Selasa, 04 Maret 2008

Re: [psikologi_transformatif] Re: RUNAWAY UNIVERSITY

Hehehe...mas Pangestu muncul lagi. Apa kabar mas? Lama enggak muncul
Silahkan kalau ada yang mau mengelaborasi lebih jauh.
 
Mungkin ada komentaran dari yang berlatar pendidikan psikologi?


Odjo Lali <OdjoLali@hotpop.com> wrote:
waah...,

sepertinya judul skripsinya berlanjut pada "Permainan BDSM" antara
penanda struktural dan penanda fungsional atau antara petanda
pendidikan dan petanda pengajaran... ;-)

essay bagus ini perlu dielaborasi dalam diskusi yang berbobot...

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
<audivacx@...> wrote:
>
> RUNAWAY UNIVERSITY
> Telaah Posmodern pada kasus Kontroversi Pemalsuan Tanda Tangan
di FP US
>
>
> Oleh:
> Audifax
> Peneliti di SMART Center for Human Re-Search & Psychological
Development
>
>
>
>
> Banyak Perguruan Tinggi telah kehilangan esensinya sebagai
institusi pendidikan. Perguruan Tinggi semacam ini mengubah diri
menjadi mesin pencetak ijazah dan turut membangun merkantilisme
dunia pendidikan. Pada titik ini, individu-individu yang berada pada
posisi mahasiswa, tak lebih dari konsumen. Di satu sisi mereka
ditempatkan sebagai sumber pendapatan bagi perguruan tinggi, di sisi
lain mereka juga makhluk yang dapat dikorbankan untuk kepentingan
lebih besar. Perguruan tinggi-perguruan tinggi ini, hanya berpacu
mengejar berbagai hal yang dapat meningkatkan kehandalan dalam
mengeruk uang. Hal-hal seperti gengsi, akreditasi, angka kelulusan,
dan simbol-simbol sejenis lebih dikejar ketimbang menempatkan diri
sebagai institusi pendidikan yang mendidik, mengayomi, dan
membimbing peserta didiknya
>
>
> Saya teringat sebuah kasus yang terjadi di tahun 2004. Kasus
yang menimpa Sdr. R.C.W.A, seorang mahasiswa FP di US. Kasus ini
adalah salah satu contoh bagaimana Perguruan Tinggi kehilangan
esensinya sebagai institusi pendidikan. Di satu sisi, R.C.W.A adalah
mahasiswa yang ditempatkan sebagai sumber pendapatan, namun di sisi
lain, dia juga menjadi korban untuk kepentingan lebih besar, yaitu:
gengsi institusi. Wacana Posmodern (posmo), tampaknya mengimbas ke
dunia pendidikan.
>
>
> Jean Baudrillard, salah satu tokoh dalam wacana posmoderen
menyebutkan bahwa dalam budaya konsumsi posmoderen, objek tidak lagi
terikat pada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan, namun melalui
tanda (sign). Ini make-sense dengan perguruan tinggi tempat Sdr.
R.C.W.A bernaung, yang memang di satu sisi lebih mengejar tanda-
tanda seperti: angka kelulusan (yang tentunya juga memberi
kontribusi pada akreditasi dan nilai jual) dan menafikan esensinya
sebagai institusi pendidikan yang semestinya mengayomi dan
membimbing Sdr. R.C.W.A.
>
>
> Tanda dalam konsep semiotika dan neo-psikoanalisa, merujuk pada
adanya dua konsep yaitu: penanda (signifier) dan petanda
(signified). Penanda adalah komponen material (berbentuk phonic atau
graphic) dan Petanda adalah komponen konseptual (makna, pemaknaan,
kebermaknaan). Keduanya adalah basis dari semua bahasa, komunikasi,
serta sistem representasi. Penanda dan Petanda selanjutnya akan
menjadi pisau analisis pada tulisan saya ini.
>
>
> THE ANSWER IS…BLOWING IN THE WIND!
>
>
> Agar anda semua lebih jelas dengan kasus Sdr. R.c.W.A. saya akan
ceritakan lebih dulu gambaran singkatnya. Alkisah, pada hari
diwisudanya sejumlah lulusan perguruan tinggi US, salah satu karya
skripsi, di antara sekian ribu lulusan, dimuat pada harian Jawa Pos
dan Radar Surabaya (tanggal 27 November 2004). Karya skripsi itu
adalah milik R.C.W.A, yang berjudul: "Studi Kasus tentang Kepuasan
Seks di Luar Nikah dengan Waria pada Pasangan Berkeluarga".
Ironisnya, mahasiswa yang karya skripsinya di bawah bimbingan Dr.
E.S. itu, ternyata dianulir kelulusannya oleh Dekan FP US, Ibu Dra.
H.(dekan yang menjabat waktu itu), karena ditengarai memalsu tanda
tangan dosen pembimbingnya. Dalam kasus ini, Sdr. R.C.W.A, ternyata
tidak kembali menandatangankan revisi skripsi (setelah sidang
skripsi) kepada dosen pembimbingnya, namun memilih untuk memalsu
tanda tangan dosen pembimbing dan salah satu penguji.
>
>
> Persoalan etika akademik ini, sebenarnya dapat diselesaikan jika
Dra. H. sebagai Dekan tidak melakukan kesalahan etika pula dalam
penyelesaiannya. Kasus etis ini justru berkembang, ketika Dekan
menganulir kelulusan tersebut hanya dengan memanggil R.C.W.A via
telepon dan meminta ijazah serta transkrip dari tangan yang
bersangkutan. Ini ditindaklanjuti Dekan dengan mengirim surat kepada
Dr. E.S. selaku pembimbing; yang isinya mengultimatum Dr. E.S. untuk
memberikan tanda tangan asli dalam jangka waktu tak lebih dari dua
bulan sejak tanggal penulisan surat tersebut. Surat itu hanya
ditujukan pada Dr. E.S. seorang, tanpa tembusan kepada pihak-pihak
lain, termasuk para penguji skripsi Sdr. R.C.W.A.. Kutipan dari
surat tersebut adalah sebagai berikut:
>
>
> "Untuk itu kami mohon kepada Bapak dapat mengoreksi revisi
skripsi yang akan dilakukannya sesuai dengan berita acara dengan
batas waktu maksimal 2 (dua) bulan dari tanggal surat ini".
>
>
> Apa yang dilakukan Dekan dra. H jelas merupakan hal yang sama
sekali tidak etis. Ada sejumlah ketidakberesan pada langkah yang
diambil oleh Dra. H. Sebagai Dekan FP US. Kita dapat mencematinya
pada pertimbangan berikut:
>
>
>
> Pertama, Dr. E.S. adalah pihak yang dirugikan dengan
pemalsuan tanda tangan oleh mahasiswa dari institusi yang dipimpin
oleh Dra. H.. Dr. E.S. seharusnya justru menjadi pihak yang dapat
menuntut atas tindak kriminal yang dilakukan oleh mahasiswa dari
institusi Dra. H. tersebut. Adalah mengherankan bahwa Dra. H.
bukannya meminta maaf secara resmi atas perlakuan kriminal
mahasiswanya kepada Dr. E.S sebagai dosen luar, tapi justru
mengultimatumnya melalui sebuah surat resmi untuk mengoreksi skripsi
Sdr. R.C.W.A. dalam waktu dua bulan.
>
>
>
>
> Kedua, ada kenyataan yang sesuai dengan kesepakatan saat
sidang skripsi Sdr. R.C.W.A, bahwa setelah Sdr. R.C.W.A. memberikan
hasil revisinya, nilai akan disepakatkan kembali oleh keempat
penguji. Koordinasi penyepakatan tidak dilakukan oleh ketua penguji,
yaitu: A.Y, S. Sos, M.Si, sehingga Dr. E.S tidak pernah mengetahui
kelulusan yang bersangkutan dan nilai yang didapatkan. Dalam hal ini
patut dipertanyakan pula pertanggungjawaban dari ketua penguji atas
kelalaian yang ternyata berakibat fatal.
>
>
>
>
> Ketiga, apapun alasannya, institusi yang dipimpin Dra. H.
telah melakukan kesalahan sistemik dengan meluluskan seorang
mahasiswa yang belum memperoleh pengesahan dari dosen pembimbing.
Kesalahan ini makin diperparah Dra. H. dengan memberikan surat
langsung kepada Dr. E.S tanpa memberikan tembusan pada pihak terkait
yaitu: Sdr.R.C.W.A., Sdr Drs. B.W., M.Si (anggota tim penguji), Sdr.
Drs. C.S. (Sekretaris), Sdr. A.Y., S.Sos, M.Si (Ketua tim Penguji);
Kepala Laboratorium (jurusan) PS; Pembantu Dekan I, Wakil Rektor I
U.S., Rektor U. S., dan Ketua Yayasan U.S.. Bahkan, mengingat
skripsi Sdr.R.C.W.A. juga telah dipublikasikan di surat kabar Jawa
Pos tertanggal 27 November 2004, semestinya Dra. H. juga melakukan
pertanggungjawaban publik. Melihat begitu banyaknya pihak yang
terkait dengan kasus Sdr. R.C.W.A, patut dipertanyakan kenapa Dra.
H. justru memberikan surat yang ditujukan hanya kepada Dr. E.S
secara personal?
>
> Keempat, kita dapat mempertanyakan logika hukum kasus ini.
Bagaimana Dra. H. bisa mengultimatum Dr. E.S untuk mengoreksi
skripsi dari mahasiswa yang telah diluluskan Dra. H. secara resmi.
Bagaiaman mungkin mahasiswa yang telah lulus masih harus dikoreksi
skripsinya?. Pada surat tertanggal 13 Desember 2004, bernomor
392/UL/GAS/DEK/FP/XII/2004, Dra. H. hanya memberitahukan pada Dr.
E.S. bahwa Sdr. R.C.W.A. telah dicabut kewenangannya sebagai lulusan
semester genap 2003-2004, tanpa menuliskan berdasarkan surat nomor
berapa pencabutan tersebut. Apakah sebuah surat kelulusan resmi
dapat dibatalkan secara semena-mena?
>
> Kelima; Berdasarkan poin ketiga dan keempat, kita dapat
menangkap indikasi bahwa Dra. H.berusaha menyelesaikan persoalan ini
secara tertutup dengan cara menekan Dr. E.S secara personal sembari
menyembunyikan kesalahan yang semestinya dipertanggungjawabkan oleh
Dra. H. Pada titik ini, Dra. H. tidak menyadari bahwa peristiwa ini
adalah sebuah penipuan besar di depan Dr. E.S sebagai dosen
pembimbing, segenap tim penguji, Sidang terbuka wisudawan; bahkan
para pembaca Jawa Pos; di mana diakui atau tidak, dalam konteks
tanggungjawab sebagai pimpinan, Dra. H terlibat di dalamnya. Pada
titik ini pula Dra. H. Cenderung untuk mengabaikan keharusannya
untuk meminta maaf pada semua pihak yang tertipu tersebut.
>
>
>
> Sampai di sini, saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa Dra. H.
Adalah pemimpin sebuah institusi pendidikan yang tengah mengkreasi
suatu panggung besar kebohongan melalui permainan tanda. Tanda,
dalam kasus Sdr. R.C.W.A menjadi elemen yang menyusun suatu sistem
yang bisa menyembunyikan kebohongan.
>
>
> Mari kita simak dulu Pierre Bourdieu yang pernah menjelaskan
bahwa setiap masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi,
menyembunyikan, atau menciptakan sistem yang menyediakan topeng-
topengnya sendiri agar struktur dan praktik penindasan tidak dapat
dikenali (méconnaissance). Di sini dapat ditunjuk salah satu fungsi
ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi praktik-praktik sosial
yang melawan atau mempertahankan suatu penindasan atau dominasi.
Seorang yang memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi
terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan
dipatuhi oleh kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi
sesungguhnya maka diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang
dilakukan adalah untuk kebaikan bersama.
>
>
> Kontekstualisasi dari penjelasan Bourdieu ini ada pada apa yang
dilakukan Dra. H yang saat itu menjabat sebagai dekan FP US. Dengan
modal otoritas tertentu ia menutupi, menyembunyikan atau menciptakan
sistem yang membuat penindasan yang dilakukannya tidak dikenali.
>
>
> Lalu apa yang dilakukan Dr. E.S atas penindasan yang coba
dilakukan Dra. H? Dr. E.S pun mempertanyakan kembali dan meminta
pertanggungjawaban dari Dra. H. selaku Dekan. Kisaran hal yang
diminta pertanggungjawabannya kurang lebih adalah:
>
>
>
> Membuat surat permintaan maaf resmi dari Dra. H. selaku
pimpinan institusi tempat Sdr. R.C.W.A. bernaung kepada Dr. E.S,
atas perilaku memalsu tanda tangan. Pada pemikiran ini ada suatu
asumsi bahwa jika Dra. H. mengajarkan pada Sdr. R.C.W.A. untuk
meminta maaf, Dra. H. sendiri juga harus memberi contoh yang sesuai.
Dra. H. pernah meminta Dr. E.S dengan hormat untuk menjadi dosen
pembimbing, disusul dengan permintaan sebagai dosen penguji yang
juga dilakukan dengan hormat; sudah selayaknya Dra. H. juga
menyelesaikan persoalan pemalsuan tanda tangan ini dengan kehormatan.
>
> Membuat surat permintaan maaf resmi atas surat Dra.H.
tertanggal 13 Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/FP/XII/2004
kepada Dr. E.S, yang menurut Dr. E.S sama sekali tidak etis.
>
> Membuat surat permintaan maaf resmi atas penipuan yang
dilakukan oleh Sdr. R.C.W.A kepada Dr. E.S selaku dosen pembimbing
dan penguji, Sdr Drs. B.W., M.Si (anggota tim penguji), Sdr. Drs.
C.S. (Sekretaris), Sdr. A.Y., S.Sos, M.Si (Ketua tim Penguji);
Kepala Laboratorium PS; Pembantu Dekan I, Wakil Rektor I US, Rektor
US, Ketua Yayasan US, dan surat kabar di mana skripsi itu dimuat.
>
> Dua bulan berlalu, pihak Dra. H. juga tampaknya enggan untuk
meminta maaf. Sementara Dr. E.S juga masih berpegang pada prinsip
etika yang semestinya dipenuhi. Lalu bagaimana dengan Sdr. R.C.W.A?
Dra. H. justru menawarkan `persoalan baru' yaitu mengulang satu
semester (yang berarti dia harus membayar lagi, bukan?); sungguh
suatu penyelesaian yang "manis". Satu bukti bahwa mahasiswa di
Perguruan Tinggi semacam ini tak lebih dari mesin uang yang selain
bisa diperas juga bisa dikorbankan untuk kepentingan-kepentingan
yang lebih besar.
>
>
> BENEATH THE LIES
> Pada kasus ini, kita dapat mencermati bahwa permintaan maaf
telah kehilangan esensi, berubah menjadi penanda yang merujuk pada
petanda yang bermakna: menurunnya gengsi serta kemampuan
mempersaingkan komoditas. Permintaan maaf atas kesalahan =
menurunnya gengsi serta kemampuan mempersaingkan komdoitas. Gengsi
untuk mengakui kesalahan adalah bagian dari tanda-tanda yang
dimobilisir ke dalam bentuk komoditi yang mendasarkan logika
perbedaan untuk terbangunnya suatu nilai jual. Permintaan maaf
adalah penanda yang dapat membuat banyak orang ragu untuk masuk ke
FP US, karena melekat pada terbukanya sebuah kesalahan sistemik yang
fatal.
>
>
> Kesalahan fatal dalam kasus Sdr. R.C.W.A adalah sebuah penanda
yang akan merujuk pada konsep mengenai kurang qualified-nya sebuah
institusi. Oleh karena itu kesalahan ini harus ditutupi. Ini make-
sense ketika Dekan Dra.H. bukannya menyelesaikan pada pihak-pihak
yang tertipu sesuai prosedur, namun justru melakukan tekanan pada
Dr. E.S.
>
>
> Seiring perkembangan jaman yang memasuki era posmoderen, orang
lebih mengonsumsi penanda ketimbang makna. Penanda-penanda pun telah
banyak yang berubah sebagai alat kebohongan. Akreditasi A ataupun
jumlah kelulusan dikejar dengan mengabaikan kualitas dan esensi
pendidikan.
>
>
> Kondisi ini membawa konsekuensi pada adanya kebutuhan akan
pendidikan yang tidak lagi berorientasi mencerdaskan, namun lebih
pada menghadirkan perbedaan, baik makna sosial, status, simbol, atau
prestise. Universitas A lebih baik dari B karena akreditasinya lebih
tinggi, bukan pada kualitas karya. Begitu pula dengan anggapa bahwa
universitas C lebih baik dari universitas D hanya dengan ukuran
jumlah lulusan yang lebih banyak. Di satu sisi, ini juga membuat
gelar dan ijazah tak lebih dari komoditas. Berbagai gelar
kesarjanaan disandang oleh berbagai orang, namun semuanya samasekali
tidak mencerminkan adanya kualitas berpikir saintis. Bisa dihitung
lulusan perguruan tinggi yang menguasai benar kelimuannya dan siap
masuk dalam dunia kerja. Sementara di sisi lain, layaknya hukum
demand-supply, perguruan tinggi juga mengubah dirinya sebagai
penjaja ijazah. Agar dapat menjadi penjaja ijazah yang handal, maka
diperlukan penanda-penanda seperti angka kelulusan.
>
>
> Kehandalan sebagai penjaja ijazah, akan membawa konsekuensi pada
semakin bertambahnya penghasilan. Dengan demikian, sekolah tak lebih
dari upaya mengonsumsi suatu permainan tanda (free play of sign),
tanpa perlu terikat pada sebuah makna dan identitas yang tetap. Pada
titik inilah pendidikan telah kehilangan esensinya. Mahasiswa-
mahasiswa itu hanya larut dan mempercayai begitu saja, bahwa
Fakultas/perguruan tinggi favorit memiliki kualitas pendidikan yang
berkualitas. Tak pernah ada yang melihat secara kritis bahwa
perguruan tinggi semacam ini bisa jadi tak lebih dari mesin pencetak
ijazah yang menempatkan mahasiswa sebagai sosok yang bisa
dieksploitasi.
>
>
> Tanda-tanda dalam dunia pendidikan terus bergerak, berlari,
berpacu sembari merelatifkan suatu stabilitas makna. Baik perguruan
tinggi, maupun mahasiswa bukan mengejar ilmu yang akan mengembangkan
kemanusiaannya, melainkan berusaha mengejar tanda, makna dan
identitas. Mereka mencari dalam arus pergerakan yang tiada henti.
Sdr. R.C.W.A pun terlarut dalam arus ini (yang kemudian justru
memelantingkannya) ketika memilih untuk memalsu tanda tangan demi
tercapainya sebuah gelar dan ijazah.
>
>
> Dengan demikian dapat dikatakan pendidikan tinggi telah terseret
dalam arus konsumsi posmoderen, konsumsi yang selalu dahaga, dan tak
terpuaskan. Suatu pola konsumsi yang dengan cerdik dibangkitkan oleh
perguruan tinggi sebagai produsen ijazah, melalui pencitraan yang
dibangun dengan pelekatan penanda-penanda akreditasi, jumlah
kelulusan, serta berbagai ritual yang sifatnya tontonan (spectacle).
Semua ini akhirnya berkembang menjadi titik sentral yang berperan
sebagai perumus hubungan sosial pendidik-peserta didik yang telah
kehilangan esensinya. Berpacunya perguruan tinggi dalam mengejar
berbagai penanda komoditas itu membuat ada pihak-pihak yang
tercecer, bahkan tergilas kemanusiaannya, kasus Sdr. R.C.W.A adalah
salah satu contoh. Etika dan pendidikan telah kehilangan esensinya,
diambil alih oleh penanda-penanda yang maknanya jauh dari esensi
pendidikan.
>
>
> Bagaimana cermatan anda?
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis
Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema
yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis
Psikologi Transformatif
>
>
> Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang
didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung
dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat
sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total member
telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di
milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang
sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk
atau keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai
wacana muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di
psikologi "Di mana ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkan"
di sinilah jargon itu tak sekedar jargon melainkan menemukan
konteksnya. Ada berbagai sudut pandang dalam membahas manusia,
bahkan yang tak diajarkan di Fakultas Psikologi Indonesia.
>
>
> Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang
berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya
untuk mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini
yang tekstual menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus
berasal dari kalangan disiplin ilmu psikologi untuk bergabung
sebagai member dalam mailing list ini. Mailing List ini merupakan
tindak lanjut dari simposium psikologi transformatif, melalui
mailing list ini, diharapkan diskusi dan gagasan mengenai
transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah
terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari
simposium Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto,
Herry Tjahjono, Abdul Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,.
Beberapa rekan lain yang aktif dalam milis ini adalah: Audifax,
Leonardo Rimba, Nuruddin Asyhadie, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan,
Ratih Ibrahim, Sinaga Harez Posma, Prastowo, Prof Soehartono Taat
Putra,
> Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo,
Felix Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari,
Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie
Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid,
Elisa Koorag, Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader Gunawan,
Priatna Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana,
Yunis Kartika dan masih banyak lagi
>
>
> Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar
masuk member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas
keputusan dan kemampuan sendiri.
>
>
> Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi
Transformatif, klik:
>
>
> www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
>
>
> ---------------------------------
> Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo!
Mobile. Try it now.
>



Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Yahoo! Groups

Special K Challenge

Join others who

are losing pounds.

Yahoo! Groups

w/ John McEnroe

Join the All-Bran

Day 10 Club.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar