Sabtu, 04 Agustus 2007

[psikologi_transformatif] Imajinasi Penggerak Ilmu

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/04/humaniora/3738655.htm

Imajinasi Penggerak Ilmu
Sastra dan Sains Mengajukan Model Realitas dengan Simbolisasi

Jakarta, Kompas - Sesungguhnya, imajinasi dan intuisi yang terutama
menggerakkan terciptanya teori dan temuan ilmiah, seperti juga terjadi
pada dunia sastra. Sayangnya, pikiran dan perasaan serta intuisi
sering kali dianggap sebagai hal yang berlawanan.

Demikian terungkap dalam Seri Ke-12 Diskusi Sastra bertajuk "Sains dan
Sastra" yang diselenggarakan Bale Sastra Kecapi, Harian Kompas, dan
Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jumat (3/8). Hadir sebagai pembicara
Karlina Supelli (pengajar filsafat), Yasraf Amir Piliang (pengajar
filsafat), dan Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra) dengan moderator
Radhar Panca Dahana.

"Imajinasi serta rasa keindahanlah yang pertama-tama dan terutama
menggerakkan penemuan-penemuan ilmiah serta pemilihan teori. Bukan
rasionalitas bermodelkan algoritmik sebagaimana banyak dimunculkan
dalam risalah-risalah filsafat sains," ujar Karlina.

Pikiran dan perasaan serta intuisi sering kali dianggap sebagai hal
yang berlawanan. Ada anggapan sastrawan tidak perlu berpikir dan
ilmuwan tidak punya darah dan belulang manusia. Padahal, ilmuwan perlu
mengimajinasikan sebuah gambar kawasan atau obyek yang akan
ditelitinya sebelum ia mulai membangun teori lalu mengujinya. Ilmuwan
memulai dengan asumsi atau sebuah andaian.

Itu bukan berarti nalar ilmiah sama dengan omong kosong. Sains
menuntut langkah metodologis yang khas. Ujungnya, hanya teori yang
punya daya prediktif yang tinggilah yang akan mampu bertahan.
Ketahanan terhadap benturan di ruang-ruang eksperimen dan observasi
yang akhirnya menentukan kebertahanan sebuah teori. Akan tetapi,
mendahului semua langkah empiris itu, teori pertama-tama ialah hasil
imajinasi.

Teori-teori besar sekalipun dimulai dari imajinasi dan intuisi. Teori
Heliosentris (matahari sebagai pusat orbit) yang dilontarkan
Copernicus tahun 1512 tentu dimulai dengan imajinasi dan intuisi,
bukan observasi dengan pergi ke orbit matahari pada tahun itu. Begitu
juga dengan teori Einsteins.

Kalau kemudian muncul persamaan-persamaan Matematika, bukan semata
angka dan simbol, melainkan sebagai sebuah bahasa. Matematika
merupakan bahasa untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak dapat
ditangkap indera. "Kadang kita malas berpikir, suka menyederhanakan
masalah, dan terbius kemudahan serta kedangkalan. Padahal, proses
berpikir punya bagian berbeda dan penting, yakni untuk memahami
realitas serta makna. Nalar ilmiah tetap diperlukan dalam berbagai
aspek kehidupan," ujarnya.

Karlina menggambarkan, energi gelap yang tidak teramati mengambil
porsi lebih dari 70 persen isi alam semesta, sedangkan materi mencapai
30 persen. Dari 30 persen tersebut hanya 4 persen berbentuk materi
konvensional yang teramati sebagai bintang, planet, galaksi, meteorit,
dan lain-lain. Sisanya ialah materi gelap yang belum terdeteksi.
Ilmuwan dan sains berdiri hanya di atas 4 persen tersebut.

"Saya malah merindukan suatu cara pandang yang tidak memilah
pengalaman manusia, suatu epistemologi yang membuat saya tidak lagi
perlu menyelundupkan secara diam-diam intuisi serta pilihan-pilihan
'subyektif' ke bilik belakang sains," ujar Karlina.

Sastra dan sains

Nirwan A Arsuka mengatakan, pertemuan antara sastra dan sains dalam
ranah metafisis adalah sama-sama berupaya mengajukan model-model
tentang kenyataan. Persinggungan lainnya ialah pada ranah formal,
yakni sama bermain dengan manipulasi simbolik.

Sains juga dapat menjadi inspirasi bagi sastrawan atau juga
sebaliknya. Edgar Allan Poe (Eureka), Lewis Carrol (Alice's Adventure
in Wonderland), dan Jorge Luis Borges (Ficciones) merupakan penulis
yang, menurut Nirwan, berhasil menautkan sastra dan sains. Banyak
bagian dari fiksi mereka yang bahkan mendahului penemuan sains hebat.
Yang terlihat justru keajaiban nalar dan keistimewaan imajinasi.

Yasraf Amir Piliang mengungkapkan, perkembangan sains teknologi dan
sastra di Indonesia sendiri secara umum masih terperangkap dalam
bingkai "dua budaya", yakni sains belum memberikan masukan berarti
dalam perkembangan sastra. Sementara kecenderungan umum dalam sastra
kita, yakni merayakan sains dan teknologi dengan kekaguman, atau
bersikap kritis terhadap sains dan teknologi. (INE)

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
SPONSORED LINKS
Yahoo! Avatars

Make a Virtual You

Show your style &

mood in Messenger.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Yahoo! Mail

Next gen email?

Try the all-new

Yahoo! Mail Beta.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar