pada kasus Kontroversi Pemalsuan Tanda Tangan di FP US
>
>
> Oleh:
> Audifax
> Peneliti di SMART Center for Human Re-Search & Psychological Development
>
>
>
>
> Banyak Perguruan Tinggi telah kehilangan esensinya sebagai institusi
> pendidikan. Perguruan Tinggi semacam ini mengubah diri menjadi mesin pencetak
> ijazah dan turut membangun merkantilisme dunia pendidikan. Pada titik ini,
> individu-individu yang berada pada posisi mahasiswa, tak lebih dari konsumen.
> Di satu sisi mereka ditempatkan sebagai sumber pendapatan bagi perguruan
> tinggi, di sisi lain mereka juga makhluk yang dapat dikorbankan untuk
> kepentingan lebih besar. Perguruan tinggi-perguruan tinggi ini, hanya berpacu
> mengejar berbagai hal yang dapat meningkatkan kehandalan dalam mengeruk uang.
> Hal-hal seperti gengsi, akreditasi, angka kelulusan, dan simbol-simbol
> sejenis lebih dikejar ketimbang menempatkan diri sebagai institusi pendidikan
> yang mendidik, mengayomi, dan membimbing peserta didiknya
>
>
> Saya teringat sebuah kasus yang terjadi di tahun 2004. Kasus yang menimpa
> Sdr. R.C.W.A, seorang mahasiswa FP di US. Kasus ini adalah salah satu contoh
> bagaimana Perguruan Tinggi kehilangan esensinya sebagai institusi pendidikan.
> Di satu sisi, R.C.W.A adalah mahasiswa yang ditempatkan sebagai sumber
> pendapatan, namun di sisi lain, dia juga menjadi korban untuk kepentingan
> lebih besar, yaitu: gengsi institusi. Wacana Posmodern (posmo), tampaknya
> mengimbas ke dunia pendidikan.
>
>
> Jean Baudrillard, salah satu tokoh dalam wacana posmoderen menyebutkan
> bahwa dalam budaya konsumsi posmoderen, objek tidak lagi terikat pada logika
> utilitas, fungsi dan kebutuhan, namun melalui tanda (sign). Ini make-sense
> dengan perguruan tinggi tempat Sdr. R.C.W.A bernaung, yang memang di satu
> sisi lebih mengejar tanda-tanda seperti: angka kelulusan (yang tentunya juga
> memberi kontribusi pada akreditasi dan nilai jual) dan menafikan esensinya
> sebagai institusi pendidikan yang semestinya mengayomi dan membimbing Sdr.
> R.C.W.A.
>
>
> Tanda dalam konsep semiotika dan neo-psikoanalisa, merujuk pada adanya dua
> konsep yaitu: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah
> komponen material (berbentuk phonic atau graphic) dan Petanda adalah komponen
> konseptual (makna, pemaknaan, kebermaknaan). Keduanya adalah basis dari semua
> bahasa, komunikasi, serta sistem representasi. Penanda dan Petanda
> selanjutnya akan menjadi pisau analisis pada tulisan saya ini.
>
>
> THE ANSWER IS…BLOWING IN THE WIND!
>
>
> Agar anda semua lebih jelas dengan kasus Sdr. R.c.W.A. saya akan ceritakan
> lebih dulu gambaran singkatnya. Alkisah, pada hari diwisudanya sejumlah
> lulusan perguruan tinggi US, salah satu karya skripsi, di antara sekian ribu
> lulusan, dimuat pada harian Jawa Pos dan Radar Surabaya (tanggal 27 November
> 2004). Karya skripsi itu adalah milik R.C.W.A, yang berjudul: "Studi Kasus
> tentang Kepuasan Seks di Luar Nikah dengan Waria pada Pasangan Berkeluarga".
> Ironisnya, mahasiswa yang karya skripsinya di bawah bimbingan Dr. E.S. itu,
> ternyata dianulir kelulusannya oleh Dekan FP US, Ibu Dra. H.(dekan yang
> menjabat waktu itu), karena ditengarai memalsu tanda tangan dosen
> pembimbingnya. Dalam kasus ini, Sdr. R.C.W.A, ternyata tidak kembali
> menandatangankan revisi skripsi (setelah sidang skripsi) kepada dosen
> pembimbingnya, namun memilih untuk memalsu tanda tangan dosen pembimbing dan
> salah satu penguji.
>
>
> Persoalan etika akademik ini, sebenarnya dapat diselesaikan jika Dra. H.
> sebagai Dekan tidak melakukan kesalahan etika pula dalam penyelesaiannya.
> Kasus etis ini justru berkembang, ketika Dekan menganulir kelulusan tersebut
> hanya dengan memanggil R.C.W.A via telepon dan meminta ijazah serta transkrip
> dari tangan yang bersangkutan. Ini ditindaklanjuti Dekan dengan mengirim
> surat kepada Dr. E.S. selaku pembimbing; yang isinya mengultimatum Dr. E.S.
> untuk memberikan tanda tangan asli dalam jangka waktu tak lebih dari dua
> bulan sejak tanggal penulisan surat tersebut. Surat itu hanya ditujukan pada
> Dr. E.S. seorang, tanpa tembusan kepada pihak-pihak lain, termasuk para
> penguji skripsi Sdr. R.C.W.A.. Kutipan dari surat tersebut adalah sebagai
> berikut:
>
>
> "Untuk itu kami mohon kepada Bapak dapat mengoreksi revisi skripsi yang
> akan dilakukannya sesuai dengan berita acara dengan batas waktu maksimal 2
> (dua) bulan dari tanggal surat ini".
>
>
> Apa yang dilakukan Dekan dra. H jelas merupakan hal yang sama sekali tidak
> etis. Ada sejumlah ketidakberesan pada langkah yang diambil oleh Dra. H.
> Sebagai Dekan FP US. Kita dapat mencematinya pada pertimbangan berikut:
>
>
>
> Pertama, Dr. E.S. adalah pihak yang dirugikan dengan pemalsuan tanda
> tangan oleh mahasiswa dari institusi yang dipimpin oleh Dra. H.. Dr. E.S.
> seharusnya justru menjadi pihak yang dapat menuntut atas tindak kriminal yang
> dilakukan oleh mahasiswa dari institusi Dra. H. tersebut. Adalah mengherankan
> bahwa Dra. H. bukannya meminta maaf secara resmi atas perlakuan kriminal
> mahasiswanya kepada Dr. E.S sebagai dosen luar, tapi justru mengultimatumnya
> melalui sebuah surat resmi untuk mengoreksi skripsi Sdr. R.C.W.A. dalam waktu
> dua bulan.
>
>
>
>
> Kedua, ada kenyataan yang sesuai dengan kesepakatan saat sidang skripsi
> Sdr. R.C.W.A, bahwa setelah Sdr. R.C.W.A. memberikan hasil revisinya, nilai
> akan disepakatkan kembali oleh keempat penguji. Koordinasi penyepakatan tidak
> dilakukan oleh ketua penguji, yaitu: A.Y, S. Sos, M.Si, sehingga Dr. E.S
> tidak pernah mengetahui kelulusan yang bersangkutan dan nilai yang
> didapatkan. Dalam hal ini patut dipertanyakan pula pertanggungjawaban dari
> ketua penguji atas kelalaian yang ternyata berakibat fatal.
>
>
>
>
> Ketiga, apapun alasannya, institusi yang dipimpin Dra. H. telah
> melakukan kesalahan sistemik dengan meluluskan seorang mahasiswa yang belum
> memperoleh pengesahan dari dosen pembimbing. Kesalahan ini makin diperparah
> Dra. H. dengan memberikan surat langsung kepada Dr. E.S tanpa memberikan
> tembusan pada pihak terkait yaitu: Sdr.R.C.W.A., Sdr Drs. B.W., M.Si (anggota
> tim penguji), Sdr. Drs. C.S. (Sekretaris), Sdr. A.Y., S.Sos, M.Si (Ketua tim
> Penguji); Kepala Laboratorium (jurusan) PS; Pembantu Dekan I, Wakil Rektor I
> U.S., Rektor U. S., dan Ketua Yayasan U.S.. Bahkan, mengingat skripsi
> Sdr.R.C.W.A. juga telah dipublikasikan di surat kabar Jawa Pos tertanggal 27
> November 2004, semestinya Dra. H. juga melakukan pertanggungjawaban publik.
> Melihat begitu banyaknya pihak yang terkait dengan kasus Sdr. R.C.W.A, patut
> dipertanyakan kenapa Dra. H. justru memberikan surat yang ditujukan hanya
> kepada Dr. E.S secara personal?
>
> Keempat, kita dapat mempertanyakan logika hukum kasus ini. Bagaimana
> Dra. H. bisa mengultimatum Dr. E.S untuk mengoreksi skripsi dari mahasiswa
> yang telah diluluskan Dra. H. secara resmi. Bagaiaman mungkin mahasiswa yang
> telah lulus masih harus dikoreksi skripsinya?. Pada surat tertanggal 13
> Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/FP/XII/2004, Dra. H. hanya
> memberitahukan pada Dr. E.S. bahwa Sdr. R.C.W.A. telah dicabut kewenangannya
> sebagai lulusan semester genap 2003-2004, tanpa menuliskan berdasarkan surat
> nomor berapa pencabutan tersebut. Apakah sebuah surat kelulusan resmi dapat
> dibatalkan secara semena-mena?
>
> Kelima; Berdasarkan poin ketiga dan keempat, kita dapat menangkap
> indikasi bahwa Dra. H.berusaha menyelesaikan persoalan ini secara tertutup
> dengan cara menekan Dr. E.S secara personal sembari menyembunyikan kesalahan
> yang semestinya dipertanggungjawabkan oleh Dra. H. Pada titik ini, Dra. H.
> tidak menyadari bahwa peristiwa ini adalah sebuah penipuan besar di depan Dr.
> E.S sebagai dosen pembimbing, segenap tim penguji, Sidang terbuka wisudawan;
> bahkan para pembaca Jawa Pos; di mana diakui atau tidak, dalam konteks
> tanggungjawab sebagai pimpinan, Dra. H terlibat di dalamnya. Pada titik ini
> pula Dra. H. Cenderung untuk mengabaikan keharusannya untuk meminta maaf pada
> semua pihak yang tertipu tersebut.
>
>
>
> Sampai di sini, saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa Dra. H. Adalah
> pemimpin sebuah institusi pendidikan yang tengah mengkreasi suatu panggung
> besar kebohongan melalui permainan tanda. Tanda, dalam kasus Sdr. R.C.W.A
> menjadi elemen yang menyusun suatu sistem yang bisa menyembunyikan
> kebohongan.
>
>
> Mari kita simak dulu Pierre Bourdieu yang pernah menjelaskan bahwa setiap
> masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi, menyembunyikan, atau
> menciptakan sistem yang menyediakan topeng-topengnya sendiri agar struktur
> dan praktik penindasan tidak dapat dikenali (méconnaissance). Di sini dapat
> ditunjuk salah satu fungsi ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi
> praktik-praktik sosial yang melawan atau mempertahankan suatu penindasan atau
> dominasi. Seorang yang memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi
> terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan dipatuhi oleh
> kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya maka
> diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan
> bersama.
>
>
> Kontekstualisasi dari penjelasan Bourdieu ini ada pada apa yang dilakukan
> Dra. H yang saat itu menjabat sebagai dekan FP US. Dengan modal otoritas
> tertentu ia menutupi, menyembunyikan atau menciptakan sistem yang membuat
> penindasan yang dilakukannya tidak dikenali.
>
>
> Lalu apa yang dilakukan Dr. E.S atas penindasan yang coba dilakukan Dra. H?
> Dr. E.S pun mempertanyakan kembali dan meminta pertanggungjawaban dari Dra.
> H. selaku Dekan. Kisaran hal yang diminta pertanggungjawabannya kurang lebih
> adalah:
>
>
>
> Membuat surat permintaan maaf resmi dari Dra. H. selaku pimpinan
> institusi tempat Sdr. R.C.W.A. bernaung kepada Dr. E.S, atas perilaku memalsu
> tanda tangan. Pada pemikiran ini ada suatu asumsi bahwa jika Dra. H.
> mengajarkan pada Sdr. R.C.W.A. untuk meminta maaf, Dra. H. sendiri juga harus
> memberi contoh yang sesuai. Dra. H. pernah meminta Dr. E.S dengan hormat
> untuk menjadi dosen pembimbing, disusul dengan permintaan sebagai dosen
> penguji yang juga dilakukan dengan hormat; sudah selayaknya Dra. H. juga
> menyelesaikan persoalan pemalsuan tanda tangan ini dengan kehormatan.
>
> Membuat surat permintaan maaf resmi atas surat Dra.H. tertanggal 13
> Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/FP/XII/2004 kepada Dr. E.S, yang
> menurut Dr. E.S sama sekali tidak etis.
>
> Membuat surat permintaan maaf resmi atas penipuan yang dilakukan oleh
> Sdr. R.C.W.A kepada Dr. E.S selaku dosen pembimbing dan penguji, Sdr Drs.
> B.W., M.Si (anggota tim penguji), Sdr. Drs. C.S. (Sekretaris), Sdr. A.Y.,
> S.Sos, M.Si (Ketua tim Penguji); Kepala Laboratorium PS; Pembantu Dekan I,
> Wakil Rektor I US, Rektor US, Ketua Yayasan US, dan surat kabar di mana
> skripsi itu dimuat.
>
> Dua bulan berlalu, pihak Dra. H. juga tampaknya enggan untuk meminta maaf.
> Sementara Dr. E.S juga masih berpegang pada prinsip etika yang semestinya
> dipenuhi. Lalu bagaimana dengan Sdr. R.C.W.A? Dra. H. justru menawarkan
> 'persoalan baru' yaitu mengulang satu semester (yang berarti dia harus
> membayar lagi, bukan?); sungguh suatu penyelesaian yang "manis". Satu bukti
> bahwa mahasiswa di Perguruan Tinggi semacam ini tak lebih dari mesin uang
> yang selain bisa diperas juga bisa dikorbankan untuk kepentingan-kepentingan
> yang lebih besar.
>
>
> BENEATH THE LIES
> Pada kasus ini, kita dapat mencermati bahwa permintaan maaf telah
> kehilangan esensi, berubah menjadi penanda yang merujuk pada petanda yang
> bermakna: menurunnya gengsi serta kemampuan mempersaingkan komoditas.
> Permintaan maaf atas kesalahan = menurunnya gengsi serta kemampuan
> mempersaingkan komdoitas. Gengsi untuk mengakui kesalahan adalah bagian dari
> tanda-tanda yang dimobilisir ke dalam bentuk komoditi yang mendasarkan logika
> perbedaan untuk terbangunnya suatu nilai jual. Permintaan maaf adalah penanda
> yang dapat membuat banyak orang ragu untuk masuk ke FP US, karena melekat
> pada terbukanya sebuah kesalahan sistemik yang fatal.
>
>
> Kesalahan fatal dalam kasus Sdr. R.C.W.A adalah sebuah penanda yang akan
> merujuk pada konsep mengenai kurang qualified-nya sebuah institusi. Oleh
> karena itu kesalahan ini harus ditutupi. Ini make-sense ketika Dekan Dra.H.
> bukannya menyelesaikan pada pihak-pihak yang tertipu sesuai prosedur, namun
> justru melakukan tekanan pada Dr. E.S.
>
>
> Seiring perkembangan jaman yang memasuki era posmoderen, orang lebih
> mengonsumsi penanda ketimbang makna. Penanda-penanda pun telah banyak yang
> berubah sebagai alat kebohongan. Akreditasi A ataupun jumlah kelulusan
> dikejar dengan mengabaikan kualitas dan esensi pendidikan.
>
>
> Kondisi ini membawa konsekuensi pada adanya kebutuhan akan pendidikan yang
> tidak lagi berorientasi mencerdaskan, namun lebih pada menghadirkan
> perbedaan, baik makna sosial, status, simbol, atau prestise. Universitas A
> lebih baik dari B karena akreditasinya lebih tinggi, bukan pada kualitas
> karya. Begitu pula dengan anggapa bahwa universitas C lebih baik dari
> universitas D hanya dengan ukuran jumlah lulusan yang lebih banyak. Di satu
> sisi, ini juga membuat gelar dan ijazah tak lebih dari komoditas. Berbagai
> gelar kesarjanaan disandang oleh berbagai orang, namun semuanya samasekali
> tidak mencerminkan adanya kualitas berpikir saintis. Bisa dihitung lulusan
> perguruan tinggi yang menguasai benar kelimuannya dan siap masuk dalam dunia
> kerja. Sementara di sisi lain, layaknya hukum demand-supply, perguruan tinggi
> juga mengubah dirinya sebagai penjaja ijazah. Agar dapat menjadi penjaja
> ijazah yang handal, maka diperlukan penanda-penanda seperti angka kelulusan.
>
>
>
> Kehandalan sebagai penjaja ijazah, akan membawa konsekuensi pada semakin
> bertambahnya penghasilan. Dengan demikian, sekolah tak lebih dari upaya
> mengonsumsi suatu permainan tanda (free play of sign), tanpa perlu terikat
> pada sebuah makna dan identitas yang tetap. Pada titik inilah pendidikan
> telah kehilangan esensinya. Mahasiswa-mahasiswa itu hanya larut dan
> mempercayai begitu saja, bahwa Fakultas/perguruan tinggi favorit memiliki
> kualitas pendidikan yang berkualitas. Tak pernah ada yang melihat secara
> kritis bahwa perguruan tinggi semacam ini bisa jadi tak lebih dari mesin
> pencetak ijazah yang menempatkan mahasiswa sebagai sosok yang bisa
> dieksploitasi.
>
>
> Tanda-tanda dalam dunia pendidikan terus bergerak, berlari, berpacu sembari
> merelatifkan suatu stabilitas makna. Baik perguruan tinggi, maupun mahasiswa
> bukan mengejar ilmu yang akan mengembangkan kemanusiaannya, melainkan
> berusaha mengejar tanda, makna dan identitas. Mereka mencari dalam arus
> pergerakan yang tiada henti. Sdr. R.C.W.A pun terlarut dalam arus ini (yang
> kemudian justru memelantingkannya) ketika memilih untuk memalsu tanda tangan
> demi tercapainya sebuah gelar dan ijazah.
>
>
> Dengan demikian dapat dikatakan pendidikan tinggi telah terseret dalam arus
> konsumsi posmoderen, konsumsi yang selalu dahaga, dan tak terpuaskan. Suatu
> pola konsumsi yang dengan cerdik dibangkitkan oleh perguruan tinggi sebagai
> produsen ijazah, melalui pencitraan yang dibangun dengan pelekatan
> penanda-penanda akreditasi, jumlah kelulusan, serta berbagai ritual yang
> sifatnya tontonan (spectacle). Semua ini akhirnya berkembang menjadi titik
> sentral yang berperan sebagai perumus hubungan sosial pendidik-peserta didik
> yang telah kehilangan esensinya. Berpacunya perguruan tinggi dalam mengejar
> berbagai penanda komoditas itu membuat ada pihak-pihak yang tercecer, bahkan
> tergilas kemanusiaannya, kasus Sdr. R.C.W.A adalah salah satu contoh. Etika
> dan pendidikan telah kehilangan esensinya, diambil alih oleh penanda-penanda
> yang maknanya jauh dari esensi pendidikan.
>
>
> Bagaimana cermatan anda?
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis Psikologi
> Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema yang ada pada esei
> ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis Psikologi Transformatif
>
>
> Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang didirikan
> oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung dalam Komunitas
> Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Saat ini milis ini
> telah berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi milis psikologi terbesar
> di Indonesia. Total member telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang
> didiskusikan di milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa
> dipandang sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk
> atau keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai wacana
> muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di mana ada
> manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon itu tak sekedar
> jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai sudut pandang dalam
> membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di Fakultas Psikologi Indonesia.
>
>
> Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang berminat
> mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk
> mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini yang tekstual
> menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari kalangan
> disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam mailing list
> ini. Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium psikologi
> transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan gagasan
> mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah
> terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari simposium
> Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono,
> Abdul Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang
> aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin Asyhadie,
> Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga Harez Posma,
> Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra,
> Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo, Felix
> Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari, Ridwan Handoyo,
> Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji, Radityo
> Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa Koorag, Lan Fang,
> Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J. Sumardianta,
> Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak lagi
>
>
> Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar masuk member.
> Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas keputusan dan kemampuan
> sendiri.
>
>
> Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi Transformatif,
> klik:
>
>
> www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
>
>
> ---------------------------------
> Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it
> now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

Best of Y! Groups

Discover groups

that are the best

of their class.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar